8. Gagasan Tentang Kebudayaan Nasional.
Pada alinea
ke tiga, Pernyataan Asas Tamansiswa, Ki Hadjar Dewantara menyampaikan gagasan cara
mengatasi suatu zaman yang disebutnya sebagai zaman penuh kebingungan. Agar
kita selamat melewati zaman yang penuh kebingungan itu, menurut Ki Hadjar
Dewantara, kita seharusnya menggunakan keadaban kita sendiri (cultuurhistorie)
sebagai pedoman dan penunjuk jalan untuk membangun susunan masyarakat atau cara
penghidupan yang baru.
Cara yang
dianjurkan Ki Hadjar Dewantara untuk membangun suatu masyarakat ialah bukan
dengan cara-cara yang meniru begitu saja dari kebudayaan barat. Tetapi
cara-cara yang dipakai ialah cara-cara dari keadaban kita sendiri yang selaras
dan sesuai dengan keadaan dan kodrat kita sendiri.
Karena
menurut Ki Hadjar Dewantara, hanya dengan cara menggunakan keadaban, tradisi,
adat dan kebudayaan kita sendirilah, maka akan diperoleh suatu kedamaian dalam
hidup kita, baik sebagai individu, anggota masyarakat, maupun sebagai suatu
bangsa. Dengan menggunakan keadaban dan kebudayaan kita sendiri, maka kita
tidak akan pernah kehilangan jati diri dan identitas kita sebagai suatu bangsa.
Ki Hadjar Dewantara menegaskan,”Dengan keadaban bangsa kita sendiri, kita lalu
pantas berhubungan bersama-sama dengan keadaban bangsa lain”
Kata
keadaban berasal dari kata dasar adab, yang berarti hal-hal yang berkaitan
dengan etika, sopan, santun, moral, budi pekerti, akhlakul karimah dari
kebudayaan suatu bangsa. Dengan demikian Ki Hadjar Dewantara memandang
pentingnya mengembangkan kebudayaan nasional, sebagai suatu alat yang bukan
hanya berguna untuk melawan dominasi kebudayaan barat yang merupakan kebudayaan
asing. Tetapi juga sebagai suatu cara agar kita
sebagai suatu bangsa dapat berdiri sama tegak dan duduk sama rendah
dengan bangsa-bangsa asing. Dengan kata lain, dengan memiliki kebudayaan
nasional kita sendiri, maka kita akan menjadi bangsa yang berdaulat.
Melalui
Pernyataan Asas Tamansiswa itu, jelaslah bahwa Ki Hadjar Dewantara adalah
seorang pemikir, seorang intelektual dan seorang cendekiawan yang pertama kali
menggagas mengenai pentingnya kebudayaan nasional. Dan Ki Hadjar Dewantaralah
yang mampu membuat analisa secara jelas mengenai relasi, keterkaitan atau
hubungan antara pendidikan dan kebudayaan. Pendidikan, dalam pandangan Ki
Hadjar Dewantara adalah bagian dari kebudayaan. Dengan demikian Pendidikan
Nasional, tidak terpisahkan dengan Kebudayaan Nasional.
Ki Hadjar
Dewantara sendiri merumuskan kebudayaan sebagai usaha dari manusia yang telah
tercerahkan kecerdasan budinya melalui pendidikan, baik pendidikan yang terjadi
di lingkungan keluarga, di lingkungan perguruan maupun di lingkungan masyarakat
yang berguna untuk mengatasi segala tantangan alam dan jaman, sehingga lahirlah
peradaban manusia yang berkualitas.
Ki Hadjar
Dewantara memandang kebudayaan manusia sebagai suatu yang terus berkembang ke
arah puncak kesempurnaannya yang tidak pernah berakhir yang terus menerus
membawa kemajuan bagi masyarakat secara evolusi. Tetapi gerak kebudayaan bisa
mandeg, mundur, bahkan mati. Kebudayaan yang mengalami kemandegan, kemunduran
dan akhirnya mengalami kematian, disebutnya sebagai kebudayaan yang tengah
mengalami dekandensi yang disebabkan oleh rusaknya budi pekerti, moralitas dan
ahlak masyarakat dari suatu bangsa. Pentingnya pendidikan sebagai suatu usaha
kebudayaan adalah mencegah agar kebudayaan nasional tidak mengalami dekadensi
yang menyebabkan rusaknya kebudayaan suatu bangsa.
Konsep dan
gagasan Ki Hadjar Dewantara tentang kebudayaan dikenal dengan Teori Trikon,
yakni singkatan dari kontinyu, konvergen dan konsentris.
Kontinyu,
artinya perkembangan kebudayaan yang sehat, harus merupakan kesinambungan dari
kebudayaan yang ada pada masa lalu, yang bisa berupa adat istiadat dan tradisi
dari suatu suku bangsa atau bangsa.
Konvergen,
mengandung arti kebudayaan suatu bangsa tidak mungkin tidak bercampur dengan
kebudayaan bangsa lain, dan terjadilah saling pengaruh mempengaruhi, dan
terjadilah akulturasi kebudayaan.
Dalam
menghadapi percampuran dengan kebudayaan asing, maka harus dilakukan proses
selektip dan adaptatip terhadap kebudayaan asing, sehingga hanya unsur-unsur
yang akan memperkaya kebudayaan kitalah yang seharusnya diambil. Unsur-unsur
kebudayaan asing yang merusak harus ditinggalkan. Demikian pula sikap terhadap
adat istiadat dan tradisi yang berasal dari kebudayaan lama. Adat istiadat dan
tradisi yang sudah usang dan tidak sesuai dengan jaman, harus kita tinggalkan.
Konsentris,
mengandung arti bahwa gerak kebudayaan suatu bangsa harus menuju kepada
persatuan dengan kebudayaan umat manusia yang bersifat universal di seluruh
muka bumi.
Dengan
demikian teori kebudayaan Ki Hadjar Dewantara itu menjelaskan gerak maju setiap kebudayaan
menurut garis yang kontinyu, konvergen, dan konsentris menuju kebudayaan universal umat manusia.
Gagasan dan Konsepsi Ki Hadjar Dewantara soal teori kebudayaan, telah mengantarkan
Ki Hadjar Dewantara pada tahun 1956 memperoleh anugerah Doktor Kehormatan di
bidang kebudayaan dari Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
9. Gagasan Tentang Pemerataan Pendidikan dan
Pendidikan Yang Populis-Pro Rakyat.
Pada alinea
ke-empat Pernyataan Asas Tamansiswa, Ki Hadjar Dewantara melakukan kritik
terhadap Sistem Pendidikan Kolonial yang bersifat elitis, yang hanya dinikmati
oleh sebagian kecil rakyat saja. Ki Hadjar Dewantara menyatakan bahwa
pendidikan yang hanya dinikmati oleh sebagian kecil rakyat, tidak banyak
manfaatnya bagi seluruh bangsa.
Menurut Ki
Hadjar Dewantara seharusnya golongan rakyat yang terbesarlah yang harus
mendapatkan pendidikan yang cukup. Sebab, kekuatan suatu bangsa itu terletak
pada kekuatan dari sebagian besar rakyatnya. Karena itu menurut pandangan Ki
Hadjar Dewantara, lebih baik mendahulukan pendidikan untuk kemajuan sebagian
besar rakyat, dari pada meninggikan pendidikan jika usaha meninggikan
pendidikan itu akan berdampak pada kurang tersebarnya pendidikan untuk rakyat
umum.
Di sini Ki
Hadjar Dewantara memilih suatu sistem pendidikan yang populis, yang memihak
kepada kepentingan rakyat banyak, yakni suatu sistem pendidikan yang
mendahulukan aspek pemerataan dan kuantitatif, dari pada mengembangkan sistem
pendidikan yang elitis dan kualitatif.
Tentu
keliru jika ada anggapan seolah-olah sistem pendidikan yang digagas oleh Ki
Hadjar Dewantara tidak menyetujui pendidikan yang bermaksud meninggikan
kualitas. Tentu saja Ki Hadjar Dewantara menyadari pentingnya meninggikan
pengajaran. Hanya saja jika suatu sistem pendidikan dihadapkan pada pilihan dan
prioritas karena keterbatasan dana dan anggaran, Ki Hadjar Dewantara lebih
memilih mendahulukan kepentingan kuantitas dari pada kepentingan kualitas.
Tentu saja
gagasan Ki Hadjar Dewantara ini bertentangan dengan Sistem PendidikanKolonial
yang lebih mementingkan kualitas lulusannya, karena Sistem Pendidikan Kolonial
memang diciptakan untuk kepentingan jangka pendek saja, yaitu guna menghasilkan
tenaga yang terdidik, berkualitas, tetapi yang bisa dibayar murah di pasar
tenaga kerja. Sedangkan Sistem Pendidikan Nasional yang digagas Ki Hadjar
Dewantara punya tujuan jangka panjang, yakni menghasilkan calon-calon pemimpin
bangsa yang cerdas yang menyadari hak-haknya dan kewajibannya sebagai anggota
masyaarakat dari suatu bangsa.
Kontradiksi
antara kuantitas dan kualitas dalam Sistem Pendidikan mana pun sebenarnya tidak
dapat dihindari. Tetapi bagi Ki Hadjar Dewantara, kualitas bisa dicapai setelah
aspek kuantitas tercapai. Kelemahan kualitas akibat mendahulukan kuantitas,
sebenarnya lebih mudah diatasi dan lebih menghemat anggaran, jika sistem
pendidkan berjalan dengan benar.
Kebijakan yang bisa ditempuh untuk mengatasi
kualitas lulusan antara lain dengan cara meningkatkan kemampuan belajar secara
mandiri peserta didik, mengoptimalkan lingkungan-lingkungan pendidikan baik
formal, informal dan non formal, sebagai lingkungan belajar sepanjang hayat dan
tentu saja dengan memperbanyak perpustakaan-perpustakaan umum yang murah,
tetapi menyediakan buku-buku yang berkualitas.
Sistem
magang juga bisa diintegrasikan ke dalam sistem pendidikan yang terpadu dengan
pasar tenaga kerja untuk memperoleh tenaga yang terdidik dan berkualitas yang
memenuhi kebutuhan pasar tenaga kerja.
Dan yang
lebih penting lagi bagi Ki Hadjar Dewantara, suatu Sistem Pendidikan Nasional,
hendaknya tidak hanya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pasar tenaga kerja
saja. Tetapi tujuan yang lebih tinggi dan mulia harus bisa dicapai oleh Sistem
Pendidikan Nasional, yaitu bisa melahirkan tenaga kelas menengah yang bisa
menciptakan lapangan kerja. Kelompok klas menengah yang cerdas dan kreatif
inilah yang disebut oleh Ki Hadjar Dewantara sebagai manusia dengan jiwa merdeka, yaitu merdeka
pikirannya, merdekan batinnya dan merdeka tangannya.
10. Gagasan Kemandirian Secara Ekonomi.
Pada alinea
ke lima Pernyataan Asas Tamansiswa, secara tersirat Ki Hadjar Dewantara
mengemukakan gagasannya tentang perlunya kemandirian secara ekonomi dalam
mengelola setiap organisasi formal maupun nonformal, pada tingkat mikro seperi
rumah tangga, perusahaan, lembaga pendidikan, partai politik, maupun organisasi
tingkat makro seperti negara. Jika organisasi-organisasi itu ingin berusaha
secara merdeka, dan tidak terikat kepada pihak lain, maka mereka harus bekerja
menurut asas-asas dan dasar-dasar kemampuan sendiri.
Seperti
kita ketahui untuk menjalankan suatu sistem pendidikan, entah itu kolonial
maupun nasional, selalu diperlukan sumber pembiayaan yang berupa dana. Hal ini
mengandung arti bahwa setiap sistem pendidikan tidak mungkin bisa dilepaskan
dari persoalan-persoalan ekonomi. Dan masalah umum persoalana ekonomi adalah
masalah defisinsi yang timbul karena setiap sumber daya ekonomi yang tersedia
selalu bersifat langka dan memiliki kegunaan yang bersifat alternatif.
Dikemukakan
oleh Ki Hadjar Dewantara, bahwa untuk dapat berusaha menurut asas yang merdeka
dan leluasa, maka kita harus bekerja menurut kekuatan kita sendiri. Walaupun
kita tidak menolak bantuan dari orang lain, akan tetapi kalau bantuan itu akan
mengurangi kemerdekaan kita lahir atau batin, harus kita tolak. Itulah jalannya
orang yang tidak mau terikat atau terperintah pada kekuasaan, karena
berkehendak mengusahakan kekuatan diri sendiri.
Prinsip
kemandirian yang diajarkan Ki Hadjar Dewantara ini sangat penting bagi
Tamansiswa, karena Sistem Pendidikan Nasional yang diciptakan Ki Hadjar
Dewantara melalui Perguruan Tamansiswa itu bertentangan secara diametral dengan
Sistem Pendidikan Kolonial. Dengan tetap menjaga kemandiriannya, Ki Hadjar
Dewantara berharap Sistem Pendidikan Nasional yang diciptakannya itu bisa
terhindar dari intervensi dan campur tangan pemerintah Hindia Belanda yang bisa
mengganggu tujuan-tujuan jangka panjang yang ingin dicapai Tamansiswa.
Namun
demikian, prinsip kemandirian sebagai upaya untuk meningkatkan efisiensi
penggunaan sumber daya ekonomi, sesungguhnya bersifat umum yang bisa diterapkan
pada setiap organisasi apa saja, baik organisasi mikro maupun makro.
Pentingnya
gagasan Kemandirian Secara Ekonomi dari
Ki Hadjar Dewantara sebenarnya terletak pada gagasan efisiensi
penggunaan sumber dana untuk membeayai suatu sistem pendidikan yang selalu dihadapkan pada keterbatasan
dana. Memang hanya konsep kemandirian dan efisiensi yang bisa mengatasi kendala
dana dan anggaran yang selalu terbatas itu.
Perlu
ditegaskan di sini bahwa konsep kemandirian gagasan Ki Hadjar Dewantara itu,
bukanlah konsep kemandirian yang menolak bantuan secara mutlak. Yang ditolak
secara tegas, adalah bantuan yang menyebabkan kehilangan kemandirian,
melahirkan ketergantungan dan bantuan-bantuan yang menyebabkan terjadinya
ikatan yang tidak wajar, yakni ikatan yang menyebabkan hilangnya kemerdekaan
dan kedaulatan baik sebagai individu, organisasi, maupun sebagai bangsa.
11. Gagasan Sistem Pengelolaan Anggaran
Penyelenggaraan Pendidikan Berimbang.
Alinea ke
enam dari Pernyataan Asas Tamansiswa, sebenarnya berisi gagasan Ki Hadjar
Dewantara tentang implementasi dari Prinsip Kemandirian Ekonomi pada tingkat
teknis-operasinal pelaksanaan, yang
disebutnya sebagai Zelfbedruipings
Systeem.
Inti dari
Zelfbedruipings Systeem adalah keseimbangan antara sektor penerimaan dan
pengeluaran. Dalam sistem penyusunan anggaran dikenal konsep anggaran yang
seimbang dan anggaran yang defisit. Ki Hadjar Dewantara yang terkenal memilki
sikap hemat yang tinggi, tentu memilih Zelfbedruipings System atau System
Anggaran Berimbang antara penerimaan dan pengeluaran dalam mengelola keuangan
Tamansiswa. Sistem Anggaran Berimbang banyak digunakan oleh negara-negara
modern yang sekaligus mencerminkan sikap hemat, tidak boros dan sikap cermat,
teliti dan produktip dari suatu bangsa.
Dengan
tegas dikemukakan oleh Ki Hadjar Dewantara pada aline ke enam Pernyataan Asas
Tamansiswa, bahwa karena kita akan berusaha berdasarkan kekuatan kita sendiri,
maka haruslah segala belanja dari usaha kita itu dipikul sendiri dengan uang
pendapatan biasa. “Inilah yang kita namakan Zelfbedruipings Systeem yang akan
jadi alatnya semua usaha yang hendak hidup tetap dengan berdiri sendiri.”,
demikian penegasan Ki Hadjar Dewantara dalam Pernyataan Asas Tamansiswa.
12. Gagasan Pengabdian Kepada Sang Anak.
Alinea
ketujuh Pernyataan Asas Tamansiswa, merupakan ungkapan yang mengandung nilai
luhur dan bermutu tinggi tentang darma seorang ksatria yang akan menunjukan
kualitas pengabdian yang rela dan ikhlas yang dilakukan oleh Sang Pendidik
Sejati demi kepentingan anak didik. Ki Hadjar Dewantara, menyatakan melalui
alinea ke tujuh Pernyataan Asas Tamansiswa, bahwa dengan tidak terikat lahir
atau batin, serta dengan suci hati berniatlah kita berdekatan dengan Sang Anak.
Kita tidak meminta suatu hak, akan tetapi menyerahkan diri akan berhamba kepada
Sang Anak.
Inilah
Closing Statemen dari Ki Hadjar Dewantara dalam pidato berdirinya Tamansiswa
pada tanggal 3 Juli 1922 yang menyentakkan kesadaran kolektif para
pendengarnya. Ki Hadjar Dewantara yang saat itu masih bernama Raden Mas Suwardi
Suryaningrat, tampil bagaikan Raden Narayana yang telah menjelma menjadi Sri
Kresna yang siap untuk mendidik anak-anak calon-calon putra bangsa yang
merdeka, putra para Pandawa yang
dibekali dengan senjata cakra, yakini cipta, karsa dan rasa.
Tidak
keliru, bila tokoh Pendidik dan Pejuang Tamansiswa penerus Ki Hadjar
Dewantara Ki Sarmidi Mangunsarkoro,
menyebut bahwa Tamansiswa sejak berdirinya merupakan suatu religi yang
mencita-citakan terbentuknya suatu masyarakat yang berdasarkan asas kekeluargaan,
yang merupakan susunan masyarakat asli bangsa Indonesia.
Ciri suatu
masyarakat yang religious adalah adanya
unsur pengabdian kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Di kalangan Tamansiswa, manifestasi dari bentuk pengabdian kepada Tuhan
Yang Maha Esa itu diwujudkan dalam aktivitas semacam ritual pengabdian kepada Sang Anak, sebagai
bentuk pengabdian dan manifesetasi cinta
kepada tanah air, bangsa, kemanuasiaan dan Tuhan Yang Maha Esa.Itulah sebabnya
Ki Hadjar Dewantara memandang mendidik adalah kegiatan yang suci dan mulia yang
merupakan darma dari para Ksatria
Sejati.
Di tinjau
dari sudut ajaran Islam, kegiatan mendidik memang merupakan amalan yang mulia
yang bernilai sebagai amal jariyah. Yakni amalan yang pahalanya akan terus
mengalir kepada seseorang muslim, sekalipun dia sudah berada di seberang maqom,
meninggalkan dunia yang fana ini.
Kata niat
yang diucapkan Ki Hadjar Dewantara dalam kalimat,” ….dengan suci hati
berniatlah kita…..” sejalan dengan Sabda Nabi Muhammad saw dalam
hadistnya,“Innamal a’malu bin niat”. Yang artinya segala sesuatu dengan niat.
Dan seseorang akan memperoleh ganjaran dan pahala dari apa yang diniatkannya
tersebut.
Demikianlah
Pidato Ki Hadjar Dewantara pada pembukaan berdirnya Tamansiswa tanggal 3 Juli
1922 M yang pokok-pokok pikiran dan gagasan besarnya diabadikan menjadi
Pernyataan Asas Tamansiswa tahun 1922, yang merupakan pedoman, acuan, sumber
hukum dan stategi dasar perjuangan dari Tamansiswa yang secara institusi
setelah Indonesia Merdeka kemudin menamakan dirinya sebagai Badan Perjuangan
Kebudayaan dan Pembangunan Masyarakat.
Tahun 1922
sebagai tahun berdirinya Tamansiswa itu
diabadikan oleh Ki Hadjar Dewantara dengan semboyan candra sangkala ,”Lawan
Sastra Ngesti Mulya”, yang bermakna dengan pendidikan mencapai kemuliaan dan
kebahagiaan, setara dengan tahun Jawa 1852 Saka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar