Setelah berhasil
menjadi Gusti yang dipertuan di Maluku, Belanda merasa bahwa Maluku ternyata
kurang staregis untuk menegakkan monopoli di seluruh wilayah Hindia. Ada 4 kota
yang dijadikan pertimbangan Kumpeni guna membangun basis kekuasaan dan markas
besarnya untuk menggantikan Ambon. Keempat kota itu adalah Malaka, Banten,
Jayakarta dan Jepara. Dari keempat kota itu, yang dianggap paling lemah adalah
Jayakarta. Malaka jelas dilindungi Portugal. Banten pasti akan dipertahankan
mati-matian oleh Kesultanan Banten dan Jepara ada dibawah perlindungan Mataram
yang tengah naik daun sebagai kekuatan baru di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Sedangkan Jayakarta, tengah terlibat persaingan dengan Banten. Pangeran
Jayakarta ingin mengembangkan Jayakarta guna menyaingi Banten sebagai bandar
yang besar. Gagasan Pangeran Jayakarta itu mengakibatkan konflik dirinya dengan
penguasa Banten. Padahal pertahanan Jayakarta tidak sekuat Banten maupun
Jepara. Kebetulan di tiga kota di Pantai Utara Pulau Jawa itu, Kumpeni sudah mendirikan gudang dan loji dengan mendapatkan
ijin dari penguasa setempat.
Di Jayakarta, Kumpeni
berhasil membangun gudang dan bangunan loji di sebelah kanan Sungai Ciliwung,
sedangkan Inggris dan Portugal membangunnya di sebelah kiri Sungai Ciliwung.
Dalem atau Istanan Pangeran
Jayakarta juga terletak di sisi kiri sungai yang membelah bandar Jayakarta itu.
Kumpeni segera mengambil tindakan ofensif untuk menaklukan Jayakarta. Sang Penakluk, bukannya Pieter Both. Tetapi
penggantinya Jan Pieterzoon Coen. Coen adalah seorang gubernur Jendral yang
cakap dan berbakat, seorang penganut Calvijnisme yang taat, ahli pembukuan,
disipilin dan tegas, ahli stategi yang memiliki pandangan tajam, tetapi sering
brutal dan kasar. Pembunuhan dan penghancuran penduduk Banda dilakukan atas
perintahnya (1621 M).
Coen tahu persis bahwa
Inggris di Hindia Timur tidak memiliki pertahanan yang kuat seperti di India.
Sedangkan Portugal sedang mengalami masalah dalam kordinasi internalnya. Pada
tahun 1619 M, di Eropa Barat Pemerintah
Inggris dan Belanda tengah meratifikasi perjanjian kerjasama antar kedua negara
agar kepentingan kedua negara di Kepulauan Nusantara atau Hindia Timur tidak
menimbulkan konflik. Paling tidak agar supaya
antara Perusahaan Dagang Inggris dan VOC di Hindia Timur tidak saling
baku hantam dan berebut wilayah. Saat
itu Inggris sudah berhasil menancapkan pengaruhnya di Bengkulu dan tengah
berusaha menguasai Jawa. Sedangkan wilayah luar Jawa, khususnya Maluku menjadi
porsi Belanda dan tak akan diganggu- gugat Inggris. Tetapi sebelum perjanjian
itu ditandatangani, Coen cepat mengambil langkah ofensif. Coen segera memimpin
armadanya yang dipersiapkan dari pangkalannya di Ambon untuk menyerbu
Jayakarta.
Inggris yang tak
menyadari akan diserang, tak dapat berbuat banyak. Gudang dan loji Inggris yang
berada di sisi kiri Ciliwung, dihujani peluru meriam, diserbu pasukan Coen,
dibakar dan diratakan dengan tanah. Demikian pula gudang Portugal. Pasukan
Inggris yang menjaga gudang dan lojinya, segera melarikan diri meninggalkan
Jayakarta.
Sementara itu, Pangeran
Jayakarta dan keluarganya, jauh-jauh hari malah sudah mengungsi lebih dulu ke
Banten. Coen yang membawa 17 buah kapal
dan 1100 pasukan dari Ambon itu, segera menyerbu Dalem Pangeran Jayakarta,
kemudian membakarnya. Hampir seluruh bangunan yang ada diratakannya dengan tanah. Hanya bangunan
Kastil Batavia yang dibiarkan utuh. Di atas reruntuhan puing-puing bangunan
lama, pada tahun 1619 M itu, dengan gagah Coen memproklamirkan berdirinya Kerajaan
Jakarta dan dia menobatkan dirinya sendiri menjadi Raja Jakarta. Coen adalah
orang Belanda pertama yang sukses menjadi Gusti di tanah Jawa. Tetapi penduduk Belanda sendiri
lebih suka menyebutnya sebagai Koninkrijk Batavia atau Kerajaan Batavia yang
mewakili Pemerintah Belanda di Hindia Timur. Kata Batavia diambil dari kata
Bataaf, yakni nenek moyang bangsa Belanda yang gagah berani dan legendaris.
Coen segera memperluas
wilayah Batavia kearah barat, timur dan selatan dan menjadikannya Kastil
Batavia Ibu Kota dan pusat pemerintahannya. Sekalipun Coen sudah
memproklamirkan berdirinya Kerajaan Batavia, tetapi Banten maupun Mataram tidak
mau mengakuinya. Maka pada dasawarsa ke dua abad 17 M itu, di Pulau Jawa
terjadi rivalitas segitiga antara tiga kekuatan, yakni Mataram, Banten dan
Batavia.
Mataram yang merasa
dapat mengerahkan ribuan pasukan, dan berambisi untuk menjadi penguasa tunggal
di Pulau Jawa, segera melakukan tindakan ofensif untuk menaklukan Batavia. Maka pada tahun 1628 M, ribuan tentara
Mataram membanjiri Batavia dan berbulan-bulan mengepung Kastil Batavia yang
memiliki benteng pertahanan yang amat kokoh. Mataram mencoba menyerang Batavia
tidak hanya dari arah darat. Tetapi juga dari arah laut. Namun Angkatan Laut Mataram dengan mudah
dihancurkan Angkatan Laut Batavia yang
sudah berpengalaman menghadapi pertempuran
di tengah laut. Akhirnya Mataram
gagal menaklukan Batavia.
Pada tahun 1629 M,
kembali Mataram mengirimkan ribuan tentara ke Batavia untuk melakukan
penaklukan yang ke dua kalinya. Usaha ke dua ini pun mengalami
kegagalan.
Dalam konflik
Batavia-Mataram itu, Banten hanya berperan sebagai penonton di pinggir
lapangan. Sebab Banten khawatir, bila membantu Mataram dan Mataram keluar
sebagai pemenang, akhirnya Mataram akan
menaklukan Banten juga. Tetapi kelak, yang terjadi adalah, bukan Mataram yang
menaklukan Banten. Tetapi Kumpenilah yang menaklukan Banten. Karena dalam
konflik Batavia- Mataram, akhirnya Kumpeni secara perlahan-lahan mampu keluar
sebagai pemenangnya.
Gagal dengan dua kali
usaha penaklukkan Batavia, membuat semangat Mataram untuk melakukan ofensif terhadap
kekuatan Kumpeni semakin
surut. Coen sendiri meninggal pada tahun 1629 M, tidak lama setelah sukses
menyelamatkan Batavia dari serbuan tentara Mataram.
Surutnya Mataram
memberi peluang Kumpeni untuk melakukan ofensif di luar Jawa. Pada tahun 1641
M, Kumpeni berhasil menaklukkan Portugal di Malaka, hingga sejak itu Malaka
berada di bawah kendali Batavia. Pada tahun 1645 M, Sultan Agung (1613-1645 M),
Penguasa Mataram, musuh besar Kumpeni, wafat. Penggantinya Amangkurat I, adalah
raja yang lemah. Dia segera berdamai dengan Batavia. Tentu saja ajakan damai
itu mendapat sambutan hangat dari Batavia. Sebab uluran damai itu, dapat
diartikan sebagai pengakuan Mataram atas kedulatan Belanda di Batavia. Belanda
segera mengirim duta dan utusan ke Mataram disertai sejumlah barang hadiah yang
amat banyak khusus untuk Amangkurat I dan yang membuatnya girang bukan main.
Masa damai dengan
Mataram, kembali memberikan peluang kepada Kumpeni untuk kembali melakukan
ofensif di luar Jawa. Pada tahun 1660 – 1669 M, Kumpeni terlibat perang dengan
Kerajaan Makassar yang berakhir dengan kekalahan Makassar. Jatuhnya Makassar
mempercepat Kumpeni untuk melakukan penaklukan di luar Jawa di wilayah bagian Tengah dan Timur.
Di Pulau Jawa sendiri
ofensif Kumpeni juga terus meningkat. Pada tahun 1677 M, Kumpeni membantu
Mataram memadamkan pemberontakan Trunojoyo. Trunojoyo, pejuang asal Madura
berhasil menduduki Kraton Mataram di Plered dan mengusir Amangkurat I dari
Istananya. Amangkurat I mangkat dalam perjalanan menuju Batavia guna meminta
bantuan sahabatnya, Kumpeni. Akhirnya Amangkurat II, naik tahta Mataram. Dengan
bantuan Kumpeni, raja baru itu berhasil mengakhiri perjuangan Trunojoyo.
Sebagai balas jasa, Kumpeni memperoleh wilayah Priangan. Sejak 1677 M, wilayah
Priangan berada di bawah kekuasaan Batavia. Tahun 1683 M, Kumpeni sukses pula
menaklukan Banten dan mengusir Inggris dari seluruh wilayah Banten.
Pada tahun 1705 M,
terjadi konflik perebutan tahta Mataram antara Pangeran Puger, adik Amangkurat
II, dengan Sunan Mas atau
Amangkurat III, putra Amangkurat II. Jadi
konflik antara paman dan kemenakan. Belanda berpihak kepada
Pangeran Puger, menobatkannnya sebagai Raja Mataram dengan gelar Pakubuwono I. Sunan Mas
berrhasil ditangkap Belanda dan dibuang ke Ceylon. Atas jasanya ini Kumpeni
memperoleh wilayah Semarang, Sumenep, dan diberi hak untuk mengelola seluruh
Pantai Utara Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Mataram masih diwajibkan setor 800 koyan beras setiap tahun kepada Belanda
selama 25 tahun. Demikianlah, secara bertahap Belanda mulai menjadi Gusti yang
diberi makan secara gratis oleh rakyat Mataram.
Pemberontakan kembali
meletus di Kartasura pada tahun 1742 M. Mas Garendi, putra Sunan Mas dengan
bantuan orang-orang China yang sakit hati, karena Kumpeni melakukan pembunuhan
massal terhadap orang-orang China di Batavia(1740 M), berhasil menguasai
Istana. Pakubuwono
II dan keluarganya terpaksa mengungsi ke Ponorogo. Kumpeni turun tangan
memadamkan pemberontakan dan berhasil mengembalikan tahta Kraton Mataram
ketangan Pakubuwono
II. Sebagai imbalan, Kumpeni mendapat kompensasi, seluruh wilayah Pesisisir
Pantai Utara Pulau Jawa diserahkan sepenuhnya kepada Kumpeni. Kumpeni juga
mendapat hak politik yang penting yakni hak untuk mengangkat setiap patih
Kerajaan Mataram. Usai pemberontakan Mas Garendi, Pakubuwono II memindahkan
Kraton Mataram ke Surakarta.
Di Surakarta, Pakubuwono II (1726
– 1749 M) sakit-sakitan dan muncul lagi pemberontakan yang lebih kuat yang
dipimpin oleh adiknya sendiri Pangeran Mangkubumi dan kemenakannya Raden Mas
Said. Pada tahun 1749 M, dari atas
ranjang kematiannya, Sang Raja yang sedang gering, menyerahkan kedaulatan Kerajaan
Mataram kepada Batavia. Dengan sigap dan cekatan Kumpeni menyambut peluang emas
itu. Tak lama kemudian Pakubuwono
II wafat dan Kumpeni mengangkat Pakubuwono III keatas tahta Kerajaan Mataram.
Sejak itu sebenarnya Kerajaan Mataram praktis sudah berada di bawah kendali
Batavia dan Kerajaan Nederland.
Selama lima tahun
berperang melawan Mangkubumi dan Raden Mas Said, ternyata pasukan gabungan
Kumpeni dan tentara Kerajaan tak mampu menaklukannya. Bahkan wilayah Sunan Pakubuwono
III semakin menyusut, kraton terkepung dari segala penjuru oleh gabungan
pasukan Mangkubumi-Raden Mas Said. Kraton Surakarta berada di ujung tanduk.
Akhirnya
melaui Perjanjian Giyanti (1755 M ) dan Perjanjian Salatiga (1757 M), Kumpeni
memecah Kerjaan yang sempat menjadi yang
terkuat di Pulau Jawa itu menjadi tiga kerajaan, yakni Surakarta, Mangkunegaran
dan Yogyakarta.
Dengan pemecahan Kraton
Mataram menjadi tiga dan mengendalikannya,
praktis Batavia berhasil menjadi satu-satunya
Gusti yang berkuasa di Tanah Jawa. Kita
melihat betapa Belanda sangat piawi
memahami makna persatuan. Di tanah airnya sendiri Belanda membangunan
nasioanlisme patriotik bebasis persatuan dengan cara mengintegrasikan tujuh
provinsi di Nederland dan membentuk
United Kingdom of Nederland atau Persatuan Kerajaan Nederland.
Dengan cara demikian
bangsa Belanda akan mampu menghadapi ancaman dari negeri tetangganya yang
relatip lebih besar dan kuat baik dari segi wilayah maupun jumlah penduduk,
yang setiap saat bisa menjadi ancaman baginya. Tetapi di Jawa, Belanda justru memecah
belah Mataram agar menjadi lemah serta berusaha memadamkan bangkitnya api
nasioanlisme patrotik berbasis persatuan di antara mereka.
Dan nampaknya missi
Belanda ini sukses. Terbukti ketiga kerajaan pecahan Mataram itu tidak pernah
bisa bersatu dan masing-masing kerajaan berlomba-lomba untuk bisa unggul
terhadap yang lainnya. Mereka berlomba-lomba bukan untuk meraih keunggulan
dalam mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya. Tetapi mereka
berlomba-lomba untuk meraih keunggulan di bidang budaya, kesenian, dan filsafat
mistik yang bersifat spekulatif. Dapat
kita mengerti bila pada abad ke-19 M, merupakan masa-masa subur dari bangkitnya
kebudayaan dan kesenian Jawa.
Dalam perlombaan di
bidang kebudayan, nampaknya Kraton Surakarta berada di barisan depan, baru
disusul Mangkunegaran. Pada episode ini muncul pujangga-pujangga kraton Surakarta
yang amat terkenal seperti Yasadipura I, Yasadipura II dan Pujangga terbesar
sekaligus penutup, Rangga Warsita (1803 -1873 M). Karya Sastra Jawa yang
bermutu tinggi amat produktif dihasilkan pada masa ini, tetapi sebagian besar
adalah sastra suluk yang berisi tasawuf dan mistik dengan corak Islam Kejawen
yang merupakan perpaduan antara mistik Hindu-Budha dan mistik Islam.
Di Surakarta juga
muncul Raja-Pujangga, seperti Pakubuwono IV
dan Mangkunegoro IV, yang juga menghasilkan karya sastra bermutu seperti
Wulangreh (PB IV), Weda Tama dan Tri Pama
( Mangunegoro IV).
Kesultanan Yogyakarta,
kemudian juga Pakualaman, di
bidang
kesusastraan agak tertinggal dari Surakarta dan Mangkunegaran. Akan tetapi
mampu meraih keunggulan dibidang sosial kemasyarakatan. Karena, di wilayah Kesultanan
Yogyakarta dan Pakualaman kelak pada abad ke -20 M, lahirlah dua organisasi
Pendidikan dan Kemasyarakatan yang modern yakni Muhammadiyah (1912 M) dan
Tamansiswa (1922 M). Muhammadiyah didirikan dengan mendapat restu dari SHB VII,
sedangkan Tamansiswa berdiri bukan hanya mendapat dukungan dari Paku Alam VII,
tetapi juga didirikan oleh ksatria
dari Pakualaman sendiri, Suwardi Suryaningrat. Baik Tamansiswa maupun
Muhammadiyah sama-sama mengembangkan nasionalisme patriotik.
Muhammadiyah
menggalinya dari ajaran Islam, sehingga corak nasionalisme bersifat patriotik
Islami. Sedang Tamansiswa menggalinya dari alam gagasan kebudayan Jawa,
sehingga corak nasionalismenya bersifat patriotik religius. Baik Tamansiswa maupun Muhammadiyah menyadari
pentingnya persatuan di antara
sesama anak bangsa. Hanya saja strategi yang ditempuhnya bebeda. Tamansiswa
bersikap nonkoperatif terhadap Pemerintah Hindia Belanda dan koperatif terhadap
Pemerintah Jepang. Sedang Muhammadiyah
bersikap koperatif, baik terhadap Pemerintah Belanda maupun Jepang. Sebagian
besar Kerabat Pakualaman aktif dalam organisasi Budi Utomo yang sebagian besar
juga menempuh jalan koperatif terhadap Pemerintah Hindia Belanda. Pada masa
Pemerintahan Jepang, Ki Hadjar Dewantara dan Kiai Haji Mas Masyur bersama-sama
Bung Karno dan Bung Hatta dikenal dengan sebutan Empat Serangkai yang duduk di
dalam kepemimpinan PUTERA.[Bersambung]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar