Tetapi tiba-tiba menjelang Peringatan
Hari Pendidikan tanggal 2 Mei 2016, muncul sebuah tulisan dalam sebuah media
sosial yang menggugat tanggal tanggal 2 Mei sebagai Hari Pendidikan Nasional.
Judul tulisannya adalah,” KH.Ahmad Dahlan, Lebih Pantas Menjadi Bapak
Pendidikan Nasional.” Sang Penulis,
Zahra Adonara, setelah melakukan tinjauan secara singkat riwayat Ki Hadjar
Dewantara dengan Tamansiswanya, segera melakukan tinjauan riwayat KH.Ahmad
Dahlan dengan sekolah Muhammadiyahnya.
“Akan tetapi yang patut dicatat, jauh-jauh hari sebelum Ki Hajar
Dewantara mendirikan Taman Siswa, seorang putra bangsa, yang juga sama-sama
berasal dari Yogyakarta telah memiliki inisiatif untuk melakukan perubahan
melalui pendidikan,” tulis Sang Penulis. “Adalah KH. Ahmad Dahlan, ulama besar
yang menjadi pendiri Muhammadiyah. Sebelum Muhammadiyah berdiri, tepatnya 1
Desember 1911, KH.Ahmad Dahlan mendirikan sekolah Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah.
Ketika diresmikan, sekolah itu mempunyai 29 orang siswa dan enam bulan kemudian
dilaporkan bahwa terdapat 62 orang siswa yang belajar di sekolah itu. Tahun
1913, didirikan sekolah Muhammadiyah di Karangkajen. Tahun 1915, didirikan
sekolah di Lempuyangan, sekolah Muhammadiyah bergerak se-abad lebih melintasi
zaman, kini ribuan sekolah Muhammadiyah telah berdiri di seluruh penjuru
Indonesia, bahkan hingga ke manca negara. Dari perbandingan usia,
KH.Ahmad Dahlan melalui Muhammadiyah satu dekade lebih dulu daripada Taman
Siswa dalam berjuang mengentaskan kegelapan melalui pendidikan.”
Sang Penulis melanjutkan tulisannya dengan melakukan perbandingan
antara sekolah Tamansiswa dengan Muhammadiyah sbb,” Selain perbandingan usia,
KH.Ahmad Dahlan melaui Muhammadiyah bila dibandingkan dengan Taman Siswa jauh
memiliki efek yang lebih besar. Sekolah-sekolah Muhammadiyah telah menjangkau
ke semua jenjang, melebar kesegala lapisan dan telah meluluskan jutaan alumni.
Bandingkan dengan Taman Siswa yang justru semakin hari semakin kurang
berkembang, data dari Kompas menyebutkan, Pada Tahun 2012 jumlah sekolah
perguruan Taman Siswa tinggal 30 %nya saja, banyak sekolah yang gulung tikar.
Kiprah Muhammadiyah dalam bidang pendidikan tentu tak ada yang meragukan.”
Sang
Penulis mengakhiri tulisannya dengan melakukan gugatan sbb,” Mengapa kemudian
KH.Ahmad Dahlan tidak ditetapkan sebagai Bapak Pendidikan? Pertanyaan ini
seolah menjadi sejarah hitam yang selalu membungkam eksistensti Tokoh-Tokoh
Islam. Seperti halnya mengapa kemudian Kartini yang ditetapkan sebagai tokoh
rujukan kaum perempuan? padahal banyak tokoh-tokoh perempuan lain, khususnya
yang memiliki identitas Islam lebih kuat, seperti Rasuna Said, Nyi Walidah, Cut
Nyak Dien yang tak kalah hebatnya. Sekali lagi, sejarah selalu diciptakan
oleh para pemenang, mereka yang berkuasa, walaupun begitu kita tidak akan
pernah lupa dengan jasa KH. Ahmad Dahlan, Bapak pendidikan yang sesungguhnya.”
Ki
Hadjar Dewantara dan KH.Ahmad Dahlan.
Betapa pentingnya kita belajar sejarah. Dan, sebenarnya tidak
tepat membanding-bandingkan, apalagi mengukur bobot sumbangan para Pejuang
Bangsa. Baik Ki Hadjar Dewantara maupun KH.Ahmad Dahlan adalah sama-sama
Pahlawan Nasional yang telah sama-sama berjasa memperjuangkan kemerdekaan
bangsa Indonesia melalui bidangnya masing-masing. Di bidang Pendidikan, Ki Hadjar Dewantara
melalui sekolah Tamansiswa telah memperjuangkan sistem Pendidikan Nasional
sebagai suatu antitese terhadap Sistem Pendidikan Kolonial. Ki Hadjar Dewantara
dengan Tamansiswa konsisten melakukan penentangan sisten Pendidikan Kolonial
yang dijalankan Pemerintah Hindia Belanda antara lain dengan menempuh jalan non
koperasi, menolak subsidi dari Pemerintah Hindia Belanda, dan menolak sebagai
sekolah berbadan hukum sehingga dicap oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai
sekolah Liar. Sekalipun dicap sebagai sekolah liar, tidak berbadan hukum, dan
menolak subsidi Pemerintah Hindia Belanda, Ki Hadjar Dewantara mampu membangun
sekolah Tamansiswa yang pada saat itu kualitasnya setara dengan sekolah-sekolah
Pemerintah. Hal ini mudah dimengerti sebab Ki Hadjar Dewantara memang
mengantongi ijazah akta guru Eropa, sehingga dinilai lebih dari kompeten untuk
mewujudkan sekolah yang kualitasnya tidak kalah dengan ELS, HIS, MULO maupun
AMS milik Pemerintah Hindia Belanda. Mudah dimengerti bila dalam waktu singkat sekolah
Tamansiswa menyebar ke seluruh Hindia Belanda. Antara tahun 1930 – 1942 justru
merupakan puncak prestasi Tamansiswa yang berada dibawah asuhan langsung Ki
Hadja Dewantara.
Tentu berbeda dengan sekolah-sekolah Muhammadiyah yang menempuh
jalan koperasi, berbadan hukum, dan tentu saja menerima subsidi dari Pemerintah
Hindia Belanda. Namun demikian gagasan pembaharuan pendidikan yang dibawakan
KH.Ahmad Dahlan dengan Ki Hadjar
Dewantara dibidang pendidikan banyak persamaannya. Baik KH.Ahmad Dahlan
maupun Ki Hadjar Dewantara sama-sama menggunakan model sekolah barat dalam
melakukan pembaharuan pendidikan. Bedanya
Ki Hadjar Dewantara memperkaya dan memadukan sekolah model barat dengan
unsur-unsur pendidikan yang terkandung dalam kebudayaan nasional yang bersumber
dari tradisi etos pendidikan para priyayi dan ksatria yang dididik dilingkungan
kraton dan kabupaten. Sedang KH.Ahmad Dahlan memadukan sekolah model barat
dengan unsur-unsur pendidikan yang terkandung dalam ajaran Islam dan dunia
pesantren. Perbedaan lain, Ki Hadjar
Dewantara meniti karir dengan menempuh pendidikan formal model barat mulai dari
ELS, Kweekshool, Stovia dan Akta guru Negeri Belanda. Sedangkan KH.Ahmad Dahlan
mengenyam pendidikan model pesantren dan tidak pernah memasuki sekolah model
barat milih pemerintah Hindia Belanda.
Dapat dimengerti bila pada awalnya untuk mendirikan Muhammadiyah
dan sekolah-sekolah Muhammadiyah, KH.Ahmad Dahlan banyak mendapat bantuan dari
tokoh-tokoh guru Budi Utomo dan Keluarga Pakualaman. KH.Ahmad Dahlan juga
bergaul erat dengan KPH Suryaningrat, ayah Ki Hadjar Dewantara, kenal dekat
dengan RM.Suryo Pranoto, kakak Ki Hadjar
Dewantara. Tentu saja KH.Ahmad Dahlan kenal baik dengan Pangeran Noto Dirojo,
putra Paku Alam V yang sempat menjadi Ketua Budi utomo. Bahkan RM.Suryo Pranoto
bersama-sama dengan Fachrudin, tokoh Muhammadiyah tangan kanan KH.Ahmad Dahlan,
bersama-sama menjadi pemimpin SI (Serkat Islam ) Cabang Yogyakarta yang sama-sama
gigih menentang komunisme. Akhirnya ketika Suwardi harus menjalani Pembuangan
ke Negeri Belanda pada tahun 1913, Muhammadiyah bukan hanya ikut memberikan
bantuan dana. Tetapi KH.Ahmad Dahlan dan Istrinya datang secara khusus menemui
Suwardi Suryaningrat untuk memberikan dorongan dan doa. Semua itu menunjukkan
kedekatan KH Ahmad Dahlan dengan Keluarga Paku Alaman dan Ki Hadjar
Dewantara.
Baik Ki Hadjar Dewantara maupun KH.Ahmad Dahlan, telah sama-sama berjuang untuk mencapai kemerdekaan, sesuai dengan keahliannya masing-masing. Ki Hadjar Dewantara di bidang Pendidikan dan Kebudayaan Nasional. KH.Ahmad Dahlam di bidang Pendidikan Islam dan Kebudayaan Islam dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kewajiban generasi penerus untuk mengisi kemerdekaan dengan melanjutkan cita-cita para pejuang bangsa.Wallahualam.(2- 05-2016)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar