Entri yang Diunggulkan

Kahyangan Suralaya, Tempat Tinggal Para Dewa

Legenda adalah kisah tentang orang, kejadian, atau peristiwa yang dibuat berdasarkan fantasi dengan maksud untuk menimbulkan kekaguman...

Sabtu, 30 Juli 2016

(2) Realitas Sejarah, Tanggal 2 Mei Sebagai Hari Pendidikan Nasional (02-Tammat)





Tetapi tiba-tiba menjelang Peringatan Hari Pendidikan tanggal 2 Mei 2016, muncul sebuah tulisan dalam sebuah media sosial yang menggugat tanggal tanggal 2 Mei sebagai Hari Pendidikan Nasional. Judul tulisannya adalah,” KH.Ahmad Dahlan, Lebih Pantas Menjadi Bapak Pendidikan Nasional.”  Sang Penulis, Zahra Adonara, setelah melakukan tinjauan secara singkat riwayat Ki Hadjar Dewantara dengan Tamansiswanya, segera melakukan tinjauan riwayat KH.Ahmad Dahlan dengan sekolah Muhammadiyahnya.


“Akan tetapi yang patut dicatat, jauh-jauh hari sebelum Ki Hajar Dewantara mendirikan Taman Siswa, seorang putra bangsa, yang juga sama-sama berasal dari Yogyakarta telah memiliki inisiatif untuk melakukan perubahan melalui pendidikan,” tulis Sang Penulis. “Adalah KH. Ahmad Dahlan, ulama besar yang menjadi pendiri Muhammadiyah. Sebelum Muhammadiyah berdiri, tepatnya 1 Desember 1911, KH.Ahmad Dahlan mendirikan sekolah Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah. Ketika diresmikan, sekolah itu mempunyai 29 orang siswa dan enam bulan kemudian dilaporkan bahwa terdapat 62 orang siswa yang belajar di sekolah itu. Tahun 1913, didirikan sekolah Muhammadiyah di Karangkajen. Tahun 1915, didirikan sekolah di Lempuyangan, sekolah Muhammadiyah bergerak se-abad lebih melintasi zaman, kini ribuan sekolah Muhammadiyah telah berdiri di seluruh penjuru Indonesia, bahkan hingga ke manca negara. Dari perbandingan usia,  KH.Ahmad Dahlan melalui Muhammadiyah satu dekade lebih dulu daripada Taman Siswa dalam berjuang mengentaskan kegelapan melalui pendidikan.”


Sang Penulis melanjutkan tulisannya dengan melakukan perbandingan antara sekolah Tamansiswa dengan Muhammadiyah sbb,” Selain perbandingan usia, KH.Ahmad Dahlan melaui Muhammadiyah bila dibandingkan dengan Taman Siswa jauh memiliki efek yang lebih besar. Sekolah-sekolah Muhammadiyah telah menjangkau ke semua jenjang, melebar kesegala lapisan dan telah meluluskan jutaan alumni. Bandingkan dengan Taman Siswa yang justru semakin hari semakin kurang berkembang, data dari Kompas menyebutkan, Pada Tahun 2012 jumlah sekolah perguruan Taman Siswa tinggal 30 %nya saja, banyak sekolah yang gulung tikar. Kiprah Muhammadiyah dalam bidang pendidikan tentu tak ada yang meragukan.”

Sang Penulis mengakhiri tulisannya dengan melakukan gugatan sbb,” Mengapa kemudian KH.Ahmad Dahlan tidak ditetapkan sebagai Bapak Pendidikan? Pertanyaan ini seolah menjadi sejarah hitam yang selalu membungkam eksistensti Tokoh-Tokoh Islam. Seperti halnya mengapa kemudian Kartini yang ditetapkan sebagai tokoh rujukan kaum perempuan? padahal banyak tokoh-tokoh perempuan lain, khususnya yang memiliki identitas Islam lebih kuat, seperti Rasuna Said, Nyi Walidah, Cut Nyak Dien  yang tak kalah hebatnya. Sekali lagi, sejarah selalu diciptakan oleh para pemenang, mereka yang berkuasa, walaupun begitu kita tidak akan pernah lupa dengan jasa KH. Ahmad Dahlan, Bapak pendidikan yang sesungguhnya.”


Ki Hadjar Dewantara dan KH.Ahmad Dahlan.

Betapa pentingnya kita belajar sejarah. Dan, sebenarnya tidak tepat membanding-bandingkan, apalagi mengukur bobot sumbangan para Pejuang Bangsa. Baik Ki Hadjar Dewantara maupun KH.Ahmad Dahlan adalah sama-sama Pahlawan Nasional yang telah sama-sama berjasa memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia melalui bidangnya masing-masing.  Di bidang Pendidikan, Ki Hadjar Dewantara melalui sekolah Tamansiswa telah memperjuangkan sistem Pendidikan Nasional sebagai suatu antitese terhadap Sistem Pendidikan Kolonial. Ki Hadjar Dewantara dengan Tamansiswa konsisten melakukan penentangan sisten Pendidikan Kolonial yang dijalankan Pemerintah Hindia Belanda antara lain dengan menempuh jalan non koperasi, menolak subsidi dari Pemerintah Hindia Belanda, dan menolak sebagai sekolah berbadan hukum sehingga dicap oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai sekolah Liar. Sekalipun dicap sebagai sekolah liar, tidak berbadan hukum, dan menolak subsidi Pemerintah Hindia Belanda, Ki Hadjar Dewantara mampu membangun sekolah Tamansiswa yang pada saat itu kualitasnya setara dengan sekolah-sekolah Pemerintah. Hal ini mudah dimengerti sebab Ki Hadjar Dewantara memang mengantongi ijazah akta guru Eropa, sehingga dinilai lebih dari kompeten untuk mewujudkan sekolah yang kualitasnya tidak kalah dengan ELS, HIS, MULO maupun AMS milik Pemerintah Hindia Belanda. Mudah dimengerti bila dalam waktu singkat sekolah Tamansiswa menyebar ke seluruh Hindia Belanda. Antara tahun 1930 – 1942 justru merupakan puncak prestasi Tamansiswa yang berada dibawah asuhan langsung Ki Hadja Dewantara.


Tentu berbeda dengan sekolah-sekolah Muhammadiyah yang menempuh jalan koperasi, berbadan hukum, dan tentu saja menerima subsidi dari Pemerintah Hindia Belanda. Namun demikian gagasan pembaharuan pendidikan yang dibawakan KH.Ahmad Dahlan dengan Ki Hadjar  Dewantara dibidang pendidikan banyak persamaannya. Baik KH.Ahmad Dahlan maupun Ki Hadjar Dewantara sama-sama menggunakan model sekolah barat dalam melakukan pembaharuan pendidikan. Bedanya  Ki Hadjar Dewantara memperkaya dan memadukan sekolah model barat dengan unsur-unsur pendidikan yang terkandung dalam kebudayaan nasional yang bersumber dari tradisi etos pendidikan para priyayi dan ksatria yang dididik dilingkungan kraton dan kabupaten. Sedang KH.Ahmad Dahlan memadukan sekolah model barat dengan unsur-unsur pendidikan yang terkandung dalam ajaran Islam dan dunia pesantren.  Perbedaan lain, Ki Hadjar Dewantara meniti karir dengan menempuh pendidikan formal model barat mulai dari ELS, Kweekshool, Stovia dan Akta guru Negeri Belanda. Sedangkan KH.Ahmad Dahlan mengenyam pendidikan model pesantren dan tidak pernah memasuki sekolah model barat milih pemerintah Hindia Belanda. 


Dapat dimengerti bila pada awalnya untuk mendirikan Muhammadiyah dan sekolah-sekolah Muhammadiyah, KH.Ahmad Dahlan banyak mendapat bantuan dari tokoh-tokoh guru Budi Utomo dan Keluarga Pakualaman. KH.Ahmad Dahlan juga bergaul erat dengan KPH Suryaningrat, ayah Ki Hadjar Dewantara, kenal dekat dengan RM.Suryo Pranoto, kakak  Ki Hadjar Dewantara. Tentu saja KH.Ahmad Dahlan kenal baik dengan Pangeran Noto Dirojo, putra Paku Alam V yang sempat menjadi Ketua Budi utomo. Bahkan RM.Suryo Pranoto bersama-sama dengan Fachrudin, tokoh Muhammadiyah tangan kanan KH.Ahmad Dahlan, bersama-sama menjadi pemimpin SI (Serkat Islam ) Cabang Yogyakarta yang sama-sama gigih menentang komunisme. Akhirnya ketika Suwardi harus menjalani Pembuangan ke Negeri Belanda pada tahun 1913, Muhammadiyah bukan hanya ikut memberikan bantuan dana. Tetapi KH.Ahmad Dahlan dan Istrinya datang secara khusus menemui Suwardi Suryaningrat untuk memberikan dorongan dan doa. Semua itu menunjukkan kedekatan KH Ahmad Dahlan dengan Keluarga Paku Alaman dan Ki Hadjar Dewantara.

Baik Ki Hadjar Dewantara maupun KH.Ahmad Dahlan, telah sama-sama berjuang untuk mencapai kemerdekaan, sesuai dengan keahliannya masing-masing. Ki Hadjar Dewantara di bidang Pendidikan dan Kebudayaan Nasional. KH.Ahmad Dahlam di bidang Pendidikan Islam dan Kebudayaan Islam dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kewajiban generasi penerus untuk mengisi kemerdekaan dengan melanjutkan cita-cita para pejuang bangsa.Wallahualam.(2- 05-2016)  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar