Entri yang Diunggulkan

Kahyangan Suralaya, Tempat Tinggal Para Dewa

Legenda adalah kisah tentang orang, kejadian, atau peristiwa yang dibuat berdasarkan fantasi dengan maksud untuk menimbulkan kekaguman...

Sabtu, 08 April 2017

[04]Jejak-Jejak Nasionalisme Ki Hadjar Dewantara dan Sejarah Perjuangannya




6.Menjadi Gusti di Negeri Perkebunan (1816 -1942 M)           
Usai Perang melawan Perancis yang berakhir dengan kekalahan Napoleon Bonaparte dan Negeri Belanda kembali memperoleh kemerdekaannya (1813 M) dari penjajahan Perancis, Hindia Belanda beserta Pulau Jawa kembali diserahkan pada pemerintah Kerajaan Belanda. Pemerintah Hindia Belanda pasca bubarnya VOC harus segera mengubah kebijakannya dalam mengelola tanah jajahan. Masa kejayaan negeri rempah-rempah telah berlalu. Tetapi Belanda tidak kekurangan akal.
Mereka yakin tanah Hindia yang subur dan luas dengan   penduduknya melimpah  yang merupakan tenaga kerja murah, masih dapat dieksploitasi untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran Negeri Belanda. Pilihan yang tersedia adalah menyulap negeri yang pernah berjaya dengan rempah-rempah, menjadi negeri penghasil produk tanaman perkebunan yang laku dan dibutuhkan oleh pasar Internasioanal.
Program Pemerintah Belanda menjadikan Hiindia menjadi negeri  perkebunan, meraih sukses yang gilang gemilang. Pada  paruh ke dua abad 19 M dan paruh pertama abad 20 M. Tanah Hindia  benar-benar menjadi salah satu Negeri Perkebunan yang disegani di dunia internasional. Komoditi hasil perkebunan dari Hindia Belanda yang mendominasi pasaran internasional antara lain adalah kopi, gula, teh, kina, karet dan indigo. Jawa malah tampil sebagai sentra industri gula nomor dua terbesar di dunia. Pada tiga dasa warsa akhir abad  19 M, Pulau Jawa dan Sumatra Timur bahkan sudah memasuki tahap Revolusi Industri dalam proses produksi hasil-hasil perkebunannya.
Perjalanan Pemerintah Hindia Belanda mengubah negeri rempah-rempah menjadi negeri perkebunan, melalui serangkaian tahapan kebijakan sbb :
6.1  Kebijakan Masa Transisi (1816 – 1830 M)
Pada masa transisi di Hindia Belanda dari Pemerintah Inggris kepada Pemerintah Kerajaan Belanda, Van der Capellen (1819 -1826 M ) diangkat sebagai Gubernur Jendral Hindia Belanda. Van der Capellen adalah seorang lberalis humanis, karenanya dia punya obsesi untuk melanjutkan kebijakan reformasi birokrasi yang pernah digagas Raffles dan pendahulunya Daendels. Tetapi Van der Capellen mendapat tantangan dan perlawanan dari para birokrat kolonial sendiri. Misalnya Van der Capellen melarang pejabat kolonial pemerintah Hindia Belanda melakukan penyewaan tanah-tanah milik kerajaan di daerah Vorstelanden Surakarta dan Yogyakarta. Tetapi para pangeran sudah terlanjur memakai habis uang sewa yang telah diterimanya. Akibat ketentuan Van der Capellen itu, justru para Pangeranlah yang menjadi resah, karena mereka diwajibkan mengembalikan uang sewa yang telah terlanjur diterimanya dan telah dipakainya.
Sementara itu, para birokrat kolonial di Yogyakarta juga terlibat sengketa tanah dengan Pangeran Diponeroro yang mengakibatkan pecahnya Perang Jawa (1825 -1830 ) yang hampir saja membuat bangkrut pemerintah Hindia Belanda. Van der Capellen juga menghadapi tantangan yang berat di Sumatra Barat dengan meletusnya Perang Padri (1821 -1837 M). Akhirnya Van der Capellen ditarik pulang  ke negeri Belanda(1826 M). Penggantinya Du Bus de Gisignies( 1826 -1830 M), seorang pengusaha Belanda, tidak banyak berbuat, kecuali bahwa dalam masa pemerintahannya, Perang Jawa dapat diakhiri.
Tetapi pada akhir dasawarsa ke- 3 abad 19 M, Pemerintah Kerajaan Belanda nyaris bangkrut. Kas negara  nyaris kosong karena meletus pemberontakan Belgia yang ingin melepaskan diri dari Pemerintahan Belanda. Belanda akhirnya kehilangan Belgia, karena kemerdekaan Belgia diakui dunia internasional. Karena mengalami kesulitan keuangan yang parah, hampir saja Kerajaan Belanda melepaskan tanah jajahannya di Hindia Belanda.
Beruntung Belanda memiliki tokoh ahli kolonial yang berhaluan liberal konservatif  yang mampu meyakinkan pemerintahnya, bahwa  sebenarnya tanah-tanah Hindia yang luas dan subur itu belum dimanfaatkan secara optimal. Dia mengusulkan agar negeri rempah-rempah yang sudah lewat masa jayanya itu diubah menjadi negeri perkebunan dengan mewajibkan penduduk menanam tanaman perkebunan yang bersifat eskotik yang laku di pasar Internasional. Jika saja seperlima dari luas tanah pulau Jawa dapat diubah menjadi perkebunan yang wajib ditanami oleh PETAni dengan tanaman keras seperti tebu dan kopi, diperkirakan dalam waktu singkat kas negeri Belanda yang kosong, akan cepat terisi kembali. Orang Belanda yang memiliki pandangan jeli itu, adalah Van den Bosch.Dia lah perintis Negeri Perkebunan di Hindia Belanda dengan sistem yang diusulkannya yang dikenal dengan nama Cultuur Stelsel atau Cultivation System.
Bagi orang Belanda Van den Bosch layak dijuluki sebagai Bapak Perkebunan Hindia Belanda. Tetapi tentu saja bagi para nasionalis dan penulis sejarah nasional, dia lebih layak dijuluki sebagai Bapak Tanam Paksa. Karena memang dalam prakteknya Cultivation System telah berubah menjadi Forced Cultivation System atau Sistem Perkebunan yang dilaksanakan dengan cara kekerasan, ancaman dan paksaan kepada para kawula, khususnya para PETAni Pribumi di Hindia Belanda, khususnya Jawa.

6.2  Kebijakan Tanam Paksa (1830 -1870 M )
Sebelum Belgia lepas dari Kerajaan Belanda, Belgia merupakan Nederland Selatan. Sedangkan Kerajaan Belanda yang sekarang adalah Nederland Utara. Dengan lepasnya Nederland Selatan, Kerajaan Belanda tinggal mengurusi wilayah Nederland Utara saja. Padahal wilayah Nederland Selatan merupakan wilayah yang kaya dan menjadi andalan keuangan Pemerintah Kerajaan Nederland. Dengan lepasnya Nederland Selatan yang kemudian menjelma menjadi negeri Belgia, Pemerintah Kerajaan Belanda jelas terancam bangkrut. Karena itu Raja Belanda Willem I, amat tertarik dengan gagasan Van den Bosch. Dia segera diangkat jadi Gubernur Jendral Hindia Belanda (1830 -1833 M), untuk melaksanakan gagasannya. Walapun masa pemerintahan Van den Bosch hanya singkat saja, ternyata Sistem Tanam Paksa yang digagasnya segera menunjukkan hasil-hasil yang menakjubkan.
PETAni dipaksa menanam seperlima dari tanah garapannya dengan tanaman keras untuk eksport seperti kopi, tebu dan indigo. Pribumi yang tak memiliki tanah, diharuskan kerja wajib selama 66 hari kerja, yakni 1/5 dari 366 hari, yakni jumlah hari dalam satu tahun. Tetapi dalam prakteknya banyak terjadi penyimpangan di lapangan yang mengakibatkan penderitaan luar biasa kepada penduduk Pribumi. Untuk merawat tanaman wajib, ternyata seorang PETAni sering memerlukan waktu lebih lama dari 66 hari. Akibatnya waktu yang seharusnya digunakan untuk menanam tanaman pangan seperti padi, tersita untuk mengurusi tanaman wajib. Akibatnya sawah banyak yang terbengkalai, produksi bahan makanan merosot dan kelaparan mulai menghantui dimana-mana.
Sebaliknya pemerintah Hindia Belanda mampu memetik hasil produksi Tanam Paksa secara luar biasa. Hal ini bisa dilihat dari data perkembangan nilai eksport produk Tanam Paksa yang terus menerus meningkat selama masa periode pelaksanaan Tanam Paksa.
Hasil kopi, meningkat dari 4,5 juta gulden pada awal pelaksanaan Tanam Paksa tahun 1831 M, menjadi 37, 3 juta gulden pada  1840 M. Pada periode yang sama, gula juga meningkat dari 1,5 juta gulden menjadi 13, 7 juta gulden. Indigo dari yang tadinya hanya  0,048 juta gulden, menjadi 6,3 juta gulden pada tahun 1840 M.
Tanaman pendatang baru, tembakau juga meningkat dari hanya 0, 18 juta gulden pada tahun 1831 M, menjadi 1, 2 juta gulden pada 1840 M. Total eksport produk Tanam Paksa meningkat dari 12,7 juta gulden pada awal program, menjadi 72,9 juta gulden pada 1840 M.   Suatu peningkatan hampir 600% hanya dalam waktu satu dasawarsa pelaksanaan Tanam Paksa.
Besarnya total kontribusi Pemerintah Hindia Belanda di Batavia kepada Kerajaan Belanda sebagai negeri Induk, meningkat dari 93 juta gulden pada awal Tanam Paksa menjadi 141 juta gulden pada 1840 M. Total kontribusi negeri jajahan Hindia Belanda kepada negeri Induk inilah yang disebut sebagai saldo lebih atau batig slot. Total batig slot antara tahun 1831 – 1866 M, yakni selama hampir tiga dasawarsa adalah sebesar 672 juta gulden.
Dana sebesar ini, yang merupakan hasil keringat Pribumi Hindia Belanda, khususnya PETAni Jawa, oleh Pemerintah Kerajaan Belanda telah digunakan untuk membayar bunga pinjaman pemerintah, membiayai investasi domestik, khususnya untuk membangun jaringan kereta api di seluruh negeri Belanda, sebagian lagi digunakan untuk mengurangi beban pajak orang Belanda. Pendapatan warga Belanda langsung naik, karena pendapatan dari tanah jajahan juga naik. Tetapi dari jumlah itu, tidak sepeserpun digunakan untuk keperluan rakyat Pribumi tanah jajahan.
Bagi kita yang hidup pada jaman sekarang, mungkin tidak terlalu mudah membayangkan berapa besar angka 672 juta gulden itu. Mari kita bayangkan angka 1 juta gulden pada jaman itu. Gaji seorang regent atau bupati pada jaman itu adalah 1000 gulden per bulan.. Berarti 1 juta gulden sangat cukup untuk menggaji  1000 regent atau bupati. Gajih seorang wedana sekitar 150 gulden per bulan,  Gaji seorang mantri guru dan seorang dokter Jawa hampir sama yaitu sekitar 150 gulden per bulan. Besarnya tunjangan seorang pangeran, seperti KGPA Suryaningrat, ayah Ki Hadjar Dewantara dan KGPA Sasraningrat, mertua Ki Hadjar Dewantara, masing-masing per bulan sekitar 250 gulden.
 Berapa besar gaji seorang magang ? Hanya 10 gulden per bulan.  Inilah gajih  terendah pegawai Pribumi yang diperebutkan banyak lulusan ELS. Seorang buruh perkebunan hanya dibayar  0,25 gulden per hari atau 7 gulden per bulan. Dengan total batig saldo sebesar 672 juta gulden yang dihasilkan penduduk Hindia Belanda, dapat kita bayangkan betapa melimpah ruahnya perputaran uang di Hindia Belanda pada akhir Tanam Paksa (1870 M). Wajar saja bila saat itu Hindia Belanda sudah berada di ambang Revolusi Industri dengan produk andalannya agro industri perkebunan. Di Ngeri Belanda Revolusi Industri sudah dapat dimulai sejak tahun 1850 M, yakni setelah proyek Tanam Paksa berjalan hanya  dua dasawarsa.
Dampak dari sukses Tanam Paksa Perekonomian Hindia Belanda  memang terus berdenyut. Untuk menangani hasil Tanam Paksa yang melimpah ruah, Pemerintah Hindia Belanda membangun sebuah perusahan dagang yang diberi nama NHM ( Nederlandsche Handel Maatschappij). NHM ini bertugas untuk mengangkut hasil produk Tanam Paksa dan mengapalkannya ke negeri Belanda. NHM juga membangun jaringan transportasi yang menghubungkan sejumlah kota-kota yang merupakan sentra-sentra penghasil produk perkebunan proyek Tanam Paksa.
Dampak lain dari ekonomi yang sedang tumbuh di Hindia Belanda adalah munculnya sejumlah bank di Batavia, seperti Escompo Bank, Rotterdam Bank, Nederlands Indische Handels Bank, Koloniale Bank. British Chartered Bank yang telah membuka kantor cabangnya di China, India dan Australia, juga ikut membuka kantor cabangnya di Batavia. Munculnya industri perbankan di Batavia menjelang akhir Tanam Paksa, mengindikasikan besarnya perputaran modal dan investasi di Hindia Belanda pada  jaman itu.
Batavia pelan-pelan berkembang menjadi kota dagang, komersial dan finacial. Saat itu pemerintah kolonial memang mulai giat membangun pabrik-pabrik pengolahan produk hasil Tanam Paksa dengan mendirikan pabrik-pabrik pengolahan berbasis mesin-mesin industri seperti pabtrik gula, kopi, teh, tembakau dan pabrik pengolahan hasil perkebunan lainnya. Dampak lebih lanjut dari pembangunan pabrik-pabrik pengolahan itu, muncullah industri kontruksi yang menangani pembangunan perkantoran, perumahan pegawai dan mulai munculah industri reall estate. Tentu saja pemerintah harus membangun jaringan transportasi, pelabuhan dan jaringan irigasi. Total investasi yang dikeluarkan pemerintah untuk membangun pabtrik dan mendatangkan mesin-mesin pengolahan selama periode 1850 – 1870 M, sekitar 80 juta gulden.
Karena mendapat kritik bertubi-tubi dari kaum liberal dan kebetulan posisi politisi liberal di parlemen dan pemerintah Belanda menguat, maka pada tahun 1870 M, proyek Tanam Paksa di Hindia Belanda dihapuskan, kecuali untuk kopi  di Pringan yang terus dipertahankan sampai tahun 1915 M.

6.3  Kebijakan Ekonomi Liberal ( 1870 – 1900 M ).    
Kebijakan Tanam Paksa mendapat kecaman dan kritik tajam dari tokoh-tokoh kelompok liberal humanis. Mereka adalah para tokoh yang memiliki komitment yang tinggi membela kemanusiaan dari pelbagai bentuk penindasan. Dalam pandangan mereka pelaksanaan Tanam Paksa di negeri jajahan telah menimbulkan penderitaan yang luar biasa kepada para kawula yang sebagian besar adalah PETAni Pribumi yang tak berdaya.  Para tokoh pejuang liberal humanis yang menghendaki kebebasan kemanusiaan dari segala macam bentuk penindasan itu antara lain adalah Dr.W.R. Baron van Hoevell, Eduard Douwes Dekker dan Isaac D. Francen van der Putte.
Baron van Hoevell adalah menantu Van der Capellen, mantan Gubernur Jendral Hindia Belanda pada masa transisi. Selama bekerja di Pulau Jawa dia mengamati penderitaan rakyat Jawa akibat dari pelaksanaan Tanam Paksa. Hasil pengamatannya itu ditulisnya di dalam bukunya Reis over Java (1839 M ).
Eduard Douwe Dekker, seorang birokrat kolonial yang mnejabat Asisten Residen Lebak, menulis bukunya yang membuatnya menjadi amat terkenal : Max Havelaar(1860 M). Penulis memakai nama samaran Multatuli yang berasal dari bahasa Latin yang artinya : Aku yang selalu menderita. Isinya berupa gambaran praktek korupsi dan nepotisme yang terjadi dalam birokrasi Pribumi yang bekerjasama dengan birokrasi pemerintah Belanda yang berujung pada penderitaan rakyat. Saat buku itu terbit segera menimbulkan kegemparan bagi masyarakat dunia, khususnya dunia Barat yang sudah mulai tercerahkan oleh pandangan-pandangan liberalisme humanis yang gigih membela setiap penindasan terhadap kemanusiaan.
Isaac D. Francen van der Putte, pada tahun yang sama juga menerbitkan bukunya : Suiker-Contracten. Dia mengusulkan agar ada perbaikan dalam pola produksi gula di Jawa yang tidak merugikan PETAni Pribumi.
Pada dasarnya kaum liberal humanis ini, mendorong agar pemerintah Hindia Belanda memberikan kebebasan kepada penduduk Pribumi Hindia Belanda untuk menentukan sendiri cara mereka memecahkan kepentingan hidupnya, khususnya di bidang ekonomi. Apakah mereka mau menjadi produsen, buruh atau konsumen. Peran pemerintah cukup sebagai Dewi Keadilan, Yustice, The Invisible hand, Wisnu atau Vairochana yang fungsinya melindungi kemungkinan kawula diperas oleh gusti, kosumen ditipu penjual dan  buruh diperas oleh majikan atau produsen.
Pada tahun 1870 M, diberlakukanlah UU Agraria, maka investor dari luar dibiarkan masuk untuk berkompetisi mengelola tanah-tanah di Hindia yang subur sehingga Hindia Belanda terus berkembang menjadi sentra industri perkebunan yang modern sekaligus menguntungkan di pasar eksport internasional. Sayangnya gagasan  itu   dilaksanakan oleh pemerintah Hindia  Belanda dengan setengah hati.
Tantangan justru datang dari para birokrat Belanda yang duduk dalam pemerintahan yang tergabung dalam Korps Pegawai Belanda atau Binnenlandsch Bestuur. Mereka adalah penganut pandangan liberalisme ortodoks dan konservatif. Bagi mereka gagasan liberalisme humanistis hanya untuk bangsa Eropa, tetapi tidak untuk bangsa jajahan.
Merekalah kelompak yang tetap mempertahankan agar diskriminatif antara warga Eropa dengan warga Pribumi tetap dipertahannkan selama mungkin agar mereka tetap lestari menjadi gusti  di tanah jajahan. Akibat dari kebijakan yang dualistis yang diterapkan pemerintah Hindia Belanda itu, di lapangan ekonomi muncul pula dualisme ekonomi, yakni ekonomi tradisional dan ekonomi  modern.
Di India, pemerintah Inggris mengintegrasikan ekonomi tradisional ke dalam ekonomi modern, sehingga pemerintah Inggris di India mampu melahirkan pengusaha Pribumi yang cakap yang menjadi embrio dari kelas menengah Pribumi. Hal yang demikian tidak terjadi di Hindia Belanda. Akibatnya sampai berakhirnya pemerintahan Hindia Belanda pada tahun 1942, di tanah jajahan tidak muncul klas menengah yang terdiri dari pengusaha Pribumi yang tangguh.
Itulah sebabnya gagasan liberalisme menjadi gagasan yang  kurang pupuler di tengah-tengah masyarakat kita, akibat dari minimnya pengusaha Pribumi yang berskala besar. Lagi pula gagasan liberalisme, pada awalnya memang digagas oleh para pengusaha klas menengah yang kemudian menjelma menjadi kaum kapitalis.
Sama dengan liberalisme, kosa kata kapitalis juga mendapat citra yang buruk di tanah air kita. Bahkan dalam propaganda kaum Marxis Komunis di anah air kita, kaum kapitalis itu dicapnya sebagai setan. Semua setan adalah jahat. Tidak ada setan yang baik. Karena kapitalis  sama dengan setan, dengan sendirinya semua kapitalis adalah jahat. Tak ada  kapitalis yang baik, sebagaimana tak ada setan yang baik. Padahal kaum komunis sendiri secara doktriner tak percaya dengan adanya setan. Hal ini menunjukkan bahwa kaum komunis yang gigih mempropagandakan kapitalis sebagai  setan, sesungguhnya tidak terlalu yakin juga bahwa kapitalis adalah setan.
Dari fakta sejarah, khususnya sejarah ekonomi, kita bisa memperoleh fakta, bahwa sesungguhnya kapitalisme itu tidak satu warna dan satu nada serta tidak pula  bersifat hitam putih. Ada di antara mereka yang konsisten menganut pandangan liberalistik humanistik  yang gigih menjadi pejuang pembela kemanusiaan universal. Tetapi  tentu saja ada di antara kaum kapitalis yang merosot menjadi pemeras, penindas bahkan penjajah.
Sepanjang pengetahuan penulis  corak nasionalisme Ki Hadjar Dewantara tidak pernah mengecam kaum pemilik modal.atau kaum kapitalis, apalagi mengecamnya sebagai setan.  Yang sempat dikecam adalah kaum borjuis, atau kapitalis materialistik. Ki Hadjar Dewantara sendiri mendorong  kemandirian, kewirausahaan dan kewiraswastaan. Penelitian dari Max Weber bahkan menunjukkan kaum kapitalis barat awalnya adalah para pemeluk kristen Calvijnis yang taat, para moralis, yang berusaha menumpuk modal sebanyak-banyaknya bukan untuk akumulasi modal itu sendiri, tetapi agar mereka dengan modal yang terakumulasi itu dapat berbuat kebaikan bagi kemanusiaan, sekaligus juga memajukan peradaban.[Bersambung]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar