Sumber Gambar: Kompas.Com
Dua hari setelah Anies Baswedan dilengserkan dari Kabibet,
sejumlah medsos masih ramai memperbincangkannya. Banyak yang tidak mengira
Anies hanya menduduki kursi Mendikbud kurang dari dua tahun. Saolnya, publik
menilai kinerja Anies bagus, dia pun termasuk pemimpin muda, ikut berdarah
darah menjadi tim sukses Pilpres Jokowi-Kalla.
Memang Kalla yang menarik Anies jadi tim sukses. Jadi, patron Anies
dalam kabinet, sebenarnya Jusuf Kalla, bukan Jokowi.
Belakangan Jokowi, mulai ingin mandiri sebagai pemegang hak
prerogatif selaku Presiden. Jokowi mulai tidak suka didikte Jusuf Kalla. Dalam
Munas Golkar di Bali, jago Jusuf Kalla bukan Setya Novanto, tapi Ade Komarudin
dan Agung Laksono. Tapi Jokowi memilih memberikan dukungan kepada Setya
Novanto. Tentu saja ada bargaining politik. Syaratnya Golkar dibawah Setya
Novanto bergabung ke dalam pemerintahan dan memberikan dukungan pada
Jokowi. Jokowi pun menjanjikan jatah
kursi menteri untuk Golkar. Jokowi langsung lupa pernyataannya sendiri pada
saat kampanye, bahwa akan membentuk kabinet yang ramping, profesional, tidak
bagi-bagi kursi, dan melarang Ketua Umum Parpol merangkap jabatan Menteri.
Sebab, setelah hampir dua tahun duduk di kursi Presiden, Jokowi sudah lupa
cita-citanya menjadi negarawan. Dia harus menjadi seorang politisi,agar bisa
mengendalikan Kabinet dan DPR sekaligus.
Dengan terpilihnya
Setya Novanto, otomatis Jokowi mampu mengendalikan Golkar. Jusuf Kalla langsung
gigit jari. Pengaruh Jusuf Kalla atas Golkar berhasil diamputasi Jokowi. Setya
Novanto yang lincah itu, segera saja melakukan manuver. Dukung Ahok sebagai
calon Gubernur dalam Pilgub 2017 dan dukung Jokowi dalam Pilpres 2019. Manuver
kilat Golkar, ibarat sekali merengkuh dayung, dua pulau terlampaui. Setya
Novanto telah melakukan investasi politik
untuk tahun 2017 dan 2019. Jika
Ahok terpilih jadi Gubernur DKI dan Jokowi terpilih sebagai Presiden lagi,
Setya Novanto kelak akan dapat menepuk dada. Dan Mustahil Ahok dan Jokowi akan
melupakan Setya Novanto dengan Golkarnya.
Posisi Jusuf Kalla semakin melemah sejak masuknya Rizal
Ramli ke dalam Kabinet. Memang Rizal
Ramli masuk Kabinet, hanya untuk dimanfaatkan Jokowi guna memotong jaringan
bisnis Jusuf Kalla. Jokowi bukannya tidak tahu siapa Rizal Ramli. Ekonom yang
hanya pandai mengeritik, tetapi kurang mampu mewujudkan program-programnya.
Pada masa Kabinet Gus Dur, Rizal Ramli praktis jadi kartu mati. Begitu jadi menteri
diisukan nikah lagi di Lampung, dan menjelang diangkat Jokowi masuk kabinet,
juga diisukan lagi punya hubungan spesial dengan salah seorang artis cantik
yang sudah menjanda. Misi Jokowi mengangkat Rizal Ramli untuk menghadapi Jusuf
Kalla, sebenarrnya sukses. Segera timbul kegaduhan politik. Dan Kalla langsung
terpojok ke sudut ring. Tak mampu melawan pukulan jab yang dilayangkan Rizal
Ramli melalui pernyataannya dan kritik-kritiknya yang memang pedas dan tajam.
Itulah sebabnya pasca Munas Golkar dan Setya Novanto terpilih jadi Ketua Umum,
berembus isue Jusuf Kalla mau mengundurkan diri. Tapi siapapun tahu. Jusuf
Kalla bukanlah Mohamad Hatta, yang berani bersikap. Pada tahun 1956 Hatta milih
mundur jadi Wapres karena merasa tidak bisa bekerja sama dengan Presiden
Sukarno saat itu.
Menjelang reshuffle Kabinet tanggal 27 Juli 2016, Jokowi
sudah di atas angin, dan Jusuf Kalla semakin jadi anak manis yang senang karena
akhirnya Rizal Ramli yang suka bikin gaduh itu dicopot. Memang Jokowi tidak
bermaksud memasang Rizal Ramli lama-lama. Yang penting tujuan untuk melemahkan
Jusuf Kalla sudah tercapai. Jusuf Kalla, tentu
saja semakin tidak berdaya, ketika Jokowi dengan enteng mendepak Anies
Baswedan. Bagi Jokowi, Anies Baswedan tidak punya basis massa yang bisa
memuluskan agenda politik Jokowi kedepan. Lagi pula Anies lebih loyal kepada
Kalla, dari pada kepada dirinya. Anies merasa dulu yang mengajak jadi tim
sukses Jokowi, adalah Kalla dan bukan Jokowi. Karena Anies memang bukan
politisi. Dia adalah ilmuwan yang memiliki integritas tinggi. Karena itu dia tidak
mau berkhianat pada Jusuf Kalla dengan cara merapat kepada Jokowi.
Sikap Anies yang demikian itu, sangat berpengaruh pada
kebijakan Anies dalam memimpin Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Anies
memang populer di mata para guru dan siswa. Tetapi Anies gagal mewujudukan
gagasan-gagasan Jokowi dibidang pendidikan dan kebudayaan hanya karena ingin
menghormati Kalla. Contohnya adalah Kebijakan UN yang selalu bikin gaduh setiap
tahun sejak Mendiknas Bambang Sudibya sampai Mohamad Nuh. Ujian Nasional itu ciptaan Jusuf Kalla.
Bambang Sudibyo yang tidak punya visi pendidikan yang populis langsung
mendudukug gagasan Jusuf Kalla dengan gagasan pendidkan yang elitis, eksklusif
dan pendidikan sebagai bagian dari industri jasa kaum kapitalis. Hanya setelah
Jusuf Kalla lengser, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Moh.Nuh, secara bertahap
mengembalikan peran guru dalam penentuan kelulusan hasil UN.
Secara tersirat, pada saat kampanye, sebenarnya Jokowi
cenderung menghendaki UN sama sekali dihapus, karena sebenarnya merupakan
proyek untuk menghabiskan anggaran saja. Anies bukannya tidak tahu kecenderunga
Jokowi untuk menghapus UN. Tetapi Anies hanya tidak mau menghapus UN ketika
Jusuf Kalla yang menciptakan UN masih jadi atasan Anies. Muka Jusuf Kalla mau
dibuang kemana jika kebijakan UN yang dia ciptakan Jusuf Kalla, tiba-tiba
dihapus?
Singkat kata, Anies ewuh pakewuh kepada Jusuff Kalla.
Sekarang ini dengan proses kelulusan telah diserahkan oleh Anies kepada para
guru, melanjutkan kebijakan Moh.Nuh, sebenarnya UN yang menghbiskan anggaran
trilyunan itu bisa dihapuskan saja. Dana yang ada bisa dialihkan untuk
meningkatkan kualitas guru dan kepala sekolah melalui program supervsisi
akademik kepada guru dan kepala sekolah. Tetapi Anies, tidak berani mengambil
langkah.
Kegagalan yang kedua bagi Anies, dia juga gagal mewujudkan
konsep pendidikan yang populis dan bermutu. Doktri Kalla dalam pendidikan
dipegang teguh Anies Baswedan, bahwa pendidikan itu dimana-mana mahal. Tidak
ada pendidikan yang murah. Tidak ada pendidikan yang gratis. Inilah doktrin
Jusuf Kalla yang terkenal yang beberapa kali diucapkan dalam setiap kali beliau
tampil dalam debat presiden maupun wakil presiden. Padahal di negara kapitalsi,
pendidikan mahal. Tetapi ditanggung oleh negara dan kaum kapitalis melalui
pajak yang dibayarkan kepada negara. Akibatnya Negara Kapitalis mampu
memberikan pendidikan yang gratis dan murah kepada rakyatnya.
Apakah Prof.Muhajir, akan lebih baik dari Anies Baswedan?
Belum tentu. Bisa jadi akan lebih buruk, walau kita berharap yang terbaik.
Waktulah nanti yang akan membuktikan. Tetapi pilihan Jokowi kepada
Prof.Muhajir, memang lebih pada kalkulasi politik Jokowi sebagai politisi yang
mulai melepaskan diri dari bayang-bayang Megawati dengan PDIP nya dan Jusuf
Kalla. Wiranto, Surya Paloh, dan Setya Novanto, adalah kendaraan politik yang
lebih dapat diandalkan Jokowi dari pada Megawati dan PDI-P. Lagi pula Wiranto dan Surya Paloh mantan
tokoh Golkar yang dulu berhasil disingkirkan Kalla ketika Kalla merapat kepada
SBY. Wiranto dan Surya Palloh, lebih dekat dengan Setya Novanto, karena Ketua Umum Nasdem dan Hanura itu sejatinya
pecahan Golkar, dan Setya Novanto tak punya masalah dengan Wiranto dan Surya
Paloh.
Sementara ituProf.Muhajir diperlukan Jokowi, karena Mujajir
punya basis massa yang luas, yaitu Muhammadiyah. Muhammadiyah secara formal
bukan partai politik. Tetapi membebaskan anggotanya untuk menalurkan aspirasi
politiknya. Dan itulah yang diincar Jokowi. Dan Anies Baswedan, hanyalah
korban. Yang jelas Muhammadiyah melalui Pimpinan Pusatnya, Haedar Nashir, sudah
mengucapkan terimakasih kepada Presiden Jokowi.
“Sebenarnya, Presiden Jokowi menilai kinerja Anies Baswedan
baik,” kata orang dekat Jokowi di istana kepresidenan menjawab pertanyaan
wartawan.
Memang baik. Tetapi dimata
Presiden Jokowi, tentu penggantinya dipandang akan lebih baik dari Anies
Baswedan.Wallahualam.(29-07-20116)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar