3.3
Paku Alam III ( 1858 – 1866 M )
Seperti
ayah dan kakeknya, Raja muda kelahiran tahun 1824 M ini, memiliki bakat dalam bidang kesusastraan. Dalam usianya yang
relatip masih muda, dia sudah menghasilkan karya sastra religius yang berbobot
, antara lain Kitab Darmowirayat, Serat
Ambiya Yusuf, dan Serat Piwulang.
Menurut Ki Hadjar Dewantara yang sudah sejak masa remaja gemar membaca
kitab-kitab sastra karya para pujangga dan sastrawan dari Pakualaman, kitab Darmo
Wirayat merupakan kitab yang paling baik dan indah. Bukan hanya dari segi
keindahan bahasanya. Tetapi juga dari bobot kandungan isinya.
Pada
saat Paku Alam III naik tahta, dia sudah memiliki seorang permaisuri, BRA. Paku
Alam III, putri dari seorang bangsawan tinggi pula yang berasal dari Kraton
Yogya, BPA.Puger, putra dari SHB II. Dari permaisuri PA III dikarunia dua orang
putra yakni GPA. Suryaningrat dan GPA.
Sasraningrat. Ketika PA III naik tahta, kedua putra dari permaisurinya, BRA.Paku Alam III, masih
kecil-kecil. Bila kita anggap
PA III menikah pada usia 20 tahun, dan putra pertamanya lahir saat berusia 24
tahun, maka saat PA III naik tahta(usia 34 tahun), putra sulunnya, GPA.
Suryaningrat baru bersia sekitar 10-11
tahun. Dan adiknya, GPA.Sasraningrat, baru berusia 6-7 tahun. Pada umumnya
secara rata-rata Ksatria Jawa menikah
pada usia muda, yakni saat dia berusia
antara windu ke 2 dan ke-3, yakni pada usia antara 18 – 24 tahun. Dan putra
pertamanya rata-rata lahir saat dia berusia 24 tahun. Ki Hadjar Dewantara sendiri menikah pada saat usianya 18 tahun (2007 M ). Dan baru punya putra saat
usianya 25 tahun (1914 M), suatu usia yang agak terlambat untuk ukuran ksatria
Jawa.
Rupanya
BRA.Pakualam III, Sang Permaisuri, hanya sebentar menikmati kedudukannya
sebagai permaisuri. Sebab, prahara tiba-tiba datang melanda rumah tangganya.
Begitu naik tahta. GPA. Suryo Sasraningrat itu yang kemudian bergelar PA III, jatuh
cinta pada janda istri kakaknya,Gusti Kanjeng,
wanita yang energik, cantik dan cerdas itu. Maka PA III segera melamar janda satu anak dari
kakaknya, BRA. Nataningprang atau Gusti Kanjeng. Sebenarnya bagi istri para
ksatria Jawa, dimadu pada jaman itu, adalah hal yang biasa. Apalagi posisi Gusti Kanjeng, setelah diperistri PA III hanyalah sebatas Istri Padmi atau istri kedua bukan
Istri Utama atau Permaisuri. Tetapi rupanya BRA. Paku Alam III, sangat tidak senang dan merasa tidak akan sanggup bersaing
memperebutkan cinta Paku Alam III. Akibatnya, putri bangsawan tinggi dari Pugeran itu, memilih cerai dan kembali
ke rumah orang tuanya. Putranya GPA. Suryaningrat yang sulung ditingal di
Istana. Tetapi anak yang keduanya yang
masih kecil, berusia sekitar 6-7 tahun, dibawanya serta ke Pugeran.
Hal
yang sebaliknya terjadi pada Gusti Kanjeng. Kini posisinya naik. Sekalipun
bukan permaisuri, tetapi karena kecantikannya dan kecakapannya, dia mengambil
alih posisi sebagai istri permaisuri, mendampingi PA III mengendalikan roda
pemerintahan Kadipaten Pakualaman. Dalam tradisi Jawa, pernikahan PA III dengan
janda kakaknya itu disebut naik ranjang
bagi PA III. Dari perkawinannya itu, mereka dikarunia seorang putri yang juga
cantik dan cerdas luar biasa yang diberi nama BR Ajeng Siti Jaleko. Jaleko adalah terjemahan ke dalam bahasa Jawa dari
bahasa Arab Juleha, yang artinya amat cantik. Karena PA III naik tahta pada
tahun 1858 M, dan langsung menikahi janda kakaknya itu, maka BRA. Siti Jaleko,
besar kemungkinan lahir pada tahun 1859 M, satu tahun setelah pernikahan kedua
orang tuanya. Dengan lahirnya putri kesayangan mereka itu, maka ikatan
kekeluargaan Gusti Kanjeng dengan PA III menjadi semakin kuat dan erat. Boleh
dikatakan Gusti Kanjeng semakin berpengaruh dalam urusan rumah tangga Istana Pakualaman. Putranya
RM. Nataningrat, saat itu usinya diperkirakan 18 tahun, dinaikkan
pangkatnya dengan mendapat gelar GPA. Suryo Sasraningrat II. Diam-diam kemenakan PA III dan putra kakaknya itu
diangkat jadi putra mahkota.
Memang
posisi GPA. Suryaningrat dan adiknya
GPA. Sasraningrat serba sulit. Sehingga nampaknya takdir memang
manjauhkannya dari posisinya sebagai
pewaris tahta. GPA. Suryaningrat, terlahir dalam keadaan tuna netra,
sehingga peluang untuk menduduki tahta kerajaan gugur dengan sendirinya.
Adiknya GPA. Sasraningat, dibawa ibunya ke Pugeran hingga praktis menjauh
dari ayahnya PA III dan lingkaran dalam
Istana Pakualaman. Karena itu posisi RM.Nataningrat di kalangan istana memang menguat. Dia lah kandidat
pewaris tahta yang paling dekat.
Menurut
Darsiti Soeratman, PA III mempunyai tujuh orang
putra dan putri dari sejumlah istrinya, yakni :
1. KPH Purwoseputra
2. BRMH Suryohudoyo
3. KPH Suryaningrat(Ayah Ki Hadjar Dewantara)
4. BRMH Suryokusumo
5. BRAyu. Nototaruno
6. GPH Sasraningrat (Ayah Nyi Hadjar Dewantara )
7. GBR Ayu Adipati Paku Alam VI.
(
Darsiti Suratman ; 1985 : 3).
GBR
Ayu Adipati Paku Alam VI adalah GBR Ajeng Siti Jaleko, putri bungsu PA III dari istrinya Gusti Kanjeng.
PA
III hanya menduduki tahta Pakualaman tidak
terlalu lama. Setalah enam tahun menduduki tahta, pada tahun 1864 N, PA III wafat
dalam usia yang relatip muda, 40 tahun .
RM.Nataningrat,
putra Gusti Kanjeng yang begelar GPA.
Surya Sasraningrat II, naik tahta dan bergelar Paku Alam IV.
3.4. Paku Alam IV ( 1864 -1876 M )
Ketika
Pangeran Muda ini naik tahta, sebenarnya
usianya masih amat muda baru 24 tahun. Karena itu, dapat dimengerti bila
wawasan kenegaraannya, pandangan hidupnya, filsafatnya dan wawasan
kebudayaannya, belum begitu mendalam. Raja muda ini cenderung tertarik pada
hal-hal yang bersifat material kebendaan, hedonis, cenderung boros, gemar pesta
pora, dan mengagungkan aspek-aspek lahiriyah. Dia terpukau dengan kebudayaan
sampah Eropa yang dibawa Belanda, seperti pesta pora dansa dansi dan
mabok-mabokan.
Berbeda
dengan raja para pendahulunya yang
rata-rata anti Belanda, PA IV justru amat dekat dengan Belanda. Pada masa pemerintahannya yang
berlangsung cukup lama, 14
Sumber:Wikipedia
|
Memang
ada perhatian sedikit pada seni tari. Tetapi itu pun seni tari dan drama
Eropa.konon, pernah dia menciptakan sejenis tari beksan adaptasi tari Eropa,
tetapi tidak berkembang. Namun begitu, perhatian terhadap pendidikan dan
modernisasi Eropa cukup menonjol. Dia lah Raja Paku Alam yang memelopori pendidikan barat bagi
keluarganya. Mulai ada dari keluarganya yang dikirimkan belajar ke negeri
Belanda. Pegawainya ada yang dikirim untuk belajar di sekolah guru Kweek School
di Magelang dan ada pula yang dikirim untuk belajar di sekolah bidan di Batavia.
Dengan
adanya pegawai-pegawai yang mulai di kirim ke sekolah guru, PA IV telah
memelopori pendidikan barat yang dilaksanakan untuk keluarga Pakualaman. Dapat
dipastikan Paku Alam IV telah memelopori pelaksanaan pendidikan barat di
lingkungan kraton, sebagaiman juga dilakukan oleh para Bupati yang berpikiran
maju untuk mendirikan sekolah-sekolah model barat di lingkungan kabupatennya.
Kegiatan
yang juga menonjol selama masa PA IV
berkuasa, adalah kegemarannya untuk terus menerus melakukan pembangunan fisik
dilingkunag Kraton Pakualaman. Sayangnya proyek-proyek mercuasuarnya untuk
memperindah bangunan fisik lingkungan Paku Alalam itu, dilakukan dengan
mengandalkan utang dengan bunga yang cukup tinggi. Kemungkinan kebijakan ini,
akibat dari dorongan sahabat-sahabat Belandanya yang gemar berpesta pora di
Kraton Pakualaman, tetapi sekaligus menjadi penyandang dana dengan bunga
selangit. Pada masa pelaksanaan Politik
Ekonomi Liberal di Hindia Belanda itu (1870 – 1900 M), banyak pula birokrat
Belanda yang merangkap menjadi rentenir, bersaing dengan orang-orang China. Dan
sasaran empuknya adalah para priyayi dan pangeran Jawa yang berwatak lemah, gemar foya-foya dan pesta
pora seperti halnya PA IV. Dapat dipahami, bahwa dalam waktu singkat, keuangan
Kadipaten Pakualaman nyaris bangkrut, terbelit oleh utang. Pada saat akhir kekuasaan PA IV, hampir seluruh kelaurga Pakualaman
amat menderita, karena tunjangan-tunjangan untuk para pangeran dan gaji
pewgawai kraton yang biasa mereka
terima, menjadi tersendat-sendat dan tak menentu. Pada tahun 1878 M, setelah
berkuasa hampir 14 tahun, PA III wafat dengan meninggalkan warisan hutang yang
berat bagi penggantinya.
Beruntung Kadipaten Pakualaman masih punya tokoh kuat
yang menurut Ki Hadjar Dewantara adalah satusatunya ahli ekonomi Pakualaman.
Kepada Pangeran yang sudah tida muda
lagi inilah masa depan keuangan Pakualaman hang nyaris bangkrut, dibebankan
keatas pundaknya. Dia adalah Pangeran Suryadilogo, adik dari PA III, tetapi
lain ibu.
3.5 Paku Alam V ( 1878 – 1900 M ).
Ketika
PA V naik tahta dia sudah bersuia di atas lima puluh tahun. Kemungkinan usianya
sekitar 53 tahun. Nampaknya usia KPA.
Suryodilogo dengan kakaknya PA III
hampir seusia, karena mereka berdua beda ibu. Dengan sendirnya saat naik tahta
, putranya pertamanya, RM. Noto Kusumo, sudah memasuki usia rema.
RM.Notokusumo, mengambil nama kakek
buyutnya yakni Pangeran Noto Kusumo,
pendiri Kadipaten PakualamanI. Sementara itu Gusti Kanjeng, usianya sudah
sekitar 53 tahun, sudah menjadi janda yang ke dua selama 14 tahuh, yaitu selama
putranya PA IV menduduki tahta Pakualaman. Sedang putrinya,hasil pernikahannya
dengan PA III, GBRA. Siti Jaleko, sudah menjadi gadis remaja, kurang lebih
berusia 19 tahun.
Begitu
menduduki tahta Pakualaman, PA V, seorang yang cerdas, rasional dan ekonom
hebat ini, ternyata tidak berdaya mengadapi pesona Gusti Kanjeng, janda
kakaknya yany sudah menjanda 14 tahun. PA V pun melamar Gusti Kanjeng, maka menikahlah
keduanya dengan mulus. Dengan demikian dalam tradisi Jawa, PA V, mengikuti
jejak PA III, naik ranjang karena menikahi janda kakaknya. Tetapi pernikahan
keduanya sudah dalam usia sekitra 53
tahun, sehingga bagi Gusti Kanjeng tak mungkin lagi mempersembahkan keturunan
bagi PA V.
Akan
tetapi GBRA. Siti Jaleko, bukan hanya gadis cantik dan cekatan seperti ibunya,
Dia juga cerdas seperti ayahnya PA III. Saat itu dia sedang mekar sebagai
kembang Kadipaten Pakualaman. Banyak Pangeran yang mulai berminat untuk
meminangnya. Tetapi siapakah Arjuna yang beruntung memetik kembang Pakualaman
itu ?. Dia lah RM. Noto Kusumo, putra mahkota dan putra PA V. Akhirnya Gusti
Kanjeng dan PA V, bukan hanya bersatus sebagai suami istri, mereka berdua juga
berbesanan, karena anak-anak bawaan
mereka saling menikah. Kemungkinan besar mereka menikah pada tahun 1879 M, satu
tahun setelah pernikahan orang tua mereka. Putra pertama mereka lahir tidak
lama kemudian dan diberi nama RM. Sutarjo, kelak menjadi Paku Alam VII(1907
-1938 M).
PA V menduduki tahta cukup lama, kurang lebih 22
tahun (1878- 1900 M ). Tugas berat ada di pundaknya. Ia harus menyelesaikan
hutang-hutang yang ditinggalkan pendahulunya, PA IV, memperbaiki manajemen
tatakelola keuangan dan pemerintahan Kadipaten agar dapat bertahan pada era awal
Revolusi Industri di Jawa pada masa Kebijakan Ekonomi Liberal berbasis sistem produksi kapitalis yang
dilaksanakan Pemerintah Hindia Belanda.
Nampaknya
PA V seorang adminstaror yang cakap, berpikir rasional, bekerja efisien. Dia
banyak melakukan efisiensi, melakukan penghematan dan pengetatan anggaran,
modernisasi manajemen keuangan. Dalam waktu kurang dari sepuluh tahun, keuangan
Kadipaten Pakualaman yang nyaris bangkrut karena terbelit hutang dengan bunga gila-gilaan dari para
rentenir, mulai pulih dan menjadi sehat kembali. Para Pangeran dan Kerabat Pakualaman,
kembali hidup normal dan sejahtera. Salah satu tindakan yang berani adalah
membubarkan Legiun Pakualaman, karena dianggapnya pemborosan dan hanya
dimanfaatkan oleh Belanda untuk berperang melawan bangsanya sendiri, yaitu memadamkan
setiap aksi protes atau pemberontakan yang muncul melawan pemerintah Hindia
Belanda.
Dalam
menata manajemen keuangan kadipaten, PA
III mempunyai tangan kanan yang dapat
diandalkan yakni putranya Pangeran Noto Dirojo ( 1858 – 1913 M ). Pangeran
alumnus HBS dan sahabat karib dr.Wahidin
Sudiro Husodo ini, mewarisi bakat ayahnya yang menonjol dalam bidang ekonomi,
keuangan dan manajemen. Tidak heran bila Ki Hadjar Dewantara memuji keduanya
sebagai ekonom Kadipaten Pakualaman yang hebat.
Paku
Alam V memang tertarik pada modernisasi, rasionalitas, intelektualitas Barat.
Nampaknya PA V ini tertarik pada modernisasi Barat model Inggris seperti halnya ayah dan kakeknya, daripada
modernisasi Barat model Belanda yang cenderung konservatif dan ortodoks.Tetapi
memang bagi PA V tak ada jalan lain kecuali mempelajari modernisasi Barat lewat
Belanda. Pandangannnya terhadap pendidikan Barat, sejalan dengan PA IV, pendahulunya.
PA V juga giat mengirimkan putra-putranya untuk menuntut ilmu di
sekolah-sekolah Belanda. Tidak heran bila putra-putra PA V banyak yang menonjol
dan kelak banyak pula yang terjun ke
dunia pergerakan nasional. Selain putra Mahkota
GPH. Natakusumo dan adiknya Pangeran Noto Dirojo, putra PA V yang lan
adalah Kusumo Yudo. Kelak Kusumo Yudo
yang berhasil meraih gelar kesarjanannya di Negeri Belanda, diangkat
pemerintah menjadi Bupati Madiun dan Anggota Volksraad (1918 M ). Sedangkan P.
Noto Dirojo, ekonom Paku Alam ini, pernah menjabat sebagai Ketua Umum Budi
Utomo ( 1911 – 1913 M ). Cucu-cucu PA V juga
giat menntut ilmu di Negeri Belanda, antara lain RM. Surtio dan RM. Noto
Suroto. RM. Noto Suroto adalah seorang
sastrawan dan seniman yang mencipta dalam bahasa Belanda maupun Jawa dan aktif
mendirikan Perkumpulan Mahasiswa Hindia Belanda di Negeri Belanda , Yakni
Indische Vereeneging(IV), yang kelak berubah menjadi Perhimpunan Indonesia (
1924 M ).
Karena
kegemarannya mendalami bahasa, sastra dan kebudayan Belanda dan banyak mencipta
karya-karya sastra dalam bahasa Belanda, Sastrawan Sutan Takdir Alisyahbana
pernah mengejeknya sebagai sastrawan Jawa yang kurang nasionalis. Tuduhan
Takdiir , sastrawan Pujangga Baru itu, sebenarnya terlalu dini dan
mengada-ada. Sebab dari sisi positip,
kita melihat bahwa, bukan hanya orang Belanda saja yang bisa menjadi ahli dalam
bahasa-bahasa Nusantara, seperti Jawa, Sunda, Batak, Bali, Minang dan Toraja.
Tetapi ada juga orang Jawa Pribumi
Hindia Belanda yang ternyata bisa menjadi ahli dalam bahsa, kesusastraan dan
kebudayaan Belanda. Kebudayaan dari bangsa yang menjajahnya.
Seperti
PA IV, PA V juga tidak meninggalkan
karya sastra. Karena waktunya dihabian ntuk memperbaiki manajemen keuangan dan
tata pemerintahan Kadipatennya. Namun demikian paruh ke dua dari masa
pemerintahan PA V, dia mulai memperhatikan kembali soal-soal keseniaan yang
menjadi tradisi dari Kraton Pakualaman. Pa V gemar mementaan pagelaran wayang kulit dan drama tari di
Pendopo Pakualaman.
Salah
satu drama tari gubanhannya yang terkenal adalah Kisah Banjaran Sari yang amat
populer dilakangan anak-anak. Rupanya pementasan lagu dolanan, drama Joko
Tingkir dan kisah-kisah lain yang bersumber dari Babad Tanah Jawi yang banyak
dipentaan di Pendopo Tamansiswa yang masih sering kita saksikan dewasa ini,
jika dilacak akar-akarnya berasal dari
tradisi pementasan drama tari Banjaran
Sari yang secara rutin di pentasakan di
Pendopo Pakualaman pada masa PA V.
Memang
pada masa PA V inilah, Ki Hajara Dewantara di lahirkan dan melewati masa
kanak-kanaknya sampai menjelang tamat
ELS Bintaran.
Pada
tahun 1900 M, setelah bertahta selama 22 tahun, Raja Pembaharu dan Refarmator
Kadipaten Pakualaman ini, wafat pada
usia yang cuku lanjut untuk ukuran Raja Jawa, 75 tahun. Putra Mahkota, KPA.Noto
Kusumo dinobatkan sebagai Paku Alam VI.
3.6 Paku
Alam VI ( 1900 – 1902 M ).
Paku
Alam VI, naik tahta pada usia sekitar 45
tahun, didampingi istrinya BRAyu Siti
Jaleko, yang berusia sekitar 41 tahun. RM. Sutarjo , putra mahkota, sudah
berusia sekitar 20 tahun dan tengah menuntut ilmu di HBS Semarang. Saat naik
tahta, Paku Alam VI dalam kondisi sakit-sakitan, hingga tidak banyak karyanya
baik dibidang pemerintahan maupun kesusastraan. Pengendali utama pemerintahan
Kadipaten Pakualaman adalah adiknya, Pangeran Noto Dirojo. Karena Pangeran Noto
Dirojo, adalah birokrat Jawa yang cakap, maka pada masa Paku Alam V, Kadipaten
Paku Alama relatif stabil, sekalipun Sang Raja dalam keadaan gering.
Kegiatan
dalam bidang kesusastraan justru dimototi oleh permaisari BRAyu Paku Alam VI, yakni BRAyu Siti Jaleko, wanita cendekia yang mewarisi bakat sastra dari ayahnya, PA
III. Ki Hadjar Dewantara sempat mencatat karya bibinya itu yang telah
menyelesaikan Kitab Babad Pakualaman. Untuk menyelesaikan proyeknya itu,
BRAyu Siti Jaleko dibantu oleh dua orang
abdi dalem Pakualaman yang cakap dalam bidang kesusastraan yakni Raden R. Jayeng utara dan R. Panji
Jayeng prana. ( KHD ; 1967 : 309 ).
Ahli sastra dan sejarah jawa yang lain yang
berpasangan dengan BRAyu Siti Jaleko, adalah kakaknya BRAyu Noto Taruno.
Dia juga seorang wanita cendekia dari Pakualaman
yang rupanya juga mewarisi bakat sastra dari ayahnya, PA III. Di tangan BRAyu
Noto Taruno, Perpustakaan Paku Alama di kelola dengan sangat baik. Ki Hadjar
Dewantara dalam salah satu tulisanny, memuji adik ayahnya itu sebagai
satu-satunya wanita pada jamannya yang paling menguasai Babad
Tanah Jawa. Ingatannya tajam luar biasa, sehingga hal-hal yang sekecil apapun
dari kisah raja-raja Demak dan Mataram yang dimuat dalam Babad
Tanah Jawi, tidak luput dari memori ingatannya.
Pada
tahun 1902 M, setelah beruasa hampir dua tahun, PA VI pun wafat. Karena Putra Mahkota RM. Sutarja tengah melanjutkan
pendidikannya di HBS Semarang, kemudian melanjutkan ke Sekolah Gymnasium Willem
III di Batavia, maka dibentuk suatu Dewan Wali untuk menangani urusan
pemerintahan Kadipaten Pakualaman. Dewan Wali dipimpin Pangeran Noto Dirojo,
dan salah seorang anggotanya adalah KPG. Sasraningrat, ayah Nyi.Hadjar
Dewantara. Tetapi mertua Ki Hadajar Dewantara ini, tak lama menjabat anggota
Dewan Wali, karena pada tahun 1904 M, wafat mendahului kakaknya KPG.
Suryaningrat, ayah Ki Hadjar Dewantara .
3.7 Paku Alam VII (1907 – 1938 M).
Pada
tahun 1907 M, RM. Sutarjo dinobatkan sebagai Paku Alam VII ( 1907 – 1938 M ).
Putra BRA Ayu Siti Jaleko dan Paku Alam VI ini, bertahta cukup lama juga, 31
tahun. Pada masanya, Pemerintah Hindia Belanda menjalankan Kebijakan Politek
Etis. Pada masa ini muncul pergerakan
nasional dengan bebagai hingar bingarnya
dalam panggung sejarah selama empat dasa warsa awal abad 20 M yang dinamis,
dari yang menuntut otonomi bagi bangsa Hindia maupun yang menuntut kemerdekaan
penuh lepas dari penjajahan Belanda. Dalam hingar bingar gerakan nasionalisme
itu, para ksatria Pakualaman ikut serta dalam perjalanan arus besar bangsa,
bahkan ikut ambil peranan di dalamnya. Pada
masa Paku Alam VII inilah
Perguruan Tamansiswa didirikan (1922 M), yang di gagas oleh pendirinnya
Ki Hadjar Dewantara sebagai tempat menyemai
anak-anak bangsa yang berjiwa nasionalisme yang patrotik, demokratik,
kulturalik, humanistik dan religius.[Bersambung]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar