Entri yang Diunggulkan

Kahyangan Suralaya, Tempat Tinggal Para Dewa

Legenda adalah kisah tentang orang, kejadian, atau peristiwa yang dibuat berdasarkan fantasi dengan maksud untuk menimbulkan kekaguman...

Jumat, 29 Juli 2016

Anies Basweda, Mendikbud Yang Harus Lengser...





Sumber Gambar: Kompas.Com
Dua hari setelah Anies Baswedan dilengserkan dari Kabibet, sejumlah medsos masih ramai memperbincangkannya. Banyak yang tidak mengira Anies hanya menduduki kursi Mendikbud kurang dari dua tahun. Saolnya, publik menilai kinerja Anies bagus, dia pun termasuk pemimpin muda, ikut berdarah darah menjadi tim sukses Pilpres Jokowi-Kalla.  Memang Kalla yang menarik Anies jadi tim sukses. Jadi, patron Anies dalam kabinet, sebenarnya Jusuf Kalla, bukan Jokowi.


Belakangan Jokowi, mulai ingin mandiri sebagai pemegang hak prerogatif selaku Presiden. Jokowi mulai tidak suka didikte Jusuf Kalla. Dalam Munas Golkar di Bali, jago Jusuf Kalla bukan Setya Novanto, tapi Ade Komarudin dan Agung Laksono. Tapi Jokowi memilih memberikan dukungan kepada Setya Novanto. Tentu saja ada bargaining politik. Syaratnya Golkar dibawah Setya Novanto bergabung ke dalam pemerintahan dan memberikan dukungan pada Jokowi.  Jokowi pun menjanjikan jatah kursi menteri untuk Golkar. Jokowi langsung lupa pernyataannya sendiri pada saat kampanye, bahwa akan membentuk kabinet yang ramping, profesional, tidak bagi-bagi kursi, dan melarang Ketua Umum Parpol merangkap jabatan Menteri. Sebab, setelah hampir dua tahun duduk di kursi Presiden, Jokowi sudah lupa cita-citanya menjadi negarawan. Dia harus menjadi seorang politisi,agar bisa mengendalikan Kabinet dan DPR sekaligus.


 Dengan terpilihnya Setya Novanto, otomatis Jokowi mampu mengendalikan Golkar. Jusuf Kalla langsung gigit jari. Pengaruh Jusuf Kalla atas Golkar berhasil diamputasi Jokowi. Setya Novanto yang lincah itu, segera saja melakukan manuver. Dukung Ahok sebagai calon Gubernur dalam Pilgub 2017 dan dukung Jokowi dalam Pilpres 2019. Manuver kilat Golkar, ibarat sekali merengkuh dayung, dua pulau terlampaui. Setya Novanto telah melakukan investasi politik  untuk tahun 2017 dan 2019.  Jika Ahok terpilih jadi Gubernur DKI dan Jokowi terpilih sebagai Presiden lagi, Setya Novanto kelak akan dapat menepuk dada. Dan Mustahil Ahok dan Jokowi akan melupakan Setya Novanto dengan Golkarnya.


Posisi Jusuf Kalla semakin melemah sejak masuknya Rizal Ramli ke dalam Kabinet.  Memang Rizal Ramli masuk Kabinet, hanya untuk dimanfaatkan Jokowi guna memotong jaringan bisnis Jusuf Kalla. Jokowi bukannya tidak tahu siapa Rizal Ramli. Ekonom yang hanya pandai mengeritik, tetapi kurang mampu mewujudkan program-programnya. Pada masa Kabinet Gus Dur, Rizal Ramli praktis jadi kartu mati. Begitu jadi menteri diisukan nikah lagi di Lampung, dan menjelang diangkat Jokowi masuk kabinet, juga diisukan lagi punya hubungan spesial dengan salah seorang artis cantik yang sudah menjanda. Misi Jokowi mengangkat Rizal Ramli untuk menghadapi Jusuf Kalla, sebenarrnya sukses. Segera timbul kegaduhan politik. Dan Kalla langsung terpojok ke sudut ring. Tak mampu melawan pukulan jab yang dilayangkan Rizal Ramli melalui pernyataannya dan kritik-kritiknya yang memang pedas dan tajam. Itulah sebabnya pasca Munas Golkar dan Setya Novanto terpilih jadi Ketua Umum, berembus isue Jusuf Kalla mau mengundurkan diri. Tapi siapapun tahu. Jusuf Kalla bukanlah Mohamad Hatta, yang berani bersikap. Pada tahun 1956 Hatta milih mundur jadi Wapres karena merasa tidak bisa bekerja sama dengan Presiden Sukarno saat itu.


Menjelang reshuffle Kabinet tanggal 27 Juli 2016, Jokowi sudah di atas angin, dan Jusuf Kalla semakin jadi anak manis yang senang karena akhirnya Rizal Ramli yang suka bikin gaduh itu dicopot. Memang Jokowi tidak bermaksud memasang Rizal Ramli lama-lama. Yang penting tujuan untuk melemahkan Jusuf Kalla sudah tercapai. Jusuf Kalla, tentu  saja semakin tidak berdaya, ketika Jokowi dengan enteng mendepak Anies Baswedan. Bagi Jokowi, Anies Baswedan tidak punya basis massa yang bisa memuluskan agenda politik Jokowi kedepan. Lagi pula Anies lebih loyal kepada Kalla, dari pada kepada dirinya. Anies merasa dulu yang mengajak jadi tim sukses Jokowi, adalah Kalla dan bukan Jokowi. Karena Anies memang bukan politisi. Dia adalah ilmuwan yang memiliki integritas tinggi. Karena itu dia tidak mau berkhianat pada Jusuf Kalla dengan cara merapat kepada Jokowi. 


Sikap Anies yang demikian itu, sangat berpengaruh pada kebijakan Anies dalam memimpin Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Anies memang populer di mata para guru dan siswa. Tetapi Anies gagal mewujudukan gagasan-gagasan Jokowi dibidang pendidikan dan kebudayaan hanya karena ingin menghormati Kalla. Contohnya adalah Kebijakan UN yang selalu bikin gaduh setiap tahun sejak Mendiknas Bambang Sudibya sampai Mohamad Nuh.  Ujian Nasional itu ciptaan Jusuf Kalla. Bambang Sudibyo yang tidak punya visi pendidikan yang populis langsung mendudukug gagasan Jusuf Kalla dengan gagasan pendidkan yang elitis, eksklusif dan pendidikan sebagai bagian dari industri jasa kaum kapitalis. Hanya setelah Jusuf Kalla lengser, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Moh.Nuh, secara bertahap mengembalikan peran guru dalam penentuan kelulusan hasil UN. 


Secara tersirat, pada saat kampanye, sebenarnya Jokowi cenderung menghendaki UN sama sekali dihapus, karena sebenarnya merupakan proyek untuk menghabiskan anggaran saja. Anies bukannya tidak tahu kecenderunga Jokowi untuk menghapus UN. Tetapi Anies hanya tidak mau menghapus UN ketika Jusuf Kalla yang menciptakan UN masih jadi atasan Anies. Muka Jusuf Kalla mau dibuang kemana jika kebijakan UN yang dia ciptakan Jusuf Kalla, tiba-tiba dihapus? 


Singkat kata, Anies ewuh pakewuh kepada Jusuff Kalla. Sekarang ini dengan proses kelulusan telah diserahkan oleh Anies kepada para guru, melanjutkan kebijakan Moh.Nuh, sebenarnya UN yang menghbiskan anggaran trilyunan itu bisa dihapuskan saja. Dana yang ada bisa dialihkan untuk meningkatkan kualitas guru dan kepala sekolah melalui program supervsisi akademik kepada guru dan kepala sekolah. Tetapi Anies, tidak berani mengambil langkah.


Kegagalan yang kedua bagi Anies, dia juga gagal mewujudkan konsep pendidikan yang populis dan bermutu. Doktri Kalla dalam pendidikan dipegang teguh Anies Baswedan, bahwa pendidikan itu dimana-mana mahal. Tidak ada pendidikan yang murah. Tidak ada pendidikan yang gratis. Inilah doktrin Jusuf Kalla yang terkenal yang beberapa kali diucapkan dalam setiap kali beliau tampil dalam debat presiden maupun wakil presiden. Padahal di negara kapitalsi, pendidikan mahal. Tetapi ditanggung oleh negara dan kaum kapitalis melalui pajak yang dibayarkan kepada negara. Akibatnya Negara Kapitalis mampu memberikan pendidikan yang gratis dan murah kepada rakyatnya.


Apakah Prof.Muhajir, akan lebih baik dari Anies Baswedan? Belum tentu. Bisa jadi akan lebih buruk, walau kita berharap yang terbaik. Waktulah nanti yang akan membuktikan. Tetapi pilihan Jokowi kepada Prof.Muhajir, memang lebih pada kalkulasi politik Jokowi sebagai politisi yang mulai melepaskan diri dari bayang-bayang Megawati dengan PDIP nya dan Jusuf Kalla. Wiranto, Surya Paloh, dan Setya Novanto, adalah kendaraan politik yang lebih dapat diandalkan Jokowi dari pada Megawati dan PDI-P.  Lagi pula Wiranto dan Surya Paloh mantan tokoh Golkar yang dulu berhasil disingkirkan Kalla ketika Kalla merapat kepada SBY. Wiranto dan Surya Palloh, lebih dekat dengan Setya Novanto, karena  Ketua Umum Nasdem dan Hanura itu sejatinya pecahan Golkar, dan Setya Novanto tak punya masalah dengan Wiranto dan Surya Paloh. 


Sementara ituProf.Muhajir diperlukan Jokowi, karena Mujajir punya basis massa yang luas, yaitu Muhammadiyah. Muhammadiyah secara formal bukan partai politik. Tetapi membebaskan anggotanya untuk menalurkan aspirasi politiknya. Dan itulah yang diincar Jokowi. Dan Anies Baswedan, hanyalah korban. Yang jelas Muhammadiyah melalui Pimpinan Pusatnya, Haedar Nashir, sudah mengucapkan terimakasih kepada Presiden Jokowi.


“Sebenarnya, Presiden Jokowi menilai kinerja Anies Baswedan baik,” kata orang dekat Jokowi di istana kepresidenan menjawab pertanyaan wartawan.


Memang baik. Tetapi dimata  Presiden Jokowi, tentu penggantinya dipandang akan lebih baik dari Anies Baswedan.Wallahualam.(29-07-20116)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar