Entri yang Diunggulkan

Kahyangan Suralaya, Tempat Tinggal Para Dewa

Legenda adalah kisah tentang orang, kejadian, atau peristiwa yang dibuat berdasarkan fantasi dengan maksud untuk menimbulkan kekaguman...

Sabtu, 08 April 2017

[5] Jejak-Jejak Nasionalisme Ki Hadjar Dewantara dan Sejarah Perjuangannya





6.3.1  Sektor Ekonomi Tradisional
Di Inggris juga di Jepang, kapitalisme justru pada mulanya muncul dari sektor ekonomi tradisional. Para bangsawan di Inggris, Belanda dan negara Barat lainnya, tidak hanya terpaku untuk menjadi ksatria (knight) dengan menggeluti dunia kekuasaan. Sebagian dari mereka terjun dalam aktivitas ekonomi dan mengembangkan dirinya menjadi kelompok klas menengah yang kuat. Mereka secara kreatif menggeluiti aktivitas produksi, baik  di bidang pertanian, peternakan dan industri kreatif kerajinan rumah tangga.
Mereka aktif berorganisasi membentuk gilda-gilda dan terus bertukar pikiran untuk memperbaiki proses produksi. Para bangsawan itu sejak semula memperlakukan para buruhnya dengan baik, meperhatikan kesejahteraan meraka dan tak pernah terdengar konflik yang berkepanjangan antara buruh dan majikan.
Hubungan antar mereka mirip dengan hubungan antara kawula dan gusti yang manunggal dalam filsafat kekuasaan Jawa, tetapi yang diterapkan dalam lapangan ekonomi. Itulah sebabnya di Inggris gagasan sosialisme dan komunisme tidak laku, walapun ide sosialisme muncul dari tanah Inggris. Kelak kaum kapitalis membentuk Partai Liberal dan kaum buruh membentuk Partai Buruh.
Perjuangan kaum buruh di Inggis bukanlah perjuangan klas untuk mengubur kaum kapitalis seperti gagasan kaum komunis dan sosialis radikal. Perjuangan kaum buruh adalah mengontrol  kaum kapitalis agar mereka tidak menjadi tamak, serakah, hanya mementingkan diri sendiri, sewenang-wenang terhadap buruh. Pendeknya agar kepentingan buruh mendapat perhatian yang layak, wajar, sama halnya dengan kepentingan kaum kapitalis.
Aktivitas para bangsawan di Inggris dan dunia barat juga terjadi di Jepang. Para bangsawan  Jepang  sudah sejak jaman Restorasi Meiji (1873 M), sudah menggeluti dunia bisnis dan banyak muncul kapitalis Jepang yang kaya raya yang dikenal sebagai Shogun.  Sedang para bangsawan yang tak tertarik menjadi pengusaha, terjun menjadi ksatria Jepang yang perkasa, yakni para Samurai.
Memang pada awal Revolusi Industri di Inggris terjadi proses kemiskinan buruh yang luar biasa yang direkam dengan amat baik  oleh Novelis Wanita Inggis Geoge Owel. Pada masa itu, wanita dan anak-anak ikut terjun dalam industri kapitalis sebagai buruh dengan upah murah, tanpa jaminan kesehatan, kesejahteran, bekerja siang malam tanpa ada batasan jam kerja. Banyak anak-anak meninggal karena kecelakaan, wanita hamil melahirkan bayinya di lorong-lorong pabrik. Tetapi penyebab utamanya bukan karena kekejaman kapitalis, sekalipun harus diakui memang ada juga kapitalis yang kejam.
Tetapi penyebab utamnya adalah sektor industri modern yang berbasis mesiin-mesin, tidak mampu menampung ribuan buruh yang semula bekerja di sektor pertanian, yang tiba-tiba mengalir memasuki dunia industri  yang justru tidak memerlukan terlalu banyak buruh akibat proses mekanisasi dalam sistem produksi. Tetapi masa transisi itu akhirnya bisa dilewati Inggris, penderitaan dan kemiskinan kaum buruh lama-lama dapat diakhiri.
Berbeda dengan bangsawan Jepang, Inggris, Belanda, Jerman, Perancis dan negara Barat lainnya yang mau menggeluti dunia bisnis dan berkembang menjadi klas menengah yang tangguh, bangsawan Jawa jarang yang mau terjun ke dunia bisnis. Mereka lebih suka mengembangkan diri menjadi para ksatria, klas penguasa, dan klas priyayi dengan jalan menduduki jabatan-jabatan dalam birokrasi, baik birokrasi Pribumi maupun birokrasi  pemerintahan Hindia Belanda.
Keengganan para bangsawan Jawa terjun ke dalam dunia industri, karena mereka menganggap bahwa kegiatan sebagai pedagang atau pengusaha sebagai kegiatan yang kurang terhormat. Para cendekiawan, sastrawan dan pujangga kraton Jawa dalam karya-karya mereka lebih banyak menggubah karya karya sastra lama dari Mahabaratha dan Ramayana yang memuliakan para ksatria. Tidak ada satu karya pun dari pujangga Jawa yang memuliakan para pedagang dan pengusaha. Padahal pada kurun waktu yang hampir bersamaan, pujangga dan sastrawan Inggris seperti Chrales Dicken dan Thomas Hardy sudah menggambarkan munculnya klas pengusaha  yang sukses di Inggis, berdampingan dengan klas penguasa.
Keengganan bangsawan Jawa untuk menggeluti dunia bisnis adalah akibat doktrin Hinduisme yang menempatkan posisi pedagang dan penguasaha sebagai kasta Weisya, yakni kasta yang berada dibawah kasta Ksatria dan Brahmana, dan karenanya diangap kasta yang kurang terhormat.
Akibat  dari sikap para bangsawan Jawa yang demikian itu, proses produksi di Jawa bukan hanya statis dan tidak pernah berkembang, tetapi tidak efisien, tidak produktif dan dilaksanakan scara tradisional. Hal yang amat menyolok terjadi pada proses produksi pertanian khususnya padi di Pulau Jawa. Para PETAni Jawa melaksanakan proses produksi dengan hanya mengandalkan konsep mistik sebagai satu-satunya cara untuk meningkatkan hasil produksi pertanian.
Seorang ahli pertanian Belanda, JHF Sollewijn Gelpke, mengemukakan pandangannya setelah melakukan penelitian, bahwa sebenarnya untuk jenis tanah-tanah pertanian  yang amat subur seperti di Pulau Jawa, apabila diolah secara rasional dengan menggunakan metode ilmah untuk memperbaiki proses produksi, hasilnya bisa meningkat lima kali lipat dari cara mengolah tanah sawah yang oleh PETAni Jawa diolah dengan cara-cara yang tradisional.
Menurut penilainnya, cara mengolah sawah orang Jawa terlalu banyak dipengaruhi oleh konsep mistik dan cara-cara yang irasional,  yang mengakibatkan proses produksi menjadi melelahkan, tidak efisien dan boros, baik dari segi waktu, tenaga dan biaya. Adanya kepercayaan terhadap Dewi Padi, Dewi Kesuburan dan Dewi Pertanian, sebenarnya tidak hanya dimilki oleh PETAni Jawa. PETAni-PETAni Spanyol, Italia,Filipina dan Siam, pada masa lalu juga memiliki kepercayaan serupa.
Hanya saja tradisi mistik mereka tidak terlalu banyak dipenuhi bebagai jenis ritual kultus pemujaan pada Dewi Kesuburan. Paling-paling pada saat panen selesai dan hasilnya melimpah, barulah mereka menyelenggarakan pesta ritual sebagai ungkapan terimakasih mereka kepada Dewi Mistik Kesuburan mereka.  Mereka juga mudah sekali melakukan adaptasi untuk memperbaiki cara-cara proses produksi padi mereka.
Pada PETAni Jawa, hal yang demikian tidak terjadi. Hampir pada setiap tahap proses produksi padi, PETAni Jawa selalu mengawalinya dengan prosesi ritual yang bersifat mistik. Mulai dari penentuan waktu dan tanggal untuk memulai menggarap sawah yang harus didasarkan pada hari baik, membajak sawah, membuat pematang, membuat selokan saluran air, mengalirkan air, menebar benih, menyambut padi bunting, menjaga hama, sampai panen dan menumbuk padi, semua tahapan itu tidak lepas dari berbagai jenis ritual mistik. Untuk meningkatkan hasil panen, PETAni Jawa bukannya memperbaiki dan mempebaharui proses produksi. Mereka mengusahakannya dengan memeprbaiki sistem ritual mereka. Mereka menganggap, makin rumit dan makin lengkap sistem ritual yang diadakan, hasil panen yang mereka harapkan akan semakin baik. Sebaliknya bila terjadi kegagalan dalam panen, mereka akan menyalahkan pada proses ritual yang dianggapnya kurang sempurna.
Peneliti Belanda itu juga melaporkan bahwa pada awal abad ke-20 M, di daerah pertanian Jawa Tengah Selatan,  masih ditemukan ritual persanggaman suami istri PETAni yang dilaksanakan di tengah-tengah sawah mereka pada malam hari bulan purnama pada saat menjelang padi-padi mereka akan bunting. Mereka percaya bahwa dengan ritual semacam itu yang merupakan kultus pemujaan terhadap Dewi Sri, Dewi Padi atau Dewi Kesuburan dalam  mitologi Jawa, hasil panen mereka bakal melmpah dan tak akan ada padinya yang gabu, mandul atau kosong. Ritual semacam itu memang pernah banyak dilakukan oleh PETAni di Kana’an pada abad ke 10 SM. Dan sudah lama ditinggalkan oleh para PETAni di belahan dunia manapun. Tetapi di Jawa, pada awal abad ke-20, ritual semacam itu masih banyak yang melakukannya.
Dengan dalih melindungi dan menghormati adat istiadat, tradisi dan keprcayaan setempat, Pemerintah Hindia Belanda, membiarkan sektor ekonomi tradisional itu berdampingan dngan sektor modern. Maka terciptalah dualisme ekonomi. Pelaku ekonomi tradisional hanya berkutat pada sektor pertanian dan peternakan tradisonal, industri rumah tangga seperti batik, ukir-ukiran, kerajinan perak dan kerajina rumah tangga lainnya. Akibatnya  adalah reformasi politik dan ekonomi yang bercorak liberal di Hindia Belanda, hanya dinikmati oleh masayarakat Eropa dan Timur Asing di Hindia Belanda.
Kebijakan ekonomi yang dualistis sekaligus diskriminatif itu, tak pernah dilakukan oleh Inggris di India dan Malaysia, oleh Perancis di Indo China  dan oleh Amerika di Filipina. Pemerintah Eropa itu pada umumnya mengintegrasikan sektor ekonomi tradisional ke dalam sektor modern. Pemerintah Inggris dengan semangat liberalisme humanistiknya dan misi white man burden, tidak segan-segan mendidik Pribumi tanah jajahannya untuk bangkit meniti karir di bidang ekonomi sebagai kapitalis dan pengusaha, sehingga munculah di India dan Malaysia klas menengah Pribumi yang kuat. Hal yang sama terjadi juga di Indo China dan Filipina.
Nampaknya pemerintah Hindia Belanda yang didominasi oleh kaum liberalis konservatif, memiliki kekhawatiran yang berlebihan. Munculnya klas menengah Pribumi yang kuat dibidang ekonomi diangapnya sebagai ancaman terhadap kedudukan mereka sebagai Gusti di tanah jajahan. Berbeda dengan Inggris dan Amerika yang lebih siap melepaskan negeri jajahannya menjadi bangsa yang merdeka dan diikat dalam kerjasa ekonomi yang saling menguntungkan dan terus berkelanjutan, Belanda jauh tidak siap. Akibat munculnya dualisme dalam bidang ekonomi dan diskrimatif dalam bidang politik, hubungan antara Pribumi Hindia Belanda dan pemerintah Belanda, semakin lama semakin memburuk, dan kelak memicu lahirnya nasioanlisme patriotik yang dipenuhi dendan dan anti Belanda  sampai keakar-akarnya, yang penuh dengan prasangka, terkadang emosinal dan tidak rasional. Karena kadang-kadang muncul pandangan bahwa apa yang berasal dari warisan Belanda dan Barat adalah buruk, seraya melupakan bahwa  sebenrnya wilayah Republik Indonesia, adalah sebuah warisan yang ditinggalkan oleh Pemerintah Hindia Belanda, karena Belanda ditaklukan Jepang dan kalah dalam perebutan untuk memperolehnya kembali dari Pribumi yang telah bangkit nasionalisme patriotiknya dan telah memproklamirkan berdirinya sebuah negara republik yang merdeka dan berdaulat.   
  
6.3.2  Sektor Ekonomi Modern
Dari sudut kepentingan ekonomi dan politik Belanda, pelaksanaan Politik Ekonomi Liberal yang telah berlangsung  selama tiga dasa warsa akhir dari abad ke-19 M, telah membawa kemakmuran ekonomi dan keuangan negeri Belanda, bahkan melampaui masa kemakmuran jaman Tanam Paksa. Hal ini  nampak dari pertumbuhan ekonomi Hindia Belanda selama periode pelaksanaan Kebijakan  Politik Ekonomi Liberal (1870 – 1900 M ).
Pada periode ini industri gula mengalami kemuajuan yang luar biasa. Eksport gula pada tahun 1900 M, mencapai angka 74 juta gulden. Sedangkan eksport kopi hanya mencapai angka 35 juta gulden. Nampak  disini bahwa peranan kopi yang pada awal Tanam Paksa masih merupakan primadona, pada masa ekonomi liberal, posisinya sebagai primadona eksport tergeser oleh gula. 
Total eksport Hindia Belanda pada masa ekonomi liberal juga terus-menerus meningkat, walapun sempat turun pada 1890 M, akibat resesi yang melanda dunia pada tahun 1885 M. Pada tahun 1870 M, total eksport  Hindia Belanda sebesar 108 juta gulden, meningkat menjadi 185 juta gulden pada tahun 1885 M, kemudian turun menjadi 176 juta gulden pada tahun 1890 M. Tetapi pada tahun 1900 M, naik lagi secara spektakuler menjadi 258 juta gulden!. Peningkatan ekspor yang luar biasa itu  disebabkan oleh sumbangan terbesar dari produksi gula yang meningkat tajam dari 150 ribu metrik ton pada tahun 1870 M, menjadi 744 metrik ton pada tahun 1900 M. Hanya dalam waktu tiga dasawarsa produksi gula telah meningkat sebanyak  lima kali lipat.
Peningkatan yang luar biasa dari produksi gula itu, disebabkan para penguasaha Belanda terus menerus memperbaiki proses produksi tebu dengan cara perluasan lahan tanam, mekanisasi, perbaikan cara menanam, pemilihan bibit dan modernisasi mesin-mesin penggilingan tebu. Pembangunan besar-besaran pabrik gula di Jawa, mendorong munculnya industri-industri perkebunan yang lain. Hal ini bisa dilihat dari investasi barang modal yang terus meningkat. Pada tahun 1870 M, total import barang modal berupa mesin-mesin industri, besi dan baja berjumlah 2,3 juta gulden. Tetapi pada tahun 1890 M, meningkat sebanyak sepuluh kali lipat, yakni menjadi 22,3 juta gulden.
Dari total import barang modal itu, sekitar 11 juta gulden terdiri dari import mesin-mesin industri. Dari 11 juta gulden itu, sekitar 4 juta gulden merupakan import mesin-mesin giling pabrik gula. Dengan melihat variasi jenis mesin industri yang diimport, kita bisa menarik kesimpulan bahwa investor Belanda dan Eropa lainnya cukup kreatip untuk menciptakan produk-produk perkebunan baru diluar gula. Dari total import barang modal mesin senilai 11 juta gulden, 4 juta untuk mesin pabrik gula sedang sisanya 7 juta gulden untuk mesin-mesin pengolahan diluar gula. Memang  pada akhir abad ke 19 M itu, mulai bermunculan investor perkebuna diluar tebu dan kopi. Misalnya teh, karet, kina dan tembakau.
Kebijakan Politik Ekonomi Liberal itu, akhirnya benar-benar membawa Hindia Belanda memasuki Revolusi Industri. Hal dapat dilihat bukan hanya dari nilai barang  modal yang terus meningkat. Tetapi bisa juga dilihat dari terus bermunculannya institusi-insitusi ekonomi yang baru. Industri perbankan misalnya. Pada masa Tanam Paksa sudah bermunculan sejumlah bank dengan reputasi internasional. Pada masa Ekonomi Liberal, industri perbankan terus tumbuh.
Salah satu bank yang berperan besar dalam membangun industri perkebunan di Hindia Belanda adalah Agricultur Bank atau Bank Pertanian. Di antaranya yang terkenal adalah HVA Bank. Bank ini beroperasi dengan cara yang amat profesonal. Bank ini tidak hanya aktif membiayai investasi-investasi di bidang industri perkebunan, khususnya pabrik gula.  Tetapi bank ini juga menyediakan konsultan ahli yang tidak hanya memberikan bimbingan dalam teknis produksi dan manajemen. Tetapi disediakan juga konsultan ahli yang membantu riset-riset dan penelitian guna menghasilkan bibit unggul. Bukan hanya gula. Tetapi juga jenis tanaman ekscotik lainnya yang memiliki prospek di pasaran internasinal. Perusahaan-perusahaan yang segera bermunculan pada periode ini antara lain industri kehutanan dan pengelolaan hutan jati, telepon dan telegrap, jaringan pelayaran antar pulau, Pemerintah Hindia Belanda ikut aktif berpartisipasi bersama-sama dengan swasta membangun jaringan rel kereta api di Jawa.
Dengan semakin berkembangnya sektor ekonomi modern di Hindia Belanda, maka jumlah imigran Belanda  dan Eropa lainnya yang masuk ke Hindia Belanda semakin meningkat. Antara tahun 1870 -1880 M, terjadi peningkatan penduduk Eropa sebanyak 20, 9 %. Dan pada periode 1880 -1900 M, meningkat lagi menjadi 32 %. Pada tahun 1900 M, tercatat ada 75.000 penduduk Eropa, termasuk di dalamnya 40.000 orang Indo Eropa.  Orang Indo Eropa ini adalah keturunan ayah Eropa, sebagian besar Belanda dan ibu Pribumi Hindia Belanda sebagian besar Jawa. Para imigran Eropa itu, sebagian besar terdiri dari para pengusaha perkebunan, profesioanl mandiri, tentara, manajer perkebunan profesional yang sempat mendapat julukan Aristokrat Perkebunan, dan bebagai profesi penting lainnya.
Akan tetapi kemakmuran yang melimpah ruah itu dan sukses pemerintah Hindia Belanda membangun negeri perkebunan di tanah jajahan, tidak dinikmati oleh penduduk Pribumi. Pribumi terjajah tetap terseok-seok dalam penderitaan dan kemiskinan, berdiri di pinggir lapangan menyaksikan  para Gustinya yang berkulit putih itu hidup dalam gelimang kemewahan dan kemakmuran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar