Entri yang Diunggulkan

Kahyangan Suralaya, Tempat Tinggal Para Dewa

Legenda adalah kisah tentang orang, kejadian, atau peristiwa yang dibuat berdasarkan fantasi dengan maksud untuk menimbulkan kekaguman...

Sabtu, 30 Juli 2016

(2) Realitas Sejarah, Tanggal 2 Mei Sebagai Hari Pendidikan Nasional (02-Tammat)





Tetapi tiba-tiba menjelang Peringatan Hari Pendidikan tanggal 2 Mei 2016, muncul sebuah tulisan dalam sebuah media sosial yang menggugat tanggal tanggal 2 Mei sebagai Hari Pendidikan Nasional. Judul tulisannya adalah,” KH.Ahmad Dahlan, Lebih Pantas Menjadi Bapak Pendidikan Nasional.”  Sang Penulis, Zahra Adonara, setelah melakukan tinjauan secara singkat riwayat Ki Hadjar Dewantara dengan Tamansiswanya, segera melakukan tinjauan riwayat KH.Ahmad Dahlan dengan sekolah Muhammadiyahnya.


“Akan tetapi yang patut dicatat, jauh-jauh hari sebelum Ki Hajar Dewantara mendirikan Taman Siswa, seorang putra bangsa, yang juga sama-sama berasal dari Yogyakarta telah memiliki inisiatif untuk melakukan perubahan melalui pendidikan,” tulis Sang Penulis. “Adalah KH. Ahmad Dahlan, ulama besar yang menjadi pendiri Muhammadiyah. Sebelum Muhammadiyah berdiri, tepatnya 1 Desember 1911, KH.Ahmad Dahlan mendirikan sekolah Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah. Ketika diresmikan, sekolah itu mempunyai 29 orang siswa dan enam bulan kemudian dilaporkan bahwa terdapat 62 orang siswa yang belajar di sekolah itu. Tahun 1913, didirikan sekolah Muhammadiyah di Karangkajen. Tahun 1915, didirikan sekolah di Lempuyangan, sekolah Muhammadiyah bergerak se-abad lebih melintasi zaman, kini ribuan sekolah Muhammadiyah telah berdiri di seluruh penjuru Indonesia, bahkan hingga ke manca negara. Dari perbandingan usia,  KH.Ahmad Dahlan melalui Muhammadiyah satu dekade lebih dulu daripada Taman Siswa dalam berjuang mengentaskan kegelapan melalui pendidikan.”


Sang Penulis melanjutkan tulisannya dengan melakukan perbandingan antara sekolah Tamansiswa dengan Muhammadiyah sbb,” Selain perbandingan usia, KH.Ahmad Dahlan melaui Muhammadiyah bila dibandingkan dengan Taman Siswa jauh memiliki efek yang lebih besar. Sekolah-sekolah Muhammadiyah telah menjangkau ke semua jenjang, melebar kesegala lapisan dan telah meluluskan jutaan alumni. Bandingkan dengan Taman Siswa yang justru semakin hari semakin kurang berkembang, data dari Kompas menyebutkan, Pada Tahun 2012 jumlah sekolah perguruan Taman Siswa tinggal 30 %nya saja, banyak sekolah yang gulung tikar. Kiprah Muhammadiyah dalam bidang pendidikan tentu tak ada yang meragukan.”

Sang Penulis mengakhiri tulisannya dengan melakukan gugatan sbb,” Mengapa kemudian KH.Ahmad Dahlan tidak ditetapkan sebagai Bapak Pendidikan? Pertanyaan ini seolah menjadi sejarah hitam yang selalu membungkam eksistensti Tokoh-Tokoh Islam. Seperti halnya mengapa kemudian Kartini yang ditetapkan sebagai tokoh rujukan kaum perempuan? padahal banyak tokoh-tokoh perempuan lain, khususnya yang memiliki identitas Islam lebih kuat, seperti Rasuna Said, Nyi Walidah, Cut Nyak Dien  yang tak kalah hebatnya. Sekali lagi, sejarah selalu diciptakan oleh para pemenang, mereka yang berkuasa, walaupun begitu kita tidak akan pernah lupa dengan jasa KH. Ahmad Dahlan, Bapak pendidikan yang sesungguhnya.”


Ki Hadjar Dewantara dan KH.Ahmad Dahlan.

Betapa pentingnya kita belajar sejarah. Dan, sebenarnya tidak tepat membanding-bandingkan, apalagi mengukur bobot sumbangan para Pejuang Bangsa. Baik Ki Hadjar Dewantara maupun KH.Ahmad Dahlan adalah sama-sama Pahlawan Nasional yang telah sama-sama berjasa memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia melalui bidangnya masing-masing.  Di bidang Pendidikan, Ki Hadjar Dewantara melalui sekolah Tamansiswa telah memperjuangkan sistem Pendidikan Nasional sebagai suatu antitese terhadap Sistem Pendidikan Kolonial. Ki Hadjar Dewantara dengan Tamansiswa konsisten melakukan penentangan sisten Pendidikan Kolonial yang dijalankan Pemerintah Hindia Belanda antara lain dengan menempuh jalan non koperasi, menolak subsidi dari Pemerintah Hindia Belanda, dan menolak sebagai sekolah berbadan hukum sehingga dicap oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai sekolah Liar. Sekalipun dicap sebagai sekolah liar, tidak berbadan hukum, dan menolak subsidi Pemerintah Hindia Belanda, Ki Hadjar Dewantara mampu membangun sekolah Tamansiswa yang pada saat itu kualitasnya setara dengan sekolah-sekolah Pemerintah. Hal ini mudah dimengerti sebab Ki Hadjar Dewantara memang mengantongi ijazah akta guru Eropa, sehingga dinilai lebih dari kompeten untuk mewujudkan sekolah yang kualitasnya tidak kalah dengan ELS, HIS, MULO maupun AMS milik Pemerintah Hindia Belanda. Mudah dimengerti bila dalam waktu singkat sekolah Tamansiswa menyebar ke seluruh Hindia Belanda. Antara tahun 1930 – 1942 justru merupakan puncak prestasi Tamansiswa yang berada dibawah asuhan langsung Ki Hadja Dewantara.


Tentu berbeda dengan sekolah-sekolah Muhammadiyah yang menempuh jalan koperasi, berbadan hukum, dan tentu saja menerima subsidi dari Pemerintah Hindia Belanda. Namun demikian gagasan pembaharuan pendidikan yang dibawakan KH.Ahmad Dahlan dengan Ki Hadjar  Dewantara dibidang pendidikan banyak persamaannya. Baik KH.Ahmad Dahlan maupun Ki Hadjar Dewantara sama-sama menggunakan model sekolah barat dalam melakukan pembaharuan pendidikan. Bedanya  Ki Hadjar Dewantara memperkaya dan memadukan sekolah model barat dengan unsur-unsur pendidikan yang terkandung dalam kebudayaan nasional yang bersumber dari tradisi etos pendidikan para priyayi dan ksatria yang dididik dilingkungan kraton dan kabupaten. Sedang KH.Ahmad Dahlan memadukan sekolah model barat dengan unsur-unsur pendidikan yang terkandung dalam ajaran Islam dan dunia pesantren.  Perbedaan lain, Ki Hadjar Dewantara meniti karir dengan menempuh pendidikan formal model barat mulai dari ELS, Kweekshool, Stovia dan Akta guru Negeri Belanda. Sedangkan KH.Ahmad Dahlan mengenyam pendidikan model pesantren dan tidak pernah memasuki sekolah model barat milih pemerintah Hindia Belanda. 


Dapat dimengerti bila pada awalnya untuk mendirikan Muhammadiyah dan sekolah-sekolah Muhammadiyah, KH.Ahmad Dahlan banyak mendapat bantuan dari tokoh-tokoh guru Budi Utomo dan Keluarga Pakualaman. KH.Ahmad Dahlan juga bergaul erat dengan KPH Suryaningrat, ayah Ki Hadjar Dewantara, kenal dekat dengan RM.Suryo Pranoto, kakak  Ki Hadjar Dewantara. Tentu saja KH.Ahmad Dahlan kenal baik dengan Pangeran Noto Dirojo, putra Paku Alam V yang sempat menjadi Ketua Budi utomo. Bahkan RM.Suryo Pranoto bersama-sama dengan Fachrudin, tokoh Muhammadiyah tangan kanan KH.Ahmad Dahlan, bersama-sama menjadi pemimpin SI (Serkat Islam ) Cabang Yogyakarta yang sama-sama gigih menentang komunisme. Akhirnya ketika Suwardi harus menjalani Pembuangan ke Negeri Belanda pada tahun 1913, Muhammadiyah bukan hanya ikut memberikan bantuan dana. Tetapi KH.Ahmad Dahlan dan Istrinya datang secara khusus menemui Suwardi Suryaningrat untuk memberikan dorongan dan doa. Semua itu menunjukkan kedekatan KH Ahmad Dahlan dengan Keluarga Paku Alaman dan Ki Hadjar Dewantara.

Baik Ki Hadjar Dewantara maupun KH.Ahmad Dahlan, telah sama-sama berjuang untuk mencapai kemerdekaan, sesuai dengan keahliannya masing-masing. Ki Hadjar Dewantara di bidang Pendidikan dan Kebudayaan Nasional. KH.Ahmad Dahlam di bidang Pendidikan Islam dan Kebudayaan Islam dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kewajiban generasi penerus untuk mengisi kemerdekaan dengan melanjutkan cita-cita para pejuang bangsa.Wallahualam.(2- 05-2016)  

(1) Realitas Sejarah, Tanggal 2 Mei Sebagai Hari Pendidikan Nasional (01)






Menyambut Hari Pendidikan Nasioanl 2 Mei 2016 muncul artikel menarik  di Kompasiana. Judulnya, “Sudah Tepatkan Tanggal 2 Mei ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional?”  Penulisnya adalah Siti Marfuah. Dan rupanya merupakan artikel lama yang pernah diposting pada tanggal 5 Mei 2013, tetapi karena masih relevan diunggah lagi untuk menyambut Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2016.


Tetapi pembaca jangan buru-buru menuduh penulisnya sedang melakukan gugatan terhadap tanggal 2 Mei sebagai Hari Pendidikan Nasional. Yang terjadi justru sebaliknya. Sang Penulis tidak melakukan gugatan. Sang Penulis justru melakukan pembelaan. Diakhir tulisannya Sang Penulis menyimpulkan sebagai berikut,” Jadi, apakah sudah tepat Hardiknas diperingati pada tanggal 2 Mei? Saya rasa tepat, jika mengingat seberapa besar kontribusi Ki Hadjar Dewantara dalam pendidikan nasional di Indonesia.’


Dalam artikelnya itu dia menjelaskan bahwa Hari Pendidikan Nasional telah ditetapkan berdasarkan Keputusan Presiden No. 316  tanggal 16 Desember 1959.  Tetapi, baru efektip diperingati secara nasional pada jaman Pak Harto. “Meskipun ditetapkan pada tahun 1959, secara efektif peringatan hari pendidikan nasional baru dilaksanakan tahun 1967 setelah Pak Harto menjabat presiden,” tulisnya.

Selanjutnya beliau menulis, “Saat itulah pengakuan atas jasa besar Ki Hadjar Dewantara dalam meletakkan dasar-dasar sistem pendidikan nasional dinyatakan oleh Pak Harto. Meskipun dalam keputusan presiden tidak secara tegas menyebutkan dasar-dasar penetepannya, akan tetapi secara tersirat yang dimaksud dengan tanggal 2 Mei ialah hari kelahiran Ki Hadjar Dewantara. Dapat dipastikan bahwa ada suatu alasan mengapa tanggal lahir Ki Hadjar Dewantara ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional. Alasan tersebut tentu berkaitan dengan jasa-jasa Ki Hajar Dewantara sebagai Bapak Pendidikan Nasional. Raden Mas Soewardi Soerjaningrat (Suwardi Suryaningrat), sejak 1922 ( seharusnya sejak 1928, pen) menjadi Ki Hadjar Dewantara lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889 dan meninggal dunia pada tanggal 26 April 1959.”

“Kancah perjuangan Ki Hadjar Dewantara meliputi dunia politik, jurnalistik, dan pendidikan. Pada dunia politik dan jurnalistik, beliau lebih dikenal sebagai R.M. Suwardi Suryaningrat. Karena keanggotaannya dalam Indische Partij dan aktivitasnya yang menetang usaha-usaha perayaan 100 tahun kemerdekaan Belanda atas jajahan Perancis dengan tulisannya yang berjudul "Seandainya Aku Seorang Belanda" (judul asli: "Als ik een Nederlander was"), maka ia diasingkan ke negeri Belanda bersama Dr. Tjipto Mangunkusumo dan E.F.E. Douwes Dekker (Danudirdjo Setyabudhi) pada tahun 1913. Dalam pengasingan pada tahun 1913-1919 tersebut, Beliau aktif dalam organisasi para pelajar asal Indonesia yaitu Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia). Di sinilah Beliau merintis cita-citanya memajukan kaum pribumi dengan belajar ilmu pendidikan hingga memperoleh Europeesche Akte, suatu ijazah pendidikan yang bergengsi. Dalam studinya ini, Beliau terpikat pada ide-ide sejumlah tokoh pendidikan Barat, seperti Froebel dan Montessori. Beliau juga mengadakan orientasi tentang Santi Ni Ketan ciptaan Tagore di India sebagai pergerakan pendidikan India.”

Diakhir tulisannya Sang Penulis menyimpulkan sbb,” Jadi, apakah sudah tepat Hardiknas diperingati pada tanggal 2 Mei? Saya rasa tepat, jika mengingat seberapa besar kontribusi Ki Hadjar Dewantara dalam pendidikan nasional di Indonesia.’

Pendapat penulis artikel itu, setelah mengumpulkan fakta-fakta perjuangan Ki Hadjar Dewantara sampai tiba pada kesimpulan, bahwa Tanggal 2 Mei memang tepat sebagai Hari Pendidikan Nasional. Tentu saja pendapat penulis itu mewakili arus utama pendapat publik dalam suatu negara yang menganut paham demokrasi.

Gugatan Terhadap Tanggal 2 Mei Pada Awal Orde Baru.

Tetapi sejarah penetapan tanggal 2 Mei sebagai Hari Pendidikan Nsaional, memang tidak sepi dari gugatan pihak-pihak yang belum memahami sepak terjang Ki Hadjar Dewara dalam memperjuangkan Pendidikan Nasional bagi bangsanya yang saat itu menjadi bangsa pribumi terjajah.

Gugatan terhadap tanggal 2 Mei sebagai Hari Pendidikan Nasional, misalnya, pernah dilancarkan organisasi besar PGRI pada awal-awal Orde Baru tahun 1966- 1967. Rupanya PGRI saat itu ingin memanfaatkan momentum politik Orde Baru yang sedang mencabut dan merevisi  sejumlah Undang-Undang, Kepres maupun PP yang berbau Orde Lama. Keputusan Presiden No. 316 tanggal 16 Desember 1959 yang menetapkan Tanggal 2 Mei sebagai Hari Pendidikan Nasional, dipandang oleh PGRI  saat itu sebagai Kepres produk Orde Lama yang harus dicabut karena tidak sesuai dengan semangat Orde Baru. Terjadilah polemik hebat di media massa antara Majelis Luhur Tamansiswa yang mencoba mempertahankan Kepres no 316  dengan PB PGRI yang menghendaki pencabutan Kepres No. 316. PB.PGRI berdalih bahwa tokoh Pendidikan yang memperjuangkan Pendidikan Nasional bukan hanya Ki Hadjar  Dewantara. Tetapi ada juga tokoh pejuang bangsa yang lain, seperti Moh. Syafei dari Kayu Tanam, Otto Iskandar Dinata yang mendirikan Paguyuban Pasundan pada tahun 1914 dengan puluhan sekolah dan ribuan murid. Lalu KH.Ahmad Dahlan yang mendirikan Muhammadiyah dengan ribuan sekolah dan ratusan ribu murid. Kemudian KH.Hasyim Asyari, Pendiri NU dengan ribuan pendidikan berbasis pesantren. Disebutkan juga bahwa bukan hanya Tamansiswa yang berdasarkan pendidikan nasional. Perguruan Rakyat yang didirikan di Jakarta pada jaman Penjajahan, juga sudah berdasarkan pendidikan nasional.

PGRI mengusulkan  agar tanggal 25 November yang merupakan Hari Lahir PGRI ditetapkan pemerintah sebagai Hari Pendidikan Nasional menggantikan tanggal 2 Mei yang merupakan Hari Lahir Ki Hadjar Dewantara. Tetapi akhirnya polemik berhenti dengan sendirinya setelah Pak Harto turun tangan dan menegaskan bahwa Kepres no. 316 tanggal 16 Desember 1959 yang menetapkan tanggal 2 Mei 1959 sebagai Hari Pendidikan Nasional sudah tepat. Karenanya Pak Harto tidak akan mencabutnya. Bahkan pada awal Orde Baru, Pak Harto mempercayakan Menteri Pendidikan dari tokoh Tamansiswa. Tercatat tiga menteri pendidikan pada awal Orde Baru berasal dari tokoh Tamansiswa antara lain, Ki Moh.Said, Ki Sarino Mangun Pranoto, dan Mashuri SH. Sejak itu tak ada lagi kelompok masyarakat yang menggugat Kepres No. 316 itu. Bahkan PGRI pun akhirnya mengalihkan usulannya dengan memperjuangkan adanya Hari Guru. Akhirnya tanggal 25 Nopember memang ditetapkan pemerintah sebagai Hari Guru yang setiap tahun diperingati oleh para guru.

Pada awal Reformasi, tiga politis dari PAN yang merupakan tokoh Muhammadiyah menduduki Menteri Pendidikan yaitu Yahya A.Muhaimin, Malik Fajar, dan Bambang Sudibyo. Pada masa ketiga menteri itu, Hari Pendidikan Nasional tetap diperingati dan tak ada gugatan terhadap Kepres No.316 tanggal 16 Desember 1959 yang menetapkan tanggal 2 Mei sebagai Hari Pendidikan Nasional.

 Tokoh-tokoh Pendidikan dari PAN yang berlatar belakang Muhammadiyah itu, sadar akan fakta dan realitas sejarah, bahwa penetapan tanggal 2 Mei sebagai Hari Pendidikan Nasional, adalah sudah tepat, benar, dan tidak perlu dipersoalkan lagi. Mempersoalkannya dan menggugatnya, adalah kontra produktif. "Jangn melupakan sejarah," kata Bung Karno memberi nasihat. Sebuah nasihat yang bijak dan tepat dari seorang Negarawan dan Bapak Bangsa. (bersambung).

(Bersambung)


Artikel Lanjutan Klik dibawah ini:
https://wwwtamansiswa.blogspot.co.id/2016/07/realitas-sejarah-tanggal-2-mei-sebagai_30.html 

(4) Mengenang 94 Tahun Perguruan Tamansiswa ( 3 Juli 1916 - 3 Juli 2016) -Bagian 04 Tamat.


8. Gagasan Tentang Kebudayaan Nasional.

Pada alinea ke tiga, Pernyataan Asas Tamansiswa, Ki Hadjar Dewantara menyampaikan gagasan cara mengatasi suatu zaman yang disebutnya sebagai zaman penuh kebingungan. Agar kita selamat melewati zaman yang penuh kebingungan itu, menurut Ki Hadjar Dewantara, kita seharusnya menggunakan keadaban kita sendiri (cultuurhistorie) sebagai pedoman dan penunjuk jalan untuk membangun susunan masyarakat atau cara penghidupan yang baru.

Cara yang dianjurkan Ki Hadjar Dewantara untuk membangun suatu masyarakat ialah bukan dengan cara-cara yang meniru begitu saja dari kebudayaan barat. Tetapi cara-cara yang dipakai ialah cara-cara dari keadaban kita sendiri yang selaras dan sesuai dengan keadaan dan kodrat kita sendiri.

Karena menurut Ki Hadjar Dewantara, hanya dengan cara menggunakan keadaban, tradisi, adat dan kebudayaan kita sendirilah, maka akan diperoleh suatu kedamaian dalam hidup kita, baik sebagai individu, anggota masyarakat, maupun sebagai suatu bangsa. Dengan menggunakan keadaban dan kebudayaan kita sendiri, maka kita tidak akan pernah kehilangan jati diri dan identitas kita sebagai suatu bangsa. Ki Hadjar Dewantara menegaskan,”Dengan keadaban bangsa kita sendiri, kita lalu pantas berhubungan bersama-sama dengan keadaban bangsa lain”

Kata keadaban berasal dari kata dasar adab, yang berarti hal-hal yang berkaitan dengan etika, sopan, santun, moral, budi pekerti, akhlakul karimah dari kebudayaan suatu bangsa. Dengan demikian Ki Hadjar Dewantara memandang pentingnya mengembangkan kebudayaan nasional, sebagai suatu alat yang bukan hanya berguna untuk melawan dominasi kebudayaan barat yang merupakan kebudayaan asing. Tetapi juga sebagai suatu cara agar kita  sebagai suatu bangsa dapat berdiri sama tegak dan duduk sama rendah dengan bangsa-bangsa asing. Dengan kata lain, dengan memiliki kebudayaan nasional kita sendiri, maka kita akan menjadi bangsa yang berdaulat.

Melalui Pernyataan Asas Tamansiswa itu, jelaslah bahwa Ki Hadjar Dewantara adalah seorang pemikir, seorang intelektual dan seorang cendekiawan yang pertama kali menggagas mengenai pentingnya kebudayaan nasional. Dan Ki Hadjar Dewantaralah yang mampu membuat analisa secara jelas mengenai relasi, keterkaitan atau hubungan antara pendidikan dan kebudayaan. Pendidikan, dalam pandangan Ki Hadjar Dewantara adalah bagian dari kebudayaan. Dengan demikian Pendidikan Nasional, tidak terpisahkan dengan Kebudayaan Nasional.

Ki Hadjar Dewantara sendiri merumuskan kebudayaan sebagai usaha dari manusia yang telah tercerahkan kecerdasan budinya melalui pendidikan, baik pendidikan yang terjadi di lingkungan keluarga, di lingkungan perguruan maupun di lingkungan masyarakat yang berguna untuk mengatasi segala tantangan alam dan jaman, sehingga lahirlah peradaban manusia yang berkualitas.

Ki Hadjar Dewantara memandang kebudayaan manusia sebagai suatu yang terus berkembang ke arah puncak kesempurnaannya yang tidak pernah berakhir yang terus menerus membawa kemajuan bagi masyarakat secara evolusi. Tetapi gerak kebudayaan bisa mandeg, mundur, bahkan mati. Kebudayaan yang mengalami kemandegan, kemunduran dan akhirnya mengalami kematian, disebutnya sebagai kebudayaan yang tengah mengalami dekandensi yang disebabkan oleh rusaknya budi pekerti, moralitas dan ahlak masyarakat dari suatu bangsa. Pentingnya pendidikan sebagai suatu usaha kebudayaan adalah mencegah agar kebudayaan nasional tidak mengalami dekadensi yang menyebabkan rusaknya kebudayaan suatu bangsa.

Konsep dan gagasan Ki Hadjar Dewantara tentang kebudayaan dikenal dengan Teori Trikon, yakni singkatan dari kontinyu, konvergen dan konsentris.

Kontinyu, artinya perkembangan kebudayaan yang sehat, harus merupakan kesinambungan dari kebudayaan yang ada pada masa lalu, yang bisa berupa adat istiadat dan tradisi dari suatu suku bangsa atau bangsa.

Konvergen, mengandung arti kebudayaan suatu bangsa tidak mungkin tidak bercampur dengan kebudayaan bangsa lain, dan terjadilah saling pengaruh mempengaruhi, dan terjadilah akulturasi kebudayaan.

Dalam menghadapi percampuran dengan kebudayaan asing, maka harus dilakukan proses selektip dan adaptatip terhadap kebudayaan asing, sehingga hanya unsur-unsur yang akan memperkaya kebudayaan kitalah yang seharusnya diambil. Unsur-unsur kebudayaan asing yang merusak harus ditinggalkan. Demikian pula sikap terhadap adat istiadat dan tradisi yang berasal dari kebudayaan lama. Adat istiadat dan tradisi yang sudah usang dan tidak sesuai dengan jaman, harus kita tinggalkan.

Konsentris, mengandung arti bahwa gerak kebudayaan suatu bangsa harus menuju kepada persatuan dengan kebudayaan umat manusia yang bersifat universal di seluruh muka bumi.

Dengan demikian teori kebudayaan Ki Hadjar Dewantara itu  menjelaskan gerak maju setiap kebudayaan menurut garis yang kontinyu, konvergen, dan konsentris  menuju kebudayaan universal umat manusia. Gagasan dan Konsepsi Ki Hadjar Dewantara soal teori kebudayaan, telah mengantarkan Ki Hadjar Dewantara pada tahun 1956 memperoleh anugerah Doktor Kehormatan di bidang kebudayaan dari Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

 9. Gagasan Tentang Pemerataan Pendidikan dan Pendidikan Yang Populis-Pro Rakyat.

Pada alinea ke-empat Pernyataan Asas Tamansiswa, Ki Hadjar Dewantara melakukan kritik terhadap Sistem Pendidikan Kolonial yang bersifat elitis, yang hanya dinikmati oleh sebagian kecil rakyat saja. Ki Hadjar Dewantara menyatakan bahwa pendidikan yang hanya dinikmati oleh sebagian kecil rakyat, tidak banyak manfaatnya bagi seluruh bangsa.

Menurut Ki Hadjar Dewantara seharusnya golongan rakyat yang terbesarlah yang harus mendapatkan pendidikan yang cukup. Sebab, kekuatan suatu bangsa itu terletak pada kekuatan dari sebagian besar rakyatnya. Karena itu menurut pandangan Ki Hadjar Dewantara, lebih baik mendahulukan pendidikan untuk kemajuan sebagian besar rakyat, dari pada meninggikan pendidikan jika usaha meninggikan pendidikan itu akan berdampak pada kurang tersebarnya pendidikan untuk rakyat umum.

Di sini Ki Hadjar Dewantara memilih suatu sistem pendidikan yang populis, yang memihak kepada kepentingan rakyat banyak, yakni suatu sistem pendidikan yang mendahulukan aspek pemerataan dan kuantitatif, dari pada mengembangkan sistem pendidikan yang elitis dan kualitatif.

Tentu keliru jika ada anggapan seolah-olah sistem pendidikan yang digagas oleh Ki Hadjar Dewantara tidak menyetujui pendidikan yang bermaksud meninggikan kualitas. Tentu saja Ki Hadjar Dewantara menyadari pentingnya meninggikan pengajaran. Hanya saja jika suatu sistem pendidikan dihadapkan pada pilihan dan prioritas karena keterbatasan dana dan anggaran, Ki Hadjar Dewantara lebih memilih mendahulukan kepentingan kuantitas dari pada kepentingan kualitas.

Tentu saja gagasan Ki Hadjar Dewantara ini bertentangan dengan Sistem PendidikanKolonial yang lebih mementingkan kualitas lulusannya, karena Sistem Pendidikan Kolonial memang diciptakan untuk kepentingan jangka pendek saja, yaitu guna menghasilkan tenaga yang terdidik, berkualitas, tetapi yang bisa dibayar murah di pasar tenaga kerja. Sedangkan Sistem Pendidikan Nasional yang digagas Ki Hadjar Dewantara punya tujuan jangka panjang, yakni menghasilkan calon-calon pemimpin bangsa yang cerdas yang menyadari hak-haknya dan kewajibannya sebagai anggota masyaarakat dari suatu bangsa.

Kontradiksi antara kuantitas dan kualitas dalam Sistem Pendidikan mana pun sebenarnya tidak dapat dihindari. Tetapi bagi Ki Hadjar Dewantara, kualitas bisa dicapai setelah aspek kuantitas tercapai. Kelemahan kualitas akibat mendahulukan kuantitas, sebenarnya lebih mudah diatasi dan lebih menghemat anggaran, jika sistem pendidkan berjalan dengan benar.

 Kebijakan yang bisa ditempuh untuk mengatasi kualitas lulusan antara lain dengan cara meningkatkan kemampuan belajar secara mandiri peserta didik, mengoptimalkan lingkungan-lingkungan pendidikan baik formal, informal dan non formal, sebagai lingkungan belajar sepanjang hayat dan tentu saja dengan memperbanyak perpustakaan-perpustakaan umum yang murah, tetapi menyediakan buku-buku yang berkualitas.

Sistem magang juga bisa diintegrasikan ke dalam sistem pendidikan yang terpadu dengan pasar tenaga kerja untuk memperoleh tenaga yang terdidik dan berkualitas yang memenuhi kebutuhan pasar tenaga kerja.

Dan yang lebih penting lagi bagi Ki Hadjar Dewantara, suatu Sistem Pendidikan Nasional, hendaknya tidak hanya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pasar tenaga kerja saja. Tetapi tujuan yang lebih tinggi dan mulia harus bisa dicapai oleh Sistem Pendidikan Nasional, yaitu bisa melahirkan tenaga kelas menengah yang bisa menciptakan lapangan kerja. Kelompok klas menengah yang cerdas dan kreatif inilah yang disebut oleh Ki Hadjar Dewantara sebagai  manusia dengan jiwa merdeka, yaitu merdeka pikirannya, merdekan batinnya dan merdeka tangannya.

 10. Gagasan Kemandirian Secara Ekonomi.

Pada alinea ke lima Pernyataan Asas Tamansiswa, secara tersirat Ki Hadjar Dewantara mengemukakan gagasannya tentang perlunya kemandirian secara ekonomi dalam mengelola setiap organisasi formal maupun nonformal, pada tingkat mikro seperi rumah tangga, perusahaan, lembaga pendidikan, partai politik, maupun organisasi tingkat makro seperti negara. Jika organisasi-organisasi itu ingin berusaha secara merdeka, dan tidak terikat kepada pihak lain, maka mereka harus bekerja menurut asas-asas dan dasar-dasar kemampuan sendiri.

Seperti kita ketahui untuk menjalankan suatu sistem pendidikan, entah itu kolonial maupun nasional, selalu diperlukan sumber pembiayaan yang berupa dana. Hal ini mengandung arti bahwa setiap sistem pendidikan tidak mungkin bisa dilepaskan dari persoalan-persoalan ekonomi. Dan masalah umum persoalana ekonomi adalah masalah defisinsi yang timbul karena setiap sumber daya ekonomi yang tersedia selalu bersifat langka dan memiliki kegunaan yang bersifat alternatif.

Dikemukakan oleh Ki Hadjar Dewantara, bahwa untuk dapat berusaha menurut asas yang merdeka dan leluasa, maka kita harus bekerja menurut kekuatan kita sendiri. Walaupun kita tidak menolak bantuan dari orang lain, akan tetapi kalau bantuan itu akan mengurangi kemerdekaan kita lahir atau batin, harus kita tolak. Itulah jalannya orang yang tidak mau terikat atau terperintah pada kekuasaan, karena berkehendak mengusahakan kekuatan diri sendiri.

Prinsip kemandirian yang diajarkan Ki Hadjar Dewantara ini sangat penting bagi Tamansiswa, karena Sistem Pendidikan Nasional yang diciptakan Ki Hadjar Dewantara melalui Perguruan Tamansiswa itu bertentangan secara diametral dengan Sistem Pendidikan Kolonial. Dengan tetap menjaga kemandiriannya, Ki Hadjar Dewantara berharap Sistem Pendidikan Nasional yang diciptakannya itu bisa terhindar dari intervensi dan campur tangan pemerintah Hindia Belanda yang bisa mengganggu tujuan-tujuan jangka panjang yang ingin dicapai Tamansiswa.

Namun demikian, prinsip kemandirian sebagai upaya untuk meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya ekonomi, sesungguhnya bersifat umum yang bisa diterapkan pada setiap organisasi apa saja, baik organisasi mikro maupun makro.

Pentingnya gagasan Kemandirian Secara Ekonomi dari  Ki Hadjar Dewantara sebenarnya terletak pada gagasan efisiensi penggunaan sumber dana untuk membeayai suatu sistem pendidikan  yang selalu dihadapkan pada keterbatasan dana. Memang hanya konsep kemandirian dan efisiensi yang bisa mengatasi kendala dana dan anggaran yang selalu terbatas itu.

Perlu ditegaskan di sini bahwa konsep kemandirian gagasan Ki Hadjar Dewantara itu, bukanlah konsep kemandirian yang menolak bantuan secara mutlak. Yang ditolak secara tegas, adalah bantuan yang menyebabkan kehilangan kemandirian, melahirkan ketergantungan dan bantuan-bantuan yang menyebabkan terjadinya ikatan yang tidak wajar, yakni ikatan yang menyebabkan hilangnya kemerdekaan dan kedaulatan baik sebagai individu, organisasi, maupun sebagai bangsa.

 11. Gagasan Sistem Pengelolaan Anggaran Penyelenggaraan Pendidikan Berimbang.

Alinea ke enam dari Pernyataan Asas Tamansiswa, sebenarnya berisi gagasan Ki Hadjar Dewantara tentang implementasi dari Prinsip Kemandirian Ekonomi pada tingkat teknis-operasinal  pelaksanaan, yang disebutnya sebagai  Zelfbedruipings Systeem.

Inti dari Zelfbedruipings Systeem adalah keseimbangan antara sektor penerimaan dan pengeluaran. Dalam sistem penyusunan anggaran dikenal konsep anggaran yang seimbang dan anggaran yang defisit. Ki Hadjar Dewantara yang terkenal memilki sikap hemat yang tinggi, tentu memilih Zelfbedruipings System atau System Anggaran Berimbang antara penerimaan dan pengeluaran dalam mengelola keuangan Tamansiswa. Sistem Anggaran Berimbang banyak digunakan oleh negara-negara modern yang sekaligus mencerminkan sikap hemat, tidak boros dan sikap cermat, teliti dan produktip dari suatu bangsa.

Dengan tegas dikemukakan oleh Ki Hadjar Dewantara pada aline ke enam Pernyataan Asas Tamansiswa, bahwa karena kita akan berusaha berdasarkan kekuatan kita sendiri, maka haruslah segala belanja dari usaha kita itu dipikul sendiri dengan uang pendapatan biasa. “Inilah yang kita namakan Zelfbedruipings Systeem yang akan jadi alatnya semua usaha yang hendak hidup tetap dengan berdiri sendiri.”, demikian penegasan Ki Hadjar Dewantara dalam Pernyataan Asas Tamansiswa.

 12. Gagasan Pengabdian Kepada Sang Anak.

Alinea ketujuh Pernyataan Asas Tamansiswa, merupakan ungkapan yang mengandung nilai luhur dan bermutu tinggi tentang darma seorang ksatria yang akan menunjukan kualitas pengabdian yang rela dan ikhlas yang dilakukan oleh Sang Pendidik Sejati demi kepentingan anak didik. Ki Hadjar Dewantara, menyatakan melalui alinea ke tujuh Pernyataan Asas Tamansiswa, bahwa dengan tidak terikat lahir atau batin, serta dengan suci hati berniatlah kita berdekatan dengan Sang Anak. Kita tidak meminta suatu hak, akan tetapi menyerahkan diri akan berhamba kepada Sang Anak.

Inilah Closing Statemen dari Ki Hadjar Dewantara dalam pidato berdirinya Tamansiswa pada tanggal 3 Juli 1922 yang menyentakkan kesadaran kolektif para pendengarnya. Ki Hadjar Dewantara yang saat itu masih bernama Raden Mas Suwardi Suryaningrat, tampil bagaikan Raden Narayana yang telah menjelma menjadi Sri Kresna yang siap untuk mendidik anak-anak calon-calon putra bangsa yang merdeka, putra para Pandawa  yang dibekali dengan senjata cakra, yakini cipta, karsa dan rasa.

Tidak keliru, bila tokoh Pendidik dan Pejuang Tamansiswa penerus Ki Hadjar Dewantara  Ki Sarmidi Mangunsarkoro, menyebut bahwa Tamansiswa sejak berdirinya merupakan suatu religi yang mencita-citakan terbentuknya suatu masyarakat yang berdasarkan asas kekeluargaan, yang merupakan susunan masyarakat asli bangsa Indonesia.

Ciri suatu masyarakat yang religious adalah  adanya unsur pengabdian kepada Tuhan Yang Maha Esa.  Di kalangan Tamansiswa, manifestasi dari bentuk pengabdian kepada Tuhan Yang Maha Esa itu diwujudkan dalam aktivitas semacam  ritual pengabdian kepada Sang Anak, sebagai bentuk pengabdian dan manifesetasi  cinta kepada tanah air, bangsa, kemanuasiaan dan Tuhan Yang Maha Esa.Itulah sebabnya Ki Hadjar Dewantara memandang mendidik adalah kegiatan yang suci dan mulia yang merupakan darma dari  para Ksatria Sejati.

Di tinjau dari sudut ajaran Islam, kegiatan mendidik memang merupakan amalan yang mulia yang bernilai sebagai amal jariyah. Yakni amalan yang pahalanya akan terus mengalir kepada seseorang muslim, sekalipun dia sudah berada di seberang maqom, meninggalkan dunia yang fana ini.

Kata niat yang diucapkan Ki Hadjar Dewantara dalam kalimat,” ….dengan suci hati berniatlah kita…..”  sejalan  dengan Sabda Nabi Muhammad saw dalam hadistnya,“Innamal a’malu bin niat”. Yang artinya segala sesuatu dengan niat. Dan seseorang akan memperoleh ganjaran dan pahala dari apa yang diniatkannya tersebut.

Demikianlah Pidato Ki Hadjar Dewantara pada pembukaan berdirnya Tamansiswa tanggal 3 Juli 1922 M yang pokok-pokok pikiran dan gagasan besarnya diabadikan menjadi Pernyataan Asas Tamansiswa tahun 1922, yang merupakan pedoman, acuan, sumber hukum dan stategi dasar perjuangan dari Tamansiswa yang secara institusi setelah Indonesia Merdeka kemudin menamakan dirinya sebagai Badan Perjuangan Kebudayaan dan Pembangunan Masyarakat.

Tahun 1922 sebagai tahun  berdirinya Tamansiswa itu diabadikan oleh Ki Hadjar Dewantara dengan semboyan candra sangkala ,”Lawan Sastra Ngesti Mulya”, yang bermakna dengan pendidikan mencapai kemuliaan dan kebahagiaan, setara dengan tahun Jawa 1852 Saka.

Dirgayahu 94 tahun Tamansiswa. [ Bandung, 03-07-2016]




(2) Mengenang 94 Tahun Perguruan Tamansiswa( 3 Juli 1922 - 3 Juli 2016 )- Bagian 2 dari 4 Tulisan.




 Keterangan Gambar: Ki Suryo Adi Putro, mengajar murir-murid Taman Muda Tamansiswa Bandung (1925 -1929), di Cikakak -Bandung. Ketua Majelis Cabang Bung Karno. Tamansiswa Bandung berdiri pada tanggal 7-7-1925. Lihat Buku 30 Tahun Tamansiswa.Sumber Gambar;Wikipedia
2.Berdirinya Perguruan Tamansiswa.

Ki Hadjar Dewantara termasuk pejuang dan tokoh pergerakan yang paling vokal melancarkan krtitik tajam terhadap sistem pendidikan yang diciptakan Pemerintah Hindia Belanda yang disebutnya sebagai Sistem Pendidikan Kolonial.

Istilah Sistem Pendidikan Kolonial, baru muncul menjadi suatu antitese yang tajam setelah Ki Hadjar Dewantara mendirikan Perguruan Nasional Tamansiswa. Antitese Sistem Pendidikan Kolonial adalah Sistem Pendidikan Kebanggsaan atau Sistem Pendidikan Nasional yang ingin diwujudkan Ki Hadjar Dewantara melalui Perguruan Tamansiswa.

Sekalipun para pendiri Perguruan Tamansiswa adalah para ksatria Jawa, tetapi Ki Hadjar Dewantara menghindari gagasan nasionalisme Jawa  yang dianut Budi Utomo, atau pun nasionalisme Islam yang dianut Serikat Islam. Suwardi juga menghindari nasionalisme barat  seperti yang digagas oleh Cipto Mangunkusumo.

Nasionalisme yang dianut Tamansiswa adalah nasionalisme Hindia, sebagaimana yang telah digagas oleh Douwes Dekker dengan IP nya maupun nasionalisme NIP-SH. Hanya bedanya NIP-SH bergerak dalam ranah politik. Tamansiswa bergerak dalam ranah pendidikan dan kebudayaan.

Namun demikian sungguh keliru jika ada yang menganggap corak nasionalisme Ki Hadjar Dewantara itu anti barat, apa lagi anti Islam. Corak nasionalisme Ki Hadjar Dewantara mencakup aspek yang luas yang bersifat humanis, religius, dan universal. Bukan nasionalisme yang chauvinistik dan sempit.

Ki Hadjar Dewantara  menamakan intitusi yang didirikannya sebagai National Instituut Ondewijs Tamansiswa. Secara harfiah berarti: Lembaga Pengajaran Nasional Tamansiswa. Tetapi kata onderwijs sering diterjemahkan menjadi pendidikan, sehingga nama lembaga pendidikan yang didirikan Ki Hadjar Dewantara itu sering diterjemahkan sebagai: Perguruan Nasional Tamansiswa.

Pencantuman kata nasional, menjadikan Tamansiswa sebagai institusi pendidikan yang radikal  sekaligus juga reformis di bidang pendidikan dan kebudayaan. Dengan mencantumkan kata nasional, Ki Hadjar Dewantara telah menciptakan institusi pendidikan yang menantang institusi pendidikan yang bersifat kolonial yang diciptakan pemerintah Hindia Belanda.

Maka dalam masyarakat Hindia Belanda muncul dua sistem pendidikan yang bertentangan secara diametral, yakni Sistem Pendidikan Nasional yang diciptakan Ki Hadjar Dewantara melalui Tamansiswa dan Sistem Pendidikan Kolonial yang diciptakan pemerintah Hindia Belanda. Melalui Sistem Pendidikan Kolonial didirikanlah sekolah-sekolah model barat hasil Kebijakan Politik Etis yang bertujuan memperkuat kepentingan kolonialisme Hindia Belanda. Jika Sistem Pendidikan Kolonial ditujukan untuk melestarikan kepentingan kolonial di tanah jajahan, maka Sistem Pendidikan Nasional Tamansiswa ditujukan untuk memperjuangkan kepentingan Nasional Pribumi yang terjajah.

Ki Hadjar Dewantara melalui Perguruan Tamanasiswa melakukan langkah-langkah pembaharuan yang lebih mendalam dan tidak sekedar mengambil alih kurikulum sekolah-sekolah Belanda sebagai suatu cetak biru yang tidak boleh diganggu gugat. Ki Hadjar Dewantara menciptakan suatu sistem pendidikan yang  inovatif mulai dari kurikulum, strategi pembelajaran, pendekatan kepemimpinan, proses belajar mengajar, sistem organisasi pengelolaan, bahan ajar, landasan dan asas  perjuangan sampai tujuan pendidikan yang hendak dicapai, baik tujuan jangka pendek maupun tujuan jangka panjang. Tujuan yang bersifat kelembagaan, mapun tujuan pendidkan yang bersifat ideologis filosofis.

Tujuan kelembagaan, strategi dasar, dan landasan perjuangan yang diperlukan untuk mewujudkan suatu Sistem Pendidikan Nasional, diungkapkan oleh Ki Hadjar Dewantara dalam pidato pembukkan Tamansiswa pada tanggal 3 Juli 1922. Isi pidato itu  kemudian dirumuskan dalam suatu dokumen yang dikenal dengan Pernyataan Asas atau Beginsel Verklaring yang terdiri dari tujuh alinea yang masing-masing alinea itu berisi asas-asas atau dasar-dasar dan strategi perjuangan untuk mewujudkan Sistem Pendidikan Nasional .

.Secara garis besar Beginsel Verklaring yang kemudian dikenal sebagai Pernyataan Asas Tamansiswa 1922,  berisi asas perjuangan, pokok-pokok pikiran, gagasan, konsep dasar  dan pandangan Ki Hadjar Dewantara di tengah-tengah masyarakatnya.

Melaui Pernyataan Asas itu, Ki Hadjar Dewantara memandang pendidikan adalah suatu medan perjuangan maha penting yang bukan hanya perlu untuk memperbaiki kondisi-kondisi masyarakat yang terjajah yang jauh dari kondisi-kondisi masyarakat yang ideal, tetapi pendidikan juga penting sebagai alat, sarana dan strategi untuk mewujudkan masyarakat ideal yang dicita-citakannya.

Dengan Pernyataan Asas itu, Ki Hadjar Dewantara memandang pengertian pendidikan bukan dalam arti yang sempit. Tetapi pendidikan diletakkan dalam pandangan yang luas sebagai suatu sistem yang berkaitan dengan seluruh aspek kehidupan manusia yang luas yakni aspek kebudayaan dari suatu bangsa yang beradab.

Pernyataan Asas Tamansiswa  1922, di samping sebagai suatu antitese terhadap Sistem Pendidikan Kolonial, juga berisi kritik-kritik yang tajam  terhadap praktek-praktek dari Sistem Pendidikan Kolonial. Yaitu suatu Sistem Pendidikan yang tidak memihak kepada kepentingan Pribumi sebagai rakyat yang terjajah dan tertindas. Isi dari Beginsel Verklaring Tamansiswa 1922 M yang telah diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia terdiri dari tujuh buah alinea sbb:

1.      Hak seseorang akan mengatur dirinya sendiri (zelfbeschikkingsrecht) dengan mengingat tertib damainya persatuan dalam perikehidupan umum (maatschappelijke saamhoorigheid) itulah asas kita yang pertama. Tertib dan Damai (Orde en Vrede) itulah tujuan kita yang setinggi-tingginya. Tidak ada ketertiban terdapat kalau tidak bersandar pada perdamaian. Sebaliknya tak akan ada orang hidup damai, jika ia dirintangi dalam segala syarat kehidupannya. Bertumbuh menurut kodrat (natuurlijke groei) itulah perlu sekali untuk segala kemajuan (evolutie) dan harus dimerdekakan seluas-luasnya. Karena itu pendidikan yang beralaskan syarat “paksaan-hukuman-ketertiban” (regering-tuch en orde) itulah kita anggap memperkosa hidup kebatinan anak. Yang kita pakai sebagai alat pendidikan yaitu pemeliharaan dengan sebesar perhatian untuk mendapat tumbuhnya hidup anak, lahir dan batin menurut kodratnya sendiri. Itulah yang kita namakan “Among methode”

2.      Dalam sistem ini, maka pelajaran berarti mendidik anak-anak akan menjadi manusia yang merdeka batinnya, merdeka fikirannya dan merdeka tenaganya. Guru jangan hanya memberi pengetahuan yang baik dan perlu saja, akan tetapi harus juga mendidik si murid mencari sendiri pengetahuan itu dan memakainya guna amal keperluan umum. Pengetahuan yang baik dan perlu yaitu yang bermanfaat untuk keperluan lahir dan batin dalam hidup bersama(sociaal belang).

3.      Tentang zaman yang akan datang, maka rakyat kita ada di dalam kebingungan. Sering kali kita tertipu oleh keadaan, yang kita pandang perlu dan laras untuk hidup kita, padahal itu adalah keperluan bangsa asing yang sukar didapatnya dengan alat penghidupan kita sendiri. Demikianlah kita acap kali merusak sendiri kedamaian hidup kita. Lagi pula kita sering juga mementingkan pengajaran yang hanya menuju terlepasnya fikiran (intelektualisme), padahal pengajaran itu membawa kita kepada gelombang kehidupan yang tidak merdeka (economishch afhankelijk) dan memisahkan orang- orang  terpelajar dengan rakyatnya. Di dalam jaman kebingungan ini seharusnya keadaban kita sendiri (cuultuurhistorie) kita pakai sebagai petunjuk jalan untuk mencari penghidupan baru, yang selaras dengan kodrat kita dan akan memberikan kedamaian dalam hidup kita. Dengan keadaban bangsa kita sendiri kita lalu pantas berhubungan bersama-sama dengan keadaban bangsa asing.

4.       Oleh karena pengajaran yang hanya didapat oleh sebagian kecil dari rakyat kita itu tidak berfaedah untuk bangsa, maka haruslah golongan rakyat yang terbesar dapat pengajaran secukupnya. Kekuatan bangsa dan negara itu adalah jumlahnya kekuatan orang-orangnya. Maka dari itu lebih baik memajukan pengajaran untuk rakyat umum dari pada meninggikan pengajaran, kalau usaha meninggikan ini seolah-olah mengurangi tersebarnya pengajaran.

5.      Untuk berusaha menurut asas yang merdeka dan leluasa, maka kita harus bekerja menurut kekuatan kita sendiri. Walaupun kita tidak menolak bantuan dari orang lain, akan tetapi kalau bantuan itu akan mengurangi kemerdekaan kita lahir atau batin, haruslah ditolak. Itulah jalannya orang yang tidak mau terikat atau terperintah pada kekuasaan, karena berkehendak mengusahakan kekuatan diri sendiri.

6.      Oleh karena kita bersandar pada kekuatan kita sendiri, maka haruslah segala belanja dari segala usaha kita itu dipikul sendiri dengan uang pendapatan biasa. Inilah yang kita namakan,”zelfbedruipings systeem”, yang jadi alatnya semua usaha yang hendak hidup tetap dengan berdiri sendiri.

7.      Dengan tidak terikat lahir dan batin, serta dengan suci hati, berniatlah kita berdekatan dengan Sang Anak. Kita tidak meminta suatu hak, akan tetapi menyerahkan diri akan berhamba kepada Sang Anak.
 Pernyataan Asas Tamansiswa 1922 yang aslinya ditulis dalam Bahasa Belanda dan merupakan intisari dari gagasan Ki Hadjar Dewantara yang disampaikan sebagai pidato pada hari pembukaan berdirinya Tamansiswa pada tanggal 3 Juli 1922 M itu, jelas merupakan asset kerochanian yang luar biasa yang mengandung gagasan-gagasan besar yang segera bergaung di seluruh penjuru Nusantara[bersambung]
Baca Artikel Lanjutannya :
http://wwwtamansiswa.blogspot.co.id/2016/07/mengenang-94-tahun-tamansiswa-3-juli_2.html