6.Menjadi Gusti di Negeri Perkebunan (1816
-1942 M)
Usai
Perang melawan Perancis yang berakhir dengan kekalahan Napoleon Bonaparte dan
Negeri Belanda kembali memperoleh kemerdekaannya (1813 M) dari penjajahan
Perancis, Hindia Belanda beserta Pulau Jawa kembali diserahkan pada pemerintah
Kerajaan Belanda. Pemerintah Hindia Belanda pasca bubarnya VOC harus segera
mengubah kebijakannya dalam mengelola tanah jajahan. Masa kejayaan negeri
rempah-rempah telah berlalu. Tetapi Belanda tidak kekurangan akal.
Mereka
yakin tanah Hindia yang subur dan luas dengan penduduknya
melimpah yang merupakan tenaga kerja
murah, masih dapat dieksploitasi untuk meningkatkan kesejahteraan dan
kemakmuran Negeri Belanda. Pilihan yang tersedia adalah menyulap negeri yang
pernah berjaya dengan rempah-rempah, menjadi negeri penghasil produk tanaman
perkebunan yang laku dan dibutuhkan oleh pasar Internasioanal.
Program
Pemerintah Belanda menjadikan Hiindia menjadi negeri perkebunan, meraih sukses yang gilang
gemilang. Pada paruh ke dua abad 19 M
dan paruh pertama abad 20 M. Tanah
Hindia benar-benar menjadi salah satu
Negeri Perkebunan yang disegani di dunia internasional. Komoditi hasil
perkebunan dari Hindia Belanda yang mendominasi pasaran internasional antara
lain adalah kopi, gula, teh, kina, karet dan indigo. Jawa malah tampil sebagai sentra industri gula nomor dua terbesar di
dunia. Pada tiga dasa warsa akhir abad
19 M, Pulau Jawa dan Sumatra Timur bahkan sudah memasuki tahap Revolusi
Industri dalam proses produksi hasil-hasil perkebunannya.
Perjalanan
Pemerintah Hindia Belanda mengubah negeri rempah-rempah menjadi negeri
perkebunan, melalui serangkaian tahapan kebijakan sbb :
6.1 Kebijakan
Masa Transisi (1816 – 1830 M)
Pada
masa transisi di Hindia Belanda dari Pemerintah
Inggris kepada Pemerintah Kerajaan Belanda, Van der Capellen (1819 -1826 M ) diangkat
sebagai Gubernur Jendral Hindia Belanda. Van der Capellen adalah seorang
lberalis humanis, karenanya dia punya obsesi untuk melanjutkan kebijakan
reformasi birokrasi yang pernah digagas Raffles dan pendahulunya Daendels.
Tetapi Van der Capellen mendapat tantangan dan perlawanan dari para birokrat
kolonial sendiri. Misalnya Van der Capellen melarang pejabat kolonial
pemerintah Hindia Belanda melakukan penyewaan tanah-tanah milik kerajaan di
daerah Vorstelanden Surakarta dan Yogyakarta. Tetapi para pangeran sudah
terlanjur memakai habis uang sewa yang telah diterimanya. Akibat ketentuan Van
der Capellen itu, justru para Pangeranlah yang menjadi resah, karena mereka
diwajibkan mengembalikan uang sewa yang telah terlanjur diterimanya dan telah
dipakainya.
Sementara
itu, para birokrat kolonial di Yogyakarta juga terlibat sengketa tanah dengan
Pangeran Diponeroro yang mengakibatkan pecahnya Perang Jawa (1825 -1830 ) yang
hampir saja membuat bangkrut pemerintah Hindia Belanda. Van der Capellen juga menghadapi tantangan
yang berat di Sumatra Barat dengan meletusnya Perang Padri (1821 -1837 M).
Akhirnya Van der Capellen ditarik pulang
ke negeri Belanda(1826 M). Penggantinya Du Bus de Gisignies( 1826 -1830
M), seorang pengusaha Belanda, tidak banyak berbuat, kecuali bahwa dalam masa
pemerintahannya, Perang Jawa dapat diakhiri.
Tetapi
pada akhir dasawarsa ke- 3 abad 19 M, Pemerintah Kerajaan Belanda nyaris
bangkrut. Kas negara nyaris kosong
karena meletus pemberontakan Belgia yang ingin melepaskan diri dari Pemerintahan Belanda. Belanda
akhirnya kehilangan Belgia, karena
kemerdekaan Belgia diakui dunia internasional. Karena mengalami kesulitan
keuangan yang parah, hampir saja Kerajaan Belanda melepaskan tanah jajahannya di Hindia Belanda.
Beruntung
Belanda memiliki tokoh ahli kolonial yang berhaluan liberal konservatif yang mampu meyakinkan pemerintahnya,
bahwa sebenarnya tanah-tanah Hindia yang
luas dan subur itu belum dimanfaatkan secara optimal. Dia mengusulkan agar
negeri rempah-rempah yang sudah lewat masa jayanya itu diubah menjadi negeri
perkebunan dengan mewajibkan penduduk menanam tanaman perkebunan yang bersifat
eskotik
yang laku di pasar Internasional. Jika saja seperlima dari luas tanah pulau
Jawa dapat diubah menjadi perkebunan yang wajib ditanami oleh PETAni dengan
tanaman keras seperti tebu dan kopi, diperkirakan dalam waktu singkat kas
negeri Belanda yang kosong, akan cepat terisi kembali. Orang Belanda yang
memiliki pandangan jeli itu, adalah Van den Bosch.Dia lah perintis Negeri
Perkebunan di Hindia Belanda dengan sistem yang diusulkannya yang dikenal
dengan nama Cultuur Stelsel atau Cultivation System.
Bagi
orang Belanda Van den Bosch layak dijuluki sebagai Bapak Perkebunan Hindia
Belanda. Tetapi tentu saja bagi para nasionalis dan penulis sejarah nasional,
dia lebih layak dijuluki sebagai Bapak Tanam Paksa. Karena memang dalam
prakteknya Cultivation System telah berubah menjadi Forced Cultivation System
atau Sistem Perkebunan yang dilaksanakan dengan cara kekerasan, ancaman dan
paksaan kepada para kawula, khususnya para PETAni Pribumi di Hindia Belanda,
khususnya Jawa.
6.2 Kebijakan
Tanam Paksa (1830 -1870 M )
Sebelum
Belgia lepas dari Kerajaan Belanda, Belgia merupakan Nederland Selatan.
Sedangkan Kerajaan Belanda yang sekarang adalah Nederland Utara. Dengan
lepasnya Nederland Selatan, Kerajaan Belanda tinggal mengurusi wilayah Nederland
Utara saja. Padahal wilayah Nederland Selatan
merupakan wilayah yang kaya dan menjadi andalan keuangan Pemerintah Kerajaan Nederland.
Dengan lepasnya Nederland Selatan yang kemudian menjelma menjadi negeri Belgia,
Pemerintah Kerajaan Belanda jelas terancam bangkrut. Karena itu Raja Belanda
Willem I, amat tertarik dengan gagasan Van den Bosch. Dia segera diangkat jadi
Gubernur Jendral Hindia Belanda (1830 -1833 M), untuk melaksanakan gagasannya.
Walapun masa pemerintahan Van den Bosch hanya singkat saja, ternyata Sistem
Tanam Paksa yang digagasnya segera menunjukkan hasil-hasil yang menakjubkan.
PETAni
dipaksa menanam seperlima dari tanah garapannya dengan tanaman keras untuk
eksport seperti kopi, tebu dan indigo. Pribumi yang tak memiliki tanah, diharuskan kerja wajib selama 66 hari kerja, yakni 1/5
dari 366 hari, yakni jumlah hari dalam satu
tahun. Tetapi dalam prakteknya banyak terjadi penyimpangan di lapangan yang
mengakibatkan penderitaan luar biasa kepada penduduk Pribumi. Untuk merawat
tanaman wajib, ternyata seorang PETAni sering memerlukan waktu lebih lama dari
66 hari. Akibatnya waktu yang seharusnya digunakan untuk menanam tanaman pangan
seperti padi, tersita untuk mengurusi tanaman wajib. Akibatnya sawah banyak
yang terbengkalai, produksi bahan makanan merosot dan kelaparan mulai
menghantui dimana-mana.
Sebaliknya
pemerintah Hindia Belanda mampu memetik hasil produksi Tanam Paksa secara luar
biasa. Hal ini bisa dilihat dari data perkembangan nilai eksport produk Tanam
Paksa yang terus menerus meningkat selama masa periode pelaksanaan Tanam Paksa.
Hasil
kopi, meningkat dari 4,5 juta gulden pada awal pelaksanaan Tanam Paksa tahun
1831 M, menjadi 37, 3 juta gulden pada
1840 M. Pada periode yang sama, gula juga meningkat dari 1,5 juta gulden
menjadi 13, 7 juta gulden. Indigo dari yang tadinya hanya 0,048 juta gulden, menjadi 6,3 juta gulden
pada tahun 1840 M.
Tanaman
pendatang baru, tembakau juga meningkat dari hanya 0, 18 juta gulden pada tahun
1831 M, menjadi 1, 2 juta gulden pada 1840 M. Total eksport produk Tanam Paksa
meningkat dari 12,7 juta gulden pada awal program, menjadi 72,9 juta gulden
pada 1840 M. Suatu peningkatan hampir
600% hanya dalam waktu satu dasawarsa pelaksanaan Tanam Paksa.
Besarnya
total kontribusi Pemerintah Hindia Belanda di Batavia kepada Kerajaan Belanda
sebagai negeri Induk, meningkat dari 93 juta gulden pada awal Tanam Paksa
menjadi 141 juta gulden pada 1840 M. Total kontribusi negeri jajahan Hindia
Belanda kepada negeri Induk inilah yang disebut sebagai saldo lebih atau batig
slot. Total batig slot antara tahun 1831 – 1866 M, yakni selama hampir tiga
dasawarsa adalah sebesar 672 juta gulden.
Dana
sebesar ini, yang merupakan hasil keringat Pribumi
Hindia Belanda, khususnya PETAni Jawa, oleh Pemerintah Kerajaan Belanda telah
digunakan untuk membayar bunga pinjaman pemerintah, membiayai investasi
domestik, khususnya untuk membangun
jaringan kereta api di seluruh negeri Belanda, sebagian lagi digunakan untuk
mengurangi beban pajak orang Belanda. Pendapatan warga Belanda langsung naik, karena
pendapatan dari tanah jajahan juga naik. Tetapi dari jumlah itu, tidak
sepeserpun digunakan untuk keperluan rakyat Pribumi tanah jajahan.
Bagi
kita yang hidup pada jaman sekarang, mungkin tidak terlalu mudah membayangkan berapa besar angka 672 juta gulden itu.
Mari kita bayangkan angka 1 juta gulden pada jaman itu. Gaji seorang regent
atau bupati pada jaman itu adalah 1000 gulden per bulan.. Berarti 1 juta gulden
sangat cukup untuk menggaji 1000 regent
atau bupati. Gajih seorang wedana sekitar 150 gulden per bulan, Gaji seorang mantri guru dan seorang dokter
Jawa hampir sama yaitu sekitar 150 gulden per bulan. Besarnya tunjangan seorang
pangeran, seperti KGPA Suryaningrat, ayah Ki Hadjar Dewantara dan KGPA
Sasraningrat, mertua Ki Hadjar Dewantara, masing-masing per bulan sekitar 250
gulden.
Berapa besar gaji seorang magang ? Hanya 10
gulden per bulan. Inilah gajih terendah pegawai Pribumi yang diperebutkan
banyak lulusan ELS. Seorang buruh perkebunan hanya dibayar 0,25 gulden per hari atau 7 gulden per bulan.
Dengan total batig saldo sebesar 672 juta gulden yang dihasilkan penduduk Hindia Belanda, dapat kita
bayangkan betapa melimpah ruahnya perputaran uang di Hindia Belanda pada akhir
Tanam Paksa (1870 M). Wajar saja bila saat itu Hindia Belanda sudah berada di ambang Revolusi Industri dengan produk andalannya agro industri perkebunan. Di
Ngeri Belanda Revolusi Industri sudah dapat dimulai sejak tahun 1850 M, yakni
setelah proyek Tanam Paksa berjalan hanya
dua dasawarsa.
Dampak
dari sukses Tanam Paksa Perekonomian Hindia Belanda memang terus berdenyut. Untuk menangani hasil
Tanam Paksa yang melimpah ruah, Pemerintah Hindia Belanda membangun sebuah
perusahan dagang yang diberi nama NHM ( Nederlandsche Handel Maatschappij). NHM
ini bertugas untuk mengangkut hasil produk Tanam Paksa dan mengapalkannya ke
negeri Belanda. NHM juga membangun jaringan transportasi yang menghubungkan
sejumlah kota-kota yang merupakan sentra-sentra penghasil produk perkebunan
proyek Tanam Paksa.
Dampak
lain dari ekonomi yang sedang tumbuh di Hindia Belanda adalah munculnya sejumlah
bank di Batavia, seperti Escompo Bank,
Rotterdam Bank, Nederlands Indische Handels Bank, Koloniale Bank. British
Chartered Bank yang telah membuka kantor cabangnya di China, India dan Australia,
juga ikut membuka kantor cabangnya di Batavia. Munculnya industri perbankan di
Batavia menjelang akhir Tanam Paksa, mengindikasikan
besarnya perputaran modal dan investasi di Hindia Belanda pada jaman itu.
Batavia
pelan-pelan berkembang menjadi kota dagang, komersial dan finacial. Saat itu pemerintah kolonial
memang mulai giat membangun
pabrik-pabrik pengolahan produk hasil Tanam Paksa dengan mendirikan pabrik-pabrik
pengolahan berbasis mesin-mesin industri seperti pabtrik gula, kopi, teh,
tembakau dan pabrik pengolahan hasil perkebunan lainnya. Dampak lebih lanjut
dari pembangunan pabrik-pabrik pengolahan itu, muncullah industri kontruksi
yang menangani pembangunan perkantoran, perumahan pegawai dan mulai munculah
industri reall estate. Tentu saja pemerintah harus membangun jaringan
transportasi, pelabuhan dan jaringan irigasi. Total investasi yang dikeluarkan
pemerintah untuk membangun pabtrik dan mendatangkan mesin-mesin pengolahan
selama periode 1850 – 1870 M, sekitar 80 juta gulden.
Karena
mendapat kritik bertubi-tubi dari kaum liberal dan kebetulan posisi politisi
liberal di parlemen dan pemerintah Belanda menguat, maka pada tahun 1870 M,
proyek Tanam Paksa di Hindia Belanda dihapuskan,
kecuali untuk kopi di Pringan yang terus
dipertahankan sampai tahun 1915 M.
6.3 Kebijakan
Ekonomi Liberal ( 1870 – 1900 M ).
Kebijakan
Tanam Paksa mendapat kecaman dan kritik tajam dari tokoh-tokoh kelompok liberal
humanis. Mereka adalah para tokoh yang memiliki komitment yang tinggi membela
kemanusiaan dari pelbagai bentuk penindasan. Dalam pandangan mereka pelaksanaan
Tanam Paksa di negeri jajahan telah menimbulkan penderitaan yang luar biasa
kepada para kawula yang sebagian besar adalah PETAni Pribumi yang tak
berdaya. Para tokoh pejuang liberal
humanis yang menghendaki kebebasan kemanusiaan dari segala macam bentuk
penindasan itu antara lain adalah Dr.W.R. Baron van Hoevell, Eduard Douwes
Dekker dan Isaac D. Francen van der Putte.
Baron
van Hoevell adalah menantu Van der
Capellen, mantan Gubernur Jendral Hindia
Belanda pada masa transisi. Selama bekerja di Pulau Jawa dia mengamati
penderitaan rakyat Jawa akibat dari pelaksanaan Tanam Paksa. Hasil pengamatannya itu ditulisnya di dalam
bukunya Reis over Java (1839 M ).
Eduard
Douwe Dekker, seorang birokrat kolonial yang mnejabat Asisten Residen Lebak,
menulis bukunya yang membuatnya menjadi amat terkenal : Max Havelaar(1860 M).
Penulis memakai nama samaran Multatuli yang berasal dari bahasa Latin yang
artinya : Aku yang selalu menderita. Isinya berupa gambaran praktek korupsi dan
nepotisme yang terjadi dalam birokrasi Pribumi yang bekerjasama dengan
birokrasi pemerintah Belanda yang berujung pada penderitaan rakyat. Saat buku
itu terbit segera menimbulkan kegemparan bagi masyarakat dunia, khususnya dunia
Barat yang sudah mulai tercerahkan oleh pandangan-pandangan liberalisme humanis
yang gigih membela setiap penindasan terhadap kemanusiaan.
Isaac
D. Francen van der Putte, pada tahun yang sama juga menerbitkan bukunya :
Suiker-Contracten. Dia mengusulkan agar ada perbaikan dalam pola produksi gula
di Jawa yang tidak merugikan PETAni Pribumi.
Pada
dasarnya kaum liberal humanis ini, mendorong agar pemerintah Hindia Belanda
memberikan kebebasan kepada penduduk Pribumi Hindia Belanda untuk menentukan
sendiri cara mereka memecahkan kepentingan hidupnya, khususnya di bidang
ekonomi. Apakah mereka mau menjadi produsen, buruh atau konsumen. Peran
pemerintah cukup sebagai Dewi Keadilan, Yustice, The Invisible hand, Wisnu atau
Vairochana yang fungsinya melindungi kemungkinan kawula diperas oleh gusti,
kosumen ditipu penjual dan buruh diperas oleh majikan atau produsen.
Pada
tahun 1870 M, diberlakukanlah UU Agraria, maka investor dari luar dibiarkan
masuk untuk berkompetisi mengelola tanah-tanah di Hindia yang subur sehingga
Hindia Belanda terus berkembang menjadi sentra industri perkebunan yang modern
sekaligus menguntungkan di pasar eksport internasional. Sayangnya gagasan itu dilaksanakan oleh pemerintah Hindia Belanda dengan setengah hati.
Tantangan
justru datang dari para birokrat Belanda yang duduk dalam pemerintahan yang
tergabung dalam Korps Pegawai Belanda atau Binnenlandsch Bestuur. Mereka adalah
penganut pandangan liberalisme ortodoks dan konservatif. Bagi mereka gagasan
liberalisme humanistis hanya untuk bangsa Eropa, tetapi tidak untuk bangsa
jajahan.
Merekalah
kelompak yang tetap mempertahankan agar diskriminatif
antara warga Eropa dengan warga Pribumi tetap dipertahannkan selama mungkin
agar mereka tetap lestari menjadi gusti
di tanah jajahan.
Akibat dari kebijakan yang dualistis yang diterapkan pemerintah Hindia Belanda
itu, di lapangan ekonomi muncul pula dualisme ekonomi, yakni ekonomi
tradisional dan ekonomi modern.
Di
India, pemerintah Inggris mengintegrasikan
ekonomi tradisional ke dalam ekonomi
modern, sehingga pemerintah Inggris di India mampu melahirkan pengusaha Pribumi
yang cakap yang menjadi embrio dari kelas menengah Pribumi. Hal yang demikian
tidak terjadi di Hindia Belanda. Akibatnya sampai berakhirnya pemerintahan
Hindia Belanda pada tahun 1942, di tanah jajahan tidak muncul klas menengah
yang terdiri dari pengusaha Pribumi yang tangguh.
Itulah
sebabnya gagasan liberalisme menjadi gagasan yang kurang pupuler di tengah-tengah masyarakat
kita, akibat dari
minimnya pengusaha Pribumi yang berskala besar. Lagi pula gagasan liberalisme, pada awalnya memang
digagas oleh para pengusaha klas menengah yang kemudian menjelma menjadi kaum
kapitalis.
Sama
dengan liberalisme, kosa kata kapitalis juga mendapat citra yang buruk di tanah
air kita. Bahkan dalam propaganda kaum Marxis Komunis di anah air kita, kaum
kapitalis itu dicapnya sebagai setan. Semua setan adalah jahat. Tidak ada setan
yang baik. Karena kapitalis sama dengan setan,
dengan sendirinya semua kapitalis adalah jahat. Tak ada kapitalis yang baik, sebagaimana tak ada
setan yang baik. Padahal kaum
komunis sendiri secara doktriner tak percaya dengan adanya setan. Hal ini menunjukkan
bahwa kaum komunis yang gigih mempropagandakan kapitalis sebagai setan, sesungguhnya tidak terlalu yakin juga
bahwa kapitalis adalah setan.
Dari
fakta sejarah, khususnya sejarah ekonomi, kita bisa memperoleh fakta, bahwa
sesungguhnya kapitalisme itu tidak satu warna dan satu nada serta tidak pula bersifat hitam putih. Ada di antara mereka
yang konsisten menganut pandangan liberalistik humanistik yang gigih menjadi pejuang pembela
kemanusiaan universal. Tetapi tentu saja
ada di antara kaum kapitalis yang merosot menjadi
pemeras, penindas bahkan penjajah.
Sepanjang
pengetahuan penulis corak nasionalisme Ki Hadjar Dewantara tidak
pernah mengecam kaum pemilik modal.atau kaum kapitalis, apalagi mengecamnya sebagai setan. Yang sempat dikecam adalah kaum borjuis, atau kapitalis materialistik. Ki Hadjar
Dewantara sendiri mendorong kemandirian, kewirausahaan
dan kewiraswastaan. Penelitian dari Max Weber bahkan menunjukkan kaum kapitalis
barat awalnya adalah para pemeluk kristen Calvijnis
yang taat, para moralis, yang berusaha menumpuk modal sebanyak-banyaknya bukan
untuk akumulasi modal itu sendiri, tetapi agar mereka dengan modal yang
terakumulasi itu dapat berbuat kebaikan bagi kemanusiaan, sekaligus juga
memajukan peradaban.[Bersambung]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar