Berikut Ringkasan Kisah Petruk Dadi ratu.
Sebagai salah satu punakawan resmi mayapada. Petruk sudah mengabdi
kepada puluhan”ndoro” (tuan), sejak jaman Wisnu pertama kali menitis ke dunia. Hingga
saat Wisnu menitis sebagai Arjuna Sasrabahu, menitis lagi sebagai Rama Wijaya,
menitis lagi sebagai Sri Kresna. Petruk tetap di sini sebagai seorang pengabdi,
karena itu adalah peranan agungnya. Petruk hanya bisa tersenyum kadang tertawa geli, dan sesekali
melancarkan protes akan kelakuan “ndoro-ndoro” (tuan-tuan)-nya yang sering kali
tak bisa diterima nalar. Tapi ya memang hanya itu peran Petruk di mayapada ini.
Dia tidak punya wewenang lebih dari itu. Meskipun sebenarnya kesaktian Petruk
tidak akan mampu ditandingi oleh tuannya yang manapun juga.
Berbeda dengan Gareng yang meledak-ledak dalam menanggapi kegilaan
mayapada, berbeda pula dengan Bagong yang sok cuek dan selalu mengabaikan
tatakrama. Petruk berusaha lebih realistis dalam menyikapi segala sesuatu yang
terjadi. Meskipun nyeri dadanya acapkali muncul saat melihat kejadian-kejadian
hasil rekayasa ndoro-ndoro nya.
Petruk sudah hafal betul dengan model paham kekuasaan di Karang
Kedempel dari waktu ke waktu. Kalau mau, sebenarnya bisa saja Petruk mengamuk
dan menghajar siapa saja yang dianggap bertanggung jawab atas kesemrawutan
pemerintahan. Dengan kesaktiannya, apa yang tak bisa dilakukan Petruk, bahkan
(dulu) pernah terjadi, Sri Kresna hampir saja musnah menjadi debu dihajar anak
Kyai Semar ini.Tapi Petruk sudah memutuskan untuk mengambil posisi sebagai punakawan yang
resmi. Dia sudah bertekad tidak lagi mengambil tindakan konyol seperti yang
dulu sering dia lakukan. Baginya, kemuliaan seseorang tidak terletak pada
status sosial. Pengabdian tidak harus dengan menempati posisi tertentu.
Melinkan pada pengabdiannya terhadap nusa dan bangsa. Singkat cerita Petruk menjelma menjadi Prabu Kanthong Bolong,
Petruk melabrak semua tatanan yang sudah terlanjur menjadi “main stream” model
kekuasaan di mayapada. Dia menjungkirbalikkan anggapan umum, bahwa penguasa
boleh bertindak semaunya, bahwa raja punya hak penuh untuk berlaku adil atapun
tidak.
Karuan saja, Ulah Prabu Kanthong Bolong membuat resah raja-raja
lain. Bahkan, kahyangan Junggring Saloka pun ikut-ikutan gelisah. Kawah
Candradimuka mendidih perlambang adanya “ontran-ontran” yang membahayakan
kekuasaan para dewa. Maka secara aklamasi disepakati, skenario “mengeliminir” raja
biang keresahan. Persekutuan raja dan dewa dibentuk, guna melenyapkan suara
sumbang yang mengganggu tatanan keyamanan yang sudah terbentuk selama ini. Hasilnya?, semua usaha untuk melenyapkan suara sumbang itu gagal
total.Bukannya Prabu Kanthong Bolong yang mati. Tapi raja jadi-jadian Petruk
ini malah mengamuk. Siapapun yang mendekat dihajarnya habis-habisan. Kresna dan
Baladewa dibuat babak belur. Batara Guru sang penguasa kahyangan lari
terbirit-birit. Kesaktian dan semua ajian milik dewa-dewa dan raja-raja, seperti
tak ada artinya menghadapi Prabu Kanthong Bolong. Tahta Jungring Saloka pun
dikuasai raja murka ini.
Keadaan semakin semrawut. Sampai akhirnya Semar Bodronoyo turun
tangan mengendalikan situasi. “Ngger, Petruk anakku!”, Semar berujar pelan, suaranya serak dan berat seperti
biasanya. “Jangan kau kira aku tidak mengenalimu, ngger! Apa yang sudah kau lakukan, thole? Apa yang kau inginkan? Apakah
kamu merasa hina menjadi kawulo alit? Apakah kamu merasa lebih mulia bila
menjadi raja? Sadarlah ngger, jadilah dirimu sendiri“.
Prabu Kanthong Bolong yang gagah dan tampan, berubah seketika
menjadi Petruk. Berlutut dihadapan Semar. Dan Episode “Petruk Dadi Ratu” pun
berakhir. Petruk tersenyum mengingat peristiwa itu. “Ah… hanya Hyang Widi
yang perlu tahu apa isi hatiku, selain Dia aku tak perduli.” Kembali dia mengayunkan “pecok”nya membelah kayu bakar. Sambil
bersenandung tembang pangkur:
“Mingkar-mingkuring angkoro, akarono karanan mardisiwi, sinawung resmining
kidung, sinubo sinukarto….”
Hahahaha dan Petruk pun tertawa
kembali melakoni perannya sebagai Punakawan Resmi mayapada ini.(Sumber : Surahman.Com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar