Entri yang Diunggulkan

Kahyangan Suralaya, Tempat Tinggal Para Dewa

Legenda adalah kisah tentang orang, kejadian, atau peristiwa yang dibuat berdasarkan fantasi dengan maksud untuk menimbulkan kekaguman...

Jumat, 28 Desember 2018

Prabu Sangkala Aji Saka menciptakan Aksara Jawa



Setelah dinobatkan jadi raja, Prabu Sangkala Aji Saka ingat pada Sembada yang masih tingggal di pertapaanya untuk menjaga kerisnya. Apa lagi Aji Saka perlu keris pusaka dan juga perlu bantuan Sembada untuk membantu mengajar rakyat Medangkamulan pandai baca tulis. Sedangkan sebagai guru, Dora dianggap kurang sabar, dan kurang cakap. Maka disuruhlah Dora supaya menjemput Sembada, sekalian membawa keris pusakanya. Maka berangkatlah Dora. Tapi ditengah jalan Dora berubah pikiran, dia ingin menipu Sembada, dengan mengatakan bahwa dirinya disuruh Aji Saka untuk mengambil keris pusaka, dan dirinya juga disuruh menyampaikan pesan Aji Saka, agar Sembada tetapi tinggal di Pulau Majeti dan melanjutkan menjaga pertapaan dan meneruskan aktivitas mengajar penuduk dari daratan sekitar Teluk Penyu yang berdatangan untuk berguru di pertapaan Pulau Majeti. Sebab dalam pikiran Dora, jika Sembada ikut ke Medangkamulan, Dora pasti akan diganti Sembada sebagai tenaga pegajar, sebab Sembada memang lebih cakap jadi guru ketimbang dirinya.

Begitu tiba di Pulau Majeti dan bertemu Semabada, Dora pun saling berpeluk-pelukan karena rindu telah lama berpisah. Tetapi kerinduan antara dua sahabat satu guru dan satu padepokan itu, berubah jadi pertentangan, ketika Dora mengaku disuruh Aji Saka mengambil keris pusaka. Sembada berikukuh akan tetapi mempertahankan keris Aji Saka yang dititipkan kepadanya sebagai amanat. Keris hanya akan diberikan jika Aji Saka sendiri yang mengambilnya. Atau jika Aji Saka memang sibuk karena sudah jadi raja, Sembada mau mengalah, yaitu dia sendiri yang akan menyusul ke Medangkamulan sambil membawa keris pusaka untuk diserahkan.

 Ternyata semua usul Sembada ditolak Dora. Akibatnya terjadi adu mulut dan mulai bertengkar. Dari adu mulut meningkat jadi adu jotos, dan perkelahaian antara Dora dan Sembada tak dapat dihindarkan lagi. Walapun dalam kemapuan mengajar sastra dan tulisan Semabada lebih pandai dari pada Dora, tapi dalam ilmu kanuragan dan ilmu jaya kawijayan guna kasantikan, kedua-duanya sama-sama saktinya, karena sama-sama cantrik Aji Saka. Sampai suatu ketika, Dora berhasil merebut keris pusaka dan langsung ditusukkan ke dada Sembada, sehingga Sembada rubuh ke tanah, dan pingsan seketika. Tetapi ketika Dora mendekatkan wajahnya untuk memeriksa  apakah Sembada benar-benar tewas, Sembada yang pura-pura pingsan dapat merebut kembali keris pusaka dan langsung ditusukkan ke perut Dora. Dora pun jatuh ke tanah dan tewas seketika. Tapi luka-luka Sembada pun makin lama makin hebat, karena racun pada keris pusaka mulai menggerogoti tubuh Sembada juga. Akhirnya, Sembada tewas menyusul Dora.

Sementara itu, setelah berminggu-minggu menungu, Aji Saka belum juga  menerima kabar dari Dora yang diutus untuk menjemput Sembada. Dia mulai merasa tidak enak, hatinya gelisah, dan cemas. Apa lagi saat ingat pesannya sendiri kepada Sembada, bahwa Aji Saka sendirilah yang kelak akan mengambil keris pusaka yang dititipkan pada Sembada. Akhirnya Aji Saka memutuskan untuk mengirim utusan lengkap dengan sejumlah pengawalnya menyusul Dora dan menemui Sembada.

 Tetapi betapa terkejutnya setelah utusan tiba kembali dari Pulau Majeti, kemudian melaporkan semua kejadian menyedihkan yang menimpa  dua cantrik kesayangannya di pertapaannya di Pulau Majeti.Namun demikian, Aji Saka kembali dapat menerima keris pusaka yang ditunggui cantriknya di Pulau Majeti. Konon, disamping membangun pertapaan dan padepokan di Pulau Majeti, Aji Saka juga menamam pohon dari bunga langka, dan disucikan, yakni pohon  Wijayakusuma (Epiphyllum anguliger). Selain di Pulau Majeti, pohon Wijayakusuma juga tumbuh di Pulau Karimunjawa dan Bali.

Merasa sangat terpukul dengan nasib malang yang menimpa dua cantrik kesayangannya itu, Prabu Sangkala Aji Saka, menggubah sebuah syair untuk mengenang dan mengabadikan peristiwa yang memilukan itu. Bunyi syair  yang ditulisnya dalam bahasa dan huruf Jawa ciptaan Prabu Sangkala Aji Saka  berbunyi sbb :

Hana caraka/data sawala/pada jayanya/maga batanga. Artinya
Ada utusan/ saling bertengkar/ sama saktinya/ tewa keduanya.

Sejak itulah tercipta tulisan dalam huruf Jawa yang diajarkan Prabu Sangkala Aji Saka. Dia menjadi penguasa Kerajaan Medangkamulan, dan menurunkan putra-putri dan keturunannya, yang dipercaya menjadi cikal bakal leluhur orang Jawa. Karena Prabu Sangkala Aji Saka, berasal dari tanah Hindustan, maka ada anggapan, bahwa leluhur orang Jawa berasal dari Tanah Hindustan. Demikianlah dongengan Aji Saka yang berisi kisah asal-usul orang Jawa, huruf Jawa, dan bahasa Jawa.

Sumber Pustaka Dongengan Aji  Saka.
Seorang ahli sastra Jawa, Prof.Dr.Purbocaroko, menjelaskan bahwa Dongengan Aji Saka berasal dari tulisan pujangga Jawa R.Ng.Ranggawarsita, dalam karyanya yang berjudul Parama Yoga, kemudian dilanjutkan dalam kitab Pustaka Raja. Kitab Pustaka Raja, terdiri dari 2 bagian, yaitu:

1.      Pustaka Raja Purwa, menceritrakan masa 800 tahun tanah Jawa, yakni antara tahun 1 Saka – 800 tahun Saka ( 78 M – 878 M). Pada masa ini dikisahkan ceritera wayang purwa.
2.      Pustaka Raja Purawa, menceriterakan :

a.      Kejadian di tanah Jawa selama 600 tahun, yakni setelah jaman wayang purwa, sampai runtuhnya Kerajaan Majapahit, 800- 1400 Saka (878 – 1478 M).
b.      Kejadian di tanah Jawa selama 200 tahun, yakni jaman setelah Majapahit runtuh sampai jaman Demak, Pajang, dan Mataram Plered,  1400 – 1600 Saka ( 1478 – 1678)

Dalam Pustaka Raja Purwa, diceriterakan bahwa Sang Prabu Sangkala Aji Saka dan keturunannya hanya memerintah selama 101 tahun saja. Pada tahun 101 Saka (179 M), keturunan Aji Saka musnah karena wabah penyakit. Kemudian dimulailah pemerintahan para dewa dari tanah Hindustan yang turun ke tanah Jawa untuk meembangun kembali pulau Jawa.

 Dongengan Para Dewa Membangun Tanah Jawa.
Dongengan tentang asal usul orang Jawa dari tanah Hinustan, juga ada dalam kitab Tantu Panggelaran, konon Karya Prabu Jayabaya dari Mamenang. Menurut Prof. Dr.Purbocaroko, isinya sbb :

Batara Guru menciptakan sepasang manusia di Pulau Jawa, yang kemudian berkembang biak, tapi masih belum berperadaban. Mereka masih banyak yang telanjang, belum pandai bertutur kata, dan belum pula pandai membuat rumah. Maka Batara Guru pun memerintahkan ke lima putranya, yakni Wisnu, Sambo, Brahma, Wisnu, dan Bayu untuk turun ke Pulau Jawa, agar mengajar mereka supaya pandai berbicara, berpakaian, membuat rumah, membuat alat-alat untuk berburu dan bercocok tanam. Saat itu Sumatra, Jawa, dan Bali masih jadi satu.

Batara Wisnu merupakan dewa yang pertama kali turun dan menjadi raja pertama di pulau Jawa, dengan nama Sang Maharaja Suman Kandiawan. Dia mendirikan Kerajaan Medhangpura di lereng Gunung Gora, kelak berubah nama jadi Gunung Slamet. Sang Maharaja Suman Kandiawan mempunyai empat putra, yakni Sang Mangkukuhan, Sandang Garba, Katung Malaras, Karung Kala, dan Wreti Kandayun.

Menyusul Batara Brahma, turun di Tanah Pasundan, dan mendirikan Kerajaan Medhanggili di lereng Gunung Tangkuban Perahu, dengan gelar Sang Maharaja Sundha. Lalu turun Batara Indra mendirikan Kerajaan Medhanggana, di lereng Gunung Semeru, dengan gelar Sang Maharaja Sakra. Berikutnya turun Batara Bayu, mendirikan Kerajaan Medhanggora di lereng Gunung Agung, Pulau Bali, dengan gelar Sri Maharaja Bima. Terakhir turun adalah Batara Sambo, yang mendirikan Kerajaan Medangprawa di lereng Gunung Rajabasa, Lampung, dengan gelar Sang Maharaja Maldewa.

Sebelum kelima putra Batara Guru turun ke Pulau Jawa, Batara Guru sudah lebih dulu mengunjungi Pulau Jawa, dan menemukan pulau yang masih kosong itu banyak ditumbuhi pohon Jawawut. Dari nama pohon Jawawut itulah, Batara Guru memberi nama pulau yang dikunjunginya itu, Pulau Jawa.

Demikianlah dari dongeng dalam kita Putaka Raja dan Tantu Panggelaran, disebutkan bahwa leluhur orang Jawa berasal dari tanah Hindustan yang melakukan migrasi ke Pulau Jawa, mengikuti para dewa. Seorang Sarjana Belanda C.C. Berg, mengutip silisilah leluhur para raja Kerajaan Jawa  yang bersumber dari karya sastra orang Jawa adalah sbb :

(1)   Raja Sakri-Parikesit ,(2) Udayana (3) Gendrayana, (4) Jayabaya , (5) Suwelacala, (6) Resi Gentayu, (7) Lembu Amiluhur, (8) Banjaran Sari, (9) Jaka Susuruh Raden Wijaya, (10) Senapati.

Karena dalam kisah di atas tampak  campur aduk, antara dewa dan manusia, maka para sejarawan menganggapnya Pustakaraja dan Paramayoga bukan karya historiografi sejarah. Tetapi lebih merupakan karya sastra yang berisi dongengan, atau fantasi Sang Pujangga penulis kisah, sekalipun mengandung juga sebagian kecil fakta sejarah.  [28-12-2018]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar