Entri yang Diunggulkan

Kahyangan Suralaya, Tempat Tinggal Para Dewa

Legenda adalah kisah tentang orang, kejadian, atau peristiwa yang dibuat berdasarkan fantasi dengan maksud untuk menimbulkan kekaguman...

Sabtu, 02 Juli 2016

(1) Mengenang 94 Tahun Tamansiswa ( 3 Juli 1922 - 3 Juli 2016 ) - Bagian 01 Dari 4 Tulisan




Di depan Parlemen Negeri Belanda, pada tanggal 8 Desember 1851, anggota Parlemen, WR Van Hoevell, mengucapkan pidatonya yang berapi-api. Dia menuntut agar pribumi terjajah diberikan pendidikan yang baik dan tidak membiarkan mereka tetap bodoh dan membiarkan mereka menjadi budak China karena kebodohannya.

“You caannot give the Javanese the free disposal of the fruits of their labour because they let themselves be fooled, they fall into the hands of the Chinese, they are children and they cannot be in charge of their own goods…..then educate the Javanese, give them a sound primary education and develop the people to higher civilization, and the evil that now still necessitates, the Culture System will gradually disappear….”

Setengah abad kemudian gagasan Baron Van Hoevell dilaksanakan pemerintah Hindia Belanda. Sistem Tanam Paksa dihapus, kebijakan politik etis dijalankan dengan mendirikan banyak sekolah untuk mendidik pribumi agar mereka dapat diikutsertakan dalam proses industrialisasi untuk menggali kekayaan sumber alam Hindia Belanda melalui proses Revolusi Industri.

Melalui kebijakan politik etis telah banyak dilahirkan pribumi terdidik. Tetapi pribumi terdidik itu, melalui politik etis, diarahkan untuk menjadi bagian dari kawula Negeri Belanda, dan mengabdikan dirinya untuk kepentingan Negeri Belanda. 

Ki Hadjar Dewantaralah yang pertama-tama melihat bahwa sistem pendidikan kolonial yang diciptakan pemerintah Hindia Belanda melalui kebijakan Politik Etis, harus dilawan melalui sistem pendidikan nasional. Tujuannya agar  pribumi terjajah sadar akan jati dirinya sebagai anak bangsa yang bermartabat, berkedudukan setara dengan bangsa kulit putih, dan tidak ada diskriminasi dan prasangka ras, pribumi vs non pribumi. Untuk menciptakan sistem pendidikan nasional itulah, pada tanggal 3 Juli 1922, Ki Hadjar Dewantara dan kawan-kawannya, mendirikan Perguruan Nasional Tamansiswa. Sejak itu, Perguruan Nasional Tamansiswa menjadi benteng sistem pendidikan nasional dan benteng perlawanan terhadap sistem pendidikan kolonial. Ki Hadjar Dewantara melawan Sistem Pendidikan Kolonial, bukan dengan mengangkat senjata. Tetapi dengan mengangkat ujung pena, mengembangkan gagasan dan konsepsi pendidkan nasional melalui pranata pendidikan, dan  menawarkan sistem pendidikan nasional sebagai antitese terhadap sistem pendidikan kolonial.

1.Kritik Terhadap Kebijakan Politik Etis

Kebijakan Etis yang dijalankan Pemerintah Hindia Belanda di bidang pendidikan memang memilki sejumlah kelemahan yang tidak memuaskan kalangan Pribumi Hindia Belanda. Enam kelemahan kebijakan politik etis yang mengandung banyak kelemahan antara lain sbb:

1.      (1)Gradualisme, (2) Dualisme, (3) Kontrol yang ketat, (4)  Keterbatasan tujuan, (5)  Prinsip Konkordansi, (6)    Tanpa Organisasi Perencanaan yang sistematis.

(Prof.Dr.Nasution ,MA; 1987)

1.1.Gradualisme

Pemerintah Hindia Belanda lebih memprioritaskan pendidikan untuk anak-anak Belanda dari pada anak-anak Pribumi. Pemerintah Hindia Belanda dinilai lambat memperbaiki pendidikan Pribumi, sehingga hampir tidak ada bedanya kondisi Pribumi yang tidak terdidik sebelum Belanda datang sampai awal abad ke-20 M. Gerakan Liberal dan Politik Etis yang muncul di negeri Belanda belum memberikan pendidikan yang proporsional kepada golongan Pribumi.


1.2.Dualisme

Dualisme dalam pendidikan kolonial merupakan ciri yang paling menonjol. Sistem Pendidikan terbagi ke dalam dua kategori, Sekolah Belanda dan Sekolah Pribumi. Masing-masing sistem memiliki kurikulum, pengawas, bahasa pengantar dan pembiayaan yang terpisah.

Pemerintah Hindia Belanda berdalih bahwa dualisme itu bukan rasialisme. Tetapi semata-mata karena soal bahasa dan kebutuhan yang berbeda bagi anak-anak Belanda dan anak-anak Pribumi. Tetapi fakta di lapangan memang menunjukkan bahwa dualsime dalam sistem penidikan yang diciptakan Pemerintah Hindia Belanda itu lebih pada alasan yang bersifat rasial dan diskriminatif yang diciptakan Pemerintah Hindia Belanda.

Faktanya memang hanya sedikit para penganut kebiajakan plitik etis di kalangan birokrat Pemerintah Hindia Belanda yang berani menentang kebijakan dualisme  dalam bidang pendidikan. Mereka antara lain hanya Dr.Snouck Hurgronye, Van Heutz, Idenburg, Van Limburg Stirum, Abendanon dan sejumlah akademsi dan ilmuwan yang jumlahnya minoritas.


1.3.Kontrol yang kuat.

Kebijakan atas pendidikan di Hindia Belanda dilaksanakan dengan kontrol yang sangat ketat dan kuat oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda. Dengan demikian maka kepentingan Pemerintah Hindia Belanda selaku penjajah, lebih diutamakan dari pada kepentingan Pribumi yang terjajah.


1.4.Pendidikan Sebagai Penyedia Pegawai.

Pemerintah Hindia Belanda mendirikan sekolah untuk Pribumi hanyalah untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek, yaitu hanya untuk memenuhi kebutuhan pegawai tingkat rendah.baik pada birokrasi pemerintah Hindia Belanda maupun perusahaan-perusahaan swasta Belanda.

Karena itu jika kebutuhan pegawai sudah terpenuhi, aktivitas pendidikan dengan mudah akan ditutup. Tidak ada gagasan untuk mencapai tujuan pendidikan yang lebih maju lagi, selain hanya sebagai tujuan jangka pendek yaitu sebagai pabrik pegawai rendahan. Paling banter pegawai menengah untuk anak-anak priyayi golongan ningrat.


1.5.Konkordansi

Prinsip ini memaksa agar semua sekolah Pribumi yang didirikan Pemerintah Hindia Belanda, mengikuti model sekolah di negeri Belanda sebagai suatu cetak biru yang tidak boleh di ganggu gugat. Sekalipun sekolah-sekolah Pribumi itu didirikan di Hindia Belanda, tetapi kurikulumnya mengikuti dengan ketat kurikulum yang ada di negeri Belanda. Akibatnya anak-anak Pribumi mendapatkan pendidikan yang kurang relevan dengan kebutuhan Pribumi di tanah airnya sendiri.


1.6.Tidak Adanya Organisasi Yang Sistematis.

Sekolah-sekolah Pribumi yang didirikan Pemerintah Hindia Belanda pada awalnya terpecah-pecah dan berdiri sendiri-sendiri. Ada Sekolah Desa, ada Sekolah Klas Satu ada Sekolah Klas Dua. Memang secara berangsur-angsur ada pembenahan di sana-sini, tetapi tetap saja tidak terjadi sinkronisasi yang padu. Masih ada kendala antara pendidkan Pribumi di Jawa dengan luar Jawa. Di samping itu sekolah-sekolah kejuruan yang ada pun hanya terbuka bagi golongan Pribumi tertentu saja. Demikianlah sejumlah kelemahan dari sistem pendidikan yang diciptakan oleh Pemerintah Hindia Belanda melalui kebijakan politik etis.(bersambung)


Artikel lanjutan klik :
https://wwwtamansiswa.blogspot.co.id/2016/07/mengenang-94-tahun-3-juli-1922-3-juli.html 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar