Entri yang Diunggulkan

Kahyangan Suralaya, Tempat Tinggal Para Dewa

Legenda adalah kisah tentang orang, kejadian, atau peristiwa yang dibuat berdasarkan fantasi dengan maksud untuk menimbulkan kekaguman...

Selasa, 11 April 2017

[7] Jejak-Jejak Nasionalisme Ki Hadjar Dewantara dan Sejarah Perjuangannya




2.Berdirinya Kadipaten Pakualaman(1813 -1945 M ).
Di bawah SHB I (1755 -1792 M ), wilayah Kesultanan Yogyakarta berkembang menjadi daerah yang makmur. Hal ini menunjukkan bahwa  SHB I seorang pemimpin dan negarawan yang cakap. Kraton Yogyakarta mampu mengungguli kraton-kraton Jawa yang lain, khususnya dalam bidang kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Sayangnya penggantinya SHB II (1792 – 1810 M  dan 1811 -1812 M), bukanlah pemimpin yang cakap.  Dia hidup boros, lingkungan kekuasaannya dipenuhi oleh intrik dan fitnah, bahkan dia konflik dengan putra mahkota dan adiknya  P. Notokusumo.
Sesungguhnya Pangeran Notokusumo  adalah pangeran yang cerdas, cakap, memiliki  wawasan dan visi, punya bakat pujangga dan mendalami filfafa, khususnya filsafat kejawen, namun tetap dapat berpikir rasional dan berpikiran maju. Bakat kenegarawanan P.Mangkubumi  rupanya menurun kepadanya.  Dia sendiri banyak meneladani ayahnya, SHB I. Wajar jika SHB I konon sempat berujar, bila boleh memilih, sebenarnya dia lebih menyukai P.Notokusumo sebagai penggantinya daripada putra mahkota yang kelak menjadi SHB II. Putra mahkota sendiri diam-diam mencurigai adiknya.
Ki Hadjar Dewantara sempat mengisahkan perselisihan P.Notokusumo dengan SHB II. Konon suatu saat SHB II  sempat menanyakan kebenaran berita intrik dan desas-desus yang didengarnya  bahwa P.Notokusumo punya ambisi ingin menjadi raja. Dengan terbata-bata P.Notokusumo menjawab, “ Hamba hanyalah seorang santana yang rendah dan kawula raja dan hanya akan berbuat menurut kehendak Tuan” ( Ki Hadjar Dewantara ;  1967 :305  )
Mungkin saja Ki Hadjar Dewantara agak subyektif ketika menceriterakan mendiang moyangnya itu, akan tetapi faktanya memang P.Notokusomalah yang dianggap oleh Daendels biang keladi meletusnya pemberontakan penguasa Madiun dan  mendorong-dorong SHB II menolak gagasannya yang menuntut penghormatan dan perlakuan yang sama kepada residen-residen Belanda seperti halnya penghormatan dan perlakuan kepada raja-raja Jawa. Akibatnya P.Notokusumo dan putranya ditangkap dan dibuang ke Batavia (1810 -1812 M).
Dr.Peter Carey, melukiskan watak SHB II sebagai seorang penguasa yang tak berguna, kurang simpatik, tidak efektif dalam menjalankan roda pemerintahan. Dia gemar meninggalkan pemerintahannya hanya untuk bercengkerema berhar-hari di pesanggrahnnya. Selirnya amat banyak dan kegemaran utamnya berburu binatang buas.  SHB II juga gemar dengan proyek mercusuar, seperti pembangunan pasanggrahan baru. Akibatnya rakyat yang jadi korban ,karena pembangunan pesanggrahan baru itu dibebankan kepada rakyat yang harus bekerja secara suka rela.
Namun begitu, berbeda dengan moyangnya Amangkurat I , SHB II sangat anti Belanda. Tetapi sifat anti Belandanya ini sering tanpa perhitungan yang matang. Dan lebih di dorong oleh sikapnya yang sombong dari pada pertimbangnnya yang lebih rasional dan terencana. Akibat dari sikap anti Belandanya yang bertolak dari sikap sombongnya  yang tanpa perhitungan, semuanya itu mengakibatkan musibah  yang menimpa dirinya sendiri. Demikian Peter Carey, ahli sejarah Perang Jawa, menilai sifat, perilaku dan watak SHB II.
Sekalipun begitu, sikap anti Belandanya itu, membuatnya menjadi amat populer di kalangan Istana dan rakyat, karenanya dia mempunyai banyak pengikut. Sebabnya dengan mudah dapat kita tebak. Sikap SHB II itu sebenarnya mencerminkan aspirasi  rakyat yang sudah lama muak kepada Belanda, Gusti asing yang datang dari seberang lautan itu. Konflik pun meletus dengan Daendels, Gubernur Jendral Hindia Belanda yang baru saja bertugas (1807 -18 11 M).
Daendels, bagaimanapun juga ia seorang liberalis pemuja doktrin Revolusi Perancis. Dia amat tidak suka dengan aturan yang ditetapkan  raja-raja Jawa di Surakarta-Yogyakarta terhadap residennya yang akan menghadap raja di kraton  Jawa.  Di mata Daendeles aturan yang dibuat raja-raja Jawa itu menghina residennya. Padahal residennya dalam pandangan Deandels adalah wakil dari Raja Belanda, Louis Napoleon. Karena itu dia menuntut perlakuan yang sama seperti  halnya perlakuan terhadap raja-raja Jawa yang lain. Misalnya seorang residen yang akan menghadap raja, berdasarlkan ketentuan lama, tidak boleh mengendarai kereta di alun-alun kraton. Dia harus  turun dari kereta, berjalan kaki, tidak boleh memakai payung. Di hadapan raja, residen juga harus duduk lebih rendah dari raja. Karena tidak suka dengan aturan demikian, Daendels segera merubahnya.  Residen boleh memasuki alun-alun dengan kendaraannya sampai  pintu kraton. Kemudian masuk kraton juga harus dijemput  oleh pengiring yang membawa payung untuknya  sebagaimana layaknya raja  Jawa. Di dalam istana  residen harus diberi tempat duduk yang sama tingginya dengan  raja Jawa.
Jika peraturan yang lama membuat Daendels tidak senang, kini peraturan yang baru membuat raja-raja Jawa tidak senang, karena peraturan itu dianggap menghinanya dan menghina kraton Jawa. Tetapi dari tiga raja Jawa  yang paling menunjukan rasa tidak senang dan memperlihatkan sikap menentang hanyalah SHB II. Sedangkan  PB  IV , sekalipun tidak senang dengan peraturan itu, tetapi tidak berani menentangnya. Pada bulan Juli 1809 M, Daendels mengunjungi  Yogyakarta guna merundingkan  masalah tata etika  yang baru itu. Dalam kesempatan itu, Daendels juga menuntut monopoli penebangan dan pemotongan kayu jati.  Rupanya SHB II  memperlihatkan rasa tidak senangnya dengan usul-usul Daendels itu. Antara keduanya tidak tercapai kata sepakat. Mereka berpisah dengan membawa perasaan masing-masing yang tidak puas.
Tiba-tiba pada bulan November 1810 M, meletuslah  pemberontakan   melawan Daendels yang dipimpin oleh Bupati Madiun Raden Rangga Prawiradirja III. Kebetulan dia adalah ipar SHB II. Maka Daendels segera mencurigai SHB II sebagai berada dibalik pemberontakan tersebut. Raden Rangga Prawiradirjo segera membawa pasukannya dan mengawali pemberontakannya dengan cara menyerang pos-pos pemerintah Hidia Belanda dari tepi Sungai Katangga yang dipercayainya sebagai tempat bakal munculnya  Ratu Adil yang akan membebaskan tanah Jawa dari cengkeraman penjajahan bangsa Asing. (Peter Carey ; 1886 : 34 ). Dengan mendapat dukungan dari Legiun Mangkunegoro , pasukan Daendels  segera berusaha melakukan  operasi penumpasan. Walaupun Raden Rangga  dan anak buahnya betempur dengan gagah berani, tetapi akhirnya Raden Rangga dapat  ditewaskan. Pada  31 Desember 1810 M, Daendels yang mencurigai SHB II, segera mengintruksikan pasukannya untuk menyerbu Karton Yogyakarta.  Pasukan Kraton Yogya tak dapat berbuat banyak menghadapi  serbuan Daendels dan dengan mudah dapat dilumpuhkan.  SHB II   ditangkap dan diturunkan  dari tahta. Putranya  dinaikkan keatas tahta dengan gelar Sultan Raja. Kepada Sultan Raja yang baru diangkat itu, Daendels minta imbalan 500.000 gulden. Nasib SHB II masih beruntung, karena Daendels membiarkannya tetap tinggal di istana, hingga dia sejak itu dikenal sebagai Sultan Sepuh.  Tetapi  nasib malang malah menimpa P.Notokusumo, adiknya. Dia dituduh dalang yang sebenarnya dari pemberontakan Raden Rangga. Maka P.Notokusumo dan anaknya dibuang oleh Daendels ke Batavia.
Dengan sedih, kecewa, kesal  dan jengkel, P.Notokusumo dan putranya menjalani hari-hari sepinya sebagai orang buangan di Batavia. Beruntung, Daendels segera dipanggil  pulang ke Eropa. Penggantinya   Jansen, tak mampu mempertahankan P.Jawa dari serangan Inggris. Pada tahun 1811 M, P.Jawa jatuh ke tangan Inggris, dan Raffles diangkat sebagi  penguasa tertinggi P.Jawa. Dengan jatuhnya Belanda, Inggris segera mengganti para residennya dengan orang-orang Inggris. Di Yogyakarta, John Crawfurd ditetapkan sebagai Residen Yogyakarta.
Sementara itu, Sultan Sepuh, meskipun telah turun tahta, tetapi masih memiliki dukungan yang kuat di lingkungan  istana. Dia melihat tumbangnya Belanda  sebagai kesempatan untuk meraih kembali tahtanya yang hilang. Dengan dukungan pengikutnya Sultan Sepuh melakukan aksi menurunkan Sultan Raja  dan menduduki kembali tahtanya yang sempat  lepas. Dengan demikian Sultan Sepuh naik lagi menjadi SHB II, sedang Sultan Raja kembali ke status semula sebagai putra mahkota. Agresivitas SHB II tidak hanya  sampai di situ. Dia segera mengerahkan pasukannya menyerbu  Kepatihan dan pasukannya membunuh Patih Danurejo dan sejumlah pengawalnya.  Akibat agresivitas SHB II, Putra Mahkota merasa sangat terancam. Apalagi sejumlah pengkutnya sudah ada yang tewas.
Putra Mahkota segera meminta tolong seorang Kapten China, Tan Jin Sing, yang akrab dengannya  dan pandai  bicara banyak bahasa, antara lain  Jawa, Melayu, Belanda dan Inggris. Bahkan Kapten China itu memberikan perlindungan keamanan kepada Putra Mahkota dan keluarganya dari kemungkinan balas dendan pengikut SHB II. Melalui  Kapten China itu, Putra Mahkota menghubungi Residen John Crawfurd agar Inggris segera bertindak untuk menghentikan  ambisi SHB II  untuk melancarkan balas dendam. Residen segera menyampaikannya kepada   Raffles. Tetapi pada awalnya Raffles menanggapinya dengan  hati-hati. Usia Raffles saat itu masih muda, baru 31 tahun.  Raffles merasa perlu bertemu lebih dulu dengan  Sultan Yogya, SHB II.
Dalam pertemuan  itu, kembali SHB II memperlihatkan sikap sombongnya. Padahal waktu itu , Raffles hanya minta agar SHB II bersedia mentaati semua peraturan dan perjanjian yang pernah dibuat oleh pmerintah Eropa pada masa yang lalu. Tetapi karena sikap arogannya, SHB II malah memandang permintaan Raffles itu sebagai tanda kelemahan dari orang-orang Inggris. Akhirnya bagi Raflles memang tak ada pilihan lain, kecuali mengerahkan pasukannya untuk menyerbu Kraton Yogyakarta.  Dengan mengerahkan pasukan Sepoy , Kraton Yogya dikepung.  Pada saat itu  SHB II menolak untuk menyerah. Maka pasukan  Inggris dari Benggali itu menjebol pintu benteng sisi Timur Laut Kraton. Pasukan penyerbu berhamburan masuk ke kediaman para pangeran, menangkap SHB II dan melakukan penjarahan besar-besaran. Harta  kraton di kuras habis, sejumlah besar buku perpustakaan sebanyak dua pedati lebih dianggkut keluar dari  kraton. SHB II dan sejumlah pengikutnya dibuang ke Pulau Pinang. Putra Mahkota dilantik  menjadi Sultan Hamengkubuono III.   
Raffles tidak melupakan jasa-jasa P. Notokusumo yang telah banyak memberikan informasi kepadanya, hingga memudahkan Rafffes menaklukan  SHB II. Maka dibentuklah Kadipaten Pakualaman dan P.Noto Kusumo dinobakan sebagai raja dengan gelar Adipati Paku Alam I. Wilayah Kadipaten Pakualaman berada di luar kota Yogyakarta, yakni di daerah Kulon Progo, sedang kedudukan  Kraton Pakualam ada di dalam kota Yogyakarta.
Boleh dikatakan Kadipaten Pakualaman adalah satu-satunya proyek politik Pemerintah Inggris yang didirikan di Pulau Jawa. Bahkan di Bengkulu,  dimana Inggris juga pernah berkuasa beberapa lama, bahkan lebih lama daripada di Pulau Jawa, tidak ada proyek politik semacam Kadipaten Pakualaman. Dapat dimengerti bahwa serpihan-serpihan pemikiran  para politisi dan negarawan Inggris bercorak modern, individualis, liberalis, humanistis dan rasionalis  sedikit banyak bermunculan disana-sini pada corak pemikiran dan gagasan para ksatria  Pakualaman  kelak di kemudian hari. Lebih-lebih bila diingat hubungan yang dekat antara P.Notokusumo, baik dengan Raffles sendiri maupun Residen John Crawfurd. Sekalipun relasi Pakualaman dan Inggris hanya singkat saja (1813 -1816 M), P. Notokusumo dan putranya Notodiningrat, tentu sempat menangkap gagasan-gagasan modern dari Barat. Bukan lewat Belanda. Tetapi lewat Inggris yang lebih progresif. Kita akan lihat nanti bahwa gagasan tentang individualitas, liberalitas, humanitas, produktivitas , economic efisiensi dan efektivitas, yang jelas  khas   berasal dari para pemikir dan negarawan Inggris, bermunculan di sana-sini dalam konsepsi dan gagasan Ki Hadjar Dewantara, yang dipadukan dengan nilai-nilai filsafat  dan pandangan  kejawennya.

3. Raja-Raja  Kadipaten Pakualaman.
Berturut-turut akan kita bicarakan  Raja-raja Pakualaman  yang merupakan nenek moyang dan kerabat Ki Hadjar Dewantara.

3.1  Paku Alam I (1813 -1829 M)
Dia  adalah P.Notokusumo, putra SHB I  adaik SHB II yang diangkat oleh Raffles menjadi Adipati Kadipaten Pakualaman. Baik Raffles, P.Notokusumo maupun John Crawfurd, memiliki minat yang sama kepada kebudayaan, sastra,sejarah dan filsafat, gemar membaca dan sama-sama gemar menulis. John Crawfurd menulis tentang kota-kota dan kabupaten di Jawa  dilengkapi data dan analisa kependudukan yang menjadi semacam  map atau PETA pemerintahan, hingga memudahkan setiap Gubernur Eropa  dalam menjalankan tugasnya. Raffles yang sangat terbantu dengan tulisan residennya itu, menulis sebuah buku yang amat terkenal, History of Java. Mengingat persahabatan yang cukup erat antara P.Notokusumo dan John Crawfurd, besar kemungkinan P.Notokusumo banyak memasok data guna penyusunan kedua buku tersebut khususnya yang berkaitan dengan sejarah Kerajaan Mataram. Ketika melakukan penyerbuan ke Kraton Yogya(1812 M), bukan hanya uang, harta benda yang dijarah. Buku-buku koleksi perpusatkaan  kraton dan dokumen kerajaan ikut diangkut juga. Besar kemungkinan Raffles bukan hanya menguasai uang  hasil rampasan untuk dirinya sendiri, tetapi juga menguasai buku-buku dan dokumen kerajaan yang penting. Akibat dari raibnya koleksi perpustakaan kraton Yogya, maka di bidang kesusastraan dan kepujanggaan Kraton Yogya memang agak ketinggalan dan kalah produktif dengan Kraton Surakarta, Mangkunegaran, bahkan denga tetangga dekatnya Pakualaman.
Paku Alam I yang memiliki bakat kepujanggan itu, meninggalkan sejumlah karya tulis yang kemudian menjadi semacam pusaka dari Kraton Pakualaman, yakni Kitab Jati Pusaka. Oleh kerabat Pakualaman, kitab ini dikeramatkan  sebagai benda pusaka sehingga diberi nama Kanjeng Kiai Jati Pusaka.  Menurut Ki Hadjar  Dewantara yang dapat dipastikan sudah membaca isi kitab ini, isi Kitab Jati Pusaka terdiri dari dua pokok bahasan, yang kedua-duanya ditulis dalam bentuk tembang Macapat. Pokok bahasan pertama berisi gambaran tentang watak, sikap dan nilai-nilai luhur yang dimiliki oleh Raja-raja Mataram , mulai dari Senapati, Sultan Agung, sampai Mangkubumi, pendiri   Kraton Yogya  yang juga ayahnya sendiri. Pokok bahasan kedua berisi riwayat  Mataram pada jaman Amangkurat I yang penuh dengan berbagai macam persoalan, perpecahan dan akhirnya pemberontakan yang mengakibatkan jebolnya Kraton Plered. Amangkurat I dan pengirignya melarikan diri ke arah Banyumas dengn tujuan Batavia guna meminta bantuan  Kumpeni, sahabatnya. Tetapi dia mangkat  di daerah sisi utara lereng Gunung Slamet, setelah berhasil melewati daerah Banyumas.
Ki Hadjar Dewantara menduga, bahwa pokok bahasan dari kitab itu dimaksudkan sebagai kupiya atau peringatan kepada sidang pembacanya, khususnya Kerabat Pakualaman agar dapat mengambil manfaat dari perisitiwa tersebut ( Ki Hadjar Dewantara;1967 : 304  ). Yang jelas, dengan Kitab Jati Pusaka itu, sebenarnya Paku Alam I, sedang menanamkan dan mewariskan nasionalisme  Jawa yang bersifat patriotik, religious dan menjunjung tinggi persatuan jika ingin meraih sukses dalam kepemimpinan dengan cara mengikuti teladan dari  Senopati, Sultan Agung dan Pangeran Mangkubumi.  Dan tidak mencontoh perilaku Amangkurat I  yang dinilainya sebagai raja yang kurang cakap, hedonis dan berwawasan sempit.
Di samping Kitab Jati Pusaka, Paku Alam I juga meninggalkan karya tulis yang lain seperti Babad Betawi, Kitab Surahdarna, Serat Rama dan Serat Piwulang.
Peter Carey mengungkapkan bahwa hubungan Paku Alam I dengan kemenakannya SHB III sempat kurang harmonis. Adapun penyebabnya Paku Alam I sempat jengkel kepada SHB III, karena SHB III telah mengangkat  Kapitan China Tan Jin Sing  menjadi seorang Adipati di daerah Kedu dengan hak menguasai 1000 cacah penduduk. Kapitan China ini kemudian masuk Islam, disunat, memotong kucirnya dan mengganti nama Chinanya dengan nama Jawa, dan menjelmalah dia menjadi bangsawan Jawa dengan nama Tumenggung Secadiningrat. Ketika SHB III wafat pada tahun 1814 M, maka karir Tumenggung Secadiningrat pun cepat memudar, karena hubungan baiknya dengan elit Kraton Yogya terputus. Lebih-lebih karena  Residen Inggris menetapkan Paku Alam I sebagai Wali Raja Kraton Yogyakarta, karena saat itu Putra Mahkota yang kelak menjadi SHB IV masih belum cukup  umur. 

3.2  Paku Alam II ( 1829 – 1858 M ).
Pangeran Noto Diningrat  rupanya seorang pemuda yang cakap, cerdas dan cekatan. Sedikit banyak mewarisi bakat ayahnya. Dia dengan setia mendampingi ayahnya pada saat ayahnya menjalani pembuangan di Batavia. Pada saat menjelang  tahap akhir dari Perang Diponegoro (1825 – 1830 M), Paku Alam I yang terpaksa ikut berperang di pihak Belanda melawan kemenakannya sendiri, wafat pada tahun 1829 M. P.Noto Diningrat diangkat sebagai penggantinya dengan gelar Paku Alam II.
Seperti  mendiang ayahnya, PA II juga seorang sastrawan dan seniman yang berbakat. Dia meninggalkan sejumlah karya sastra antara lain, Serat Barata Yudha, Serat Dewa Ruci, Kitab Sahadat dan Sifat Kalih Dasa, Serat Ngadidamastra dan Serat Babad Lupian. Menurut Ki Hadjar Dewantara isi dari Babad Lupian adalah soal-soal yang berkaitan dengan seni keindahan atau estetika, seperti  kecantikan wanita, seni bangunn gapura dan seni  kaligrafi huruf Jawa.
Disamping seorang sastrawan, Paku Alam II juga seorang seniman tari. Karya tari hasil ciptaannya  antara lain Tari Beksan Bondo-Bojo, Beksan Ladrang-Inum, Lawung Ageng-Lawung Alit, Beksan Gandrung  Mlati, dan Beksan Puspawarno. Beksan Lawung  Ageng-Lawung Alit merupakan tarian yang menggambarkan sejarah Kadipaten Madura. Hal ini menunjukkan ada ikatan yang kuat antara Kadipaten Pakualaman dengan para bangsawan Madura. Memang di dalam darah para ksatria Pakualaman sedikit banyak mengalir darah bangsawan Madura, karena permaisuri Pangeran Notokusumo atau Paku Alam I, adalah putri Adipati Madura Cakradiningrat. Dalam benak pikiran orang Jawa, Madura sering diidentikkan dengan Kerajaan Mandura dalam dunia wayang. Karena itu kelak para ksatria Pakualaman  sangat mengidolakan para ksataria Mandura dan keturunannya, seperti Kresna dan Kakrasrana. Tokoh wayang idola  RM. Suryopranoto, kakak Ki Hadjar Dewantara adalah tokoh Kakrasana. Dalam karir politiknya sempat menjadi Ketua PFB, suatu organisasi serikat buruh gula terbesar di Jawa pada sekitar tahun 1918 -1920 M. Pemogokan-pemogokan yang dipimpinnya selalu sukses, hingga  Kakrasana dari Pakualaman ini di juluki Raja Pemogokan. Adiknya, Suwardi Suryaningrat, tokoh wayang idolanya adalah Yudistira dan Kresna. Kelak kita akan melihat bahwa banyak lambang-lambang Perguruan Tamansiswa yang didirikannya berasal dari pusaka  Prabu Kresna, Raja Dwarawati  titisan Wisnu, seperti Garuda,Cakra, dan Bunga Wijaya Kusuma.
Memang Paku Alam II juga penggemar berat wayang kulit. Pada masanya, pentas wayang kulit secara rutin digelar di  Pura Pakualaman. Bahkan wayang gedog pun sempat pula beberapa kali dipentaan.
Paku Alam II mempunya dua orang putra dari permaisurinya Gusti Kanjeng Ratu Ayu, yakni GPA. Nataningprang dan  adiknya GPA.Surya Sasraningrat. Dari  istri yang lain, punya putra juga yakni KPA Suryodilogo. Baik GPA. Nataningprang maupun GPA.Surya Sasraningrat, sama-sama punya hak waris tahta kerajaaan. (BS.Dewantara ; 1989 : 29 -30 ).
GPA. Nataningprang, Sang Putra Mahkota, memiliki seorang istri calon permaisuri yang bukan hanya cantik, tetapi juga cerdas, cekatan, piawi dalam urusan administrasi pemerintahan, berwibawa dan putri bangsawan tinggi Kraton Yogyakarta, GPA. Mangkudiningrat yang merupakan cucu dari SHB II. Kerabat Kraton Pakulaman menyebutnya sebagai   Gusti Kanjeng  dan merupakan menantu kesayangan Paku Alam II dan Permaisuri Gusti Kanjeng Ratu Ayu.
BS.Dewantara dalam bukunya 100 tahun ki Hadjar Dewantara menyebut Gusti Kanjeng ini sebagai seorang wanita jenius dan memiliki daya msitik yang luar biasa. Dia dipercaya dikalangan kerabat Pakualaman sebagai wanita yang mendapat anugerah Tuhan untuk menurunkan raja-raja Kadipaten Pakualaman. Dalam mitologi  kepercayaan Jawa Kuno, wanita semacam Gusti Kanjeng ini disebut wanita Nareswari. Yakni wanita yang apabila diperistri oleh pria siapa saja, sekalipun ia seorang pria yang berasal dari keturunan biasa saja, bahkan sekali pun pernah berbuat dosa, akan membuka jalan untuk menjadi seorang Maharaja, dan akan menurunkan para putra calon raja. Dalam kitab Pararaton, wanita yang disebut-sebut  Nareswari adalah Ken Dedes yang ternyata memang telah menurunkan raja-raja Singasari dan Majapahit. Dalam  Babad Bali, Ken Bebed, ibu Gajah Mada juga disebut-sebut sebagai wanita Nareswari. Dan pada masa Orde baru, beredar pula desas-desus, yang berasal dari mitologi kepercayaan Jawa Kuno, bahwa Ibu Tien Suharto, putri dari kerabat Mangkunegaran, adalah juga wanita Nareswari, yang menyebabkan Suharto, anak PETAni dari Desa Kemusuk bisa mencapai  kedudukan tinggi, menjadi Presiden  terlama (1966 -1998 M ) dalam Sejarah   Indonesia Modern.  Namanya desas-desus dan mitologi, orang boleh percaya, boleh pula tidak. Demikian pula kisah Gusti Kanjeng  yang fenomanal  dari Kraton Pakualaman itu.
Dari  perkawinannya dengan  Putra Mahkota  GPA. Nataningprang, mereka dikarunia seorang putra yang diberi nama RM. Nataningrat. Tiba-tiba Putra Mahkota GPA. Nataningprang, wafat mendahului ayahnya Paku Alam II. Gusti Kanjeng menjadi seorang janda, putranya RM. Nataningrat menjadi yatim. Dan jabatan putra mahkota jatuh ketangan putra ke dua Paku Alam II, yakni GPA. Surya Sasraningrat.   
Pada tahun 1856 M, Paku Alam II wafat dan  GPA. Surya Sasraningrat, naik tahta dalam usia yang masih muda, sekitar 34 tahun dan bergelar Paku Alam III.[Bersambung]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar