Entri yang Diunggulkan

Kahyangan Suralaya, Tempat Tinggal Para Dewa

Legenda adalah kisah tentang orang, kejadian, atau peristiwa yang dibuat berdasarkan fantasi dengan maksud untuk menimbulkan kekaguman...

Jumat, 07 April 2017

[03]Jejak-Jejak Nasionalisme Ki Hadjar Dewantara dan Sejarah Perjuangannya




4.Akhir Dari Kejayaan VOC
Setelah berhasil menjadi Gusti di Tanah Jawa dan sejumlah wilayah lain di luar Jawa, Kumpeni tetap konsisten dengan tujuan semula yakni datang ke Hindia Timur untuk berdagang dengan cara menegakkan monopoli perdagangan sesuai dengan ajaran mashab ekonomi Merkantilisme. Memang pada abad 16-18 M, mashab inilah yang populer dianut oleh kaum kapitalis negara-negara Eropa Barat.
Tetapi pada perempat akhir abad 18 M, Ekonomi Merkantilisme dengan praktek monopolinya mendapatkan kritikan tajam dari seorang ekonom dan filosof jenius  yang amat berbakat dari Scotlandia, Inggris, Adam Smith ( 1723 -1776 M). Karya terbesarnya di bidang ekonomi yang berisi kritik yang tajam terhadap praktek ekomomi kapitalistik yang monopolistik ajaran mashab Merkantilisme adalah sebuah buku yang berjudul : Inquiri into the Nature and Causes of the Wealth of Nations. Secara ringkas sering disebut The Wealth of Nations. Isinya sebenarnya berisi ajaran bangaimana cara suatu bangsa bisa menjadi kaya, sejahtera, makmur dan berkelimpahan.
Dia mengecam ajaran mashab ekonomi Merkantilisme, yang mengedepankan praktek monopoli sebagai satu-satunya cara untuk meraih laba  sebesar-besarnya, dan yang memberikan peluang campur tangan pemerintah yang terlalu besar dalam urusan produksi, distribusi dan ekonomi masyarakat.
Dia menggagas sistem ekonomi liberal, persaingan bebas, menghapuskan monopoli, mengurangi campur tangan pemerintah, menguraikan hukum permintaan dan penawaran, mendorong kerjasama antar negara dengan  pembebasan tarif masuk dan menganjurkan peningkatan keunggulan komparatip masing-masing negara dan wilayah. Melaui mahakaryanya itu, Adam Smith menggasas nasionalisme ekonomi dan welfare state atau negara  kesejahteraan yang sesuai dengan jamannya, yakni jaman masyarakat industri bebasis  sain dan teknologi.
Adam Smith percaya kepada kebenaran hukum Alam,- semacam hukum kodrat alam dalam alam gagasan kebudayaan Jawa yang dipopulerkan oleh Ki Hadjar Dewantara di lingkungan Tamansiswa. Adam Smith percaya bahwa setiap negera dan wilayah mendapat anugerah alam secara sendiri-sendiri yang bersifat khas dan unik untuk kelangsungan hidup masyarakat di wilayahnya, sehingga tiap negara dan wilayah pastilah memiliki keunggulan komparatip sendiri-sendiri.
Dua atau beberapa negara yang saling behubungan dan bekerjasama secara setara dan berkompetisi secara sehat, mengembangkan keunggulan masing-masing yang bersifat khas dan unik, justru akan meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran secara bersama-sama antar negara yang saling bekerja sama. Dengan demikian yang akan tercipta justru adalah perdamaian, keadilan ,kemakmuran dan kesejahteraan dunia.
Sebenarnya gagasan Adam Smith yang kelak dijadikan pegangan pemerintah Inggris dalam mengelola tanah jajahannya, bertolak dari anggapan dasar bahwa hubungan antara produsen dan konsumen dalam kerangka produksi sistem Kapitalis  berbasis pasar bebas, merupakan hubungan yang erat, saling membutuhkan dan tak terpisahkan. Gagasan itu hampir-hampir mirip gagasan Manunggaling Kawula-Gusti dalam konsep kekuasaan  dalam Kebudayaan Jawa. Setiap Kawula membutuhkan Gusti dan setiap Gusti membutuhkan Kawula, sehingga hubungan keduanya harus manunggal agar tercipta suatu tata, orde atau tertib alam semesta yang harmonis. Kemanunggalan Kawula dan Gusti akan berakibat bagi terwujudnya keselamatan, kebahagiaan, kesejahteraan dan keadilan sebagai wujud dari keseimbangan alam semesta.
Nampak jelas bahwa gagasan Adam Smith sebenarnya bertolak dari penghargaan yang tinggi terhadap perdamaian, mendorong kerjasama antar negara penghuni muka bumi   dan menjunjung tinggi  kemanusiaan.  
Tetapi memang idiom yang digunakan untuk melukiskan persaingan bebas dan gambaran nafsu manusia untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya sering terasa agak kasar dan seperti mengabaikan aspek moral hingga kesan yang muncul adalah animal economic yang tengah bersaing secara kejam, karena berpegang pada semboyan the survive is the fitnest yang berasal dari ajaran Darwinisme.
Tetapi bila ditelaah secara hati-hati, Smith sebenarnya bermaksud membela kepentingan konsumen, karena dengan persaingan sempurna yang menjunjung tinggi fairness atau kejujuran di antara para prudusen, maka pada akhirnya kebutuhan konsumen akan terpuaskan secara optimal.
Anggapan bahwa Smith seakan-akan mengabaikan aspek moral, tidak benar juga. Smith percaya, bahwa secara kodrati dan alamiah, pada dasarnya setiap manusia adalah baik. Tetapi Smith memang mengkritik standar moral pada jaman itu yang ditetapkan pihak gereja konservatif secara sewenang-wenang, sekaligus juga kritikan terhadap doktrin kuno Gereja jaman itu bahwa aktivitas perdagangan sama dengan aktivitas membungakan uang, karenanya dianggap bertentangan dengan Alkitab. Adam Smith memang salah satu pelopor pengembangan ilmu pengetahuan yang bersifat nonetik, dengan maksud untuk memperoleh obyektivitas dalam pandangan keilmuan.    
Memang salah satu kelemahan sitem ekonomi liberalis bila tidak ada campur tangan pemerintah adalah timbulnya disparitas yang tajam antara pendapatan produsen yang terdiri dari kaum kapitalis dengan pendapatan konsumen yang kebanyakan adalah rakyat biasa. Tetapi kelemahan ini bisa diatasi sebagaiman disarankan oleh John Maynard Keyness(1883-1946 M), yakni Pemerintah harus proaktif berperan sebagai Dewi Keadilan. Dengan menggunakan intrumen perpajakan, dapat dilakukan distribusi pendapatan sehingga dapat dikurangi kesenjangan antara kekayaan kaum kapitalis dan golongan-golongan lain dalam masyarakat.
Inti dari gagasan liberalisme sebenarnya adalah tidak boleh ada praktek curang, tidak adil dan tidak jujur dalam relasi antara konsumen dan produsen. Produsen yang tidak jujur, otomatis akan ditinggalkan oleh konsumen, seperti halnya juga gusti yang tidak jujur dan menindas kawula sangat layak untuk ditinggalkan kawulanya.
Dalam alam gagasan Smith, mekanisme penawaran dan permintaan dalam pasar bebas hingga terbentuknya harga, sangat sejalan dengan hukum-hukum alam semesta, yang diatur oleh tangan-tangan yang tidak tampak yang disebutnya The Invisible Hand. Smith tidak berani menyebutnya sebagai tangan-tangan Tuhan, karena dapat dipastikan bila istilah itu yang digunakan akan memperoleh reaksi keras dari pihak Gereja.
The Invisible Hand lebih diidentikkan dengan Dewi Keadilan yang tidak tampak. Dalam Kebudayaa Romawi Kuno, Dewi Keadilan sering disebut pula sebagai Nomus dan dalam Kebudayaan Jawa Kuno disebut Tata dan dalam Kebudayaan Belanda disebut Orde.
Dalam konsep mistik, penghormatan orang-orang Romawi terhadap Nomus, sama dengan penghormatan orang Jawa Kuno terhadap Tata. Bagi orang Romawi, menghormati Nomus merupakan salah satu bentuk kultus atau pemujaan terhadap Dewi Keadilan atau Justice yang dianggap sebagai sumber kesejahteraan, kemakmuran dan hidup berkelimpahan di muka bumi. Demikian pula halnya bagi orang Jawa pada masa pra Islam. Mematuhi, menghormati dan menjunjung tinggi Tata, sama halnya dengan kultus pemujaan terhadap Dewa Pemelihara Alam Semesta, yakni Dewa Wisnu dalam kepercayaan Hinduisme atau Vairochana dalam kepercayaan Budhaisme aliran Mahayana.
Hanya bedanya di dunia Barat, ketaatan dan kepatuhan terhadap hukum, norma, tata tertib, dan orde, terus berlanjut, menjadi kesadaran kolektif dan menjadi bagian dari kepribadian orang  Barat yang rasional dan menjadi dasar untuk mengembangkan tatanan masyarakat yang demokratis, taat hukum, sportif, liberalistis dan humanistis. 
Tetapi di tanah air kita, ketaatan terhadap tata, norma dan tertib hukum, mendadak lenyap dari kesadaran kolektf bangsa, terutama setelah Indonesia mencapai kemerdekaannya. Seakan-akan euforia kemerdekaan saat itu, dimaknai pula sebagai merdeka dari segala tata dan tertib hukum yang mengikatnya. Anehnya kemerdekaan demikian itulah yang disebut sebagai kemerdekaan gaya liberal. Padahal di negeri-negeri Barat yang liberal tak ada jenis kemerdekaan semacam itu.
Kita terjebak terus menerus pada perdebatan yang tak berjung pangkal antara pro dan kontra liberalisme. Dari segi konsepsi kita menolak liberalisme dan kapitalisme. Tetapi dalam praktek ketatanegaraan dan kemasyarakatan, baik dalam bidang politik maupun ekonomi, kita mempraktekkan gagasan-gagasan liberalisme. Akibatnya, sampai jaman reformasi, kita terus-menerus gagal menyusun formula demokrasi politik dan demokrasi ekonomi.
Gagasan Smith segera mendapat sambutan luar biasa dari Pemerintah Inggris, sehingga Kerajaan Inggris tercatat sebagai negara di dunia yang pertamakali menerapkan konsep-konsep ekonomi liberal, setelah sebelumnya pada abad ke-17 sudah menggagas politik liberal. Melalui gagasan Smith, Pemerintah Inggris mulai mengembangkan gagasan nasionalisme ekonomi yang berbasis liberalisme humanistik. Kebetulan ketika buku Smith itu terbit, Inggris tengah berada diambang Revolusi Industri, sehingga gagasan Smith memberi ilham dan jalan bagi Inggris memasuki masyarakat  industri bebasis mekanisasi, sain dan teknologi yang  mendahului negara manapun di dunia.
Inggris mengembangkan ekonomi liberal tidak hanya di negeri induk, tetapi juga di India yang merupakan tanah jajahan Inggris. Inggris membimbing rakyat India secara bertahap agar memperbaharui proses  produksi dengan cara-cara yang modern, ilmiah dan rasional, efisien  dan  meninggalkan cara-cara produksi yang tradisional dan irrasional. Hubungan yang harmonis antara Inggris dan India ternyata berjalan seperti yang diramalkan oleh  Smith.
Dalam waktu yang singkat, hubungan Inggris dan India, terutama pada masa Ratu Victoria yang didasarkan atas ekonomi liberalis dan kapitalistis, telah membuat kedua negara justru semakin makmur. Inggris berhasil membuktikan bahwa justru kemakmuran suatu negara akan lebih cepat terwujud dengan memberikan kebebasan, kemerdekaan dan pemberdayaan  kepada para pelaku ekonomi melalui kebijakan liberalis di bidang politik dan ekonomi, dari pada dengan cara mempraktekkan ekonomi monopolistik, pengekangan terhadap kebebasan, melakukan pemerasan, penindasan, serta berbagai tindakan represif dan eksploitatif lainnya.
Jika Adam Smith sukses meramalkan masa depan kapitalisme liberal humanistik terhadap prospek pertumbuhan ekonomi yang relatif lebih baik dan lebih menjanjikan, dia pun sukses meramalkan masa depan  runtuhnya kapitalisme merkantilis yang menindas kemanusiaan dan mengagungkan monopoli dan dominasi.
Praktek ekonomi Merkantilistik yang monopolistik dan diskriminatip yang diterapkan oleh Kumpeni di tanah jajahannya di   Hindia Timur, merupakan contoh yang baik dari sudut sejarah ekonomi.  Apa yang diramalkan oleh Karl Mark bahwa Kapitalisme akan menemui ajalnya, karena dia akan menggali lubang kuburnya sendiri, memang terbukti. Tetapi tidak untuk Kapitalisme Liberal. Ramalan Karl Mark  memang terbukti benar pada Kapitalisme Monopilistik yang justru secara teoritis ditentang oleh Adam Smith melalui gagasan Kapitalisme Liberalnya.
Setelah Belanda melalui Kumpeni di Hindia sukses menegakkan supremasi monopoli di bidang perdagangan, memang pada awalnya VOC mampu meraih keuntungan yang spektakuler. Dalam waktu singkat nilai saham VOC di negeri Belanda naik berlipat-lipat. Tetapi ternyata kejayaan negeri rempah-rempah hanya berlangsung singkat. Memang melalui praktek monopoli VOC berhasil membanjiri pasar Eropa dengan produk  rempah- rempah yang melimpah. Tetapi apa akibatnya dari pasar yang kelebihan pasokan, supply  atau penawaran ?.  Harga rempah-rempah di pasar Eropa cenderung turun bahkan akhirnya merosot secara drastis. VOC menjadi kelabakan dan berusaha mengendalikan produksi dengan cara yang brutal. Ribuan pohon pala dan cengkeh di Kepulauan Maluku ditebang dan dibakar habis. Semua ini mengakibatkan penderitaan yang luar biasa kepada penduduk setempat, karena penduduk kehilangan mata pencaharian yang merupakan pokok kehidupan mereka. Dan terhadap masalah ini, VOC sama sekali tidak peduli.
VOC mengira dengan mengurangi produksi dan over penawaran, harga rempah-rempah di pasar Eropa akan kembali naik. Nyatanya apa yang diharapkan tidak terjadi. Harga rempah-rempah terus merosot, karena produk rempah-rempah yang dikendalikan VOC tidak mampu mempengaruhi harga pasar rempah-rempah di pasar Eropa. Sebab pada saat yang bersamaan muncul pula kompetitor baru terutama dari Afrika dan Amerika Latin, yang ternyata juga mampu menghasilkan rempah-rempah seperti yang dihasilkan Kepulauan Maluku dan wilayah Hindia Timur lainnya. Kemalangan VOC menjadi lengkap ketika pada akhir abad ke-18 M, VOC dibubarkan dengan meninggalkan sejumlah utang yang menjadi tanggungan Pemerintah Belanda.
Sementara itu Persatuan Kerajaan Belanda yang mendapat pengakuan kemerdekaan dari Raja Spanyol pada tahun 1648 M, telah dibubarkan, karena saat itu negeri Belanda diperintah oleh Republik Bataaf, suatu republik boneka bentukan Perancis. Bahkan pada tahun 1806 M, Republik Bataaf dibubarkan dan negeri Belanda dianeksasi menjadi salah satu provinsi dari Perancis. Di negerinya sendiri Belanda tidak lagi menjadi gusti. Semuanya turun derajat menjadi kawula Kaisar Napoleon dari Perancis. Tetapi di tanah jajahan, mereka masih bertahan menjadi Gusti dari kawulanya, Pribumi yang terjajah.

5.Di Bawah Pemerintahan Gusti dari Perancis dan Inggris (1807-1811M dan 1811-1816 M)
Pada akhir abad ke- 18 M  dan awal abad ke-19 M ditandai dengan tersebarnya gagasan liberalisme di bidang politik dan ekonomi yang melanda seluruh Eropa. Liberalisme sebagai suatu sistem filsafat muncul pertama kali di Inggris dalam pandangan John Locke(1632- 1704 M), yang mengusung semangat  membela kemerdekaan dan kebebasan individu sebagai bagian dari nasinolisme humanistik. Dalam karyanya Treatise on Goverment, yang berisi pandangan-pandangannya tentang kebangsaan dan kemanusiaan dia menulis sbb :
“Perbudakan adalah keadaan yang sangat hinanya bagi manusia dan langsung bertentangan dengan tabiat murah hati dan sifat ketabahan dari bangsa Inggris. Adalah suatu hal yang sukar dipahami bila seorang Inggris, apalagi seorang gentlement( baca:ksatria ), akan membela perbudakan “
Nasionalisme humanistik yang mengusung kemerdekaan dan kebebasan, sebenarnya merupakan evolusi lebih lanjut dari pandangan nasionalisme patriotik bangsa Inggris yang digagas oleh jurnalis dan filsuf Inggris pejuang kebebasan pendahulu John Lock, yakni John Milton( 1608 -  1674 M ).
Dalam jurnal yang diterbitkannya untuk membela kemerdekaan dan kebebasan dia mengemukakan pandangannya bahwa nasionalisme bukan hanya suatu perjuangan untuk kebebasan kolektif dari pada penindasan asing. Tetapi nasionalisme adalah juga pengakuan kemerdekaan perseorangan dari kekuasaan pemerintah, Gereja dan tahyul. Ideologi Liberalisme yang diusung John Milton dan juga sahabatnya John Lock sebenarnya adalah Ideologi Pembebasan Manusia sebagai mahluk individu dari berbagai bentuk penindasan, baik penindasan oleh kekuasaan Raja Absolut, Gereja  maupun tahyul dan mistikisme yang irrasional. “Berikanlah kepadaku di atas segalanya kebebasan. Kebebasan untuk mengetahui, mengucapkan dan bertukar pikiran secara merdeka sesuai dengan kata hati nurani “, tulisnya dengan nada bersemangat dalam jurnalnya Areopagitica yang gigih membela kebebasan itu.
Dari kutipan tersebut di atas jelaslah bahwa gagasan liberalisme pada awalnya merupakan perkembangan dari gagasan nasinalisme patriotik bangsa Inggris yang menolak kekuasaan absolut, baik oleh Raja maupun Gereja, dan berkembang menjadi nasinalisme humanistik yang menjunjung tinggi hak asasi dan kemanusiaan.
Kerajaan Inggris memang adalah kerajaan pertama di muka bumi yang memiliki konstitusi yang disusun bersama antara Raja dan Wakil Rakyat, yang dkenal dengan Magna Charta (1215 M) atau Konstitusi Agung. Saat Kerajaan Inggris berhasil menyusun konstitusinya, pada saat yang sama di Jawa, Ken Arok baru saja melakukan pembunuhan atas diri Akuwu Tumapel dan menobatkan dirinya sebagai penguasa  Singasari. Pada tahun 1222 M, Ken Arok berhasil menaklukkan Kediri, dia kemudian memproklamirkan berdirinya Kerajaan Singasari, menduduki tahta kerajaan  dan mengambil gelar Rajasa Girindrawardhana  Sang Amurwabhumi.  
Jika di Inggris rakyat dan raja berusaha menyelamatkan tahta kerajaan dari kemungkinan perebutan tahta yang terus menerus berkepanjangan dengan menyusun konstitusi tertulis, maka tradisi demikian tidak terjadi di kerjajaan-kerajaan dunia timur lainnya, termasuk kerajaan-kerajaan di Jawa, seperti Singasari, Majapahit, Demak, Mataram dan penerusnya yakni Kraton Surakarta, Yogyakarta, Mangkunegaran dan Pakualaman. Konflik dan perang suksesi merupakan mata rantai kelemahan yang paling mencolok dari konsep kekuasaan dalam Kebudayaan Jawa.
Dari Inggris, gagasan liberalisme menyebar ke Eropa Daratan. Pemicunya adalah Revolusi Perancis yang meletus pada tanggal 14 Juli 1789 M, yang telah melahirkan doktrin kemanusiaan yakni : Liberte, Fraternite dan Egalite ( Kebebasan, Kemerdekaan dan Persamaan ).  Baik di Inggris maupun Perancis, liberalisme mendapat dukungan yang kuat dari golongan menengah yang memiliki modal, sehingga melahirkan golongan Kapitalis Liberal yang menjadi sangat kuat dan berpengaruh, baik di lapangan ekonomi maupun politik.
Di Hindia Belanda, gagasan nasionalisme liberal dibawa oleh dua orang  pendekar yang menjadi Gubernur Jendral Hindia Belanda pasca runtuhnya VOC, yakni Gubernur Jendral Herman Willem Daendels( 1807- 1811 M) dan Letnan Jendral Thomas Stamford Raffles (1811- 1816 M). Hanya saja  Daendels mewakili pemerintah Perancis, sedangkan Raffles mewakili pemerintah Kerajaan Inggris. Walaupun sama-sama mengusung liberalisme, Inggris dan Perancis di Eropa  sana.  saat itu tengah berhadap-hadapan dan terlibat  dalam peperangan. Penyebabnya adalah pasca Revolusi, Perancis merosot kembali menjadi negara absolut di bawah kekuasaan Kaisar Napoleon Bonaparte (1805 – 1815 M).
Napoleon Bonaparte merupakan sosok yang unik. Jendral yang berbakat ini, sebenarnya bukanlah seorang nasionalis liberal. Dia adalah seorang nasionalis patriotik yang punya ambisi menyebarkan gagasan liberalisme  ke negeri- negeri tetanganya dan mencoba mengobarkan revolusi di sana.
Dan Napoleon bermimpi tentang keagungan Perancis yang akan menjadi pemimpin Eropa untuk mengakhiri absolutisme, tanpa menyadari bahwa dirinya sendiri adalah seorang kaisar yang absolut. Di balik semua gagasannya itu, masyarakat di luar Perancis dapat membaca ambisi teritorial Perancis yang tak dapat disembunyikannya.  Memang di bagian dunia manapun, tidak peduli dunia timur maupun barat, nasionalisme patriotik dapat merosot menjadi nasionalisme ekspansionalistik.
Maka meletuslah perang antara koalisi negara-negara monarki melawan Perancis. Inggris yang merupakan negara monarki terpaksa harus berperang menghadapi Perancis, karena Napoleon sudah mengancam untuk mendaratkan tentaranya ke Inggris. Perancis bahkan berhasil mendaratkan pasukannya di Irlandia dan mengobarkan revolusi di sana. Tetapi dalam perang laut, Armada Perancis berhasil dihancurkan Armada Inggris yang dipimpin Laksamana Nelson dalam pertempuran laut di Trafalgar. Perang antara Inggris dan Perancis di Eropa, meluas sampai di Hindia. Inggris berusaha merebut Pulau Jawa dan Perancis berusaha mempertahankannya dengan  mengirimkan Daendels untuk mempertahankan Pulau Jawa dari kemungkinan diduduki Inggris.
Gubernur Daendels yang menjadi Gusti di Tanah Jawa mewakili Pemerintah Perancis, hanya berlangsung singkat. Tahun 1811 M, sudah ditarik kembali ke Eropa, karena Napoleon memerlukan tenaganya dalam rangka persiapan ofensip menyerang Rusia yang gagal karena halangan cuaca buruk. Namun demikian gagasan liberalisme yang sempat dilaksanakan antara lain :
1.      Mengurangi hak-hak feodal penguasa Pribumi yang merugikan rakyat.
2.      Menghapuskan wajib kerja dan wajib tanam bagi penduduk.
3.      Sebagai ganti wajib kerja dan wajib tanam, penduduk diwajibkan membayar pajak tanah.
Gagasan Daendels gagal dijalankan karena Daendels tidak dapat menghindarkan diri dari kegiatan mengerahkan tenaga rakyat untuk ikut serta dalam usaha mempertahankan Pulau Jawa dari serangan Inggris. Proyeknya yang terkenal adalah Jalan Raya Anyer –Panarukan yang memakan banyak korban dari rakyat setempat. Tetapi jalan raya itu menjadi infrastruktur yang amat penting yang telah mengintegrasikan kota-kota di Pulau Jawa di bawah satu kendali pemerintah pusat, yakni Batavia/Bogor. 
Pulau Jawa akhirnya berhasil diduduki Inggris. Thomas Stamford Raffles diangkat menjadi Gusti di Pulau Jawa (1811 – 1816 M), dengan pangkat Letnan Jendral.
Raffles berusaha meneruskan reformasi birokrasi sejalan dengan gagasan liberalisme yang dianutnya. Gagasan pembaharuan dan reformasi yang dijalankannya antara lain adalah :
1.      Menghapuskan segala bentuk penyerahan wajib dan kerja wajib yang menjadi beban penduduk dengan memberikan kebebasan bagi penduduk untuk menjalankan kegiatan usaha, produksi dan aktivitas perdagangan.
2.      Pemerintah secara langsung mengawasi pungutan pajak tanah, hasilnya dipungut langsung oleh pemerintah tanpa perantaraan bupati. Tugas bupati terbatas pada dinas-dinas umum.
3.      Penyewan tanah-tanah negara di beberapa daerah dilaksanakan berdasarkan kontrak dan terbatas waktunya.

 Berbeda dengan VOC dan orang Belanda yang pada umumnya  konsevatip, kebijakan orang-orang Inggri seperti Raffles dalam mengelola tanah jajahannya sering bertolak dari gagasan liberalisme ekonomi humanistis yang dasar-dasarnya telah diletakkan oleh Adam Smith, yakni membuat kawula dan rakyat tanah jajahan relatip lebih sejahtera.
Dalam kerangka gagasan yang sejalan dengan  pandangan  Adam Smith, Rafles juga berpandangan bahwa setiap konsumen pada hakekatnya membutuhkan produsen, karena setiap konsumen memiliki kebutuhan akan barang dan jasa yang tak terhingga banyaknya. Kebutuhan itu hanya dapat dipuaskan oleh adanya barang dan jasa yang dihasilkan oleh produsen. Sebaliknya setiap produsen juga memerlukan konsumen yang akan membeli produk-produk yang dihasilkan oleh produsen. Tanpa konsumen, tidak akan ada produsen. Siapa yang mau berproduksi bila tak ada orang yang mau membeli barang dan jasa yang dihasilkan produsen?
Seperti halnya kawula yang membutuhkan gusti untuk menjamin keselamatannya, konsumen sebenarnya juga membutuhkan produsen, karena konsumen  tak akan dapat hidup sejahtera kalau tak ada produk yang dibuat produsen yang dapat dikonsumsi guna memenuhi  hasrat menikmati barang dan jasa.
Dalam pandangan Smith, konsumen harus memiliki penghasilan yang cukup agar dia dapat membeli barang dan jasa yang dihasilkan produsen. Semakin besar pendapatan dan penghasilan konsumen, semakin baik sistem perekonomian, karena produsen dapat terus menerus melakukan proses produksi. Pada akhirnya bukan hanya konsumen yang sejahtera, produsen juga akan sejahtera. Adalah wajar bila produsen hidup lebih sejahtera dari konsumen karena produsenlah yang lebih banyak menyumbangkan modal, ide, gagasan dan kreatifitas untuk menghasilkan barang dan jasa. Bukankah juga wajar bila gusti lebih sejahtera dari kawula ?.
Bagi Raffles dan Penguasa Inggris, relasi antara negara Induk dan negeri Jajahan adalah seperti relasi antara gusti-kawula, produsen-konsumen. Gusti akan sejahtera bila kawula sejahtera. Produsen akan makmur, bila konsumen juga makmur. Bagaimana produsen akan makmur, bila dia tak dapat menjual produknya kepada konsumen dan  bila daya beli konsumen rendah. Daya beli konsumen rendah, karena pendapatan konsumen lemah. Demikianlah gasasan reformasi birokrasi yang dilaksanakan Raffles di tanah Jawa, memiliki tujuan yang jelas, yakni sebagai usaha mewujudkan kesejahteraan  masyarakat, meningkatkan penghasilan masyarakat dan daya beli masyarakat tanah jajahan agar mereka mampu membeli produk-produk yang dihasilkan produsen di negeri Induk.
 Sayang pemerintahan Raffles di Pulau Jawa terlalu singkat, hingga gagasan liberalitasnya dan reformasi birokrasinya yang pro-kawula, tidak segera nampak dan segera hilang ditelan jaman. Dan nampaknya, sejarah ekonomi masa Raffles tidak banyak dikaji oleh ahli-ahli sejarah ekonomi kita. Hal ini nampak dari buruknya persepsi sebagian masyarakat kita terhadap liberalisme dan kapitalisme yang cenderung negatip.
Padahal apabila ada penelitian yang lebih serius terhadap sejarah ekonomi liberal pada masa Raffles, kemungkinan besar persepsi kita terhadap kapitalisme dan liberalisme akan lebih seimbang dan obyektif. Persepsi dari masyarakat kita terhadap liberalisme dan kapitalisme sering bias, kabur, kacau bahkan membingungkan, karena seringkali tidak bertolak dari fakta sejarah, tetapi lebih banyak dipengaruhi oleh pesepsi dan prasangka negatip akibat trauma dari penjajahan yang berlangsung lama yang dialami bangsa kita.
Liberalisme atau paham apa pun, bahkan agama sekalipun , memang bisa saja merosot dari gagasan awalnya yang mulia. Demikianlah liberalisme pun dalam prakteknya dapat saja merosot menjadi eksploitatif. Tetapi hukum kodrat alam akan senantiasa mengembalikan setiap penyimpangan ke jalurnya semula. Akan selalu muncul kritikus yang selalu berusaha menyempurnakannya, disamping mengembalikannya ke jalur yang benar. Herankah kita, bila kapitalisme dan liberalisme tidak bisa terkubur ke bawah dinding lantai sejarah? Bahkan sampai jaman kita sekarang ini!. Kapitalisme dan liberalisme ternyata selalu mampu menyesuaikan diri, meyegarkan diri dan mampu mengatasi tantangan alam dan jaman yang mencoba mengurungnya.
Salah satu proyek politik Raffles di Pulau Jawa adalah didrikannya Kadipaten Pakualaman (1813 M), yang mengambil sebagian kecil dari wilayah Kesultanan  Yogyakarta. Kita akan kembali membicarakan lagi Kadipaten Pakualaman setelah Bab ini. Sebab gagasan liberalisme di bidang politik dan ekonomi yang dibawa Raffles, sedikit banyak tentulah akan berpengaruh juga pada cara pandang dan gagasan para ksatria Pakualaman kelak di kemudian hari. Kita akan melihatnya kelak, adakah gagasan-gagasan liberalisme model Inggris berpengaruh pula pada corak nasionalisme gagasan Ki Hadjar Dewantara, tokoh yang akan kita bahas ini, mengingat  Ki Hadjar Dewantara adalah salah satu dari ksatria yang berasal dari lingkungan Kadipaten Pakualaman yang merupakan warisan proyek politik dari pemerintahan Raffles.[Bersambung]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar