Pernyataan
Asas Tamansiswa 1922 M itu, berisi
sejumlah gagasan besar sbb:
1. Gagasan tentang Hak Asasi Manusia dan Kewajiban
Asasi Manusia.
Alinea
pertama dari Pernyataan Asas Tamansiswa 1922 diawali dengan kalimat sebagai
berikut, ”Hak seseorang untuk mengatur dirinya sendiri,” jelas merupakan hak
yang paling dasar dan paling eksistensial dari manusia sebagai mahluk ciptaan
Tuhan Yang Maha Esa. Secara eksistensial, manusia adalah mahluk individu.
Sebagai mahluk individu, manusia memiliki hak-hak yang secara kodrati dan alamiah
melekat kepadanya. Hak-hak individu yang merupakan anugerah dari Tuhan YME
kepada setiap individu adalah hak untuk mengatur dirinya sendiri yang terdiri
dari hak-hak untuk memilih pekerjaan, memilih tempat tinggal, memilih keyakinan
dan agama, memilih pasangan hidup, memilih pendidikan dan hak-hak eksistensial
lainnya dari manusia sebagai individu yang bebas dan merdeka.
Kalimat
berikutnya, “dengan mengingat tertib damainya
persatuan dalam perikehidupan umum”, mengandung arti bahwa hak untuk
mengatur dirinya sendiri secara merdeka dan bebas itu, mengandung suatu
kewajiban asasi yang paling dasar dan eksistensial dari manusia sebagai mahluk
sosial. Kewajiban yang asasi itu adalah cara menggunakan kebebasan dan
kemerdekaan sebagai mahluk individu, tidak boleh menggangu kebebasan dan
kemerdekaan individu yang lainnya, sehingga tidak mengancam tertib damainya
persatuan dalam kehidupan bersama sebagai mahluk sosial.
Dengan
demikian Ki Hadjar Dewantara memandang Hak Asasi Manusia bukan hak yang berdiri sendiri. Tetapi Hak
Asasi Manusia berdampingan dengan Kewajiban Asasi Manusia juga. Hak dan
Kewajiban merupakan dua hal yang tidak terpisahkan. Mereka yang mempunyai hak,
otomatis memiliki kewajiban.
2. Gagasan Tentang Masyarakat Yang Tertib Damai.
Dalam alinea
pertama, Pernyataan Asas disebutkan bahwa, tertib damai adalah tujuan yang
setinggi-tingginya yang harus dicapai oleh setiap manusia dalam kehidupan
bersama. Masyarakat yang tertib dan damai adalah masyarakat yang menjunjung
tinggi nilai-nilai keadilan sosial.
Dalam alam gagasan Ki Hadjar Dewantara, tertib yang sebenarnya, tidak boleh
ditimbulkan karena adanya rasa takut dan adanya ancaman kepada setiap individu.
Tertib yang sebenarnya akan muncul hanya jika dalam diri manusia timbul rasa damai yang sesungguhnya, yakni
rasa damai yang timbul bukan karena adanya paksaan dari luar. Tetapi rasa damai
yang muncul akibat dari berlakunya asas keadilan sosial di dalam masyarakat.
Jika di dalam masyarakat berlaku keadilan sosial, maka tidak boleh ada seorang
pun dari anggota masyarakat yang dihalang-halangi, dihambat, atau mengalami
perlakuan yang diskriminatif. Perlakuan diskriminatif bukan hanya dalam
lapangan ekonomi, tetapi dalam lapangan kehidupan yang lainnya. Masyarakat yang
berkeadilan sosial itu, oleh Ki Hadjar Dewantara dilukiskan sebagai suatu
masyarakat yang tertib dan damai. Tertib sebenarnya juga mengandung makna
disiplin dari setiap individu yang sadar sepenuhnya akan kewajibannya sebagai
mahluk sosial. Dengan demikian hukum, peraturan dan undang-undang yang berlaku,
bukanlah alat represif untuk menimbulkan efek jera. Tetapi sekedar alat
preventif untuk mengingatkan setiap individu, betapa pentingnya melaksanakan
kewajiabannya sebagai anggota masyarakat agar hak-haknya sebagai individu dapat
terjamin.
3. Gagasan Kekuatan Kodrati Yang Ada Pada Manusia.
Dalam
alinea pertama Pernyataan Asas disebutkan bahwa bertumbuh menurut kodrat itu
perlu sekali bagi kemajuan yang berjalan secara evolusi, oleh karenanya agar
kemajuan tercapai, harus diciptakan kondisi yang memberikan kemerdekaan,
kebebasan dan keleluasaan yang sebesar-besarnya.
Ki Hadjar
Dewantara memandang bahwa setiap manusia secara kodrati memiliki potensi atau
kekuatan jiwa yang merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa yang pada setiap
individu itu bersifat khas dan unik. Ki Hadjar Dewantara menyebutkan asal kata
kebudayaan itu dari kata budi dan daya. Dengan demikian kebudayaan secara
harfiah mengandung makna usaha-usaha memberdayakan budi yang ada pada diri
manusia, agar manusia dapat mengatasi tantangan alam dan jaman. Budi dalam
terminologi Taxonomi Bloom, disebut kemampuan berpikir yang memiliki tiga
ranah, yakni ranah kognitip, ranah afektip dan ranah psykhomotorik. Dalam paradigma berpikir menurut Danah Zohar
dan Ian Smith, budi identik dengan
kecerdasan yang memiliki tiga jenis kecerdasan, yakni kecerdasan intelektual,
kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual.
Menurut Ki
Hadjar Dewantara dan Para Pujangga Jawa, potensi budi terdiri atas daya cipta,
daya rasa, daya karsa dan daya karya. Apa pun terminologi dan atribut yang
dipakai untuk menggambarkan adanya kekuatan jiwa, budi, kemampuan berpikir
maupun kecerdasan pikiran, para ahli ilmu psykhologi maupun para ahli
pendidikan sepakat, bahwa setiap anak memiliki potensi jiwa yang akan terus
tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan aspek jasmani maupun kejiwaan
anak didik. Perkembangan potensi kejiwaan itu juga berjalan secara evolusi
mengikuti tahap-tahap usia seorang anak
yang terus bertambah menuju tingkat kedewasaan.
Peran yang
harus dijalankan oleh para pendidik, guru, trainer, maupun pemimpin dalam
menyikapi perkembangan potensi anak didik maupun anak buah yang dipimpinnya
adalah mengurangi sebanyak mungkin intervensi yang bisa memperkosa perkembangan
potensi jiwa. Cara yang paling bijaksana, menurut Ki Hadjar Dewantara, setiap
pendidik, pamong, guru, trainer ataupun pemimpin adalah mengambil posisi
sebagai seorang pamong atau pun pengasuh. Peran seorang pamong atau
pengasuh adalah memelihara dengan cara
yang sebaik-baiknya agar perkembangan potensi jiwa itu anak didik dapat tumbuh
secara leluasa dan bebas dalam batas-batas yang tidak membahayakan dirinya
sendiri maupun masyarakat yang ada di lingkungannya. Ki Hadjar Dewantara
memberi nama pendekatan kepada anak didik itu
sebagi Metode Among atau dalam arti yang lebih luas disebut Sistem Among
atau Sistem Tut Wuri Handayani.
Sebenarnya
kata pendidik itu pun awalnya berasal dari kata latin pedagog yang berarti
budak. Para pedagok itu, dalam masyarakat Romawi dan Yunani tempo dulu, diberi
tugas oleh tuannya untuk mengantarkan anak-anak tuannya itu mengantarkan dan
membawa kepada seorang guru yang akan mengajar kepada si anak.Tetapi lama
kelamaan lama kata pedagog naik peringkat karena digunakan untuk menyebut
cabang dari ilmu Filsafat yang membicarakan soal-soal yang berkaitan dengan
paedagogi atau ilmu pendidikan.
4. Gagasan Kepemimpinan Yang Demokratis.
Pada alinea
ke tiga Pernyataan Asas Tamansiswa dijelaskan pentingnya mendidik anak-anak
agar mereka menjadi manusia yang merdeka batinnya, merdeka fikirannya dan
merdeka tangannya. Kembali di sini Ki
Hadjar Dewantara mengemukakan perlunya mendidik anak agar menjadi manusia yang
merdeka. Yakni manusia yang berkembang budi, akal dan kecerdasannya baik yang
menyangkut perkembangan potensi rasa, potensi cipta maupun potensi karsa dan
karya.
Kepemimpinan
yang diperlukan dalam pendidikan agar potensi kodrati anak berkembang secara
merdeka adalah kepemimpinan ang demokratis. Bukan kepemimpinan yang otoriter.
Kepemimpinan yang demokratis itu dikenal sebagai Trilogi Kepemimpinan yang
terdiri dari tiga metode atau tiga cara menjalankan proses kepemimpinan dalam
dunia pendidikan maupun di tengah-tengah masyarakat, yakni:
1.
Tut Wuri
Handayani
2.
Ing Madya Mangun
Karsa
3.
Ing Ngarsa Sung
Tulodo.
Keterangan Gambar : Nyi Suryo Adi Putro, sedang mengajar anak-anak Taman Muda Bandung (1925 - 1929 ). Taman Muda Bandung saat itu bertempat di Cikakak, sekarang Jl.Sudirman.Taman Muda Bandung bekas sekolah Tan Malaka yang dikenal dengan Sekolah Rakyat (SR), yang diserahkan kepada Bung Karno. Dan Bung Karno menyerahkannya pada Ki Hadjar Dewantara/ Tamansiswa.( Lihat Dr.Darsiti Suratman dalam Ki Hadjar Dewantara, terbitan Dep. Pend dan Kebud) Ki Suryo Adi Putra adalah adik Ki Hadjar Dewantara yang ditugaskan untuk menangani SD Tamansiswa Bandung(Taman Muda) yang saat itu masih bertempat di Cikakak yang baru diserahkan Bung Karno, dan disahkan menjadi Cabang Tamansiswa Bandung. Sayang Ki Suryo Adiputro dan istrinya ditarik lagi ke Yogyakarta pada tahun 1929 M. Padahal Taman Muda sedang berkembang dengan baik, berkat asuhan Ki Suryo Adiputro dan istrinya. Bung Karno, menjadi Ketua Majelis Cabang, bersama Ibu Inggit masih tinggal di Jl,Astana Anyar.(Baca buku Manusia Bebas-karya Suwarsih Joyopuspito, istri Sugondo Joyopuspito, Ketua Perguruan Tamansiswa Bandung 1929 - 1936, yang menggantikan Ki Suryo Adiputro. Lihat juga dokumentasi Musium Dewantara Kirti Griya, foto-foto Tamansiswa Bandung pada jaman penjajahan)
5. Gagasan Belajar Secara Mandiri
Pada alinea
kedua Pernyataan Asas Tamansiswa ditegaskan pentingnya anak-anak memiliki
kemampuan belajar secara mandiri. Disebutkan bahwa hendaknya guru jangan hanya
memberikan pengetahuan yang perlu dan baik saja. Akan guru juga harus mendidik
agar si murid mencari sendiri pengetahuan itu dan memakainya guna keperluan
umum.
Kemampuan
belajar mandiri merupakan dasar dari autodidak yang dulu merupakan tradisi yang
sangat berkembang di lingkungan Tamansiswa. Tamansiswa menghargai setara mereka
yang mencapai derajat keilmuan melalui pendidikan formal, bekwamheid. Dengan
mereka yang mencapai derajat keilmuan melaui belajar mandiri atau autodidak yang di lingkungan Tamansiswa
dikenal dengan istilah befuhheid.
Banyak
tokoh-tokoh Tamansiswa yang mencapai derajat keilmuan yang tinggi dan meniti
karirir yang bagus di masyarakat tanpa melalui jenjang pendidikan tinggi. Ki
Moch.Tauhid, Ki Moch.Said, Ki Suratman, Ki Sarino Mangunpranoto, Ki Sarmidi
Mangunsarkoro, BM.Diah dan masih banyak lagi, adalah tokoh-tokoh autodidak.
Ki Sarino
Mangunpranoto misalnya, sempat jadi Menteri Pendidikan dua kali, bahkan meraih
gelar doktor dari IKIP Malang. Ki Moch. Said dan Ki Sarmidi Mangunsarkoro,
pernah juga menjadi Menteri Pendidikan. Sayang tradisi belajar mandiri di
kalangan Tamansiswa sudah lama pudar. Jalur pendidikan formal banyak dianggap sebagai satu-satunya jalan untuk meraih derajat
keilmuan yang tinggi.
Kini konsep
belajar mandiri mulai banyak dijadikan model proses pembelajaran di sejumlah
sekolah dengan aneka macam terminologi, seperti CBSA(Cara Belajar Siswa Aktif),
Revolusi Belajar, Metode Proyek, Metode Siswa Bertanya, Metode Tematik dan
lainnya lagi. Kurikulum 2013 sebenarnya
juga menganut konsep Belajar Mandiri yang sejak semula telah digagas oleh Ki
Hadjar Dewantara dan dulu telah diterapkan dengan sukses di lingkungan sekolah-sekolah
Tamansiswa.
6. Gagasan Paham Kebangsaan dan Ideologi Persatuan.
Pada alinea ke-tiga Pernyataan Asas, Ki Hadjar
Dewantara berbicara mengenai zaman yang akan datang, yang membuat rakyat
kebingungan. Seringkali orang tertipu oleh keadaan yang dipandangnya perlu dan
laras untuk keperluan hidup kita, padahal itu adalah keperluan bangsa asing
yang sukar didapatnya dengan alat penghidupan kita sendiri. Demikianlah kita
acapkali merusak sendiri kedamaian hidup kita.
Di sini Ki
Hadjar Dewantara secara tersirat
mengemukakan gagasan paham kebangsaan, yaitu suatu paham yang membela dan
mementingkan segala alat penghidupan yang ada pada diri kita sendiri yang
berupa nilai-nilai yang mulia yang berasal dari warisan kebudayaan kita dan
peradaban kita pada masa lalu.
Menurut Ki
Hadjar Dewantara, semangat kebangsaan itu timbul dari rasa cinta kepada bangsa
sendiri yang ada pada diri manusia yang timbul secara tidak disadari. Semangat
kebangsaan itu berasal dari rasa cinta diri, yang terbawa dalam pergaulan hidup
manusia, lalu menjelma jadi rasa cinta keluarga, kemudian berkembang menjadi
rasa cinta kepada bangsa sendiri yang hidup bersamanya.
Semangat
kebangsaan itu umumnya terwujud dalam bentuk keinginan yang kuat untuk
melakukan identifikasi, sehingga kepentingan bangsa dianggap kepentingan sendiri
dan nasib bangsa pun dianggap nasib sendiri, kehormatan bangsa dianggap juga
sebagai kehormatan sendiri. Dengan demikian, rasa kebangsaan itu akan
menimbulkan rasa persatuan di antara sesama bangsa sendiri.(Ki Hadjar
Dewantara; Kebudayaan;1967 ).
Namun rasa
cinta kepada bangsa, secara tidak sadar juga akan berkembang menjadi rasa cinta
kepada sesama manusia. Tentu saja ujung dari perkembangan rasa cinta terhadap
sesama manusia dan kemanusiaan itu, akan berakhir pada rasa cinta kepada Tuhan
Yang Maha Esa.
Rasa
kebangsaan pada setiap manusia, yang pada mulanya timbul secara tidak disadari,
jika kepentingan suatu bangsa terdesak oleh kepentingan bangsa lain, maka rasa
kebangsaan itu akan menjelma menjadi semangat persatuan di antara sesama bangsa
sendiri yang berupa kehendak untuk memperjuangkan kepentingan bersama dengan
melawan kepentingan bangsa lain. Bangsa yang terjajah pasti akan bersatu dan
berjuang untuk melawan bangsa yang menjajah dan menuntut hak untuk megatur diri
sendiri. Dari sini perjuangan kemerdekaan dimulai.
Jelaslah
bahwa corak kebangsaan atau nasionalisme yang digagas oleh Ki Hadjar Dewantara bertolak dari semangat persatuan
untuk memperjuangan kemerdekaan, yakni
semangat melepaskan diri dari penjajahan bangsa asing mau pun penjajahan oleh
bangsa sendiri. Nasionalisme yang demikian berbeda dengan nasionalisme
bangsa-bangsa barat yang melahirkan sejumlah peperangan antar bangsa yang
merdeka. Nasionalisme bangsa barat adalah nasionalisme yang sempit yang timbul
dari kepentingan untuk menguasai bangsa lain atau pun keinginan mengungguli
bangsa lain, karena merasa dirinya adalah bangsa yang unggul. Nasionalisme
demikian disebut nasionalisme chauvinistik yang anti kemanusiaan.
Sedangkan
nasionalisme yang digagas Ki Hadjar Dewantara adalah nasionalisme yang anti
penjajahan dan anti penindasan oleh manusia kepada manusia. Corak nasionalisme
yang demikian disebut nasionalisme yang humanis.
7. Gagasan Pendidikan Yang Menolak Pendewaan Terhadapa
Rasio dan Intelek.
Pada aline
ke-3, Pernyataan Asas Tamansiswa, Ki Hadajr Dewantara dengan tegas menolak
suatu pendidikan yang mendewakan rasio dan intelek yang disebutnya sebagai
intelektualisme, yakni suatu pengajaran yang hanya mementingkan terlepasnya
fikiran. Menurut Ki Hadjar Dewantara
intelektualisme hanya akan membawa manusia kepada gelombang kehidupan
yang tidak merdeka.(economishch afhankelijk), serta akan memisahkan kaum
terpelajar dengan rakyatnya.
Perlu
ditegaskan di sini, bahwa penolakan bahkan kecaman Ki Hadjar Dewantara terhadap
pendidikan dan pengajaran yang bersifat intelektualistis, bukan berarti Ki
Hadjar Dewantara menolak pendidikan dan pengajaran yang mencerdaskan pikiran
atau intelek.Yang ditolak oleh Ki Hadjar Dewantara adalah pendidikan yang berat sebelah, yakni
pendidikan dan pengajaran yang hanya menekankan pada aspek perkembangan intelek
secara optimal, tetapi mengabaikan aspek kecerdasan rasa atau kecerdasan
emosional dan mengabaikan aspek kecerdasan karsa, kecerdasan kemauan atau
kecerdasan spritual.
Bagi Ki
Hadjar Dewantara, pendidikan yang utuh adalah pendidikan yang mengembangkan
seluruh potensi jiwa manusia, yang terdiri atas potensi cipta, rasa dan karsa.
Dalam ungkangkapan khas Ki Hadjar Dewantara pendidikan yang tidak
intelektualistis adalah pendidikan yang menjadikan anak didik merdeka
pikirannya, merdeka batinnya dan merdeka tangannya.
Dalam
sejarah pendidikan modern, pendidikan yang intelektualistis memang dianggap
sebagai pendidikan yang usang, dan sudah mulai ditinggalkan oleh para pendidik.
Perang besar yang melanda seluruh dunia, yakni Perang Dunia I(1914 -1918 M) dan
Perang Dunia II( 1942-1945 ), ditengarai sebagai akibat dari pendidikan di
dunia barat yang mendewakan rasio, yang muncul di dunia barat pada abad ke 17
M.
Peletak
dasar-dasar filsafat Rasionalisme adalah seorang filsuf Perancis, Rene
Descartes(1596-1650 M) yang sering disebut-sebut sebagai Bapak Filsafat Modern.
Ungkapannya yang sangat terkenal adalah cogito ergo sum, yang artinya: Aku berpikir, maka aku ada”.
Memang
akibat dari filsafat rasionalisme dan empirisme, dunia sain dan teknologi di
dunia barat maju dengan pesat. Tetapi karena tidak diimbangi dengan nilai-nilai
budi pekerti yang luhur, akibatnya mereka terjebak pada usaha untuk menguasai
hal-hal yang bersifat kebendaan dan pemujaan materi saja. Yang terjadi akhirnya
perang-perang besar antara sesama negara imperialis, yang justru mengancam
perdamaian dunia.
Peringatan
Ki Hadjar Dewantara, bahwa pendidikan yang bercorak intelektualisme, akan
melahirkan gelombang penghidupan yang tidak merdeka, sepenuhnya benar. Tentu
saja gagasan Ki Hadjar Dewantara pada saat itu merupakan gagasan yang radikal
dan revolusioner.(bersambung)
Artikel Lanjutan Klik :
https://wwwtamansiswa.blogspot.co.id/2016/07/mengenang-94-tahun-perguruan-tamansiswa.html
Artikel Lanjutan Klik :
https://wwwtamansiswa.blogspot.co.id/2016/07/mengenang-94-tahun-perguruan-tamansiswa.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar