Andaikata Raden Ajeng Kartini yang lahir pada tanggal 21
April 1879 dan gemar baca koran masih
hidup, nistaya dia akan langsung berkomentar, jika membaca berita seorang anak
siswa klas X sebuah SMA Unggulan terkenal di Magelang, tega menggorok leher
teman satu barak sampai tewas. Siapakah yang pantas dipersalahkan? Kepala
Sekolah bisa jadi kecolongan. Tetapi siapa yang bisa mengendalikan masa lalu
seorang anak, jika bukan keluarganya?
Kepala Sekolah tersebut dalam penjelasannya, menyebutkan, siswa
pembunuh yang masih berusia remaja itu, ketika masih duduk di bangku SMP, gemar
nonton film Rambo. Dia terobsesi oleh kepahlawanan Sang Rambo yang dengan sadis
mampu dengan mudah membunuh lawannya dengan sebilah pisau. Dimana anak tersebut
menonton film keras tersebut? Di sekolah, rumah teman, atau di rumahnya
sendiri? Pengalaman anak yang ingin jadi hero akibat nonton film laga di masa
lalu itu, telah mengendap ke dalam alam bawah sadarnya. Ketika emosinya naik,
obsesi anak itu muncul kembali dari kedalaman jiwanya. Terjadilah ketegangan
jiwa yang muncul terus-menerus, dan membuat anak itu semakin tegang gelisah. Akibatnya
anak itu tak dapat mengendalikan dirinya lagi. Bagaikan air bah keinginan melepaskan
ketegangan jiwa itu menjebol akal sehatnya, dan mencari jalan keluar.
Motivasi dan keinginannya untuk bertindak sebagai seorang
hero begitu kuat, tapi salah arah dan sasaran.
Korban pun jatuh seketika, jadi korban yang tewas sia-sia.
Sesungguhnya perilaku brutal dan sadis anak usia belia
semacam itu, bisa menimpa siapa saja. Orang tua dan para guru seyogyanya bisa mengambilnya jadi pelajaran
berharga. Kini sudah banyak orang tua yang memahami, bahwa selain pranata sekolah
sebagai tempat pembelajaran anak, orang tua tidak boleh mengaibaikan pranata keluarga
sebagai tempat pembelajaran yang utama dan pertama. Keluarga adalah pranata
istimewa bagi orang tua, terutama ibu, untuk memberikan pendidikan budi pekerti,
ahlakul karimah, moral, pendidikan watak, dan istilah sejenis lainnya yang
melukiskan kualitas jiwa manusia yang telah
beradab..
Kartini dengan tegas, satu abad yang lalu sudah menyampaikan
pendapatnya, bahwa wanita dan ibu adalah pendidik utama dan pertama yang harus
berdiri di garis depan dalam memberikan pendidikan budi pekerti. Pendidikn budi
pekerti bagi seorang anak, yang utama dan pertama, bukan ditangan laki-laki dan
ayah. Bukan pula di sekolah. Tapi di rumah dan di tangan ibu. Bukan berarti
ayah tidak perlu berperan. Dan sekolah tidak penting. Ayah tetap berperan tetapi
cukup dalam posisi- meminjam istilah Ki Hadjar Dewantara, tut wuri handayani. Dan sekalolah tetap
penting. Meminjam pandangan Kartini, orang
tua dalam kasus di atas kemungkinan telah
salah dengan memanjakan dalam mendidik
anak, sehingga terjadi tragedi yang menghebohkan itu. Kartini melukiskan
cita-citanya berupa saran bagaimana cara
mendidik seorang anak laki-laki maupun perempuan, sebagai berikut.
“Ingin hatiku punya anak perempuan dan laki-laki yang akan
kubentuk dan kudidik jadi manusia sepadan dengan kehenda hatiku. Pertama-tama
akan kubuangkan ada kebiasaan yang buruk yang melebihkan anak laki-laki dari
pada perempuan. Tidak usah kita herankan lagi, apa sebab nafsu laki-laki suka
memikirkan dirinya sendiri saja, bila kita ingat, laki-laki itu sejak masa kecilnya, sudah dilebih-lebihkan
dari pada anak perempuan. Dan semasa
kanak-kanak, laki-laki sudah diajar merendahkan derajat perempuan. Bukankah
acap kali kudengar seorang ibu berkata kepada anaknya laki-laki, bila dia jatuh
lalu menangis, ‘cis anak laki-laki menangis tiada malu seperti anak peremppuan’
Anakku laki-laki maupun perempuan akan aku ajar supaya menghargai dan pandang
memandang sama rata, makhluk yang sama, dan didikannya akan kusamakan benar.
Yakni tentu saja masing-masing menurut kodrat kecakapannya.”
Apa sebabnya perempuan sering disebut sebagai soko guru
peradaban? Kartini, Pejuang emansiapasi
yang bercita-cita menjadi guru itu berkata, ”Bukan karena perempuan yang
dipandang cakap untuk itu. Tetapi karena saya sendiri yakin sungguh-sungguh
bahwa dari perempuan itu pun akan timbul pengaruh yang besar akibatnya dalam
membaikkan dan memburukkan kehidupan. Dari wanitalah pertama-tama manusia
menerima didikannya. Di haribanannya, anak itu belajar merasa, berpikir,
berkata-kata. Dan tahulah saya bahwa pendidikan yang mula-mula itu, bukan tidak
besar pengaruhnya bagi kehidupan manusia di kemudian harinya,” tulis Kartini pula.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa, peran ibu dalam
memajukan pendidikan budi pekerti bagi putra-putrinya sangatlah besar. Sebagai
soko guru peradaban, pengaruhnya sungguh luar biasa, Pengaruh seorang ibu kepada anak yang dikandungnya,
dilahirkannya, disusuinya, lalu dididiknya dengan cinta dan kasih sayang. Dari haribaannyalah akan lahir anak-anak
berbudi pekerti luhur, berakhlakul karimah, ber watak mulia sebagai manusia
berbudaya dan berkeadaban. Itulah cita-cita emansipasi wanita yang digagas dan
diperjuangkan Kartini. Wallahualam.[Bandung,18-04-2017] Anwar Hadja, Guru SMA
Tamansiswa Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar