Entri yang Diunggulkan

Kahyangan Suralaya, Tempat Tinggal Para Dewa

Legenda adalah kisah tentang orang, kejadian, atau peristiwa yang dibuat berdasarkan fantasi dengan maksud untuk menimbulkan kekaguman...

Rabu, 12 April 2017

[8] Jejak-Jejak Nasionalisme Ki Hadjar Dewantara dan Sejarah Perjuangannya




3.3  Paku Alam  III ( 1858 – 1866 M )
Seperti ayah dan kakeknya, Raja muda kelahiran tahun 1824 M ini, memiliki bakat  dalam bidang kesusastraan. Dalam usianya yang relatip masih muda, dia sudah menghasilkan karya sastra religius yang berbobot , antara lain  Kitab Darmowirayat, Serat Ambiya Yusuf, dan Serat Piwulang.  Menurut Ki Hadjar Dewantara yang sudah sejak masa remaja gemar membaca kitab-kitab sastra karya para pujangga dan sastrawan dari Pakualaman, kitab Darmo Wirayat merupakan kitab yang paling baik dan indah. Bukan hanya dari segi keindahan bahasanya. Tetapi juga dari bobot kandungan isinya.
Pada saat Paku Alam III naik tahta, dia sudah memiliki seorang permaisuri, BRA. Paku Alam III, putri dari seorang bangsawan tinggi pula yang berasal dari Kraton Yogya, BPA.Puger, putra dari SHB II. Dari permaisuri PA III dikarunia dua orang putra yakni  GPA. Suryaningrat dan GPA. Sasraningrat. Ketika PA III naik tahta, kedua putra dari permaisurinya, BRA.Paku Alam III, masih kecil-kecil. Bila kita anggap PA III menikah pada usia 20 tahun, dan putra pertamanya lahir saat berusia 24 tahun, maka saat PA III naik tahta(usia 34 tahun), putra sulunnya, GPA. Suryaningrat  baru bersia sekitar 10-11 tahun. Dan adiknya, GPA.Sasraningrat, baru berusia 6-7 tahun. Pada umumnya secara rata-rata  Ksatria Jawa menikah pada usia muda, yakni  saat dia berusia antara windu ke 2 dan ke-3, yakni pada usia antara 18 – 24 tahun. Dan putra pertamanya rata-rata lahir saat dia berusia 24 tahun. Ki Hadjar Dewantara sendiri menikah pada saat usianya  18 tahun (2007 M ). Dan baru punya putra saat usianya 25 tahun (1914 M), suatu usia yang agak terlambat untuk ukuran ksatria Jawa.
Rupanya BRA.Pakualam III, Sang Permaisuri, hanya sebentar menikmati kedudukannya sebagai permaisuri. Sebab, prahara tiba-tiba datang melanda rumah tangganya. Begitu naik tahta. GPA. Suryo Sasraningrat itu yang kemudian bergelar PA III, jatuh cinta pada janda istri kakaknya,Gusti Kanjeng,  wanita yang energik, cantik dan cerdas itu. Maka  PA III segera melamar janda satu anak dari kakaknya, BRA. Nataningprang atau Gusti Kanjeng. Sebenarnya bagi istri para ksatria Jawa, dimadu pada jaman itu, adalah hal yang biasa. Apalagi posisi  Gusti Kanjeng, setelah diperistri PA III hanyalah sebatas Istri Padmi atau istri kedua bukan Istri Utama atau Permaisuri. Tetapi rupanya BRA. Paku Alam  III, sangat tidak senang  dan merasa tidak akan sanggup bersaing memperebutkan cinta Paku Alam III. Akibatnya, putri bangsawan tinggi  dari Pugeran itu, memilih cerai dan kembali ke rumah orang tuanya. Putranya GPA. Suryaningrat yang sulung ditingal di Istana. Tetapi  anak yang keduanya yang masih kecil, berusia sekitar 6-7 tahun, dibawanya serta ke Pugeran.
Hal yang sebaliknya terjadi pada Gusti Kanjeng. Kini posisinya naik. Sekalipun bukan permaisuri, tetapi karena kecantikannya dan kecakapannya, dia mengambil alih posisi sebagai istri permaisuri, mendampingi PA III mengendalikan roda pemerintahan Kadipaten Pakualaman. Dalam tradisi Jawa, pernikahan PA III dengan janda kakaknya itu disebut  naik ranjang bagi PA III. Dari perkawinannya itu, mereka dikarunia seorang putri yang juga cantik dan cerdas luar biasa yang diberi nama BR Ajeng Siti Jaleko. Jaleko  adalah terjemahan ke dalam bahasa Jawa dari bahasa Arab Juleha, yang artinya amat cantik. Karena PA III naik tahta pada tahun 1858 M, dan langsung menikahi janda kakaknya itu, maka BRA. Siti Jaleko, besar kemungkinan lahir pada tahun 1859 M, satu tahun setelah pernikahan kedua orang tuanya. Dengan lahirnya putri kesayangan mereka itu, maka ikatan kekeluargaan Gusti Kanjeng dengan PA III menjadi semakin kuat dan erat. Boleh dikatakan Gusti Kanjeng semakin berpengaruh dalam urusan rumah  tangga Istana Pakualaman.  Putranya  RM. Nataningrat, saat itu usinya diperkirakan 18 tahun, dinaikkan pangkatnya dengan mendapat gelar GPA. Suryo Sasraningrat II. Diam-diam  kemenakan PA III dan putra kakaknya itu diangkat jadi putra mahkota.
Memang posisi GPA. Suryaningrat dan adiknya  GPA. Sasraningrat serba sulit. Sehingga nampaknya takdir memang manjauhkannya dari posisinya sebagai  pewaris tahta. GPA. Suryaningrat, terlahir dalam keadaan tuna netra, sehingga peluang untuk menduduki tahta kerajaan gugur dengan sendirinya. Adiknya GPA. Sasraningat, dibawa ibunya ke Pugeran hingga praktis menjauh dari  ayahnya PA III dan lingkaran dalam Istana Pakualaman. Karena itu posisi RM.Nataningrat di kalangan  istana memang menguat. Dia lah kandidat pewaris tahta yang paling dekat.
Menurut Darsiti Soeratman, PA III mempunyai tujuh orang  putra dan putri dari sejumlah istrinya, yakni :
1.      KPH Purwoseputra
2.      BRMH Suryohudoyo
3.      KPH Suryaningrat(Ayah Ki Hadjar Dewantara)
4.      BRMH Suryokusumo
5.      BRAyu. Nototaruno
6.      GPH Sasraningrat (Ayah Nyi Hadjar Dewantara )
7.      GBR Ayu Adipati Paku Alam VI.
( Darsiti Suratman ; 1985 : 3).
GBR Ayu Adipati Paku Alam VI adalah GBR Ajeng Siti Jaleko, putri  bungsu PA III dari istrinya Gusti Kanjeng.
PA III hanya menduduki tahta Pakualaman tidak terlalu lama. Setalah  enam tahun menduduki tahta, pada tahun 1864 N, PA III wafat dalam usia yang relatip muda, 40 tahun .
RM.Nataningrat, putra Gusti Kanjeng yang begelar  GPA. Surya Sasraningrat II, naik tahta dan bergelar Paku Alam IV.
 3.4. Paku Alam IV ( 1864 -1876 M )   
Ketika Pangeran Muda ini naik tahta, sebenarnya  usianya masih amat muda baru 24 tahun. Karena itu, dapat dimengerti bila wawasan kenegaraannya, pandangan hidupnya, filsafatnya dan wawasan kebudayaannya, belum begitu mendalam. Raja muda ini cenderung tertarik pada hal-hal yang bersifat material kebendaan, hedonis, cenderung boros, gemar pesta pora, dan mengagungkan aspek-aspek lahiriyah. Dia terpukau dengan kebudayaan sampah Eropa yang dibawa Belanda, seperti pesta pora dansa dansi dan mabok-mabokan.
Berbeda dengan  raja para pendahulunya yang rata-rata anti Belanda, PA IV justru amat dekat dengan  Belanda. Pada masa pemerintahannya yang berlangsung cukup lama, 14
Sumber:Wikipedia




tahun, kegiatan kesenian Jawa di Pakualaman, hampir-hampir terhenti dan terabaikan. Pendopo Kadipaten Pakualaman yang biasanya ramai dengan anak-anak yang belajar menari, dan secara peridik ada pentas wayang kulit yang dapat dinikmati penduduk sekitar, tiba-tiba menjadi sepi. PA IV juga kurang tertarik  pada kesusastraan. Terbukti dari tidak adanya karya sastra hasil peningalannya.
Memang ada perhatian sedikit pada seni tari. Tetapi itu pun seni tari dan drama Eropa.konon, pernah dia menciptakan sejenis tari beksan adaptasi tari Eropa, tetapi tidak berkembang. Namun begitu, perhatian terhadap pendidikan dan modernisasi Eropa cukup menonjol. Dia lah Raja Paku Alam  yang memelopori pendidikan barat bagi keluarganya. Mulai ada dari keluarganya yang dikirimkan belajar ke negeri Belanda. Pegawainya ada yang dikirim untuk belajar di sekolah guru Kweek School di Magelang dan ada pula yang dikirim untuk belajar di sekolah bidan di  Batavia.
Dengan adanya pegawai-pegawai yang mulai di kirim ke sekolah guru, PA IV telah memelopori pendidikan barat yang dilaksanakan untuk keluarga Pakualaman. Dapat dipastikan Paku Alam IV telah memelopori pelaksanaan pendidikan barat di lingkungan kraton, sebagaiman juga dilakukan oleh para Bupati yang berpikiran maju untuk mendirikan sekolah-sekolah model barat di lingkungan kabupatennya.
Kegiatan yang juga menonjol selama masa  PA IV berkuasa, adalah kegemarannya untuk terus menerus melakukan pembangunan fisik dilingkunag Kraton Pakualaman. Sayangnya proyek-proyek mercuasuarnya untuk memperindah bangunan fisik lingkungan Paku Alalam itu, dilakukan dengan mengandalkan utang dengan bunga yang cukup tinggi. Kemungkinan kebijakan ini, akibat dari dorongan sahabat-sahabat Belandanya yang gemar berpesta pora di Kraton Pakualaman, tetapi sekaligus menjadi penyandang dana dengan bunga selangit. Pada masa  pelaksanaan Politik Ekonomi Liberal di Hindia Belanda itu (1870 – 1900 M), banyak pula birokrat Belanda yang merangkap menjadi rentenir, bersaing dengan orang-orang China. Dan sasaran empuknya adalah para priyayi dan pangeran Jawa yang  berwatak lemah, gemar foya-foya dan pesta pora seperti halnya PA IV. Dapat dipahami, bahwa dalam waktu singkat, keuangan Kadipaten Pakualaman nyaris bangkrut, terbelit oleh utang. Pada saat akhir  kekuasaan PA IV, hampir seluruh kelaurga Pakualaman amat menderita, karena tunjangan-tunjangan untuk para pangeran dan gaji pewgawai kraton  yang biasa mereka terima, menjadi tersendat-sendat dan tak menentu. Pada tahun 1878 M, setelah berkuasa hampir 14 tahun, PA III wafat dengan meninggalkan warisan hutang yang berat bagi penggantinya.
Beruntung  Kadipaten Pakualaman masih punya tokoh kuat yang menurut Ki Hadjar Dewantara adalah satusatunya ahli ekonomi Pakualaman. Kepada  Pangeran yang sudah tida muda lagi inilah masa depan keuangan Pakualaman hang nyaris bangkrut, dibebankan keatas pundaknya. Dia adalah Pangeran Suryadilogo, adik dari PA III, tetapi lain ibu.

3.5 Paku Alam V ( 1878 – 1900 M ).
Ketika PA V naik tahta dia sudah bersuia di atas lima puluh tahun. Kemungkinan usianya  sekitar 53 tahun. Nampaknya usia KPA. Suryodilogo dengan kakaknya  PA III hampir seusia, karena mereka berdua beda ibu. Dengan sendirnya saat naik tahta , putranya pertamanya, RM. Noto Kusumo, sudah memasuki  usia rema.  RM.Notokusumo, mengambil  nama kakek buyutnya yakni  Pangeran Noto Kusumo, pendiri Kadipaten PakualamanI. Sementara itu Gusti Kanjeng, usianya sudah sekitar 53 tahun, sudah menjadi janda yang ke dua selama 14 tahuh, yaitu selama putranya PA IV menduduki tahta Pakualaman. Sedang putrinya,hasil pernikahannya dengan PA III, GBRA. Siti Jaleko, sudah menjadi gadis remaja, kurang lebih berusia 19 tahun.
Begitu menduduki tahta Pakualaman, PA V, seorang yang cerdas, rasional dan ekonom hebat ini, ternyata tidak berdaya mengadapi pesona Gusti Kanjeng, janda kakaknya yany sudah menjanda 14 tahun. PA V pun melamar Gusti Kanjeng, maka menikahlah keduanya dengan mulus. Dengan demikian dalam tradisi Jawa, PA V, mengikuti jejak PA III, naik ranjang karena menikahi janda kakaknya. Tetapi pernikahan keduanya sudah dalam usia  sekitra 53 tahun, sehingga bagi Gusti Kanjeng tak mungkin lagi mempersembahkan keturunan bagi PA V.
Akan tetapi GBRA. Siti Jaleko, bukan hanya gadis cantik dan cekatan seperti ibunya, Dia juga cerdas seperti ayahnya PA III. Saat itu dia sedang mekar sebagai kembang Kadipaten Pakualaman. Banyak Pangeran yang mulai berminat untuk meminangnya. Tetapi siapakah Arjuna yang beruntung memetik kembang Pakualaman itu ?. Dia lah  RM. Noto Kusumo,  putra mahkota dan putra PA V. Akhirnya Gusti Kanjeng dan PA V, bukan hanya bersatus sebagai suami istri, mereka berdua juga berbesanan, karena  anak-anak bawaan mereka saling menikah. Kemungkinan besar mereka menikah pada tahun 1879 M, satu tahun setelah pernikahan orang tua mereka. Putra pertama mereka lahir tidak lama kemudian dan diberi nama RM. Sutarjo, kelak menjadi Paku Alam VII(1907 -1938 M).
PA  V menduduki tahta cukup lama, kurang lebih 22 tahun (1878- 1900 M ). Tugas berat ada di pundaknya. Ia harus menyelesaikan hutang-hutang yang ditinggalkan pendahulunya, PA IV, memperbaiki manajemen tatakelola keuangan dan pemerintahan Kadipaten agar dapat bertahan pada era awal Revolusi Industri di Jawa pada masa Kebijakan Ekonomi Liberal  berbasis sistem produksi kapitalis yang dilaksanakan Pemerintah Hindia Belanda.
Nampaknya PA V seorang adminstaror yang cakap, berpikir rasional, bekerja efisien. Dia banyak melakukan efisiensi, melakukan penghematan dan pengetatan anggaran, modernisasi manajemen keuangan. Dalam waktu kurang dari sepuluh tahun, keuangan Kadipaten Pakualaman yang nyaris bangkrut karena terbelit  hutang dengan bunga gila-gilaan dari para rentenir, mulai pulih dan menjadi sehat kembali. Para Pangeran dan Kerabat Pakualaman, kembali hidup normal dan sejahtera. Salah satu tindakan yang berani adalah membubarkan Legiun Pakualaman, karena dianggapnya pemborosan dan hanya dimanfaatkan oleh Belanda untuk berperang melawan bangsanya sendiri, yaitu memadamkan setiap aksi protes atau pemberontakan yang muncul melawan pemerintah Hindia Belanda.
Dalam menata manajemen keuangan  kadipaten, PA III mempunyai tangan kanan  yang dapat diandalkan  yakni putranya  Pangeran Noto Dirojo ( 1858 – 1913 M ). Pangeran alumnus HBS dan sahabat karib  dr.Wahidin Sudiro Husodo ini, mewarisi bakat ayahnya yang menonjol dalam bidang ekonomi, keuangan dan manajemen. Tidak heran bila Ki Hadjar Dewantara memuji keduanya sebagai ekonom Kadipaten Pakualaman yang hebat.
Paku Alam V memang tertarik pada modernisasi, rasionalitas, intelektualitas Barat. Nampaknya PA V ini tertarik pada modernisasi Barat model Inggris  seperti halnya ayah dan kakeknya, daripada modernisasi Barat model Belanda yang cenderung konservatif dan ortodoks.Tetapi memang bagi PA V tak ada jalan lain kecuali mempelajari modernisasi Barat lewat Belanda. Pandangannnya terhadap pendidikan Barat,  sejalan dengan PA IV,  pendahulunya.  PA V juga giat mengirimkan putra-putranya untuk menuntut ilmu di sekolah-sekolah Belanda. Tidak heran bila putra-putra PA V banyak yang menonjol dan  kelak banyak pula yang terjun ke dunia pergerakan nasional. Selain putra Mahkota  GPH. Natakusumo dan adiknya Pangeran Noto Dirojo, putra PA V yang lan adalah Kusumo Yudo. Kelak Kusumo Yudo  yang berhasil meraih gelar kesarjanannya di Negeri Belanda, diangkat pemerintah menjadi Bupati Madiun dan Anggota Volksraad (1918 M ). Sedangkan P. Noto Dirojo, ekonom Paku Alam ini, pernah menjabat sebagai Ketua Umum Budi Utomo ( 1911 – 1913 M ). Cucu-cucu PA V juga  giat menntut ilmu di Negeri Belanda, antara lain RM. Surtio dan RM. Noto Suroto. RM. Noto Suroto adalah  seorang sastrawan dan seniman yang mencipta dalam bahasa Belanda maupun Jawa dan aktif mendirikan Perkumpulan Mahasiswa Hindia Belanda di Negeri Belanda , Yakni Indische Vereeneging(IV), yang kelak berubah menjadi Perhimpunan Indonesia ( 1924 M ).
Karena kegemarannya mendalami bahasa, sastra dan kebudayan Belanda dan banyak mencipta karya-karya sastra dalam bahasa Belanda, Sastrawan Sutan Takdir Alisyahbana pernah mengejeknya sebagai sastrawan Jawa yang kurang nasionalis. Tuduhan Takdiir , sastrawan Pujangga Baru itu, sebenarnya terlalu dini dan mengada-ada.  Sebab dari sisi positip, kita melihat bahwa, bukan hanya orang Belanda saja yang bisa menjadi ahli dalam bahasa-bahasa Nusantara, seperti Jawa, Sunda, Batak, Bali, Minang dan Toraja. Tetapi ada juga orang Jawa  Pribumi Hindia Belanda yang ternyata bisa menjadi ahli dalam bahsa, kesusastraan dan kebudayaan Belanda. Kebudayaan dari bangsa yang menjajahnya.
Seperti PA IV,  PA V juga tidak meninggalkan karya sastra. Karena waktunya dihabian ntuk memperbaiki manajemen keuangan dan tata pemerintahan Kadipatennya. Namun demikian paruh ke dua dari masa pemerintahan PA V, dia mulai memperhatikan kembali soal-soal keseniaan yang menjadi tradisi dari Kraton Pakualaman. Pa V gemar mementaan  pagelaran wayang kulit dan drama tari di Pendopo Pakualaman.
Salah satu drama tari gubanhannya yang terkenal adalah Kisah Banjaran Sari yang amat populer dilakangan anak-anak. Rupanya pementasan lagu dolanan, drama Joko Tingkir dan kisah-kisah lain yang bersumber dari Babad Tanah Jawi yang banyak dipentaan di Pendopo Tamansiswa yang masih sering kita saksikan dewasa ini, jika dilacak akar-akarnya  berasal dari tradisi pementasan drama  tari Banjaran Sari  yang secara rutin di pentasakan di Pendopo Pakualaman pada masa PA V.
Memang pada masa PA V inilah, Ki Hajara Dewantara di lahirkan dan melewati masa kanak-kanaknya  sampai menjelang tamat ELS Bintaran.
Pada tahun 1900 M, setelah bertahta selama 22 tahun, Raja Pembaharu dan Refarmator Kadipaten Pakualaman ini, wafat  pada usia yang cuku lanjut untuk ukuran Raja Jawa, 75 tahun. Putra Mahkota, KPA.Noto Kusumo dinobatkan sebagai Paku Alam VI.

3.6  Paku Alam VI ( 1900 – 1902 M ).
Paku Alam  VI, naik tahta pada usia sekitar 45 tahun,  didampingi istrinya BRAyu Siti Jaleko, yang berusia sekitar 41 tahun. RM. Sutarjo , putra mahkota, sudah berusia sekitar 20 tahun dan tengah menuntut ilmu di HBS Semarang. Saat naik tahta, Paku Alam VI dalam kondisi sakit-sakitan, hingga tidak banyak karyanya baik dibidang pemerintahan maupun kesusastraan. Pengendali utama pemerintahan Kadipaten Pakualaman adalah adiknya, Pangeran Noto Dirojo. Karena Pangeran Noto Dirojo, adalah birokrat Jawa yang cakap, maka pada masa Paku Alam V, Kadipaten Paku Alama relatif stabil, sekalipun Sang Raja dalam keadaan gering.
Kegiatan dalam bidang kesusastraan justru dimototi oleh permaisari BRAyu Paku Alam VI, yakni BRAyu Siti Jaleko, wanita cendekia  yang mewarisi bakat sastra dari ayahnya, PA III. Ki Hadjar Dewantara sempat mencatat karya bibinya itu yang telah menyelesaikan Kitab Babad Pakualaman. Untuk menyelesaikan proyeknya itu, BRAyu  Siti Jaleko dibantu oleh dua orang abdi dalem Pakualaman yang cakap dalam bidang kesusastraan  yakni Raden R. Jayeng utara dan R. Panji Jayeng prana. ( KHD ; 1967 : 309 ).
 Ahli sastra dan sejarah jawa yang lain yang berpasangan dengan BRAyu Siti Jaleko, adalah kakaknya BRAyu Noto Taruno. Dia  juga seorang wanita cendekia dari Pakualaman yang rupanya juga mewarisi bakat sastra dari ayahnya, PA III. Di tangan BRAyu Noto Taruno, Perpustakaan Paku Alama di kelola dengan sangat baik. Ki Hadjar Dewantara dalam salah satu tulisanny, memuji adik ayahnya itu sebagai satu-satunya  wanita  pada jamannya yang paling menguasai Babad Tanah Jawa. Ingatannya tajam luar biasa, sehingga hal-hal yang sekecil apapun dari   kisah raja-raja  Demak dan Mataram yang dimuat dalam Babad Tanah Jawi, tidak luput dari   memori ingatannya.
Pada tahun 1902 M, setelah beruasa hampir dua tahun, PA VI pun wafat. Karena  Putra Mahkota RM. Sutarja tengah melanjutkan pendidikannya di HBS Semarang, kemudian melanjutkan ke Sekolah Gymnasium Willem III di Batavia, maka dibentuk suatu Dewan Wali untuk menangani urusan pemerintahan Kadipaten Pakualaman. Dewan Wali dipimpin Pangeran Noto Dirojo, dan salah seorang anggotanya adalah KPG. Sasraningrat, ayah Nyi.Hadjar Dewantara. Tetapi mertua Ki Hadajar Dewantara ini, tak lama menjabat anggota Dewan Wali, karena pada tahun 1904 M, wafat mendahului kakaknya KPG. Suryaningrat, ayah Ki Hadjar Dewantara .

3.7 Paku Alam VII (1907 – 1938 M).
Pada tahun 1907 M, RM. Sutarjo dinobatkan sebagai Paku Alam VII ( 1907 – 1938 M ). Putra BRA Ayu Siti Jaleko dan Paku Alam VI ini, bertahta cukup lama juga, 31 tahun. Pada masanya, Pemerintah Hindia Belanda menjalankan Kebijakan Politek Etis. Pada masa ini  muncul pergerakan nasional  dengan bebagai hingar bingarnya dalam panggung sejarah selama empat dasa warsa awal abad 20 M yang dinamis, dari yang menuntut otonomi bagi bangsa Hindia maupun yang menuntut kemerdekaan penuh lepas dari penjajahan Belanda. Dalam hingar bingar gerakan nasionalisme itu, para ksatria Pakualaman ikut serta dalam perjalanan arus besar bangsa, bahkan ikut ambil peranan di dalamnya. Pada  masa Paku Alam VII inilah  Perguruan Tamansiswa didirikan (1922 M), yang di gagas oleh pendirinnya Ki Hadjar Dewantara sebagai tempat menyemai  anak-anak bangsa yang berjiwa  nasionalisme yang patrotik, demokratik, kulturalik, humanistik dan religius.[Bersambung]


Tidak ada komentar:

Posting Komentar