Entri yang Diunggulkan

Kahyangan Suralaya, Tempat Tinggal Para Dewa

Legenda adalah kisah tentang orang, kejadian, atau peristiwa yang dibuat berdasarkan fantasi dengan maksud untuk menimbulkan kekaguman...

Senin, 10 April 2017

[6] Jejak-Jejak Nasionalisme Ki Hadjar Dewantara dan Sejarah Perjuangannya





6.4 Kebijakan Politik Etis ( 1900 – 1940 M ).
 Pada akhir abab ke -19 M, di negeri Belanda muncul kelompok  sosialis dan rochaniawan menysusul kaum liberalis humanis yang sudah lebih dahulu ada disamping rivalnya kaum liberalis konseravif. Kelompok sosialis, rochaniawan dan liberal humanis kembali melancarkan kritik keras kepada kebijakan pemerintah Kerajaan Belanda dalam menangani tanah jajahan Hindia Belanda, yang belum juga beranjak dari cita-cita luhur kaum liberal humanis. Padahal kontribusi pertumbuhan ekonomi Hindia Belanda mengalir deras kenegeri Belanda. 
Mereka mengecam praktek diskriminasi dalam bidang politik dan dualisme ekonomi sebagai praktek yang illegal dan bertentangan dengan PP Pemerintah Kerajaan Belanda yang ditetapkan pada tahun 1854 M. Dalam PP tersebut tidak lagi dikenal istilah Eropa VS Pribumi. Karena berdasarkan PP tersebut semua Pribumi Hindia Belanda telah diakui sebagai kawula Kerajaan Belanda.
Ternyata kebijakan ini tidak dijalankan di Hindia Belanda. Rupanya kebijakan yang illegal itu, diam-diam disetujui oleh kelompok liberal konservatif yang masih mendominasi parlemen dan juga birokrasi pemerintahan Hindia Belanda. Karena itu kritik yang dilancarkan kelompok yang kemudian dikenal sebagai kelompok etis itu, sebenarnya memiliki landasan hukum yang cukup kuat.
Para pendekar dan penggagas politik etis itu antara lain adalah Baron van Dedem, menteri urusan Hindia Belanda tahun 1890 M, Van Kol, anggota Partai Sosialis Belanda, CH.Van Deventer, seorang rochaniwan dan P. Broeshooft, seorang liberal humanis.
Gagasan Politik Etis bergaung sangat keras berkat artikel CH.Van Deventer yang berjudul “ Een Eerschuld”, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi A Debt of Honor, atau dalam bahasa kita ,”Suatu Hutang Budi “.
Istilah Eerschuld sendiri berasal dari hukum adat suku-suku kuno Belanda yang megandung arti suatu ganti rugi atas kehormatan kepada  suatu suku yang pernah disakiti, ditindas atau dianiaya. Dengan demikian Eerschuld merupakan semacam kompensasi kerugian yang berhak diterima oleh mereka yang kehormatannya pernah hilang akibat dianiaya, disakiti atau ditindas, agar supaya tidak akan timbul dendam dan kebencian yang bisa saja akan berkembang menjadi perang suku yang tak akan ada habis-habisnya. Eerschuld itu dari kacamata budaya Belanda berarti tanda damai dan ajakan untuk memperbaiki persahabatan dan persaudaraan.
CH. Van Deventer dengan keras mengecam bahwa batig slot yang diperoleh Kerajaan Belanda dari tanah jajahan merupakan suatu perbuatan  amoral. Karena itu   dia mengusulkan agar Pemerintah Kerajaan Belanda membayar hutang budi kepada Pribumi Hindia Belanda antara lain dengan  memberikan pendidikan yang baik.
Ratu Wilhelmina, setelah mendengar pandangan dan ususl-usul dari kaum etis, lebih-lebih setelah membaca artikel CH.Van Deventer, di dalam sidang Parlemen Belanda langsung menegaskan agar kebijakan Politik Etis segera dilaksanakan  di Hindia Belanda.
 Pejabat Belanda yang pertama   kali diserahi tugas untuk melaksanakan politik etis di Hindia Belanda  adalah Alexander W.F Idenburg. Kelak bersama-sama Van Heutz, Jendral penakluk Aceh dan Van Limburg Stirum, merupakan tiga serangkai pelaksana kebijakan Politik Etis di Hindia Belanda, Mereka bertiga  adalah penganut liberalis humanis.
Idenburg datang ke Hindia Belanda pada tahun 1902 M. Idenburg tercatat sebagai pejabat paling lama di Hindia Belanda(1902 – 1917 M ).  Pada masa pemerintahannya Perang Aceh bisa diakhiri dan Pax Nederlandica dapat diwujudkan. Setelah diselingi oleh Gub. Jendral Van  Heutz (1906- 1911 M), Idenburg kembali memegang jabatan gubernur jendral (1911 -1917 M).
Masa Politik Etis, terutama selama dua dasawarsa  abad ke-20 M, sebenarnya merupakan masa kegemilangan  Belanda yang pernah dicapai dalam perjalanan panjang sejarahnya menjadi Gusti di tanah jajahan.  Hal ini bisa dilihat dari prestasi yang dicapainya dalam bidang pendidikan, transmigrasi, irigasi dan ekonomi sepanjang periode antara 1900 -1930 M.
Pada tahun 1900 M, jumlah anak-anak Bumi Putra usia sekolah yang berangkat ke sekolah hanya 170 ribu. Tetapi pada tahun 1930 M, telah meningkat sebanyak 10 kali lipat menjadi 1, 7 juta siswa. Tentu suatu prestasi yang luar biasa, sekalipun dilihat dari total penduduk hanyalah 2,5 % dari total penduduk yang pada tahun 1930 M, berjumlah 60 juta jiwa. Ternyata daerah yang paling maju untuk memasuki sekolah-sekolah model barat adalah Sumatra Barat, yakni 5 % dari jumlah penduduk memasuki bangku sekolah.
Pada masa Politik Etis Pemerintah Hindia Belanda telah membangun Sekolah Desa atau Volks School, HIS, MULO, AMS. Sekolah ini terbukan untuk anak-anak Pribumi Hindia Belanda. Sebelum masa Politik Etsi, Pemerintah Belanda sebenarnya sudah mendirikan sejumlah sekolah untuk  anak-anak Eropa dan golongan priyayi yaitu ELS dan HBS.
Di samping sekolah umum, didirikan pula sekolah menengah kejuruan  untuk mendidik para anak-anak priyayi menjadi pegawai pada dinas-dinas pemerintahan Hindia Belanda. Sekolah kejuruan itu antara lain STOVIA (Sekolah Dokter Jawa), OSVIA ( Sekolah Pamong Praja), Kweek School (Sekolah Guru ), Sekolah Pertanian Bogor, Sekolah Perawat di Batavia. Semua sekolah untuk anak-anak Eropa dan Priyayi itu menggunakan kata pengantar dalam bahasa Belanda. Sedangkan sekolah untuk anak-anak Pribumi (HIS,MULO,AMS), pada klas terendah masih menggunakan pengantar bahasa Daerah.
Pada dasa warsa ke -2 abad ke-20 M, Pemerintah Hindia Belanda mulai membuka Sekolah Tinggi, antara lain Sekolah Tinggi Tehnik di Bandung (1921 M), Sekolah Tinggi Hukum di Batavia (1924 m), Sekolah Tinggi Kedokteran (1926 M ) di Batavia. Walaupun pemerintah telah membuka seluas-luasnya pintu masuk perguruan tinggi, pada tahun 1930 M, hanya ada 240 0rang mahasiswa Pribumi dan China.
Dan pada tahun 1940 M, meningkat menjadi 637 orang. Total Pribumi lulusan HBS hanya ada sekitar 1246 orang. HBS adalah sekolah elit yang memiliki kualitas Standar Internasional yang didirikan pemerintah Hindia Belanda dengan standar mutu sekolah-sekolah Eropa. Sekolah ini, diburu para putra priyayi golongan atas. Hanya anak priyayi Pribumi yang orang tuanya bergaji 400 gulden per bulan yang dapat masuk HBS. Itulah sebabnya, hanya sedikit jumlah Pribumi alumni HBS.
Dari mana asal pendidikan kaum nasionalis awal Hindia Belanda? Mereka sebagian besar berasal dari sekolah-sekolah Belanda yang didirikan sebelum jaman Politik Etis, seperti ELS, HBS, STOVIA, KWEEK SCHOOL, yang jumlahnya relatif kecil. Baru setelah Belanda meluncurkan Kebijakan Politik Etis, jumlah kaum nasionalis semakin meningkat secara nyata. Namun begitu  seorang penulis Amerika, Allen M. Sievers, menilai bahwa program pendidikan pemerintah Hindia Belanda pada masa Politik Etis telah gagal melahirkan nasionalis Pribumi yang memiliki keahlian dalam mengelola masalah-masalah  politik dan ekonomi modern untuk dapat meneruskan negara modern yang mereka warisi. Kritik yang sama juga dilemparkan oleh George Kahin. Terhadap kritikan dari penulis-penulis Amerika itu, pada tahun 1960 M, lima belas tahun setelah Indonesia Merdeka –saat itu  Indonesia secara ekonomi hampir ambruk karena rongrongan komunis  menjelang  meletusnya pemberontakan G.30.S/PKI -   PJA. Idenburg, pejabat Pemerintah Belanda mantan Sekretaris Jendral Uni Belanda-Indonesia menulis untuk membela negaranya. Dia mengemukakan  bahwa kaum nasionalis yang memimpin Indonesia adalah kaum nasionalis non koperatif yang memang sejak semula anti Barat dan tidak mau bekerja sama dengan pemerintah Hindia Belanda. Mereka adalah kaum nasionalis  yang tidak rasional, emosional, lebih banyak menggunakan prasangka, sentimen, dan rasa benci terhadap Belanda dan Barat.
Mereka menjadi pemimpin setelah Indonesia merdeka karena faktor kebetulan “, tulis PJA.Idenburg membela diri sekaligus mengejek bahwa Indonesia dapat merdeka karena Jepang berhasil  mengusir pemerintah  Hindia Belanda.
Idenburg boleh saja membela dirinya dengan memuji kaum nasionalis koperatif yang disebutnya sebagai nasionalis yang rasional, sabar dan tidak terbujuk rayuan ajaran Marxis-Sosialis dan Komunis. Tetapi  fakta sejarah memang membuktikan pemerintah Hindia Belanda  pantas untuk bertangggung jawab atas kegagalannya dalam memberikan pendidikan yang baik kepada rakyat Hindia Belanda. Boleh dikatatakan Belanda terlambat 30 tahun dibanding Inggris  yang telah mulai melaksanakan modernisasi pendidikan di India sejak tahun 1870 M, pada masa Ratu Victoria (1819 -1901 M) berkuasa di Kerajaan Inggiris. Jepang juga melancarkan modernisasi pendidikan dengan mengadopsi pendidikan model barat melalui Restorasi Meiji pada tahun 1873 M. Pemerintah Inggris di India juga melakukan modernissasi terhadap institusi pemerintahan tradisional warisan India lama yang kental dengan model kekuasaan yang berasal dari doktrin Hinduisme.
Di Jawa dan Luar Jawa, alaih-alih  melakukan modernisasi pemerintahan, pemerintah Hindia Belanda malahan melanggengkan model kekuasaan tradisional dengan melakukan duplikasi model kekuasaan tradisional dalam bentuk regent–regent dan kapupaten-kabupaten. Memang orang-orang Belanda lebih nyaman  menjadi Gusti yang dilayani para kawulanya di tanah jajahan, dari pada mewujudkan welfare state atau negara sejahtera untuk kepentingan seluruh masyarakat dan kemanusiaan, tanpa diskriminasi dan tanpa prasangka rasial.
Sekalipun begitu, di bidang ekonomi sektor modern, pada masa Politik Etis, Pemerintah Hindia Belanda masih dapat mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi negeri Perkebunan dengan amat mengesankan, terutama pada periode 1900 – 1920 M. Memang setelah tahun 1920 M, pertumbuhan ekonomi Hindia Belanda mengalami penurunan drastis sampai tahun 1929 M, karena dunia Kapitalis memasuki masa resesi berkepanjangan yang berujung pada depresi besar pada tahun 1929 M.
Pada tahun 1920 M, nilai eksport Hindia Belanda meningkat dari 208 juta gulden pada tahun 1900 M, menjadi 2.228 juta gulden. Suatu peningkatan spektakuler hampir 1000 % dalam kurun waktu 20 tahun, yang berarti peningkatan rata-rata sebesar 50 % pertahun!
Menjelang depresi besar tahun 1929 M yang melanda seluruh dunia Kapitalis, nilai eksport terus merosot menjadi 1800 juta gulden pada tahun 1925 M, dan menjadi 1160 juta gulden pada tahun 1930 M. Pada tahun 1940 M, menjelang Perang Dunia II, total nilai eksport Hindia Belanda hanya 825 juta gulden. Walaupun begitu nilai eksport tahun 1940 M, sekalipun didasarkan atas dasar harga yang berlaku, masih lebih tinggi tiga kali dari nilai eksport pada tahun 1900 M, tahun dari awal pelaksanaan kebijakan Politik Etis.
Data-data ekonomi sektor modern masa pemerintahan Hindia Belanda pada empat dasa warsa awal abad ke-20 M itu, menunjukkan bahwa ekonomi sektor modern Hindia Belanda cukup tangguh, karena semua negara di dunia juga menghadapi problem yang sama. Ketika masa pemulihan resesi ekonomi mulai terjadi, dunia menghadapi persoalan baru, yakni ancaman meletusnya Perang Dunia II yang siap membakar seluruh dunia, tak terkecuali Hindia Belanda
Tahun 1941 M, Negeri Belanda diduduki Jerman, Ratu Belanda dan keluarganya melarikan diri ke Inggris, dan tahun 1942 M, pemerintah Hindia Belanda bertekuk lutut kepada Jepang. Pada tahun 1945 M, para nasionalis patriotik  memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia. Gusti Asing yang telah bercokol hampir tiga setengah abad di negeri Perkebunan yang indah dan mempesona itu, harus pulang kembali ke negeri leluhurnya, Negeri Belanda di tepi Laut utara. 
Bab 2:

KADIPATEN PAKUALAMAN -YOGYAKARTA
Kadipaten Pakualaman pada awalnya merupakan wilayah Kesultanan Yogyakarta. Riwayat Kadipaten Pakualaman  perlu kita tinjau secara agak mendalam, karena Ki Hadjar Dewantara, tokoh yang akan kita bahas ini, bukan hanya berasal dari kerabat  Pakualaman, tetapi dia juga seorang aristokrat papan atas, cucu Paku Alam III yang sebenarnya secara tradisi berhak mewarisi tahta kadipaten  yang pada awalnya merupakapakan kadipaten  proyek politik  Kerajaan Inggris pada masa pemerintahan Raffles (1811 – 1816 M ).
1.Kesultanan Yogyakarta (1755 -1945 M ).
Pada dasawarsa ke empat abad ke-18 M (1740 -1750 M), Belanda berhasil mengatasi pemberontakan Mas Garendi yang dibantu lasykar China dan mengembalikan Pakubuaono II ke tahta Kraton Mataram, setelah sebelumnya mengungsi ke Ponorogo. Usai pemberontakan Mas Garendi yang merupakan putra Amangkurat III atau Sunan Mas, muncul pemberontakan baru yang dipimpin oleh Raden Mas Said. Dia adalah putra dari Pangeran Mangkunegoro, kakak Pakubuwono II. Menghadapi pemberontakan keponakannya yang bergelar Samber Nyawa itu, PB II merasa kewalahan.  Karena itu PB II minta tolong adiknya Pangeran Mangkubumi untuk mengamankan daerah Sokawati, yakni daerah di sebelah timur Sungai Bengawan Solo  dari kerusuhan dan kekacauan yang ditimbulakan oleh kemenakannya, Raden Mas Said.
Pangeran Mangkubumi menyanggupinya dan ternyata Pangeran Mangkubumi seorang pemimpin yang tangguh. Dia berhasil menguasai daerah Sokawati, mengamankannya dari gangguan anak buah Pangeran Samber Nyawa. Bahkan mampu mendesaknya kearah selatan, sehingga Raden Mas Said hanya bertahan di Wonogiri dan Lereng Gunung Lawu.
Karena dianggap sukses melaksanakan misinya, Mangkubumi diserahi daerah Sokawati oleh PB II dengan penduduk berjumlah 3000 cacah. Tetapi Patih Pringgalaya yang diangkat kumpeni protes dan melaporkannya kepada Residen Surakarta. Residen Surakarta meneruskan laporan patih itu kepada Gub.Jend. Van  Imhoff di Batavia.
Gubernur  Van Imhoff adalah birokrat yang kurang memahami budaya Jawa dan cenderung kasar. Saat dia mengunjungi Surakarta pada Mei 1746 M, dalam suatu jamuan pesta Van Imhoff menegur Mangkubumi dan mengatakan bahwa tanah Sokawati yang diserahkan kepadanya terlalu luas. Gubernur saat itu juga, menrunkan jumlah cacah dari 3000 hanya menjadi sepertiganya, yaitu 1000 cacah. Sebagai bansawan Jawa, Magkubumi tersinggung bukan main. Baginya, sadumuk batuk, sanyari bumi. Akan dibela walau nyawa harus melayang. Mangkubumi tahu, Van Imhoff marah, karena PB II tidak meminta tolong kumpeni untuk mengamankan daerah Sukawati. Tetapi  atas inisiatipnya sendiri telah minta tolong pada Mangkubumi. Tentu saja PB II, tahu persis motif kumpeni. Bagi PB II sebenarnya daripada Sukawati  jatuh ke tangan kumpeni atau Raden Mas Said, masih lebih baik diserahkan kepada adiknya, Magkubumi, sehingga ia bisa mengharapkan kesetiaan  Mangkubumi kepadanya. Nampaknya Van  Imhoff juga keliru dengan meremehkan dan memandang secara sebelah mata kekuatan Mangkubumi.
Karena itu, Mangkubumi bukan hanya sakit hati. Dia juga tertantang.  Paginya pada tanggal 19 Mei 1746 M, Mangkubumi dengan sejumlah pengikutnya meninggalkan Istana menuju daerah Sokawati, mengangkat senjata dan memulai pemberontakan. Sejak itu pecahlah pemberontakan Pangeran Mangkubumi. Dalam waktu singkat Mangkubumi mendapat sambutan luar biasa dari rakyat. Daerah Grobogan, Demak, Juwana, dalam waktu singkat jatuh di bawah kekuasan Mangkubumi. Pasukannya dengan cepat meningkat menjadi 13.000 personil di dukung 2000 orang pasukan berkuda. Di Jawa Timur daerah yang segera bergabung menjadi pengikut Mangkubumi adalah Malang, Pasuruan dan Kediri. Nampaknya Mangkubumi memang Jendral Perang yang cakap. Ia segera menjalin aliansi dengan Raden Mas Said. Mangkubumi bahkan merelakan salah seorang putrinya diperistri oleh Raden Mas Said. Pasukan Raden Mas Said bergerak ke wilayah barat. Maka daerah sekitar Sungai Bogowonto, yakni Bagelen dan Kedu segera jatuh ke tangan Raden Mas Said. Tetapi daerah lembah Sungai Progo dan Opak, sudah lebih dulu jatuh ke tangan Mangkubumi.  Posisi Kraton Surakarta menjadi terjepit dan keruntuhannya tinggal menunggu waktu. Kumpeni sendiri ternyata kesulitan memadamkan pemberontakan yang dengan cepat meluas itu. Sebenarnya Perang mangkubumi ini merupakan Perang Jawa terbesar pada abad ke-18 M dan hanya dapat disamai oleh Perang Jawa pada abad ke-19 M, yang dikobarkan Pangeran Diponegoro (1825 -1830 M ).
Tanpa dukungan Belanda, PB II sebenarnya sudah jatuh. Maka pada akhir 1749 M, PB II jatuh sakit. Mengetahui kondisi kakaknya yang kritis itu, Mangkubumi segera  memproklamrkan dirinya sebagai Raja Mataram.  Kratonnya telah ditetapkan yakni di sebelah barat  Kota Gede, di  Desa Beringharjo, yang kemudian menjelma menjadi Kota Yogyakarta sekarang ini. Sebagai jawaban atas tindakan adikya itu, PB II malahan menyerahkan tahta Mataram kepada  kepada Residen Surakarta  Van Hohendorff. Tentu saja kesematan emas itu segera disambut Residen. Residen segera menyodorkan Surat Penyerahan yang ditandatangani PB II dari atas ranjang kematiannya.
Secara yuridis memang sejak tanggal 11 Desember 1749 M, praktis Kerajaan Mataram yang didirikan oleh Pamanahan dan Senopati itu, telah jatuh menjadi bagian dari wilayah Kerajaan Belanda yang berada di seberang lautan. Lima hari kemudian PB II wafat. Kumpeni atas nama Kerajaan Belanda menobatkan  putra mahkota  menjadi PB III . Dan sejak itu Kerajaan Mataram mejadi vazal  Kumpeni.
Setelah berjuang selama delapan tahun, posisi Mangkubumi  cukup kuat. Sayang pada tahun 1754 M, terjadi perpecahan antara  Pangeran Mangkubumi dengan Raden Mas Sahid. RM.Sahid ragu. paman dan mertuanya itu kelak akan mengangkatnya menjadi putra mahkota. Karena itu ia berkirim surat kepada residen. Di dalam surat itu  dia menyatakan bersedia damai dengan kumpeni, asal kumpeni mau mengakuinya dia sebagai Raja Kraton Surakarta. Dengan demikian RM, Said menghendaki pembagian Mataram dan menolak konsep satu kerajaan. Dia pun menolak status hanya sebagai putra mahkota. Usaha RM.Said gagal, karena residen meminta agar RM.Said  mengalahkan P.Mangkubumi lebih dahulu.
Tak lama kemudian Batavia mengganti residennya di Surakarta yang dianggapnya tidak cakap, karena memberikan informasi yang keliru mengenai potensi kekuatan P.Mangkubumi dan ternyata juga setelah bertempur sekian lama tak ada kemajuan juga. Penggantinya adalah Nicolas  Hasting, seorang pejabat yang cekatan. Ia segera mengambil inisiatip menghubungi P.Mangkubumi dan menawarkan perdamaian. P.Mangkubumi yang merasa dirongrong oleh kemenakan dan menantunya itu, segera menyambut tawaran damai. Pada  12 Februari 1755 M, diadakan perjanjian di Giyanti.  Paginya  P.Mangkubumi diakui kumpeni sebagai Raja Yogyakarta dengan  gelar Sultan Hamengkubuono I (SHB I).  Mataram dipecah menjadi dua, yakni Kasunanan Surakarta dengan Sunan Pakubuwono III sebagai raja dan Kesultanan Yogyakarta dengan Sultan Hamenkubuono I sebagai rajanya. Masing-masing kerajaan mendapatkan 53.100 cacah penduduk. Wilayah  mancanegara dibagi menajdi dua, yakni Madiun, Kertosono, Jipang, Jepara, Grobogan, diserahkan kepada SHB I. Sedang Kediri, Ponorogo, Banyumas dan Kedu diserahkan kepada SPB III.
Sementara itu RM. Said semakin terdesak dan wilayahnya hanya terbatas pada tiga daerah di kaki Gunung Lawu dan Wonogiri.  Akhirnya dia bersedia damai, kumpeni mengakuinya sebagai raja setara dengan SPB III dan SHB I dengan wilayah yang lebih kecil dengan status Kadipaten mandiri dan mendapat gelar Adipati Mangkunegoro I. Kratonnya terletak di dalam kota Surakarta dan wilayahnya diluar Surakarta, yakni daerah Wonogiri. RM.Said segera menunjukkan kesetiaannya yang luar biasa kepada Kumpeni. Legiun Mangkunegaran, tentaranya segera diakui sebagai salah satu divisi dari tentara Kerajaan Belanda, digaji oleh Belanda dan Rajanya diberi pangkat militer Kolonel. Daendels yang terkesan dengan kesetiaan Legium Mangkunegaran kepada pemerintah Belanda, segera menaikkan anggaran bantuan keuangan. Sejak itu Legiun Mangkunegara selalu ikut dalam setiap operasi militer menegakkan rust and orde pada masa pemerintahan Hindia Belanda.(Bersambung)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar