Entri yang Diunggulkan

Kahyangan Suralaya, Tempat Tinggal Para Dewa

Legenda adalah kisah tentang orang, kejadian, atau peristiwa yang dibuat berdasarkan fantasi dengan maksud untuk menimbulkan kekaguman...

Senin, 17 April 2017

Mengenang Bulan Kartini : Peran Wanita Sebagai Soko Guru Peradaban




Andaikata Raden Ajeng Kartini yang lahir pada tanggal 21 April 1879  dan gemar baca koran masih hidup, nistaya dia akan langsung berkomentar, jika membaca berita seorang anak siswa klas X sebuah SMA Unggulan terkenal di Magelang, tega menggorok leher teman satu barak sampai tewas. Siapakah yang pantas dipersalahkan? Kepala Sekolah bisa jadi kecolongan. Tetapi siapa yang bisa mengendalikan masa lalu seorang anak, jika bukan keluarganya?

Kepala Sekolah tersebut dalam penjelasannya, menyebutkan, siswa pembunuh yang masih berusia remaja itu, ketika masih duduk di bangku SMP, gemar nonton film Rambo. Dia terobsesi oleh kepahlawanan Sang Rambo yang dengan sadis mampu dengan mudah membunuh lawannya dengan sebilah pisau. Dimana anak tersebut menonton film keras tersebut? Di sekolah, rumah teman, atau di rumahnya sendiri? Pengalaman anak yang ingin jadi hero akibat nonton film laga di masa lalu itu, telah mengendap ke dalam alam bawah sadarnya. Ketika emosinya naik, obsesi anak itu muncul kembali dari kedalaman jiwanya. Terjadilah ketegangan jiwa yang muncul terus-menerus, dan membuat anak itu semakin tegang gelisah. Akibatnya anak itu tak dapat mengendalikan dirinya lagi.  Bagaikan air bah keinginan melepaskan ketegangan jiwa itu menjebol akal sehatnya, dan mencari jalan keluar. Motivasi  dan  keinginannya untuk bertindak sebagai seorang hero  begitu kuat, tapi salah arah dan sasaran. Korban pun jatuh seketika, jadi korban yang tewas sia-sia. 

Sesungguhnya perilaku brutal dan sadis anak usia belia semacam itu, bisa menimpa siapa saja. Orang tua dan para guru  seyogyanya bisa mengambilnya jadi pelajaran berharga. Kini sudah banyak orang tua yang memahami, bahwa selain pranata sekolah sebagai tempat pembelajaran anak, orang tua tidak boleh mengaibaikan pranata keluarga sebagai tempat pembelajaran yang utama dan pertama. Keluarga adalah pranata istimewa bagi orang tua, terutama ibu,  untuk memberikan pendidikan budi pekerti, ahlakul karimah, moral, pendidikan watak, dan istilah sejenis lainnya yang melukiskan kualitas jiwa manusia yang  telah beradab..

Kartini dengan tegas, satu abad yang lalu sudah menyampaikan pendapatnya, bahwa wanita dan ibu adalah pendidik utama dan pertama yang harus berdiri di garis depan dalam memberikan pendidikan budi pekerti. Pendidikn budi pekerti bagi seorang anak, yang utama dan pertama, bukan ditangan laki-laki dan ayah. Bukan pula di sekolah. Tapi di rumah dan di tangan ibu. Bukan berarti ayah tidak perlu berperan. Dan sekolah tidak penting. Ayah tetap berperan tetapi cukup dalam posisi- meminjam istilah Ki Hadjar Dewantara,  tut wuri handayani. Dan sekalolah tetap penting.  Meminjam pandangan Kartini, orang tua dalam kasus di atas  kemungkinan telah salah dengan memanjakan dalam  mendidik anak, sehingga terjadi tragedi yang menghebohkan itu. Kartini melukiskan cita-citanya berupa  saran bagaimana cara mendidik seorang anak laki-laki maupun perempuan, sebagai berikut. 

“Ingin hatiku punya anak perempuan dan laki-laki yang akan kubentuk dan kudidik jadi manusia sepadan dengan kehenda hatiku. Pertama-tama akan kubuangkan ada kebiasaan yang buruk yang melebihkan anak laki-laki dari pada perempuan. Tidak usah kita herankan lagi, apa sebab nafsu laki-laki suka memikirkan dirinya sendiri saja, bila kita ingat, laki-laki itu  sejak masa kecilnya, sudah dilebih-lebihkan dari pada anak perempuan.  Dan semasa kanak-kanak, laki-laki sudah diajar merendahkan derajat perempuan. Bukankah acap kali kudengar seorang ibu berkata kepada anaknya laki-laki, bila dia jatuh lalu menangis, ‘cis anak laki-laki menangis tiada malu seperti anak peremppuan’ Anakku laki-laki maupun perempuan akan aku ajar supaya menghargai dan pandang memandang sama rata, makhluk yang sama, dan didikannya akan kusamakan benar. Yakni tentu saja masing-masing menurut kodrat kecakapannya.” 

Apa sebabnya perempuan sering disebut sebagai soko guru peradaban? Kartini, Pejuang emansiapasi  yang bercita-cita menjadi guru itu berkata, ”Bukan karena perempuan yang dipandang cakap untuk itu. Tetapi karena saya sendiri yakin sungguh-sungguh bahwa dari perempuan itu pun akan timbul pengaruh yang besar akibatnya dalam membaikkan dan memburukkan kehidupan. Dari wanitalah pertama-tama manusia menerima didikannya. Di haribanannya, anak itu belajar merasa, berpikir, berkata-kata. Dan tahulah saya bahwa pendidikan yang mula-mula itu, bukan tidak besar pengaruhnya bagi kehidupan manusia di kemudian harinya,” tulis Kartini pula.



Secara singkat dapat dikatakan bahwa, peran ibu dalam memajukan pendidikan budi pekerti bagi putra-putrinya sangatlah besar. Sebagai soko guru peradaban, pengaruhnya sungguh luar biasa, Pengaruh  seorang ibu kepada anak yang dikandungnya, dilahirkannya, disusuinya, lalu dididiknya dengan cinta dan kasih sayang.  Dari haribaannyalah akan lahir anak-anak berbudi pekerti luhur, berakhlakul karimah, ber watak mulia sebagai manusia berbudaya dan berkeadaban. Itulah cita-cita emansipasi wanita yang digagas dan diperjuangkan Kartini. Wallahualam.[Bandung,18-04-2017] Anwar Hadja, Guru SMA Tamansiswa Bandung.
 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar