6.4 Kebijakan Politik Etis ( 1900 – 1940 M ).
Pada akhir abab ke -19 M, di negeri Belanda
muncul kelompok sosialis dan rochaniawan
menysusul kaum liberalis humanis yang sudah lebih dahulu ada disamping rivalnya
kaum liberalis konseravif. Kelompok sosialis, rochaniawan dan liberal humanis
kembali melancarkan kritik keras kepada kebijakan pemerintah Kerajaan Belanda
dalam menangani tanah jajahan Hindia Belanda, yang belum juga beranjak dari
cita-cita luhur kaum liberal humanis. Padahal kontribusi pertumbuhan ekonomi
Hindia Belanda mengalir deras kenegeri Belanda.
Mereka
mengecam praktek diskriminasi dalam bidang politik dan dualisme ekonomi sebagai
praktek yang illegal dan bertentangan dengan PP Pemerintah Kerajaan Belanda
yang ditetapkan pada tahun 1854 M. Dalam PP tersebut tidak lagi dikenal istilah
Eropa VS Pribumi. Karena berdasarkan PP tersebut semua Pribumi Hindia Belanda
telah diakui sebagai kawula Kerajaan Belanda.
Ternyata
kebijakan ini tidak dijalankan di Hindia Belanda. Rupanya kebijakan yang illegal
itu, diam-diam disetujui oleh kelompok liberal konservatif yang masih
mendominasi parlemen dan juga birokrasi pemerintahan Hindia Belanda. Karena itu kritik yang dilancarkan kelompok yang
kemudian dikenal sebagai kelompok etis itu, sebenarnya memiliki landasan hukum
yang cukup kuat.
Para
pendekar dan penggagas politik etis itu antara
lain adalah Baron van Dedem, menteri urusan Hindia Belanda tahun 1890 M, Van
Kol, anggota Partai Sosialis Belanda, CH.Van Deventer, seorang rochaniwan dan
P. Broeshooft, seorang liberal humanis.
Gagasan
Politik Etis bergaung sangat keras berkat
artikel CH.Van Deventer yang berjudul “ Een Eerschuld”, yang diterjemahkan ke
dalam bahasa Inggris menjadi A Debt of Honor, atau dalam bahasa kita ,”Suatu
Hutang Budi “.
Istilah
Eerschuld sendiri berasal dari hukum adat suku-suku kuno Belanda yang megandung
arti suatu ganti rugi atas kehormatan kepada
suatu suku yang pernah disakiti, ditindas atau dianiaya. Dengan demikian
Eerschuld merupakan semacam kompensasi kerugian yang berhak diterima oleh
mereka yang kehormatannya pernah hilang akibat dianiaya, disakiti atau
ditindas, agar supaya tidak akan timbul dendam dan kebencian yang bisa saja
akan berkembang menjadi perang suku yang tak akan ada habis-habisnya. Eerschuld
itu dari kacamata budaya Belanda berarti tanda damai dan ajakan untuk
memperbaiki persahabatan dan persaudaraan.
CH.
Van Deventer dengan keras mengecam bahwa batig slot yang diperoleh Kerajaan
Belanda dari tanah jajahan merupakan suatu perbuatan amoral. Karena itu dia
mengusulkan agar Pemerintah Kerajaan Belanda membayar hutang budi kepada Pribumi
Hindia Belanda antara
lain dengan memberikan pendidikan yang
baik.
Ratu
Wilhelmina, setelah mendengar pandangan dan ususl-usul dari kaum etis, lebih-lebih
setelah membaca artikel CH.Van Deventer, di dalam sidang Parlemen Belanda
langsung menegaskan agar kebijakan Politik Etis segera dilaksanakan di Hindia Belanda.
Pejabat Belanda yang pertama kali
diserahi tugas untuk melaksanakan politik etis di Hindia Belanda adalah Alexander W.F Idenburg. Kelak
bersama-sama Van Heutz, Jendral penakluk Aceh dan Van Limburg Stirum, merupakan
tiga serangkai pelaksana kebijakan Politik Etis di Hindia Belanda, Mereka
bertiga adalah penganut liberalis
humanis.
Idenburg
datang ke Hindia Belanda pada tahun 1902 M.
Idenburg tercatat sebagai pejabat paling lama di Hindia Belanda(1902 – 1917 M
). Pada masa pemerintahannya Perang Aceh
bisa diakhiri dan Pax Nederlandica dapat diwujudkan. Setelah diselingi oleh
Gub. Jendral Van Heutz (1906- 1911 M), Idenburg
kembali memegang jabatan gubernur jendral (1911 -1917 M).
Masa
Politik Etis, terutama selama dua dasawarsa
abad ke-20 M, sebenarnya merupakan masa kegemilangan Belanda yang pernah dicapai dalam perjalanan
panjang sejarahnya menjadi Gusti di tanah jajahan. Hal ini bisa dilihat dari prestasi yang dicapainya dalam bidang pendidikan,
transmigrasi, irigasi dan
ekonomi sepanjang periode antara 1900 -1930 M.
Pada
tahun 1900 M, jumlah anak-anak Bumi Putra usia sekolah yang berangkat ke
sekolah hanya 170 ribu. Tetapi pada tahun 1930 M, telah meningkat sebanyak 10 kali lipat menjadi 1, 7 juta siswa. Tentu
suatu prestasi yang luar biasa, sekalipun dilihat dari total penduduk hanyalah
2,5 % dari total penduduk yang pada tahun 1930 M, berjumlah 60 juta jiwa.
Ternyata daerah yang paling maju untuk memasuki sekolah-sekolah model barat
adalah Sumatra Barat, yakni 5 % dari jumlah penduduk memasuki bangku sekolah.
Pada
masa Politik Etis Pemerintah Hindia Belanda telah membangun Sekolah Desa atau
Volks School, HIS, MULO, AMS. Sekolah ini terbukan untuk anak-anak Pribumi
Hindia Belanda. Sebelum masa Politik Etsi, Pemerintah Belanda sebenarnya sudah
mendirikan sejumlah sekolah untuk anak-anak
Eropa dan golongan priyayi yaitu ELS dan HBS.
Di
samping sekolah umum, didirikan pula sekolah menengah kejuruan untuk mendidik para anak-anak priyayi menjadi
pegawai pada dinas-dinas pemerintahan Hindia Belanda. Sekolah kejuruan itu
antara lain STOVIA (Sekolah Dokter
Jawa), OSVIA (
Sekolah Pamong Praja), Kweek School (Sekolah
Guru ), Sekolah Pertanian Bogor, Sekolah Perawat di Batavia. Semua sekolah
untuk anak-anak Eropa dan Priyayi itu menggunakan kata pengantar dalam bahasa
Belanda. Sedangkan sekolah untuk anak-anak Pribumi (HIS,MULO,AMS), pada klas
terendah masih menggunakan pengantar bahasa Daerah.
Pada
dasa warsa ke -2 abad ke-20 M, Pemerintah Hindia Belanda mulai membuka Sekolah
Tinggi, antara lain Sekolah Tinggi Tehnik di Bandung (1921 M), Sekolah Tinggi
Hukum di Batavia (1924 m), Sekolah Tinggi Kedokteran (1926 M ) di Batavia.
Walaupun pemerintah telah membuka seluas-luasnya pintu masuk perguruan tinggi,
pada tahun 1930 M, hanya ada 240 0rang mahasiswa Pribumi dan China.
Dan
pada tahun 1940 M, meningkat menjadi 637 orang. Total Pribumi lulusan HBS hanya
ada sekitar 1246 orang. HBS adalah sekolah elit yang memiliki kualitas Standar
Internasional yang didirikan pemerintah Hindia Belanda dengan standar mutu
sekolah-sekolah Eropa. Sekolah ini, diburu para putra priyayi golongan atas.
Hanya anak priyayi Pribumi yang orang tuanya bergaji 400 gulden per bulan
yang dapat masuk HBS. Itulah sebabnya, hanya sedikit jumlah Pribumi alumni HBS.
Dari
mana asal pendidikan kaum nasionalis awal Hindia
Belanda? Mereka sebagian besar berasal dari sekolah-sekolah Belanda yang didirikan
sebelum jaman Politik Etis, seperti ELS, HBS,
STOVIA, KWEEK SCHOOL, yang jumlahnya relatif kecil. Baru setelah Belanda
meluncurkan Kebijakan Politik Etis, jumlah kaum nasionalis semakin meningkat
secara nyata. Namun begitu seorang
penulis Amerika, Allen M. Sievers, menilai bahwa program pendidikan pemerintah
Hindia Belanda pada masa Politik Etis telah gagal melahirkan nasionalis Pribumi
yang memiliki keahlian dalam mengelola masalah-masalah politik dan ekonomi modern untuk dapat meneruskan
negara modern yang mereka warisi. Kritik yang sama juga dilemparkan oleh George
Kahin. Terhadap kritikan dari penulis-penulis Amerika itu, pada tahun 1960 M,
lima belas tahun setelah Indonesia Merdeka
–saat itu Indonesia secara ekonomi hampir ambruk karena
rongrongan komunis menjelang meletusnya
pemberontakan G.30.S/PKI - PJA. Idenburg, pejabat
Pemerintah Belanda mantan Sekretaris Jendral Uni Belanda-Indonesia menulis
untuk membela negaranya. Dia mengemukakan bahwa
kaum nasionalis yang memimpin Indonesia adalah kaum
nasionalis non koperatif yang memang sejak semula anti Barat dan tidak mau
bekerja sama dengan pemerintah Hindia Belanda. Mereka adalah kaum
nasionalis yang tidak rasional,
emosional, lebih banyak menggunakan prasangka, sentimen, dan rasa benci terhadap
Belanda dan Barat.
“Mereka menjadi pemimpin setelah Indonesia
merdeka karena faktor kebetulan “, tulis PJA.Idenburg
membela diri sekaligus mengejek bahwa Indonesia dapat merdeka karena Jepang
berhasil mengusir pemerintah Hindia Belanda.
Idenburg
boleh saja membela dirinya dengan memuji kaum nasionalis koperatif yang
disebutnya sebagai nasionalis yang rasional, sabar dan tidak terbujuk rayuan
ajaran Marxis-Sosialis dan Komunis. Tetapi
fakta sejarah memang membuktikan pemerintah Hindia Belanda pantas untuk bertangggung jawab atas kegagalannya
dalam memberikan pendidikan yang baik kepada rakyat Hindia Belanda. Boleh
dikatatakan Belanda terlambat 30 tahun dibanding Inggris yang telah mulai melaksanakan modernisasi pendidikan di India sejak tahun 1870
M, pada masa Ratu Victoria (1819
-1901 M) berkuasa di Kerajaan Inggiris. Jepang juga melancarkan modernisasi
pendidikan dengan mengadopsi pendidikan model barat melalui Restorasi Meiji
pada tahun 1873 M. Pemerintah Inggris di India juga melakukan modernissasi terhadap
institusi pemerintahan tradisional warisan India lama yang kental dengan model
kekuasaan yang berasal dari doktrin Hinduisme.
Di
Jawa dan Luar Jawa, alaih-alih melakukan
modernisasi pemerintahan, pemerintah Hindia Belanda malahan melanggengkan model
kekuasaan tradisional dengan melakukan duplikasi model kekuasaan tradisional
dalam bentuk regent–regent dan kapupaten-kabupaten. Memang orang-orang Belanda
lebih nyaman menjadi Gusti yang dilayani
para kawulanya di tanah jajahan, dari pada mewujudkan welfare state atau negara
sejahtera untuk kepentingan seluruh masyarakat dan kemanusiaan, tanpa diskriminasi
dan tanpa prasangka rasial.
Sekalipun
begitu, di bidang ekonomi sektor modern, pada masa Politik Etis, Pemerintah
Hindia Belanda masih dapat mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi negeri
Perkebunan dengan amat mengesankan, terutama pada periode 1900 – 1920 M. Memang
setelah tahun 1920 M, pertumbuhan ekonomi Hindia Belanda mengalami penurunan
drastis sampai tahun 1929 M, karena dunia Kapitalis memasuki masa resesi
berkepanjangan yang berujung pada depresi besar pada tahun 1929 M.
Pada
tahun 1920 M, nilai eksport Hindia Belanda meningkat dari 208 juta gulden pada
tahun 1900 M, menjadi 2.228 juta gulden. Suatu peningkatan spektakuler hampir
1000 % dalam kurun waktu 20 tahun, yang berarti peningkatan rata-rata sebesar
50 % pertahun!
Menjelang
depresi besar tahun 1929 M yang melanda seluruh dunia Kapitalis, nilai eksport
terus merosot menjadi 1800 juta gulden pada tahun 1925 M, dan menjadi 1160 juta
gulden pada tahun 1930 M. Pada tahun 1940 M, menjelang Perang Dunia II, total
nilai eksport Hindia Belanda hanya 825 juta gulden. Walaupun begitu nilai eksport tahun 1940 M,
sekalipun didasarkan atas dasar harga yang berlaku, masih lebih tinggi tiga
kali dari nilai eksport pada tahun 1900 M, tahun dari awal pelaksanaan
kebijakan Politik Etis.
Data-data
ekonomi sektor modern masa pemerintahan Hindia Belanda pada empat dasa warsa
awal abad ke-20 M itu, menunjukkan bahwa ekonomi sektor modern Hindia Belanda cukup tangguh,
karena semua negara di dunia juga menghadapi problem yang sama. Ketika masa
pemulihan resesi ekonomi mulai terjadi, dunia menghadapi persoalan baru, yakni
ancaman meletusnya Perang Dunia II yang siap membakar seluruh dunia, tak terkecuali
Hindia Belanda
Tahun
1941 M, Negeri Belanda diduduki Jerman, Ratu Belanda dan keluarganya melarikan
diri ke Inggris, dan tahun 1942 M, pemerintah Hindia Belanda bertekuk lutut
kepada Jepang. Pada tahun 1945 M, para nasionalis patriotik memproklamirkan kemerdekaan Republik
Indonesia. Gusti Asing yang telah bercokol hampir tiga setengah abad di negeri
Perkebunan yang indah dan mempesona itu, harus pulang kembali ke negeri
leluhurnya, Negeri Belanda di tepi Laut utara.
Bab 2:
KADIPATEN PAKUALAMAN -YOGYAKARTA
Kadipaten Pakualaman pada awalnya merupakan wilayah
Kesultanan Yogyakarta. Riwayat Kadipaten Pakualaman perlu kita tinjau secara agak mendalam,
karena Ki Hadjar Dewantara, tokoh yang akan kita bahas ini, bukan hanya berasal
dari kerabat Pakualaman, tetapi dia juga seorang aristokrat papan atas, cucu Paku
Alam III yang sebenarnya secara tradisi
berhak mewarisi tahta kadipaten yang pada awalnya merupakapakan kadipaten proyek
politik Kerajaan Inggris pada masa
pemerintahan Raffles (1811 – 1816 M ).
1.Kesultanan Yogyakarta (1755 -1945 M ).
Pada
dasawarsa ke empat abad ke-18 M (1740
-1750 M), Belanda berhasil mengatasi pemberontakan Mas Garendi yang dibantu
lasykar China dan mengembalikan
Pakubuaono II ke tahta Kraton Mataram,
setelah sebelumnya mengungsi ke Ponorogo. Usai
pemberontakan Mas Garendi yang merupakan putra Amangkurat III atau Sunan Mas,
muncul pemberontakan baru yang dipimpin oleh Raden Mas Said. Dia adalah putra
dari Pangeran Mangkunegoro, kakak Pakubuwono II. Menghadapi
pemberontakan keponakannya yang bergelar
Samber Nyawa itu, PB II merasa kewalahan. Karena itu PB II minta tolong adiknya Pangeran
Mangkubumi untuk mengamankan daerah Sokawati, yakni daerah di sebelah timur Sungai Bengawan Solo dari kerusuhan dan kekacauan yang ditimbulakan oleh kemenakannya, Raden Mas Said.
Pangeran
Mangkubumi menyanggupinya dan ternyata Pangeran Mangkubumi seorang pemimpin
yang tangguh. Dia berhasil menguasai daerah Sokawati, mengamankannya dari
gangguan anak buah Pangeran Samber Nyawa. Bahkan mampu mendesaknya kearah
selatan, sehingga Raden Mas Said hanya bertahan di Wonogiri dan Lereng Gunung Lawu.
Karena
dianggap sukses melaksanakan misinya, Mangkubumi diserahi daerah Sokawati oleh
PB II dengan penduduk berjumlah 3000 cacah. Tetapi Patih Pringgalaya yang diangkat kumpeni protes
dan melaporkannya kepada Residen Surakarta. Residen Surakarta meneruskan laporan patih itu kepada Gub.Jend. Van Imhoff di Batavia.
Gubernur Van Imhoff adalah birokrat yang kurang
memahami budaya Jawa dan cenderung kasar. Saat dia mengunjungi Surakarta pada
Mei 1746 M, dalam suatu jamuan pesta Van Imhoff menegur Mangkubumi dan
mengatakan bahwa tanah Sokawati yang diserahkan kepadanya terlalu luas.
Gubernur saat itu juga, menrunkan jumlah cacah dari 3000 hanya menjadi
sepertiganya, yaitu 1000 cacah. Sebagai bansawan Jawa, Magkubumi
tersinggung bukan main. Baginya, sadumuk batuk, sanyari bumi. Akan dibela walau
nyawa harus melayang. Mangkubumi tahu, Van Imhoff marah, karena PB II tidak
meminta tolong kumpeni untuk mengamankan daerah Sukawati. Tetapi atas inisiatipnya sendiri telah minta tolong
pada Mangkubumi. Tentu saja PB II, tahu persis motif
kumpeni. Bagi PB II sebenarnya daripada
Sukawati jatuh ke tangan kumpeni atau
Raden Mas Said, masih lebih baik diserahkan kepada adiknya, Magkubumi, sehingga
ia bisa mengharapkan kesetiaan
Mangkubumi kepadanya. Nampaknya Van
Imhoff juga keliru dengan meremehkan dan memandang secara sebelah mata
kekuatan Mangkubumi.
Karena
itu, Mangkubumi bukan hanya sakit hati. Dia juga tertantang. Paginya pada tanggal 19 Mei 1746 M,
Mangkubumi dengan sejumlah pengikutnya meninggalkan Istana menuju daerah
Sokawati, mengangkat senjata dan memulai pemberontakan. Sejak itu pecahlah
pemberontakan Pangeran Mangkubumi. Dalam waktu singkat Mangkubumi mendapat
sambutan luar biasa dari rakyat. Daerah Grobogan, Demak, Juwana, dalam waktu
singkat jatuh di bawah kekuasan Mangkubumi. Pasukannya dengan cepat meningkat
menjadi 13.000 personil di dukung 2000 orang pasukan berkuda. Di Jawa Timur
daerah yang segera bergabung menjadi
pengikut Mangkubumi adalah Malang, Pasuruan dan Kediri. Nampaknya Mangkubumi
memang Jendral Perang yang cakap. Ia
segera menjalin aliansi dengan Raden Mas
Said. Mangkubumi bahkan merelakan salah seorang putrinya diperistri oleh
Raden Mas Said. Pasukan Raden Mas Said bergerak ke wilayah barat. Maka daerah
sekitar Sungai Bogowonto, yakni Bagelen dan Kedu segera jatuh ke tangan Raden
Mas Said. Tetapi daerah lembah Sungai Progo dan Opak, sudah lebih dulu jatuh ke
tangan Mangkubumi. Posisi Kraton
Surakarta menjadi terjepit dan keruntuhannya tinggal menunggu waktu. Kumpeni
sendiri ternyata kesulitan memadamkan pemberontakan yang dengan cepat meluas
itu. Sebenarnya Perang mangkubumi ini merupakan Perang Jawa terbesar pada abad
ke-18 M dan hanya dapat disamai oleh Perang Jawa pada abad ke-19 M, yang
dikobarkan Pangeran Diponegoro (1825 -1830 M ).
Tanpa
dukungan Belanda, PB II sebenarnya sudah jatuh. Maka pada akhir 1749 M, PB II
jatuh sakit. Mengetahui kondisi kakaknya yang kritis itu, Mangkubumi
segera memproklamrkan dirinya sebagai
Raja Mataram. Kratonnya telah ditetapkan
yakni di sebelah barat Kota Gede,
di Desa Beringharjo, yang kemudian
menjelma menjadi Kota Yogyakarta sekarang ini. Sebagai jawaban atas tindakan
adikya itu, PB II malahan menyerahkan tahta Mataram kepada kepada Residen Surakarta Van Hohendorff. Tentu saja kesematan emas itu
segera disambut Residen. Residen segera menyodorkan Surat Penyerahan yang ditandatangani
PB II dari atas ranjang kematiannya.
Secara
yuridis memang sejak tanggal 11 Desember 1749 M, praktis Kerajaan Mataram yang
didirikan oleh Pamanahan dan Senopati itu, telah jatuh menjadi bagian dari
wilayah Kerajaan Belanda yang berada di seberang lautan. Lima hari kemudian PB II
wafat. Kumpeni atas nama Kerajaan Belanda menobatkan putra mahkota menjadi PB III . Dan sejak itu Kerajaan
Mataram mejadi vazal Kumpeni.
Setelah
berjuang selama delapan tahun, posisi Mangkubumi cukup kuat. Sayang pada tahun 1754 M, terjadi perpecahan antara Pangeran Mangkubumi dengan Raden Mas Sahid.
RM.Sahid ragu. paman dan mertuanya itu kelak akan
mengangkatnya menjadi putra mahkota. Karena itu ia berkirim surat kepada
residen. Di dalam surat itu dia
menyatakan bersedia damai dengan kumpeni,
asal kumpeni mau mengakuinya dia sebagai Raja Kraton Surakarta. Dengan demikian
RM, Said menghendaki pembagian Mataram dan menolak konsep satu kerajaan. Dia
pun menolak status hanya sebagai putra mahkota. Usaha RM.Said gagal, karena
residen meminta agar RM.Said mengalahkan
P.Mangkubumi lebih dahulu.
Tak
lama kemudian Batavia mengganti residennya di Surakarta yang dianggapnya tidak
cakap, karena memberikan informasi yang keliru mengenai
potensi kekuatan P.Mangkubumi dan ternyata juga setelah bertempur sekian lama tak ada kemajuan juga. Penggantinya adalah Nicolas Hasting, seorang pejabat yang cekatan. Ia
segera mengambil inisiatip menghubungi P.Mangkubumi dan menawarkan perdamaian.
P.Mangkubumi yang merasa dirongrong oleh kemenakan dan menantunya itu, segera
menyambut tawaran damai. Pada 12
Februari 1755 M, diadakan perjanjian di Giyanti. Paginya P.Mangkubumi diakui kumpeni sebagai Raja
Yogyakarta dengan gelar Sultan
Hamengkubuono I (SHB I). Mataram dipecah
menjadi dua, yakni Kasunanan Surakarta dengan Sunan Pakubuwono III sebagai raja
dan Kesultanan Yogyakarta dengan Sultan Hamenkubuono I sebagai rajanya.
Masing-masing kerajaan mendapatkan 53.100 cacah penduduk. Wilayah mancanegara dibagi menajdi dua, yakni Madiun,
Kertosono, Jipang, Jepara, Grobogan, diserahkan kepada SHB I. Sedang Kediri,
Ponorogo, Banyumas dan Kedu diserahkan kepada SPB III.
Sementara
itu RM. Said semakin terdesak dan wilayahnya hanya terbatas pada tiga daerah di
kaki Gunung Lawu dan Wonogiri. Akhirnya
dia bersedia damai, kumpeni mengakuinya sebagai raja setara dengan SPB III dan
SHB I dengan wilayah yang lebih kecil dengan status Kadipaten mandiri dan
mendapat gelar Adipati Mangkunegoro I. Kratonnya terletak di dalam kota
Surakarta dan wilayahnya diluar Surakarta, yakni daerah Wonogiri. RM.Said
segera menunjukkan kesetiaannya yang luar biasa kepada Kumpeni. Legiun
Mangkunegaran, tentaranya segera diakui sebagai salah satu divisi dari tentara
Kerajaan Belanda, digaji oleh Belanda dan Rajanya diberi pangkat militer
Kolonel. Daendels yang terkesan dengan kesetiaan Legium Mangkunegaran kepada
pemerintah Belanda, segera menaikkan anggaran bantuan keuangan. Sejak itu
Legiun Mangkunegara selalu ikut dalam setiap operasi militer menegakkan rust
and orde pada masa pemerintahan Hindia Belanda.(Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar