Entri yang Diunggulkan

Kahyangan Suralaya, Tempat Tinggal Para Dewa

Legenda adalah kisah tentang orang, kejadian, atau peristiwa yang dibuat berdasarkan fantasi dengan maksud untuk menimbulkan kekaguman...

Sabtu, 30 Juli 2016

(4) Mengenang 94 Tahun Perguruan Tamansiswa ( 3 Juli 1916 - 3 Juli 2016) -Bagian 04 Tamat.


8. Gagasan Tentang Kebudayaan Nasional.

Pada alinea ke tiga, Pernyataan Asas Tamansiswa, Ki Hadjar Dewantara menyampaikan gagasan cara mengatasi suatu zaman yang disebutnya sebagai zaman penuh kebingungan. Agar kita selamat melewati zaman yang penuh kebingungan itu, menurut Ki Hadjar Dewantara, kita seharusnya menggunakan keadaban kita sendiri (cultuurhistorie) sebagai pedoman dan penunjuk jalan untuk membangun susunan masyarakat atau cara penghidupan yang baru.

Cara yang dianjurkan Ki Hadjar Dewantara untuk membangun suatu masyarakat ialah bukan dengan cara-cara yang meniru begitu saja dari kebudayaan barat. Tetapi cara-cara yang dipakai ialah cara-cara dari keadaban kita sendiri yang selaras dan sesuai dengan keadaan dan kodrat kita sendiri.

Karena menurut Ki Hadjar Dewantara, hanya dengan cara menggunakan keadaban, tradisi, adat dan kebudayaan kita sendirilah, maka akan diperoleh suatu kedamaian dalam hidup kita, baik sebagai individu, anggota masyarakat, maupun sebagai suatu bangsa. Dengan menggunakan keadaban dan kebudayaan kita sendiri, maka kita tidak akan pernah kehilangan jati diri dan identitas kita sebagai suatu bangsa. Ki Hadjar Dewantara menegaskan,”Dengan keadaban bangsa kita sendiri, kita lalu pantas berhubungan bersama-sama dengan keadaban bangsa lain”

Kata keadaban berasal dari kata dasar adab, yang berarti hal-hal yang berkaitan dengan etika, sopan, santun, moral, budi pekerti, akhlakul karimah dari kebudayaan suatu bangsa. Dengan demikian Ki Hadjar Dewantara memandang pentingnya mengembangkan kebudayaan nasional, sebagai suatu alat yang bukan hanya berguna untuk melawan dominasi kebudayaan barat yang merupakan kebudayaan asing. Tetapi juga sebagai suatu cara agar kita  sebagai suatu bangsa dapat berdiri sama tegak dan duduk sama rendah dengan bangsa-bangsa asing. Dengan kata lain, dengan memiliki kebudayaan nasional kita sendiri, maka kita akan menjadi bangsa yang berdaulat.

Melalui Pernyataan Asas Tamansiswa itu, jelaslah bahwa Ki Hadjar Dewantara adalah seorang pemikir, seorang intelektual dan seorang cendekiawan yang pertama kali menggagas mengenai pentingnya kebudayaan nasional. Dan Ki Hadjar Dewantaralah yang mampu membuat analisa secara jelas mengenai relasi, keterkaitan atau hubungan antara pendidikan dan kebudayaan. Pendidikan, dalam pandangan Ki Hadjar Dewantara adalah bagian dari kebudayaan. Dengan demikian Pendidikan Nasional, tidak terpisahkan dengan Kebudayaan Nasional.

Ki Hadjar Dewantara sendiri merumuskan kebudayaan sebagai usaha dari manusia yang telah tercerahkan kecerdasan budinya melalui pendidikan, baik pendidikan yang terjadi di lingkungan keluarga, di lingkungan perguruan maupun di lingkungan masyarakat yang berguna untuk mengatasi segala tantangan alam dan jaman, sehingga lahirlah peradaban manusia yang berkualitas.

Ki Hadjar Dewantara memandang kebudayaan manusia sebagai suatu yang terus berkembang ke arah puncak kesempurnaannya yang tidak pernah berakhir yang terus menerus membawa kemajuan bagi masyarakat secara evolusi. Tetapi gerak kebudayaan bisa mandeg, mundur, bahkan mati. Kebudayaan yang mengalami kemandegan, kemunduran dan akhirnya mengalami kematian, disebutnya sebagai kebudayaan yang tengah mengalami dekandensi yang disebabkan oleh rusaknya budi pekerti, moralitas dan ahlak masyarakat dari suatu bangsa. Pentingnya pendidikan sebagai suatu usaha kebudayaan adalah mencegah agar kebudayaan nasional tidak mengalami dekadensi yang menyebabkan rusaknya kebudayaan suatu bangsa.

Konsep dan gagasan Ki Hadjar Dewantara tentang kebudayaan dikenal dengan Teori Trikon, yakni singkatan dari kontinyu, konvergen dan konsentris.

Kontinyu, artinya perkembangan kebudayaan yang sehat, harus merupakan kesinambungan dari kebudayaan yang ada pada masa lalu, yang bisa berupa adat istiadat dan tradisi dari suatu suku bangsa atau bangsa.

Konvergen, mengandung arti kebudayaan suatu bangsa tidak mungkin tidak bercampur dengan kebudayaan bangsa lain, dan terjadilah saling pengaruh mempengaruhi, dan terjadilah akulturasi kebudayaan.

Dalam menghadapi percampuran dengan kebudayaan asing, maka harus dilakukan proses selektip dan adaptatip terhadap kebudayaan asing, sehingga hanya unsur-unsur yang akan memperkaya kebudayaan kitalah yang seharusnya diambil. Unsur-unsur kebudayaan asing yang merusak harus ditinggalkan. Demikian pula sikap terhadap adat istiadat dan tradisi yang berasal dari kebudayaan lama. Adat istiadat dan tradisi yang sudah usang dan tidak sesuai dengan jaman, harus kita tinggalkan.

Konsentris, mengandung arti bahwa gerak kebudayaan suatu bangsa harus menuju kepada persatuan dengan kebudayaan umat manusia yang bersifat universal di seluruh muka bumi.

Dengan demikian teori kebudayaan Ki Hadjar Dewantara itu  menjelaskan gerak maju setiap kebudayaan menurut garis yang kontinyu, konvergen, dan konsentris  menuju kebudayaan universal umat manusia. Gagasan dan Konsepsi Ki Hadjar Dewantara soal teori kebudayaan, telah mengantarkan Ki Hadjar Dewantara pada tahun 1956 memperoleh anugerah Doktor Kehormatan di bidang kebudayaan dari Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

 9. Gagasan Tentang Pemerataan Pendidikan dan Pendidikan Yang Populis-Pro Rakyat.

Pada alinea ke-empat Pernyataan Asas Tamansiswa, Ki Hadjar Dewantara melakukan kritik terhadap Sistem Pendidikan Kolonial yang bersifat elitis, yang hanya dinikmati oleh sebagian kecil rakyat saja. Ki Hadjar Dewantara menyatakan bahwa pendidikan yang hanya dinikmati oleh sebagian kecil rakyat, tidak banyak manfaatnya bagi seluruh bangsa.

Menurut Ki Hadjar Dewantara seharusnya golongan rakyat yang terbesarlah yang harus mendapatkan pendidikan yang cukup. Sebab, kekuatan suatu bangsa itu terletak pada kekuatan dari sebagian besar rakyatnya. Karena itu menurut pandangan Ki Hadjar Dewantara, lebih baik mendahulukan pendidikan untuk kemajuan sebagian besar rakyat, dari pada meninggikan pendidikan jika usaha meninggikan pendidikan itu akan berdampak pada kurang tersebarnya pendidikan untuk rakyat umum.

Di sini Ki Hadjar Dewantara memilih suatu sistem pendidikan yang populis, yang memihak kepada kepentingan rakyat banyak, yakni suatu sistem pendidikan yang mendahulukan aspek pemerataan dan kuantitatif, dari pada mengembangkan sistem pendidikan yang elitis dan kualitatif.

Tentu keliru jika ada anggapan seolah-olah sistem pendidikan yang digagas oleh Ki Hadjar Dewantara tidak menyetujui pendidikan yang bermaksud meninggikan kualitas. Tentu saja Ki Hadjar Dewantara menyadari pentingnya meninggikan pengajaran. Hanya saja jika suatu sistem pendidikan dihadapkan pada pilihan dan prioritas karena keterbatasan dana dan anggaran, Ki Hadjar Dewantara lebih memilih mendahulukan kepentingan kuantitas dari pada kepentingan kualitas.

Tentu saja gagasan Ki Hadjar Dewantara ini bertentangan dengan Sistem PendidikanKolonial yang lebih mementingkan kualitas lulusannya, karena Sistem Pendidikan Kolonial memang diciptakan untuk kepentingan jangka pendek saja, yaitu guna menghasilkan tenaga yang terdidik, berkualitas, tetapi yang bisa dibayar murah di pasar tenaga kerja. Sedangkan Sistem Pendidikan Nasional yang digagas Ki Hadjar Dewantara punya tujuan jangka panjang, yakni menghasilkan calon-calon pemimpin bangsa yang cerdas yang menyadari hak-haknya dan kewajibannya sebagai anggota masyaarakat dari suatu bangsa.

Kontradiksi antara kuantitas dan kualitas dalam Sistem Pendidikan mana pun sebenarnya tidak dapat dihindari. Tetapi bagi Ki Hadjar Dewantara, kualitas bisa dicapai setelah aspek kuantitas tercapai. Kelemahan kualitas akibat mendahulukan kuantitas, sebenarnya lebih mudah diatasi dan lebih menghemat anggaran, jika sistem pendidkan berjalan dengan benar.

 Kebijakan yang bisa ditempuh untuk mengatasi kualitas lulusan antara lain dengan cara meningkatkan kemampuan belajar secara mandiri peserta didik, mengoptimalkan lingkungan-lingkungan pendidikan baik formal, informal dan non formal, sebagai lingkungan belajar sepanjang hayat dan tentu saja dengan memperbanyak perpustakaan-perpustakaan umum yang murah, tetapi menyediakan buku-buku yang berkualitas.

Sistem magang juga bisa diintegrasikan ke dalam sistem pendidikan yang terpadu dengan pasar tenaga kerja untuk memperoleh tenaga yang terdidik dan berkualitas yang memenuhi kebutuhan pasar tenaga kerja.

Dan yang lebih penting lagi bagi Ki Hadjar Dewantara, suatu Sistem Pendidikan Nasional, hendaknya tidak hanya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pasar tenaga kerja saja. Tetapi tujuan yang lebih tinggi dan mulia harus bisa dicapai oleh Sistem Pendidikan Nasional, yaitu bisa melahirkan tenaga kelas menengah yang bisa menciptakan lapangan kerja. Kelompok klas menengah yang cerdas dan kreatif inilah yang disebut oleh Ki Hadjar Dewantara sebagai  manusia dengan jiwa merdeka, yaitu merdeka pikirannya, merdekan batinnya dan merdeka tangannya.

 10. Gagasan Kemandirian Secara Ekonomi.

Pada alinea ke lima Pernyataan Asas Tamansiswa, secara tersirat Ki Hadjar Dewantara mengemukakan gagasannya tentang perlunya kemandirian secara ekonomi dalam mengelola setiap organisasi formal maupun nonformal, pada tingkat mikro seperi rumah tangga, perusahaan, lembaga pendidikan, partai politik, maupun organisasi tingkat makro seperti negara. Jika organisasi-organisasi itu ingin berusaha secara merdeka, dan tidak terikat kepada pihak lain, maka mereka harus bekerja menurut asas-asas dan dasar-dasar kemampuan sendiri.

Seperti kita ketahui untuk menjalankan suatu sistem pendidikan, entah itu kolonial maupun nasional, selalu diperlukan sumber pembiayaan yang berupa dana. Hal ini mengandung arti bahwa setiap sistem pendidikan tidak mungkin bisa dilepaskan dari persoalan-persoalan ekonomi. Dan masalah umum persoalana ekonomi adalah masalah defisinsi yang timbul karena setiap sumber daya ekonomi yang tersedia selalu bersifat langka dan memiliki kegunaan yang bersifat alternatif.

Dikemukakan oleh Ki Hadjar Dewantara, bahwa untuk dapat berusaha menurut asas yang merdeka dan leluasa, maka kita harus bekerja menurut kekuatan kita sendiri. Walaupun kita tidak menolak bantuan dari orang lain, akan tetapi kalau bantuan itu akan mengurangi kemerdekaan kita lahir atau batin, harus kita tolak. Itulah jalannya orang yang tidak mau terikat atau terperintah pada kekuasaan, karena berkehendak mengusahakan kekuatan diri sendiri.

Prinsip kemandirian yang diajarkan Ki Hadjar Dewantara ini sangat penting bagi Tamansiswa, karena Sistem Pendidikan Nasional yang diciptakan Ki Hadjar Dewantara melalui Perguruan Tamansiswa itu bertentangan secara diametral dengan Sistem Pendidikan Kolonial. Dengan tetap menjaga kemandiriannya, Ki Hadjar Dewantara berharap Sistem Pendidikan Nasional yang diciptakannya itu bisa terhindar dari intervensi dan campur tangan pemerintah Hindia Belanda yang bisa mengganggu tujuan-tujuan jangka panjang yang ingin dicapai Tamansiswa.

Namun demikian, prinsip kemandirian sebagai upaya untuk meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya ekonomi, sesungguhnya bersifat umum yang bisa diterapkan pada setiap organisasi apa saja, baik organisasi mikro maupun makro.

Pentingnya gagasan Kemandirian Secara Ekonomi dari  Ki Hadjar Dewantara sebenarnya terletak pada gagasan efisiensi penggunaan sumber dana untuk membeayai suatu sistem pendidikan  yang selalu dihadapkan pada keterbatasan dana. Memang hanya konsep kemandirian dan efisiensi yang bisa mengatasi kendala dana dan anggaran yang selalu terbatas itu.

Perlu ditegaskan di sini bahwa konsep kemandirian gagasan Ki Hadjar Dewantara itu, bukanlah konsep kemandirian yang menolak bantuan secara mutlak. Yang ditolak secara tegas, adalah bantuan yang menyebabkan kehilangan kemandirian, melahirkan ketergantungan dan bantuan-bantuan yang menyebabkan terjadinya ikatan yang tidak wajar, yakni ikatan yang menyebabkan hilangnya kemerdekaan dan kedaulatan baik sebagai individu, organisasi, maupun sebagai bangsa.

 11. Gagasan Sistem Pengelolaan Anggaran Penyelenggaraan Pendidikan Berimbang.

Alinea ke enam dari Pernyataan Asas Tamansiswa, sebenarnya berisi gagasan Ki Hadjar Dewantara tentang implementasi dari Prinsip Kemandirian Ekonomi pada tingkat teknis-operasinal  pelaksanaan, yang disebutnya sebagai  Zelfbedruipings Systeem.

Inti dari Zelfbedruipings Systeem adalah keseimbangan antara sektor penerimaan dan pengeluaran. Dalam sistem penyusunan anggaran dikenal konsep anggaran yang seimbang dan anggaran yang defisit. Ki Hadjar Dewantara yang terkenal memilki sikap hemat yang tinggi, tentu memilih Zelfbedruipings System atau System Anggaran Berimbang antara penerimaan dan pengeluaran dalam mengelola keuangan Tamansiswa. Sistem Anggaran Berimbang banyak digunakan oleh negara-negara modern yang sekaligus mencerminkan sikap hemat, tidak boros dan sikap cermat, teliti dan produktip dari suatu bangsa.

Dengan tegas dikemukakan oleh Ki Hadjar Dewantara pada aline ke enam Pernyataan Asas Tamansiswa, bahwa karena kita akan berusaha berdasarkan kekuatan kita sendiri, maka haruslah segala belanja dari usaha kita itu dipikul sendiri dengan uang pendapatan biasa. “Inilah yang kita namakan Zelfbedruipings Systeem yang akan jadi alatnya semua usaha yang hendak hidup tetap dengan berdiri sendiri.”, demikian penegasan Ki Hadjar Dewantara dalam Pernyataan Asas Tamansiswa.

 12. Gagasan Pengabdian Kepada Sang Anak.

Alinea ketujuh Pernyataan Asas Tamansiswa, merupakan ungkapan yang mengandung nilai luhur dan bermutu tinggi tentang darma seorang ksatria yang akan menunjukan kualitas pengabdian yang rela dan ikhlas yang dilakukan oleh Sang Pendidik Sejati demi kepentingan anak didik. Ki Hadjar Dewantara, menyatakan melalui alinea ke tujuh Pernyataan Asas Tamansiswa, bahwa dengan tidak terikat lahir atau batin, serta dengan suci hati berniatlah kita berdekatan dengan Sang Anak. Kita tidak meminta suatu hak, akan tetapi menyerahkan diri akan berhamba kepada Sang Anak.

Inilah Closing Statemen dari Ki Hadjar Dewantara dalam pidato berdirinya Tamansiswa pada tanggal 3 Juli 1922 yang menyentakkan kesadaran kolektif para pendengarnya. Ki Hadjar Dewantara yang saat itu masih bernama Raden Mas Suwardi Suryaningrat, tampil bagaikan Raden Narayana yang telah menjelma menjadi Sri Kresna yang siap untuk mendidik anak-anak calon-calon putra bangsa yang merdeka, putra para Pandawa  yang dibekali dengan senjata cakra, yakini cipta, karsa dan rasa.

Tidak keliru, bila tokoh Pendidik dan Pejuang Tamansiswa penerus Ki Hadjar Dewantara  Ki Sarmidi Mangunsarkoro, menyebut bahwa Tamansiswa sejak berdirinya merupakan suatu religi yang mencita-citakan terbentuknya suatu masyarakat yang berdasarkan asas kekeluargaan, yang merupakan susunan masyarakat asli bangsa Indonesia.

Ciri suatu masyarakat yang religious adalah  adanya unsur pengabdian kepada Tuhan Yang Maha Esa.  Di kalangan Tamansiswa, manifestasi dari bentuk pengabdian kepada Tuhan Yang Maha Esa itu diwujudkan dalam aktivitas semacam  ritual pengabdian kepada Sang Anak, sebagai bentuk pengabdian dan manifesetasi  cinta kepada tanah air, bangsa, kemanuasiaan dan Tuhan Yang Maha Esa.Itulah sebabnya Ki Hadjar Dewantara memandang mendidik adalah kegiatan yang suci dan mulia yang merupakan darma dari  para Ksatria Sejati.

Di tinjau dari sudut ajaran Islam, kegiatan mendidik memang merupakan amalan yang mulia yang bernilai sebagai amal jariyah. Yakni amalan yang pahalanya akan terus mengalir kepada seseorang muslim, sekalipun dia sudah berada di seberang maqom, meninggalkan dunia yang fana ini.

Kata niat yang diucapkan Ki Hadjar Dewantara dalam kalimat,” ….dengan suci hati berniatlah kita…..”  sejalan  dengan Sabda Nabi Muhammad saw dalam hadistnya,“Innamal a’malu bin niat”. Yang artinya segala sesuatu dengan niat. Dan seseorang akan memperoleh ganjaran dan pahala dari apa yang diniatkannya tersebut.

Demikianlah Pidato Ki Hadjar Dewantara pada pembukaan berdirnya Tamansiswa tanggal 3 Juli 1922 M yang pokok-pokok pikiran dan gagasan besarnya diabadikan menjadi Pernyataan Asas Tamansiswa tahun 1922, yang merupakan pedoman, acuan, sumber hukum dan stategi dasar perjuangan dari Tamansiswa yang secara institusi setelah Indonesia Merdeka kemudin menamakan dirinya sebagai Badan Perjuangan Kebudayaan dan Pembangunan Masyarakat.

Tahun 1922 sebagai tahun  berdirinya Tamansiswa itu diabadikan oleh Ki Hadjar Dewantara dengan semboyan candra sangkala ,”Lawan Sastra Ngesti Mulya”, yang bermakna dengan pendidikan mencapai kemuliaan dan kebahagiaan, setara dengan tahun Jawa 1852 Saka.

Dirgayahu 94 tahun Tamansiswa. [ Bandung, 03-07-2016]




Tidak ada komentar:

Posting Komentar