Setelah dinobatkan jadi raja, Prabu
Sangkala Aji Saka ingat pada Sembada yang masih tingggal di pertapaanya untuk
menjaga kerisnya. Apa lagi Aji Saka perlu keris pusaka dan juga perlu bantuan
Sembada untuk membantu mengajar rakyat Medangkamulan pandai baca tulis.
Sedangkan sebagai guru, Dora dianggap kurang sabar, dan kurang cakap. Maka
disuruhlah Dora supaya menjemput Sembada, sekalian membawa keris pusakanya.
Maka berangkatlah Dora. Tapi ditengah jalan Dora berubah pikiran, dia ingin
menipu Sembada, dengan mengatakan bahwa dirinya disuruh Aji Saka untuk
mengambil keris pusaka, dan dirinya juga disuruh menyampaikan pesan Aji Saka, agar
Sembada tetapi tinggal di Pulau Majeti dan melanjutkan menjaga pertapaan dan
meneruskan aktivitas mengajar penuduk dari daratan sekitar Teluk Penyu yang
berdatangan untuk berguru di pertapaan Pulau Majeti. Sebab dalam pikiran Dora,
jika Sembada ikut ke Medangkamulan, Dora pasti akan diganti Sembada sebagai
tenaga pegajar, sebab Sembada memang lebih cakap jadi guru ketimbang dirinya.
Begitu tiba di Pulau Majeti dan
bertemu Semabada, Dora pun saling berpeluk-pelukan karena rindu telah lama
berpisah. Tetapi kerinduan antara dua sahabat satu guru dan satu padepokan itu,
berubah jadi pertentangan, ketika Dora mengaku disuruh Aji Saka mengambil keris
pusaka. Sembada berikukuh akan tetapi mempertahankan keris Aji Saka yang
dititipkan kepadanya sebagai amanat. Keris hanya akan diberikan jika Aji Saka
sendiri yang mengambilnya. Atau jika Aji Saka memang sibuk karena sudah jadi
raja, Sembada mau mengalah, yaitu dia sendiri yang akan menyusul ke
Medangkamulan sambil membawa keris pusaka untuk diserahkan.
Ternyata semua usul
Sembada ditolak Dora. Akibatnya terjadi adu mulut dan mulai bertengkar. Dari
adu mulut meningkat jadi adu jotos, dan perkelahaian antara Dora dan Sembada
tak dapat dihindarkan lagi. Walapun dalam kemapuan mengajar sastra dan tulisan
Semabada lebih pandai dari pada Dora, tapi dalam ilmu kanuragan dan ilmu jaya
kawijayan guna kasantikan, kedua-duanya sama-sama saktinya, karena sama-sama
cantrik Aji Saka. Sampai suatu ketika, Dora berhasil merebut keris pusaka dan
langsung ditusukkan ke dada Sembada, sehingga Sembada rubuh ke tanah, dan
pingsan seketika. Tetapi ketika Dora mendekatkan wajahnya untuk memeriksa apakah Sembada benar-benar tewas,
Sembada yang pura-pura pingsan dapat merebut kembali keris pusaka dan langsung
ditusukkan ke perut Dora. Dora pun jatuh ke tanah dan tewas seketika. Tapi
luka-luka Sembada pun makin lama makin hebat, karena racun pada keris pusaka
mulai menggerogoti tubuh Sembada juga. Akhirnya, Sembada tewas menyusul Dora.
Sementara itu, setelah
berminggu-minggu menungu, Aji Saka belum juga menerima kabar dari Dora yang diutus untuk
menjemput Sembada. Dia mulai merasa tidak enak, hatinya gelisah, dan cemas.
Apa lagi saat ingat pesannya sendiri kepada Sembada, bahwa Aji Saka sendirilah
yang kelak akan mengambil keris pusaka yang dititipkan pada Sembada. Akhirnya
Aji Saka memutuskan untuk mengirim utusan lengkap dengan sejumlah pengawalnya
menyusul Dora dan menemui Sembada.
Tetapi betapa terkejutnya setelah utusan
tiba kembali dari Pulau Majeti, kemudian melaporkan semua kejadian menyedihkan
yang menimpa dua cantrik kesayangannya
di pertapaannya di Pulau Majeti.Namun demikian, Aji Saka kembali
dapat menerima keris pusaka yang ditunggui cantriknya di Pulau Majeti. Konon,
disamping membangun pertapaan dan padepokan di Pulau Majeti, Aji Saka juga
menamam pohon dari bunga langka, dan disucikan, yakni pohon Wijayakusuma (Epiphyllum
anguliger). Selain di Pulau Majeti, pohon Wijayakusuma juga tumbuh di Pulau
Karimunjawa dan Bali.
Merasa sangat terpukul dengan nasib
malang yang menimpa dua cantrik kesayangannya itu, Prabu Sangkala Aji Saka,
menggubah sebuah syair untuk mengenang dan mengabadikan peristiwa yang
memilukan itu. Bunyi syair yang ditulisnya
dalam bahasa dan huruf Jawa ciptaan Prabu Sangkala Aji Saka berbunyi sbb :
Hana caraka/data sawala/pada jayanya/maga batanga. Artinya
Ada utusan/ saling bertengkar/ sama
saktinya/ tewa keduanya.
Sejak itulah tercipta tulisan dalam
huruf Jawa yang diajarkan Prabu Sangkala Aji Saka. Dia menjadi penguasa
Kerajaan Medangkamulan, dan menurunkan putra-putri dan keturunannya, yang
dipercaya menjadi cikal bakal leluhur orang Jawa. Karena Prabu Sangkala Aji
Saka, berasal dari tanah Hindustan, maka ada anggapan, bahwa leluhur orang Jawa
berasal dari Tanah Hindustan. Demikianlah dongengan Aji Saka yang berisi kisah
asal-usul orang Jawa, huruf Jawa, dan bahasa Jawa.
Sumber Pustaka Dongengan Aji
Saka.
Seorang ahli sastra Jawa,
Prof.Dr.Purbocaroko, menjelaskan bahwa Dongengan Aji Saka berasal dari tulisan
pujangga Jawa R.Ng.Ranggawarsita, dalam karyanya yang berjudul Parama Yoga,
kemudian dilanjutkan dalam kitab Pustaka Raja. Kitab Pustaka Raja, terdiri dari
2 bagian, yaitu:
1. Pustaka Raja Purwa, menceritrakan
masa 800 tahun tanah Jawa, yakni antara tahun 1 Saka – 800 tahun Saka ( 78 M –
878 M). Pada masa ini dikisahkan ceritera wayang purwa.
2. Pustaka Raja Purawa, menceriterakan :
a. Kejadian di tanah Jawa selama 600
tahun, yakni setelah jaman wayang purwa, sampai runtuhnya Kerajaan Majapahit,
800- 1400 Saka (878 – 1478 M).
b. Kejadian di tanah Jawa selama 200
tahun, yakni jaman setelah Majapahit runtuh sampai jaman Demak, Pajang, dan Mataram
Plered, 1400 – 1600 Saka ( 1478 – 1678)
Dalam Pustaka Raja Purwa,
diceriterakan bahwa Sang Prabu Sangkala Aji Saka dan keturunannya hanya
memerintah selama 101 tahun saja. Pada tahun 101 Saka (179 M), keturunan Aji
Saka musnah karena wabah penyakit. Kemudian dimulailah pemerintahan para dewa dari tanah
Hindustan yang turun ke tanah Jawa untuk meembangun kembali pulau Jawa.
Dongengan Para Dewa Membangun Tanah Jawa.
Dongengan tentang asal usul orang
Jawa dari tanah Hinustan, juga ada dalam kitab Tantu Panggelaran, konon Karya Prabu
Jayabaya dari Mamenang. Menurut Prof. Dr.Purbocaroko, isinya sbb :
Batara Guru menciptakan sepasang
manusia di Pulau Jawa, yang kemudian berkembang biak, tapi masih belum
berperadaban. Mereka masih banyak yang telanjang, belum pandai bertutur kata,
dan belum pula pandai membuat rumah. Maka Batara Guru pun memerintahkan ke lima
putranya, yakni Wisnu, Sambo, Brahma, Wisnu, dan Bayu untuk turun ke Pulau Jawa,
agar mengajar mereka supaya pandai berbicara, berpakaian, membuat rumah,
membuat alat-alat untuk berburu dan bercocok tanam. Saat itu Sumatra, Jawa, dan
Bali masih jadi satu.
Batara Wisnu merupakan dewa yang
pertama kali turun dan menjadi raja pertama di pulau Jawa, dengan nama Sang Maharaja
Suman Kandiawan. Dia mendirikan Kerajaan Medhangpura di lereng Gunung Gora,
kelak berubah nama jadi Gunung Slamet. Sang Maharaja Suman Kandiawan mempunyai
empat putra, yakni Sang Mangkukuhan, Sandang Garba, Katung Malaras, Karung
Kala, dan Wreti Kandayun.
Menyusul Batara Brahma, turun di
Tanah Pasundan, dan mendirikan Kerajaan Medhanggili di lereng Gunung Tangkuban
Perahu, dengan gelar Sang Maharaja Sundha. Lalu turun Batara Indra mendirikan
Kerajaan Medhanggana, di lereng Gunung Semeru, dengan gelar Sang Maharaja Sakra.
Berikutnya turun Batara Bayu, mendirikan Kerajaan Medhanggora di lereng Gunung
Agung, Pulau Bali, dengan gelar Sri Maharaja Bima. Terakhir turun adalah Batara
Sambo, yang mendirikan Kerajaan Medangprawa di lereng Gunung Rajabasa, Lampung,
dengan gelar Sang Maharaja Maldewa.
Sebelum kelima putra Batara Guru
turun ke Pulau Jawa, Batara Guru sudah lebih dulu mengunjungi Pulau Jawa, dan
menemukan pulau yang masih kosong itu banyak ditumbuhi pohon Jawawut. Dari nama
pohon Jawawut itulah, Batara Guru memberi nama pulau yang dikunjunginya itu, Pulau Jawa.
Demikianlah dari dongeng dalam kita
Putaka Raja dan Tantu Panggelaran, disebutkan bahwa leluhur orang Jawa berasal
dari tanah Hindustan yang melakukan migrasi ke Pulau Jawa, mengikuti para dewa.
Seorang Sarjana Belanda C.C. Berg, mengutip silisilah leluhur para raja
Kerajaan Jawa yang bersumber dari karya
sastra orang Jawa adalah sbb :
(1) Raja Sakri-Parikesit ,(2) Udayana (3)
Gendrayana, (4) Jayabaya , (5) Suwelacala, (6) Resi Gentayu, (7) Lembu
Amiluhur, (8) Banjaran Sari, (9) Jaka Susuruh Raden Wijaya, (10) Senapati.
Karena dalam kisah di atas tampak campur aduk,
antara dewa dan manusia, maka para sejarawan menganggapnya Pustakaraja dan Paramayoga bukan karya historiografi sejarah. Tetapi lebih merupakan karya sastra yang berisi dongengan, atau fantasi Sang Pujangga penulis kisah, sekalipun mengandung juga sebagian kecil fakta sejarah. [28-12-2018]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar