Entri yang Diunggulkan

Kahyangan Suralaya, Tempat Tinggal Para Dewa

Legenda adalah kisah tentang orang, kejadian, atau peristiwa yang dibuat berdasarkan fantasi dengan maksud untuk menimbulkan kekaguman...

Sabtu, 02 Juli 2016

(3) Mengenang 94 Tahun Tamansiswa ( 3 Juli 1922 - 3 Juli 2016 ) Bagian 03 -Dari 4 Tulisan.






Pernyataan Asas Tamansiswa  1922 M itu, berisi sejumlah gagasan besar sbb:

 1. Gagasan tentang Hak Asasi Manusia dan Kewajiban Asasi Manusia.

Alinea pertama dari Pernyataan Asas Tamansiswa 1922 diawali dengan kalimat sebagai berikut, ”Hak seseorang untuk mengatur dirinya sendiri,” jelas merupakan hak yang paling dasar dan paling eksistensial dari manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Secara eksistensial, manusia adalah mahluk individu. Sebagai mahluk individu, manusia memiliki hak-hak yang secara kodrati dan alamiah melekat kepadanya. Hak-hak individu yang merupakan anugerah dari Tuhan YME kepada setiap individu adalah hak untuk mengatur dirinya sendiri yang terdiri dari hak-hak untuk memilih pekerjaan, memilih tempat tinggal, memilih keyakinan dan agama, memilih pasangan hidup, memilih pendidikan dan hak-hak eksistensial lainnya dari manusia sebagai individu yang bebas dan merdeka.

Kalimat berikutnya, “dengan mengingat tertib damainya  persatuan dalam perikehidupan umum”, mengandung arti bahwa hak untuk mengatur dirinya sendiri secara merdeka dan bebas itu, mengandung suatu kewajiban asasi yang paling dasar dan eksistensial dari manusia sebagai mahluk sosial. Kewajiban yang asasi itu adalah cara menggunakan kebebasan dan kemerdekaan sebagai mahluk individu, tidak boleh menggangu kebebasan dan kemerdekaan individu yang lainnya, sehingga tidak mengancam tertib damainya persatuan dalam kehidupan bersama sebagai mahluk sosial.

Dengan demikian Ki Hadjar Dewantara memandang Hak Asasi Manusia  bukan hak yang berdiri sendiri. Tetapi Hak Asasi Manusia berdampingan dengan Kewajiban Asasi Manusia juga. Hak dan Kewajiban merupakan dua hal yang tidak terpisahkan. Mereka yang mempunyai hak, otomatis memiliki kewajiban.

 2. Gagasan Tentang Masyarakat Yang Tertib Damai.

Dalam alinea pertama, Pernyataan Asas disebutkan bahwa, tertib damai adalah tujuan yang setinggi-tingginya yang harus dicapai oleh setiap manusia dalam kehidupan bersama. Masyarakat yang tertib dan damai adalah masyarakat yang menjunjung tinggi  nilai-nilai keadilan sosial. Dalam alam gagasan Ki Hadjar Dewantara, tertib yang sebenarnya, tidak boleh ditimbulkan karena adanya rasa takut dan adanya ancaman kepada setiap individu. Tertib yang sebenarnya akan muncul hanya jika dalam diri manusia  timbul rasa damai yang sesungguhnya, yakni rasa damai yang timbul bukan karena adanya paksaan dari luar. Tetapi rasa damai yang muncul akibat dari berlakunya asas keadilan sosial di dalam masyarakat. Jika di dalam masyarakat berlaku keadilan sosial, maka tidak boleh ada seorang pun dari anggota masyarakat yang dihalang-halangi, dihambat, atau mengalami perlakuan yang diskriminatif. Perlakuan diskriminatif bukan hanya dalam lapangan ekonomi, tetapi dalam lapangan kehidupan yang lainnya. Masyarakat yang berkeadilan sosial itu, oleh Ki Hadjar Dewantara dilukiskan sebagai suatu masyarakat yang tertib dan damai. Tertib sebenarnya juga mengandung makna disiplin dari setiap individu yang sadar sepenuhnya akan kewajibannya sebagai mahluk sosial. Dengan demikian hukum, peraturan dan undang-undang yang berlaku, bukanlah alat represif untuk menimbulkan efek jera. Tetapi sekedar alat preventif untuk mengingatkan setiap individu, betapa pentingnya melaksanakan kewajiabannya sebagai anggota masyarakat agar hak-haknya sebagai individu dapat terjamin.

 3. Gagasan Kekuatan Kodrati Yang Ada Pada Manusia.

Dalam alinea pertama Pernyataan Asas disebutkan bahwa bertumbuh menurut kodrat itu perlu sekali bagi kemajuan yang berjalan secara evolusi, oleh karenanya agar kemajuan tercapai, harus diciptakan kondisi yang memberikan kemerdekaan, kebebasan dan keleluasaan yang sebesar-besarnya.

Ki Hadjar Dewantara memandang bahwa setiap manusia secara kodrati memiliki potensi atau kekuatan jiwa yang merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa yang pada setiap individu itu bersifat khas dan unik. Ki Hadjar Dewantara menyebutkan asal kata kebudayaan itu dari kata budi dan daya. Dengan demikian kebudayaan secara harfiah mengandung makna usaha-usaha memberdayakan budi yang ada pada diri manusia, agar manusia dapat mengatasi tantangan alam dan jaman. Budi dalam terminologi Taxonomi Bloom, disebut kemampuan berpikir yang memiliki tiga ranah, yakni ranah kognitip, ranah afektip dan ranah psykhomotorik.  Dalam paradigma berpikir menurut Danah Zohar dan Ian Smith,  budi identik dengan kecerdasan yang memiliki tiga jenis kecerdasan, yakni kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual.

Menurut Ki Hadjar Dewantara dan Para Pujangga Jawa, potensi budi terdiri atas daya cipta, daya rasa, daya karsa dan daya karya. Apa pun terminologi dan atribut yang dipakai untuk menggambarkan adanya kekuatan jiwa, budi, kemampuan berpikir maupun kecerdasan pikiran, para ahli ilmu psykhologi maupun para ahli pendidikan sepakat, bahwa setiap anak memiliki potensi jiwa yang akan terus tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan aspek jasmani maupun kejiwaan anak didik. Perkembangan potensi kejiwaan itu juga berjalan secara evolusi mengikuti tahap-tahap  usia seorang anak yang terus bertambah menuju tingkat kedewasaan.

Peran yang harus dijalankan oleh para pendidik, guru, trainer, maupun pemimpin dalam menyikapi perkembangan potensi anak didik maupun anak buah yang dipimpinnya adalah mengurangi sebanyak mungkin intervensi yang bisa memperkosa perkembangan potensi jiwa. Cara yang paling bijaksana, menurut Ki Hadjar Dewantara, setiap pendidik, pamong, guru, trainer ataupun pemimpin adalah mengambil posisi sebagai seorang pamong atau pun pengasuh. Peran seorang pamong atau pengasuh  adalah memelihara dengan cara yang sebaik-baiknya agar perkembangan potensi jiwa itu anak didik dapat tumbuh secara leluasa dan bebas dalam batas-batas yang tidak membahayakan dirinya sendiri maupun masyarakat yang ada di lingkungannya. Ki Hadjar Dewantara memberi nama pendekatan kepada anak didik itu  sebagi Metode Among atau dalam arti yang lebih luas disebut Sistem Among atau Sistem Tut Wuri Handayani.

Sebenarnya kata pendidik itu pun awalnya berasal dari kata latin pedagog yang berarti budak. Para pedagok itu, dalam masyarakat Romawi dan Yunani tempo dulu, diberi tugas oleh tuannya untuk mengantarkan anak-anak tuannya itu mengantarkan dan membawa kepada seorang guru yang akan mengajar kepada si anak.Tetapi lama kelamaan lama kata pedagog naik peringkat karena digunakan untuk menyebut cabang dari ilmu Filsafat yang membicarakan soal-soal yang berkaitan dengan paedagogi atau ilmu pendidikan.

 4. Gagasan Kepemimpinan Yang Demokratis.

Pada alinea ke tiga Pernyataan Asas Tamansiswa dijelaskan pentingnya mendidik anak-anak agar mereka menjadi manusia yang merdeka batinnya, merdeka fikirannya dan merdeka tangannya.  Kembali di sini Ki Hadjar Dewantara mengemukakan perlunya mendidik anak agar menjadi manusia yang merdeka. Yakni manusia yang berkembang budi, akal dan kecerdasannya baik yang menyangkut perkembangan potensi rasa, potensi cipta maupun potensi karsa dan karya.

Kepemimpinan yang diperlukan dalam pendidikan agar potensi kodrati anak berkembang secara merdeka adalah kepemimpinan ang demokratis. Bukan kepemimpinan yang otoriter. Kepemimpinan yang demokratis itu dikenal sebagai Trilogi Kepemimpinan yang terdiri dari tiga metode atau tiga cara menjalankan proses kepemimpinan dalam dunia pendidikan maupun di tengah-tengah masyarakat, yakni:

1.      Tut Wuri Handayani

2.      Ing Madya Mangun Karsa

3.      Ing Ngarsa Sung Tulodo.



 Keterangan Gambar : Nyi Suryo Adi Putro, sedang mengajar anak-anak Taman Muda Bandung (1925 - 1929 ). Taman Muda Bandung saat itu bertempat di Cikakak, sekarang Jl.Sudirman.Taman Muda Bandung bekas sekolah Tan Malaka yang dikenal dengan Sekolah Rakyat (SR), yang diserahkan kepada Bung Karno. Dan Bung Karno menyerahkannya pada Ki Hadjar Dewantara/ Tamansiswa.( Lihat Dr.Darsiti Suratman dalam Ki Hadjar Dewantara, terbitan Dep. Pend dan Kebud) Ki Suryo Adi Putra adalah adik Ki Hadjar Dewantara yang ditugaskan untuk menangani SD Tamansiswa Bandung(Taman Muda) yang saat itu masih bertempat di Cikakak yang baru diserahkan Bung Karno, dan disahkan menjadi Cabang Tamansiswa Bandung. Sayang Ki Suryo Adiputro dan istrinya ditarik lagi ke Yogyakarta pada tahun 1929 M. Padahal Taman Muda sedang berkembang dengan baik, berkat asuhan Ki Suryo Adiputro dan istrinya. Bung Karno, menjadi Ketua Majelis Cabang, bersama Ibu Inggit masih tinggal di Jl,Astana Anyar.(Baca buku Manusia Bebas-karya Suwarsih Joyopuspito, istri Sugondo Joyopuspito, Ketua Perguruan Tamansiswa Bandung 1929 - 1936, yang menggantikan Ki Suryo Adiputro. Lihat juga dokumentasi Musium Dewantara Kirti Griya, foto-foto Tamansiswa Bandung pada jaman penjajahan)
5. Gagasan Belajar Secara Mandiri

Pada alinea kedua Pernyataan Asas Tamansiswa ditegaskan pentingnya anak-anak memiliki kemampuan belajar secara mandiri. Disebutkan bahwa hendaknya guru jangan hanya memberikan pengetahuan yang perlu dan baik saja. Akan guru juga harus mendidik agar si murid mencari sendiri pengetahuan itu dan memakainya guna keperluan umum.

Kemampuan belajar mandiri merupakan dasar dari autodidak yang dulu merupakan tradisi yang sangat berkembang di lingkungan Tamansiswa. Tamansiswa menghargai setara mereka yang mencapai derajat keilmuan melalui pendidikan formal, bekwamheid. Dengan mereka yang mencapai derajat keilmuan melaui belajar mandiri  atau autodidak yang di lingkungan Tamansiswa dikenal dengan istilah befuhheid.

Banyak tokoh-tokoh Tamansiswa yang mencapai derajat keilmuan yang tinggi dan meniti karirir yang bagus di masyarakat tanpa melalui jenjang pendidikan tinggi. Ki Moch.Tauhid, Ki Moch.Said, Ki Suratman, Ki Sarino Mangunpranoto, Ki Sarmidi Mangunsarkoro, BM.Diah dan masih banyak lagi, adalah tokoh-tokoh autodidak.

Ki Sarino Mangunpranoto misalnya, sempat jadi Menteri Pendidikan dua kali, bahkan meraih gelar doktor dari IKIP Malang. Ki Moch. Said dan Ki Sarmidi Mangunsarkoro, pernah juga menjadi Menteri Pendidikan. Sayang tradisi belajar mandiri di kalangan Tamansiswa sudah lama pudar. Jalur pendidikan formal banyak  dianggap sebagai  satu-satunya jalan untuk meraih derajat keilmuan yang tinggi.

Kini konsep belajar mandiri mulai banyak dijadikan model proses pembelajaran di sejumlah sekolah dengan aneka macam terminologi, seperti CBSA(Cara Belajar Siswa Aktif), Revolusi Belajar, Metode Proyek, Metode Siswa Bertanya, Metode Tematik dan lainnya lagi. Kurikulum 2013  sebenarnya juga menganut konsep Belajar Mandiri yang sejak semula telah digagas oleh Ki Hadjar Dewantara dan dulu telah diterapkan dengan sukses di lingkungan sekolah-sekolah Tamansiswa.

 6. Gagasan Paham Kebangsaan dan Ideologi Persatuan.

Pada  alinea ke-tiga Pernyataan Asas, Ki Hadjar Dewantara berbicara mengenai zaman yang akan datang, yang membuat rakyat kebingungan. Seringkali orang tertipu oleh keadaan yang dipandangnya perlu dan laras untuk keperluan hidup kita, padahal itu adalah keperluan bangsa asing yang sukar didapatnya dengan alat penghidupan kita sendiri. Demikianlah kita acapkali merusak sendiri kedamaian hidup kita.

Di sini Ki Hadjar Dewantara  secara tersirat mengemukakan gagasan paham kebangsaan, yaitu suatu paham yang membela dan mementingkan segala alat penghidupan yang ada pada diri kita sendiri yang berupa nilai-nilai yang mulia yang berasal dari warisan kebudayaan kita dan peradaban kita pada  masa lalu.

Menurut Ki Hadjar Dewantara, semangat kebangsaan itu timbul dari rasa cinta kepada bangsa sendiri yang ada pada diri manusia yang timbul secara tidak disadari. Semangat kebangsaan itu berasal dari rasa cinta diri, yang terbawa dalam pergaulan hidup manusia, lalu menjelma jadi rasa cinta keluarga, kemudian berkembang menjadi rasa cinta kepada bangsa sendiri yang hidup bersamanya.

Semangat kebangsaan itu umumnya terwujud dalam bentuk keinginan yang kuat untuk melakukan identifikasi, sehingga kepentingan bangsa dianggap kepentingan sendiri dan nasib bangsa pun dianggap nasib sendiri, kehormatan bangsa dianggap juga sebagai kehormatan sendiri. Dengan demikian, rasa kebangsaan itu akan menimbulkan rasa persatuan di antara sesama bangsa sendiri.(Ki Hadjar Dewantara; Kebudayaan;1967 ).

Namun rasa cinta kepada bangsa, secara tidak sadar juga akan berkembang menjadi rasa cinta kepada sesama manusia. Tentu saja ujung dari perkembangan rasa cinta terhadap sesama manusia dan kemanusiaan itu, akan berakhir pada rasa cinta kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Rasa kebangsaan pada setiap manusia, yang pada mulanya timbul secara tidak disadari, jika kepentingan suatu bangsa terdesak oleh kepentingan bangsa lain, maka rasa kebangsaan itu akan menjelma menjadi semangat persatuan di antara sesama bangsa sendiri yang berupa kehendak untuk memperjuangkan kepentingan bersama dengan melawan kepentingan bangsa lain. Bangsa yang terjajah pasti akan bersatu dan berjuang untuk melawan bangsa yang menjajah dan menuntut hak untuk megatur diri sendiri. Dari sini perjuangan kemerdekaan dimulai.

Jelaslah bahwa corak kebangsaan atau nasionalisme yang digagas oleh Ki Hadjar  Dewantara bertolak dari semangat persatuan untuk  memperjuangan kemerdekaan, yakni semangat melepaskan diri dari penjajahan bangsa asing mau pun penjajahan oleh bangsa sendiri. Nasionalisme yang demikian berbeda dengan nasionalisme bangsa-bangsa barat yang melahirkan sejumlah peperangan antar bangsa yang merdeka. Nasionalisme bangsa barat adalah nasionalisme yang sempit yang timbul dari kepentingan untuk menguasai bangsa lain atau pun keinginan mengungguli bangsa lain, karena merasa dirinya adalah bangsa yang unggul. Nasionalisme demikian disebut nasionalisme chauvinistik yang anti kemanusiaan.

Sedangkan nasionalisme yang digagas Ki Hadjar Dewantara adalah nasionalisme yang anti penjajahan dan anti penindasan oleh manusia kepada manusia. Corak nasionalisme yang demikian disebut nasionalisme yang humanis.

 7. Gagasan Pendidikan Yang Menolak Pendewaan Terhadapa Rasio dan Intelek.

Pada aline ke-3, Pernyataan Asas Tamansiswa, Ki Hadajr Dewantara dengan tegas menolak suatu pendidikan yang mendewakan rasio dan intelek yang disebutnya sebagai intelektualisme, yakni suatu pengajaran yang hanya mementingkan terlepasnya fikiran. Menurut Ki Hadjar Dewantara  intelektualisme hanya akan membawa manusia kepada gelombang kehidupan yang tidak merdeka.(economishch afhankelijk), serta akan memisahkan kaum terpelajar dengan rakyatnya.

Perlu ditegaskan di sini, bahwa penolakan bahkan kecaman Ki Hadjar Dewantara terhadap pendidikan dan pengajaran yang bersifat intelektualistis, bukan berarti Ki Hadjar Dewantara menolak pendidikan dan pengajaran yang mencerdaskan pikiran atau intelek.Yang ditolak oleh Ki Hadjar Dewantara adalah  pendidikan yang berat sebelah, yakni pendidikan dan pengajaran yang hanya menekankan pada aspek perkembangan intelek secara optimal, tetapi mengabaikan aspek kecerdasan rasa atau kecerdasan emosional dan mengabaikan aspek kecerdasan karsa, kecerdasan kemauan atau kecerdasan  spritual.

Bagi Ki Hadjar Dewantara, pendidikan yang utuh adalah pendidikan yang mengembangkan seluruh potensi jiwa manusia, yang terdiri atas potensi cipta, rasa dan karsa. Dalam ungkangkapan khas Ki Hadjar Dewantara pendidikan yang tidak intelektualistis adalah pendidikan yang menjadikan anak didik merdeka pikirannya, merdeka batinnya dan merdeka tangannya.

Dalam sejarah pendidikan modern, pendidikan yang intelektualistis memang dianggap sebagai pendidikan yang usang, dan sudah mulai ditinggalkan oleh para pendidik. Perang besar yang melanda seluruh dunia, yakni Perang Dunia I(1914 -1918 M) dan Perang Dunia II( 1942-1945 ), ditengarai sebagai akibat dari pendidikan di dunia barat yang mendewakan rasio, yang muncul di dunia barat pada abad ke 17 M.

Peletak dasar-dasar filsafat Rasionalisme adalah seorang filsuf Perancis, Rene Descartes(1596-1650 M) yang sering disebut-sebut sebagai Bapak Filsafat Modern. Ungkapannya yang sangat terkenal adalah cogito ergo  sum, yang artinya: Aku berpikir, maka aku ada”.

Memang akibat dari filsafat rasionalisme dan empirisme, dunia sain dan teknologi di dunia barat maju dengan pesat. Tetapi karena tidak diimbangi dengan nilai-nilai budi pekerti yang luhur, akibatnya mereka terjebak pada usaha untuk menguasai hal-hal yang bersifat kebendaan dan pemujaan materi saja. Yang terjadi akhirnya perang-perang besar antara sesama negara imperialis, yang justru mengancam perdamaian dunia.

Peringatan Ki Hadjar Dewantara, bahwa pendidikan yang bercorak intelektualisme, akan melahirkan gelombang penghidupan yang tidak merdeka, sepenuhnya benar. Tentu saja gagasan Ki Hadjar Dewantara pada saat itu merupakan gagasan yang radikal dan revolusioner.(bersambung)


Artikel Lanjutan Klik :
https://wwwtamansiswa.blogspot.co.id/2016/07/mengenang-94-tahun-perguruan-tamansiswa.html 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar