6.3.1
Sektor Ekonomi Tradisional
Di
Inggris juga di Jepang, kapitalisme justru pada mulanya muncul dari sektor ekonomi
tradisional. Para bangsawan di Inggris, Belanda dan negara Barat lainnya, tidak
hanya terpaku untuk menjadi ksatria (knight)
dengan menggeluti dunia kekuasaan. Sebagian dari mereka terjun dalam aktivitas
ekonomi dan mengembangkan dirinya menjadi kelompok klas menengah yang kuat.
Mereka secara kreatif menggeluiti aktivitas produksi, baik di bidang
pertanian, peternakan dan industri kreatif kerajinan rumah tangga.
Mereka
aktif berorganisasi membentuk gilda-gilda dan terus bertukar pikiran untuk memperbaiki proses produksi. Para
bangsawan itu sejak semula memperlakukan para buruhnya dengan baik,
meperhatikan kesejahteraan meraka dan tak pernah terdengar konflik yang
berkepanjangan antara buruh dan majikan.
Hubungan
antar mereka mirip dengan hubungan antara kawula dan gusti yang manunggal dalam filsafat kekuasaan Jawa, tetapi yang
diterapkan dalam lapangan ekonomi.
Itulah sebabnya di Inggris gagasan sosialisme dan komunisme tidak laku, walapun
ide sosialisme muncul dari tanah Inggris. Kelak kaum kapitalis membentuk Partai
Liberal dan kaum buruh membentuk Partai Buruh.
Perjuangan
kaum buruh di Inggis bukanlah perjuangan klas untuk mengubur kaum kapitalis
seperti gagasan kaum komunis dan sosialis radikal. Perjuangan kaum buruh adalah
mengontrol kaum kapitalis agar mereka tidak
menjadi tamak, serakah, hanya mementingkan diri sendiri, sewenang-wenang
terhadap buruh. Pendeknya agar kepentingan buruh mendapat perhatian yang layak,
wajar, sama halnya dengan kepentingan kaum kapitalis.
Aktivitas
para bangsawan di Inggris dan dunia barat juga terjadi di Jepang. Para
bangsawan Jepang sudah sejak jaman Restorasi Meiji (1873 M),
sudah menggeluti dunia bisnis dan banyak muncul kapitalis Jepang yang kaya raya
yang dikenal sebagai Shogun. Sedang para
bangsawan yang tak tertarik menjadi pengusaha, terjun menjadi ksatria Jepang yang perkasa, yakni
para Samurai.
Memang
pada awal Revolusi Industri di Inggris terjadi proses kemiskinan buruh yang luar biasa yang direkam dengan
amat baik oleh Novelis Wanita Inggis
Geoge Owel. Pada masa itu, wanita dan anak-anak ikut terjun dalam industri
kapitalis sebagai buruh dengan upah murah, tanpa jaminan kesehatan,
kesejahteran, bekerja siang malam tanpa ada batasan jam kerja. Banyak anak-anak
meninggal karena kecelakaan, wanita hamil melahirkan bayinya di lorong-lorong
pabrik. Tetapi penyebab utamanya bukan karena kekejaman kapitalis, sekalipun
harus diakui memang ada juga kapitalis yang kejam.
Tetapi
penyebab utamnya adalah sektor industri modern yang berbasis mesiin-mesin,
tidak mampu menampung ribuan buruh yang semula bekerja di sektor pertanian, yang
tiba-tiba mengalir memasuki dunia industri yang justru tidak memerlukan terlalu banyak
buruh akibat proses mekanisasi dalam sistem produksi. Tetapi masa transisi itu
akhirnya bisa dilewati Inggris, penderitaan dan kemiskinan kaum buruh lama-lama dapat diakhiri.
Berbeda
dengan bangsawan Jepang, Inggris, Belanda,
Jerman, Perancis dan negara Barat lainnya yang
mau menggeluti dunia bisnis dan berkembang menjadi klas menengah yang tangguh, bangsawan Jawa jarang yang mau
terjun ke dunia bisnis. Mereka lebih suka mengembangkan diri menjadi para
ksatria, klas penguasa,
dan klas priyayi dengan jalan menduduki
jabatan-jabatan dalam birokrasi, baik birokrasi Pribumi maupun birokrasi pemerintahan Hindia Belanda.
Keengganan
para bangsawan Jawa terjun ke dalam dunia industri, karena mereka menganggap
bahwa kegiatan sebagai pedagang atau pengusaha sebagai kegiatan yang kurang
terhormat. Para cendekiawan, sastrawan dan pujangga kraton Jawa dalam
karya-karya mereka lebih banyak menggubah karya karya sastra lama dari
Mahabaratha dan Ramayana yang memuliakan para ksatria. Tidak ada satu karya pun
dari pujangga Jawa yang memuliakan para pedagang dan pengusaha. Padahal pada
kurun waktu yang hampir bersamaan, pujangga dan sastrawan Inggris seperti
Chrales Dicken dan Thomas Hardy sudah menggambarkan munculnya klas
pengusaha yang sukses di Inggis,
berdampingan dengan klas penguasa.
Keengganan
bangsawan Jawa untuk menggeluti dunia bisnis adalah akibat doktrin Hinduisme
yang menempatkan posisi pedagang dan penguasaha sebagai kasta Weisya, yakni
kasta yang berada dibawah kasta Ksatria dan Brahmana, dan karenanya diangap
kasta yang kurang terhormat.
Akibat
dari sikap para bangsawan Jawa yang
demikian itu, proses produksi di Jawa bukan hanya statis dan tidak pernah berkembang,
tetapi tidak efisien, tidak produktif dan dilaksanakan scara tradisional. Hal
yang amat menyolok terjadi pada proses produksi pertanian khususnya padi di
Pulau Jawa. Para PETAni Jawa melaksanakan proses produksi dengan hanya mengandalkan
konsep mistik sebagai satu-satunya cara untuk meningkatkan hasil produksi
pertanian.
Seorang
ahli pertanian Belanda, JHF Sollewijn Gelpke, mengemukakan pandangannya setelah
melakukan penelitian, bahwa sebenarnya untuk jenis tanah-tanah pertanian yang amat subur seperti di Pulau Jawa,
apabila diolah secara rasional dengan menggunakan metode ilmah untuk
memperbaiki proses produksi, hasilnya bisa meningkat lima kali lipat dari cara
mengolah tanah sawah yang oleh PETAni Jawa diolah dengan cara-cara yang
tradisional.
Menurut
penilainnya, cara mengolah sawah orang Jawa terlalu banyak dipengaruhi oleh
konsep mistik dan cara-cara yang irasional,
yang mengakibatkan proses produksi menjadi melelahkan, tidak efisien dan
boros, baik dari segi waktu, tenaga dan biaya. Adanya kepercayaan terhadap Dewi
Padi, Dewi Kesuburan dan Dewi Pertanian, sebenarnya tidak hanya dimilki oleh PETAni
Jawa. PETAni-PETAni Spanyol, Italia,Filipina dan Siam, pada masa lalu juga
memiliki kepercayaan serupa.
Hanya
saja tradisi mistik mereka tidak terlalu banyak dipenuhi bebagai jenis ritual
kultus pemujaan pada Dewi Kesuburan. Paling-paling pada saat panen selesai dan
hasilnya melimpah, barulah mereka menyelenggarakan pesta ritual sebagai ungkapan terimakasih mereka kepada Dewi Mistik
Kesuburan mereka. Mereka juga mudah sekali melakukan adaptasi
untuk memperbaiki cara-cara proses produksi padi mereka.
Pada
PETAni Jawa, hal yang demikian tidak terjadi. Hampir pada setiap tahap proses
produksi padi, PETAni Jawa selalu mengawalinya dengan
prosesi ritual yang bersifat mistik. Mulai dari penentuan waktu dan tanggal untuk memulai menggarap sawah yang harus didasarkan pada hari baik, membajak sawah, membuat
pematang, membuat selokan saluran air, mengalirkan air, menebar benih,
menyambut padi bunting, menjaga hama, sampai panen dan menumbuk padi, semua
tahapan itu tidak lepas dari berbagai jenis ritual mistik. Untuk meningkatkan
hasil panen, PETAni Jawa bukannya memperbaiki dan mempebaharui proses produksi.
Mereka mengusahakannya dengan memeprbaiki sistem ritual mereka. Mereka menganggap, makin rumit dan makin lengkap sistem
ritual yang diadakan, hasil panen yang mereka harapkan akan semakin baik. Sebaliknya bila terjadi kegagalan dalam
panen, mereka akan menyalahkan pada proses ritual yang dianggapnya kurang
sempurna.
Peneliti
Belanda itu juga melaporkan bahwa pada awal abad ke-20 M, di daerah pertanian
Jawa Tengah Selatan, masih ditemukan
ritual persanggaman suami istri PETAni yang dilaksanakan di tengah-tengah sawah mereka pada malam hari bulan
purnama pada saat menjelang padi-padi mereka akan bunting. Mereka percaya bahwa dengan ritual semacam itu yang
merupakan kultus pemujaan terhadap Dewi Sri, Dewi Padi atau Dewi Kesuburan
dalam mitologi Jawa, hasil panen mereka
bakal melmpah dan tak akan ada padinya yang gabu, mandul atau kosong. Ritual
semacam itu memang pernah banyak dilakukan oleh PETAni di Kana’an pada abad ke
10 SM. Dan sudah lama ditinggalkan oleh para PETAni di belahan dunia manapun.
Tetapi di Jawa, pada awal abad ke-20, ritual semacam itu masih banyak yang
melakukannya.
Dengan
dalih melindungi dan menghormati adat
istiadat, tradisi dan keprcayaan setempat, Pemerintah Hindia Belanda,
membiarkan sektor ekonomi tradisional itu berdampingan
dngan sektor modern. Maka terciptalah dualisme ekonomi. Pelaku ekonomi
tradisional hanya berkutat pada sektor pertanian dan peternakan tradisonal, industri rumah tangga seperti batik,
ukir-ukiran, kerajinan perak dan kerajina rumah tangga lainnya. Akibatnya adalah reformasi politik dan ekonomi yang
bercorak liberal di Hindia Belanda, hanya dinikmati oleh masayarakat Eropa dan
Timur Asing di Hindia Belanda.
Kebijakan
ekonomi yang dualistis sekaligus diskriminatif
itu, tak pernah dilakukan oleh Inggris di India dan Malaysia, oleh Perancis di
Indo China dan oleh Amerika di Filipina.
Pemerintah Eropa itu pada umumnya mengintegrasikan
sektor ekonomi tradisional ke dalam sektor modern. Pemerintah Inggris dengan
semangat liberalisme humanistiknya dan misi white man burden, tidak segan-segan
mendidik Pribumi tanah jajahannya untuk bangkit meniti karir di bidang ekonomi
sebagai kapitalis dan pengusaha, sehingga munculah di India dan Malaysia klas
menengah Pribumi yang kuat. Hal yang sama terjadi juga di Indo China dan
Filipina.
Nampaknya
pemerintah Hindia Belanda yang didominasi oleh kaum liberalis konservatif,
memiliki kekhawatiran yang berlebihan. Munculnya klas menengah Pribumi yang
kuat dibidang ekonomi diangapnya sebagai ancaman terhadap kedudukan mereka
sebagai Gusti di tanah jajahan. Berbeda dengan Inggris
dan Amerika yang lebih siap melepaskan
negeri jajahannya menjadi bangsa yang merdeka dan diikat dalam kerjasa ekonomi yang saling menguntungkan dan
terus berkelanjutan, Belanda jauh tidak siap. Akibat munculnya dualisme dalam
bidang ekonomi dan diskrimatif dalam
bidang politik, hubungan antara Pribumi Hindia Belanda dan pemerintah Belanda,
semakin lama semakin memburuk, dan kelak memicu lahirnya nasioanlisme patriotik
yang dipenuhi dendan dan anti Belanda sampai
keakar-akarnya, yang penuh dengan prasangka, terkadang emosinal dan tidak
rasional. Karena kadang-kadang muncul pandangan bahwa apa yang berasal dari
warisan Belanda dan Barat adalah buruk, seraya melupakan bahwa sebenrnya wilayah Republik Indonesia, adalah
sebuah warisan yang ditinggalkan oleh Pemerintah Hindia Belanda, karena Belanda
ditaklukan Jepang dan kalah dalam perebutan untuk memperolehnya kembali dari Pribumi
yang telah bangkit nasionalisme patriotiknya dan telah memproklamirkan
berdirinya sebuah negara republik yang merdeka dan berdaulat.
6.3.2
Sektor Ekonomi Modern
Dari
sudut kepentingan ekonomi dan politik Belanda, pelaksanaan Politik Ekonomi
Liberal yang telah
berlangsung selama
tiga dasa warsa akhir dari abad ke-19 M,
telah membawa kemakmuran ekonomi dan keuangan negeri Belanda, bahkan melampaui masa kemakmuran jaman Tanam Paksa. Hal
ini nampak dari pertumbuhan ekonomi
Hindia Belanda selama periode pelaksanaan Kebijakan Politik Ekonomi Liberal (1870 – 1900 M ).
Pada
periode ini industri gula mengalami kemuajuan yang luar biasa. Eksport gula
pada tahun 1900 M, mencapai angka 74 juta gulden. Sedangkan eksport kopi hanya
mencapai angka 35 juta gulden. Nampak
disini bahwa peranan kopi yang pada awal Tanam Paksa masih merupakan
primadona, pada masa ekonomi liberal, posisinya sebagai primadona eksport
tergeser oleh gula.
Total
eksport Hindia Belanda pada masa ekonomi liberal juga terus-menerus meningkat,
walapun sempat turun pada 1890 M, akibat resesi yang melanda dunia pada tahun
1885 M. Pada tahun 1870 M, total eksport
Hindia Belanda sebesar 108 juta gulden, meningkat menjadi 185 juta
gulden pada tahun 1885 M, kemudian turun menjadi 176 juta gulden pada tahun
1890 M. Tetapi pada tahun 1900 M, naik lagi secara spektakuler menjadi 258 juta
gulden!. Peningkatan ekspor yang luar biasa itu
disebabkan oleh sumbangan terbesar dari produksi gula yang meningkat
tajam dari 150 ribu metrik ton pada tahun 1870 M, menjadi 744 metrik ton pada
tahun 1900 M. Hanya dalam waktu tiga dasawarsa produksi gula telah meningkat
sebanyak lima kali lipat.
Peningkatan
yang luar biasa dari produksi gula itu, disebabkan para penguasaha Belanda
terus menerus memperbaiki proses produksi tebu dengan cara perluasan lahan
tanam, mekanisasi, perbaikan cara menanam, pemilihan bibit dan modernisasi
mesin-mesin penggilingan tebu. Pembangunan besar-besaran pabrik gula di Jawa,
mendorong munculnya industri-industri perkebunan yang lain. Hal ini bisa
dilihat dari investasi barang modal yang terus meningkat. Pada tahun 1870 M,
total import barang modal berupa mesin-mesin industri, besi dan baja berjumlah
2,3 juta gulden. Tetapi pada tahun 1890 M, meningkat sebanyak sepuluh kali
lipat, yakni menjadi 22,3 juta gulden.
Dari
total import barang modal itu, sekitar 11 juta gulden terdiri dari import
mesin-mesin industri. Dari 11 juta gulden itu, sekitar 4 juta gulden merupakan
import mesin-mesin giling pabrik gula. Dengan melihat variasi jenis mesin
industri yang diimport, kita bisa menarik kesimpulan bahwa investor Belanda dan
Eropa lainnya cukup kreatip untuk menciptakan produk-produk perkebunan baru
diluar gula. Dari total import barang modal mesin senilai 11 juta gulden, 4
juta untuk mesin pabrik gula sedang sisanya 7 juta gulden untuk mesin-mesin pengolahan
diluar gula. Memang pada akhir abad ke
19 M itu, mulai bermunculan investor perkebuna
diluar tebu dan kopi. Misalnya teh, karet, kina dan tembakau.
Kebijakan
Politik Ekonomi Liberal itu, akhirnya benar-benar membawa Hindia Belanda
memasuki Revolusi Industri. Hal dapat dilihat bukan hanya dari nilai
barang modal yang terus meningkat.
Tetapi bisa juga dilihat dari terus bermunculannya institusi-insitusi ekonomi
yang baru. Industri perbankan misalnya. Pada masa Tanam Paksa sudah bermunculan
sejumlah bank dengan reputasi internasional. Pada masa Ekonomi Liberal,
industri perbankan terus tumbuh.
Salah
satu bank yang berperan besar dalam membangun
industri perkebunan di Hindia Belanda adalah Agricultur Bank atau Bank
Pertanian. Di antaranya yang
terkenal adalah HVA Bank. Bank ini beroperasi dengan cara yang amat profesonal.
Bank ini tidak hanya aktif membiayai
investasi-investasi di bidang industri perkebunan, khususnya pabrik gula. Tetapi bank ini juga menyediakan konsultan
ahli yang tidak hanya memberikan bimbingan dalam teknis produksi dan manajemen.
Tetapi disediakan juga konsultan ahli yang membantu riset-riset dan penelitian
guna menghasilkan bibit unggul. Bukan hanya gula. Tetapi juga jenis tanaman
ekscotik lainnya yang memiliki prospek di pasaran internasinal.
Perusahaan-perusahaan yang segera bermunculan pada periode ini antara lain
industri kehutanan dan pengelolaan hutan jati, telepon dan telegrap, jaringan pelayaran antar pulau,
Pemerintah Hindia Belanda ikut aktif berpartisipasi bersama-sama dengan swasta
membangun jaringan rel kereta api di Jawa.
Dengan
semakin berkembangnya sektor ekonomi modern di Hindia Belanda, maka jumlah
imigran Belanda dan Eropa lainnya yang
masuk ke Hindia Belanda semakin meningkat. Antara tahun 1870 -1880 M, terjadi
peningkatan penduduk Eropa sebanyak 20, 9 %. Dan pada periode 1880 -1900 M, meningkat lagi menjadi
32 %. Pada tahun 1900 M, tercatat ada 75.000 penduduk Eropa, termasuk di
dalamnya 40.000 orang Indo Eropa. Orang
Indo Eropa ini adalah keturunan ayah Eropa, sebagian besar Belanda dan ibu Pribumi
Hindia Belanda sebagian besar Jawa. Para imigran Eropa itu, sebagian besar
terdiri dari para pengusaha perkebunan, profesioanl mandiri, tentara, manajer
perkebunan profesional yang sempat mendapat julukan Aristokrat Perkebunan, dan
bebagai profesi penting lainnya.
Akan
tetapi kemakmuran yang melimpah ruah itu dan sukses pemerintah Hindia Belanda
membangun negeri perkebunan di tanah jajahan, tidak dinikmati oleh penduduk Pribumi.
Pribumi terjajah tetap terseok-seok dalam penderitaan dan kemiskinan, berdiri di pinggir lapangan
menyaksikan para Gustinya yang berkulit putih itu hidup dalam
gelimang kemewahan dan kemakmuran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar