Di depan Parlemen Negeri Belanda, pada tanggal 8
Desember 1851, anggota Parlemen, WR Van Hoevell, mengucapkan pidatonya yang
berapi-api. Dia menuntut agar pribumi terjajah diberikan pendidikan yang baik
dan tidak membiarkan mereka tetap bodoh dan membiarkan mereka menjadi budak
China karena kebodohannya.
“You caannot give the Javanese the free disposal of
the fruits of their labour because they let themselves be fooled, they fall
into the hands of the Chinese, they are children and they cannot be in charge
of their own goods…..then educate the Javanese, give them a sound primary
education and develop the people to higher civilization, and the evil that now
still necessitates, the Culture System will gradually disappear….”
Setengah abad kemudian gagasan Baron Van Hoevell
dilaksanakan pemerintah Hindia Belanda. Sistem Tanam Paksa dihapus, kebijakan
politik etis dijalankan dengan mendirikan banyak sekolah untuk mendidik pribumi
agar mereka dapat diikutsertakan dalam proses industrialisasi untuk menggali
kekayaan sumber alam Hindia Belanda melalui proses Revolusi Industri.
Melalui kebijakan politik etis telah banyak dilahirkan
pribumi terdidik. Tetapi pribumi terdidik itu, melalui politik etis, diarahkan
untuk menjadi bagian dari kawula Negeri Belanda, dan mengabdikan dirinya untuk
kepentingan Negeri Belanda.
Ki Hadjar Dewantaralah yang pertama-tama melihat bahwa
sistem pendidikan kolonial yang diciptakan pemerintah Hindia Belanda melalui
kebijakan Politik Etis, harus dilawan melalui sistem pendidikan nasional.
Tujuannya agar pribumi terjajah sadar
akan jati dirinya sebagai anak bangsa yang bermartabat, berkedudukan setara
dengan bangsa kulit putih, dan tidak ada diskriminasi dan prasangka ras,
pribumi vs non pribumi. Untuk menciptakan sistem pendidikan nasional itulah,
pada tanggal 3 Juli 1922, Ki Hadjar Dewantara dan kawan-kawannya, mendirikan
Perguruan Nasional Tamansiswa. Sejak itu, Perguruan Nasional Tamansiswa menjadi
benteng sistem pendidikan nasional dan benteng perlawanan terhadap sistem
pendidikan kolonial. Ki Hadjar Dewantara melawan Sistem Pendidikan Kolonial, bukan
dengan mengangkat senjata. Tetapi dengan mengangkat ujung pena, mengembangkan
gagasan dan konsepsi pendidkan nasional melalui pranata pendidikan, dan menawarkan sistem pendidikan nasional sebagai
antitese terhadap sistem pendidikan kolonial.
1.Kritik Terhadap Kebijakan Politik Etis
Kebijakan
Etis yang dijalankan Pemerintah Hindia Belanda di bidang pendidikan memang
memilki sejumlah kelemahan yang tidak memuaskan kalangan Pribumi Hindia
Belanda. Enam kelemahan kebijakan politik etis yang mengandung banyak kelemahan
antara lain sbb:
1.
(1)Gradualisme, (2)
Dualisme, (3)
Kontrol yang
ketat, (4)
Keterbatasan
tujuan, (5)
Prinsip
Konkordansi, (6)
Tanpa Organisasi
Perencanaan yang sistematis.
(Prof.Dr.Nasution
,MA; 1987)
1.1.Gradualisme
Pemerintah
Hindia Belanda lebih memprioritaskan pendidikan untuk anak-anak Belanda dari
pada anak-anak Pribumi. Pemerintah Hindia Belanda dinilai lambat memperbaiki
pendidikan Pribumi, sehingga hampir tidak ada bedanya kondisi Pribumi yang
tidak terdidik sebelum Belanda datang sampai awal abad ke-20 M. Gerakan Liberal
dan Politik Etis yang muncul di negeri Belanda belum memberikan pendidikan yang
proporsional kepada golongan Pribumi.
1.2.Dualisme
Dualisme
dalam pendidikan kolonial merupakan ciri yang paling menonjol. Sistem
Pendidikan terbagi ke dalam dua kategori, Sekolah Belanda dan Sekolah Pribumi.
Masing-masing sistem memiliki kurikulum, pengawas, bahasa pengantar dan
pembiayaan yang terpisah.
Pemerintah
Hindia Belanda berdalih bahwa dualisme itu bukan rasialisme. Tetapi semata-mata
karena soal bahasa dan kebutuhan yang berbeda bagi anak-anak Belanda dan
anak-anak Pribumi. Tetapi fakta di lapangan memang menunjukkan bahwa dualsime
dalam sistem penidikan yang diciptakan Pemerintah Hindia Belanda itu lebih pada
alasan yang bersifat rasial dan diskriminatif yang diciptakan Pemerintah Hindia
Belanda.
Faktanya
memang hanya sedikit para penganut kebiajakan plitik etis di kalangan birokrat
Pemerintah Hindia Belanda yang berani menentang kebijakan dualisme dalam bidang pendidikan. Mereka antara lain
hanya Dr.Snouck Hurgronye, Van Heutz, Idenburg, Van Limburg Stirum, Abendanon
dan sejumlah akademsi dan ilmuwan yang jumlahnya minoritas.
1.3.Kontrol yang kuat.
Kebijakan
atas pendidikan di Hindia Belanda dilaksanakan dengan kontrol yang sangat ketat
dan kuat oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda. Dengan demikian maka kepentingan
Pemerintah Hindia Belanda selaku penjajah, lebih diutamakan dari pada
kepentingan Pribumi yang terjajah.
1.4.Pendidikan Sebagai Penyedia Pegawai.
Pemerintah
Hindia Belanda mendirikan sekolah untuk Pribumi hanyalah untuk memenuhi
kebutuhan jangka pendek, yaitu hanya untuk memenuhi kebutuhan pegawai tingkat
rendah.baik pada birokrasi pemerintah Hindia Belanda maupun
perusahaan-perusahaan swasta Belanda.
Karena itu
jika kebutuhan pegawai sudah terpenuhi, aktivitas pendidikan dengan mudah akan
ditutup. Tidak ada gagasan untuk mencapai tujuan pendidikan yang lebih maju
lagi, selain hanya sebagai tujuan jangka pendek yaitu sebagai pabrik pegawai
rendahan. Paling banter pegawai menengah untuk anak-anak priyayi golongan
ningrat.
1.5.Konkordansi
Prinsip ini
memaksa agar semua sekolah Pribumi yang didirikan Pemerintah Hindia Belanda,
mengikuti model sekolah di negeri Belanda sebagai suatu cetak biru yang tidak
boleh di ganggu gugat. Sekalipun sekolah-sekolah Pribumi itu didirikan di
Hindia Belanda, tetapi kurikulumnya mengikuti dengan ketat kurikulum yang ada
di negeri Belanda. Akibatnya anak-anak Pribumi mendapatkan pendidikan yang
kurang relevan dengan kebutuhan Pribumi di tanah airnya sendiri.
1.6.Tidak Adanya Organisasi Yang Sistematis.
Sekolah-sekolah
Pribumi yang didirikan Pemerintah Hindia Belanda pada awalnya terpecah-pecah
dan berdiri sendiri-sendiri. Ada Sekolah Desa, ada Sekolah Klas Satu ada
Sekolah Klas Dua. Memang secara berangsur-angsur ada pembenahan di sana-sini,
tetapi tetap saja tidak terjadi sinkronisasi yang padu. Masih ada kendala
antara pendidkan Pribumi di Jawa dengan luar Jawa. Di samping itu
sekolah-sekolah kejuruan yang ada pun hanya terbuka bagi golongan Pribumi
tertentu saja. Demikianlah sejumlah kelemahan dari sistem pendidikan yang
diciptakan oleh Pemerintah Hindia Belanda melalui kebijakan politik etis.(bersambung)
Artikel lanjutan klik :
https://wwwtamansiswa.blogspot.co.id/2016/07/mengenang-94-tahun-3-juli-1922-3-juli.html
Artikel lanjutan klik :
https://wwwtamansiswa.blogspot.co.id/2016/07/mengenang-94-tahun-3-juli-1922-3-juli.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar