Tetapi tiba-tiba menjelang Peringatan
Hari Pendidikan tanggal 2 Mei 2016, muncul sebuah tulisan dalam sebuah media
sosial yang menggugat tanggal tanggal 2 Mei sebagai Hari Pendidikan Nasional.
Judul tulisannya adalah,” KH.Ahmad Dahlan, Lebih Pantas Menjadi Bapak
Pendidikan Nasional.”Sang Penulis,
Zahra Adonara, setelah melakukan tinjauan secara singkat riwayat Ki Hadjar
Dewantara dengan Tamansiswanya, segera melakukan tinjauan riwayat KH.Ahmad
Dahlan dengan sekolah Muhammadiyahnya.
“Akan tetapi yang patut dicatat, jauh-jauh hari sebelum Ki Hajar
Dewantara mendirikan Taman Siswa, seorang putra bangsa, yang juga sama-sama
berasal dari Yogyakarta telah memiliki inisiatif untuk melakukan perubahan
melalui pendidikan,” tulis Sang Penulis. “Adalah KH. Ahmad Dahlan, ulama besar
yang menjadi pendiri Muhammadiyah. Sebelum Muhammadiyah berdiri, tepatnya 1
Desember 1911, KH.Ahmad Dahlan mendirikan sekolah Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah.
Ketika diresmikan, sekolah itu mempunyai 29 orang siswa dan enam bulan kemudian
dilaporkan bahwa terdapat 62 orang siswa yang belajar di sekolah itu. Tahun
1913, didirikan sekolah Muhammadiyah di Karangkajen. Tahun 1915, didirikan
sekolah di Lempuyangan, sekolah Muhammadiyah bergerak se-abad lebih melintasi
zaman, kini ribuan sekolah Muhammadiyah telah berdiri di seluruh penjuru
Indonesia, bahkan hingga ke manca negara. Dari perbandingan usia,
KH.Ahmad Dahlan melalui Muhammadiyah satu dekade lebih dulu daripada Taman
Siswa dalam berjuang mengentaskan kegelapan melalui pendidikan.”
Sang Penulis melanjutkan tulisannya dengan melakukan perbandingan
antara sekolah Tamansiswa dengan Muhammadiyah sbb,” Selain perbandingan usia,
KH.Ahmad Dahlan melaui Muhammadiyah bila dibandingkan dengan Taman Siswa jauh
memiliki efek yang lebih besar. Sekolah-sekolah Muhammadiyah telah menjangkau
ke semua jenjang, melebar kesegala lapisan dan telah meluluskan jutaan alumni.
Bandingkan dengan Taman Siswa yang justru semakin hari semakin kurang
berkembang, data dari Kompas menyebutkan, Pada Tahun 2012 jumlah sekolah
perguruan Taman Siswa tinggal 30 %nya saja, banyak sekolah yang gulung tikar.
Kiprah Muhammadiyah dalam bidang pendidikan tentu tak ada yang meragukan.”
Sang
Penulis mengakhiri tulisannya dengan melakukan gugatan sbb,” Mengapa kemudian
KH.Ahmad Dahlan tidak ditetapkan sebagai Bapak Pendidikan? Pertanyaan ini
seolah menjadi sejarah hitam yang selalu membungkam eksistensti Tokoh-Tokoh
Islam. Seperti halnya mengapa kemudian Kartini yang ditetapkan sebagai tokoh
rujukan kaum perempuan? padahal banyak tokoh-tokoh perempuan lain, khususnya
yang memiliki identitas Islam lebih kuat, seperti Rasuna Said, Nyi Walidah, Cut
Nyak Dien yang tak kalah hebatnya. Sekali lagi, sejarah selalu diciptakan
oleh para pemenang, mereka yang berkuasa, walaupun begitu kita tidak akan
pernah lupa dengan jasa KH. Ahmad Dahlan, Bapak pendidikan yang sesungguhnya.”
Ki
Hadjar Dewantara dan KH.Ahmad Dahlan.
Betapa pentingnya kita belajar sejarah. Dan, sebenarnya tidak
tepat membanding-bandingkan, apalagi mengukur bobot sumbangan para Pejuang
Bangsa. Baik Ki Hadjar Dewantara maupun KH.Ahmad Dahlan adalah sama-sama
Pahlawan Nasional yang telah sama-sama berjasa memperjuangkan kemerdekaan
bangsa Indonesia melalui bidangnya masing-masing.Di bidang Pendidikan, Ki Hadjar Dewantara
melalui sekolah Tamansiswa telah memperjuangkan sistem Pendidikan Nasional
sebagai suatu antitese terhadap Sistem Pendidikan Kolonial. Ki Hadjar Dewantara
dengan Tamansiswa konsisten melakukan penentangan sisten Pendidikan Kolonial
yang dijalankan Pemerintah Hindia Belanda antara lain dengan menempuh jalan non
koperasi, menolak subsidi dari Pemerintah Hindia Belanda, dan menolak sebagai
sekolah berbadan hukum sehingga dicap oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai
sekolah Liar. Sekalipun dicap sebagai sekolah liar, tidak berbadan hukum, dan
menolak subsidi Pemerintah Hindia Belanda, Ki Hadjar Dewantara mampu membangun
sekolah Tamansiswa yang pada saat itu kualitasnya setara dengan sekolah-sekolah
Pemerintah. Hal ini mudah dimengerti sebab Ki Hadjar Dewantara memang
mengantongi ijazah akta guru Eropa, sehingga dinilai lebih dari kompeten untuk
mewujudkan sekolah yang kualitasnya tidak kalah dengan ELS, HIS, MULO maupun
AMS milik Pemerintah Hindia Belanda. Mudah dimengerti bila dalam waktu singkat sekolah
Tamansiswa menyebar ke seluruh Hindia Belanda. Antara tahun 1930 – 1942 justru
merupakan puncak prestasi Tamansiswa yang berada dibawah asuhan langsung Ki
Hadja Dewantara.
Tentu berbeda dengan sekolah-sekolah Muhammadiyah yang menempuh
jalan koperasi, berbadan hukum, dan tentu saja menerima subsidi dari Pemerintah
Hindia Belanda. Namun demikian gagasan pembaharuan pendidikan yang dibawakan
KH.Ahmad Dahlan dengan Ki HadjarDewantara dibidang pendidikan banyak persamaannya. Baik KH.Ahmad Dahlan
maupun Ki Hadjar Dewantara sama-sama menggunakan model sekolah barat dalam
melakukan pembaharuan pendidikan. BedanyaKi Hadjar Dewantara memperkaya dan memadukan sekolah model barat dengan
unsur-unsur pendidikan yang terkandung dalam kebudayaan nasional yang bersumber
dari tradisi etos pendidikan para priyayi dan ksatria yang dididik dilingkungan
kraton dan kabupaten. Sedang KH.Ahmad Dahlan memadukan sekolah model barat
dengan unsur-unsur pendidikan yang terkandung dalam ajaran Islam dan dunia
pesantren.Perbedaan lain, Ki Hadjar
Dewantara meniti karir dengan menempuh pendidikan formal model barat mulai dari
ELS, Kweekshool, Stovia dan Akta guru Negeri Belanda. Sedangkan KH.Ahmad Dahlan
mengenyam pendidikan model pesantren dan tidak pernah memasuki sekolah model
barat milih pemerintah Hindia Belanda.
Dapat dimengerti bila pada awalnya untuk mendirikan Muhammadiyah
dan sekolah-sekolah Muhammadiyah, KH.Ahmad Dahlan banyak mendapat bantuan dari
tokoh-tokoh guru Budi Utomo dan Keluarga Pakualaman. KH.Ahmad Dahlan juga
bergaul erat dengan KPH Suryaningrat, ayah Ki Hadjar Dewantara, kenal dekat
dengan RM.Suryo Pranoto, kakakKi Hadjar
Dewantara. Tentu saja KH.Ahmad Dahlan kenal baik dengan Pangeran Noto Dirojo,
putra Paku Alam V yang sempat menjadi Ketua Budi utomo. Bahkan RM.Suryo Pranoto
bersama-sama dengan Fachrudin, tokoh Muhammadiyah tangan kanan KH.Ahmad Dahlan,
bersama-sama menjadi pemimpin SI (Serkat Islam ) Cabang Yogyakarta yang sama-sama
gigih menentang komunisme. Akhirnya ketika Suwardi harus menjalani Pembuangan
ke Negeri Belanda pada tahun 1913, Muhammadiyah bukan hanya ikut memberikan
bantuan dana. Tetapi KH.Ahmad Dahlan dan Istrinya datang secara khusus menemui
Suwardi Suryaningrat untuk memberikan dorongan dan doa. Semua itu menunjukkan
kedekatan KH Ahmad Dahlan dengan Keluarga Paku Alaman dan Ki Hadjar
Dewantara.
Baik Ki Hadjar Dewantara maupun KH.Ahmad Dahlan, telah sama-sama berjuang untuk mencapai kemerdekaan, sesuai dengan keahliannya masing-masing. Ki Hadjar Dewantara di bidang Pendidikan dan Kebudayaan Nasional. KH.Ahmad Dahlam di bidang Pendidikan Islam dan Kebudayaan Islam dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kewajiban generasi penerus untuk mengisi kemerdekaan dengan melanjutkan cita-cita para pejuang bangsa.Wallahualam.(2- 05-2016)
Menyambut
Hari Pendidikan Nasioanl 2 Mei 2016 muncul artikel menarik di Kompasiana. Judulnya, “Sudah Tepatkan
Tanggal 2 Mei ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional?”Penulisnya adalah Siti Marfuah. Dan rupanya
merupakan artikel lama yang pernah diposting pada tanggal 5 Mei 2013, tetapi
karena masih relevan diunggah lagi untuk menyambut Hari Pendidikan Nasional 2
Mei 2016.
Tetapi
pembaca jangan buru-buru menuduh penulisnya sedang melakukan gugatan terhadap
tanggal 2 Mei sebagai Hari Pendidikan Nasional. Yang terjadi justru sebaliknya.
Sang Penulis tidak melakukan gugatan. Sang Penulis justru melakukan pembelaan.
Diakhir tulisannya Sang Penulis menyimpulkan sebagai berikut,” Jadi, apakah
sudah tepat Hardiknas diperingati pada tanggal 2 Mei? Saya rasa tepat, jika
mengingat seberapa besar kontribusi Ki Hadjar Dewantara dalam pendidikan
nasional di Indonesia.’
Dalam
artikelnya itu dia menjelaskan bahwa Hari Pendidikan Nasional telah ditetapkan berdasarkan
Keputusan Presiden No. 316tanggal 16
Desember 1959. Tetapi, baru efektip
diperingati secara nasional pada jaman Pak Harto. “Meskipun ditetapkan pada tahun 1959,
secara efektif peringatan hari pendidikan nasional baru dilaksanakan tahun 1967
setelah Pak Harto menjabat presiden,” tulisnya.
Selanjutnya beliau menulis, “Saat
itulah pengakuan atas jasa besar Ki Hadjar Dewantara dalam meletakkan
dasar-dasar sistem pendidikan nasional dinyatakan oleh Pak Harto. Meskipun dalam
keputusan presiden tidak secara tegas menyebutkan dasar-dasar penetepannya,
akan tetapi secara tersirat yang dimaksud dengan tanggal 2 Mei ialah hari
kelahiran Ki Hadjar Dewantara. Dapat dipastikan bahwa ada suatu alasan mengapa
tanggal lahir Ki Hadjar Dewantara ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional.
Alasan tersebut tentu berkaitan dengan jasa-jasa Ki Hajar Dewantara sebagai
Bapak Pendidikan Nasional. Raden Mas Soewardi Soerjaningrat (Suwardi
Suryaningrat), sejak 1922 ( seharusnya
sejak 1928, pen) menjadi Ki Hadjar Dewantara lahir di Yogyakarta pada
tanggal 2 Mei 1889 dan meninggal dunia pada tanggal 26 April 1959.”
“Kancah perjuangan Ki Hadjar Dewantara
meliputi dunia politik, jurnalistik, dan pendidikan. Pada dunia politik dan
jurnalistik, beliau lebih dikenal sebagai R.M. Suwardi Suryaningrat. Karena
keanggotaannya dalam Indische Partij dan aktivitasnya yang menetang usaha-usaha
perayaan 100 tahun kemerdekaan Belanda atas jajahan Perancis dengan tulisannya
yang berjudul "Seandainya Aku Seorang Belanda" (judul asli: "Als
ik een Nederlander was"), maka ia diasingkan ke negeri Belanda bersama Dr.
Tjipto Mangunkusumo dan E.F.E. Douwes Dekker (Danudirdjo Setyabudhi) pada tahun
1913. Dalam pengasingan pada tahun 1913-1919 tersebut, Beliau aktif dalam
organisasi para pelajar asal Indonesia yaitu Indische Vereeniging (Perhimpunan
Hindia). Di sinilah Beliau merintis cita-citanya memajukan kaum pribumi dengan
belajar ilmu pendidikan hingga memperoleh Europeesche Akte, suatu ijazah
pendidikan yang bergengsi. Dalam studinya ini, Beliau terpikat pada ide-ide
sejumlah tokoh pendidikan Barat, seperti Froebel dan Montessori. Beliau juga
mengadakan orientasi tentang Santi Ni Ketan ciptaan Tagore di India sebagai
pergerakan pendidikan India.”
Diakhir tulisannya Sang Penulis
menyimpulkan sbb,” Jadi, apakah sudah tepat Hardiknas diperingati pada tanggal
2 Mei? Saya rasa tepat, jika mengingat seberapa besar kontribusi Ki Hadjar Dewantara
dalam pendidikan nasional di Indonesia.’
Pendapat penulis artikel itu, setelah
mengumpulkan fakta-fakta perjuangan Ki Hadjar Dewantara sampai tiba pada
kesimpulan, bahwa Tanggal 2 Mei memang tepat sebagai Hari Pendidikan Nasional.
Tentu saja pendapat penulis itu mewakili arus utama pendapat publik dalam suatu
negara yang menganut paham demokrasi.
Gugatan Terhadap
Tanggal 2 Mei Pada Awal Orde Baru.
Tetapi sejarah penetapan tanggal 2 Mei
sebagai Hari Pendidikan Nsaional, memang tidak sepi dari gugatan pihak-pihak
yang belum memahami sepak terjang Ki Hadjar Dewara dalam memperjuangkan
Pendidikan Nasional bagi bangsanya yang saat itu menjadi bangsa pribumi
terjajah.
Gugatan terhadap tanggal 2 Mei sebagai
Hari Pendidikan Nasional, misalnya, pernah dilancarkan organisasi besar PGRI
pada awal-awal Orde Baru tahun 1966- 1967. Rupanya PGRI saat itu ingin
memanfaatkan momentum politik Orde Baru yang sedang mencabut dan merevisi sejumlah Undang-Undang, Kepres maupun PP yang
berbau Orde Lama. Keputusan Presiden No. 316 tanggal 16 Desember 1959 yang
menetapkan Tanggal 2 Mei sebagai Hari Pendidikan Nasional, dipandang oleh PGRI saat itu sebagai Kepres produk Orde Lama yang
harus dicabut karena tidak sesuai dengan semangat Orde Baru. Terjadilah polemik
hebat di media massa antara Majelis Luhur Tamansiswa yang mencoba
mempertahankan Kepres no 316dengan PB
PGRI yang menghendaki pencabutan Kepres No. 316. PB.PGRI berdalih bahwa tokoh
Pendidikan yang memperjuangkan Pendidikan Nasional bukan hanya Ki HadjarDewantara. Tetapi ada juga tokoh pejuang
bangsa yang lain, seperti Moh. Syafei dari Kayu Tanam, Otto Iskandar Dinata
yang mendirikan Paguyuban Pasundan pada tahun 1914 dengan puluhan sekolah dan
ribuan murid. Lalu KH.Ahmad Dahlan yang mendirikan Muhammadiyah dengan ribuan
sekolah dan ratusan ribu murid. Kemudian KH.Hasyim Asyari, Pendiri NU dengan
ribuan pendidikan berbasis pesantren. Disebutkan juga bahwa bukan hanya
Tamansiswa yang berdasarkan pendidikan nasional. Perguruan Rakyat yang didirikan
di Jakarta pada jaman Penjajahan, juga sudah berdasarkan pendidikan nasional.
PGRI mengusulkan agar tanggal 25 November yang merupakan Hari
Lahir PGRI ditetapkan pemerintah sebagai Hari Pendidikan Nasional menggantikan
tanggal 2 Mei yang merupakan Hari Lahir Ki Hadjar Dewantara. Tetapi akhirnya
polemik berhenti dengan sendirinya setelah Pak Harto turun tangan dan
menegaskan bahwa Kepres no. 316 tanggal 16 Desember 1959 yang menetapkan
tanggal 2 Mei 1959 sebagai Hari Pendidikan Nasional sudah tepat. Karenanya Pak
Harto tidak akan mencabutnya. Bahkan pada awal Orde Baru, Pak Harto
mempercayakan Menteri Pendidikan dari tokoh Tamansiswa. Tercatat tiga menteri pendidikan
pada awal Orde Baru berasal dari tokoh Tamansiswa antara lain, Ki Moh.Said, Ki
Sarino Mangun Pranoto, dan Mashuri SH. Sejak itu tak ada lagi kelompok
masyarakat yang menggugat Kepres No. 316 itu. Bahkan PGRI pun akhirnya mengalihkan
usulannya dengan memperjuangkan adanya Hari Guru. Akhirnya tanggal 25 Nopember
memang ditetapkan pemerintah sebagai Hari Guru yang setiap tahun diperingati
oleh para guru.
Pada awal Reformasi, tiga politis dari
PAN yang merupakan tokoh Muhammadiyah menduduki Menteri Pendidikan yaitu Yahya
A.Muhaimin, Malik Fajar, dan Bambang Sudibyo. Pada masa ketiga menteri itu,
Hari Pendidikan Nasional tetap diperingati dan tak ada gugatan terhadap Kepres
No.316 tanggal 16 Desember 1959 yang menetapkan tanggal 2 Mei sebagai Hari
Pendidikan Nasional.
Tokoh-tokoh Pendidikan dari PAN yang berlatar belakang Muhammadiyah itu, sadar akan fakta dan realitas sejarah, bahwa penetapan tanggal 2 Mei sebagai Hari Pendidikan Nasional, adalah sudah tepat, benar, dan tidak perlu dipersoalkan lagi. Mempersoalkannya dan menggugatnya, adalah kontra produktif. "Jangn melupakan sejarah," kata Bung Karno memberi nasihat. Sebuah nasihat yang bijak dan tepat dari seorang Negarawan dan Bapak Bangsa. (bersambung). (Bersambung)
Pada alinea
ke tiga, Pernyataan Asas Tamansiswa, Ki Hadjar Dewantara menyampaikan gagasan cara
mengatasi suatu zaman yang disebutnya sebagai zaman penuh kebingungan. Agar
kita selamat melewati zaman yang penuh kebingungan itu, menurut Ki Hadjar
Dewantara, kita seharusnya menggunakan keadaban kita sendiri (cultuurhistorie)
sebagai pedoman dan penunjuk jalan untuk membangun susunan masyarakat atau cara
penghidupan yang baru.
Cara yang
dianjurkan Ki Hadjar Dewantara untuk membangun suatu masyarakat ialah bukan
dengan cara-cara yang meniru begitu saja dari kebudayaan barat. Tetapi
cara-cara yang dipakai ialah cara-cara dari keadaban kita sendiri yang selaras
dan sesuai dengan keadaan dan kodrat kita sendiri.
Karena
menurut Ki Hadjar Dewantara, hanya dengan cara menggunakan keadaban, tradisi,
adat dan kebudayaan kita sendirilah, maka akan diperoleh suatu kedamaian dalam
hidup kita, baik sebagai individu, anggota masyarakat, maupun sebagai suatu
bangsa. Dengan menggunakan keadaban dan kebudayaan kita sendiri, maka kita
tidak akan pernah kehilangan jati diri dan identitas kita sebagai suatu bangsa.
Ki Hadjar Dewantara menegaskan,”Dengan keadaban bangsa kita sendiri, kita lalu
pantas berhubungan bersama-sama dengan keadaban bangsa lain”
Kata
keadaban berasal dari kata dasar adab, yang berarti hal-hal yang berkaitan
dengan etika, sopan, santun, moral, budi pekerti, akhlakul karimah dari
kebudayaan suatu bangsa. Dengan demikian Ki Hadjar Dewantara memandang
pentingnya mengembangkan kebudayaan nasional, sebagai suatu alat yang bukan
hanya berguna untuk melawan dominasi kebudayaan barat yang merupakan kebudayaan
asing. Tetapi juga sebagai suatu cara agar kitasebagai suatu bangsa dapat berdiri sama tegak dan duduk sama rendah
dengan bangsa-bangsa asing. Dengan kata lain, dengan memiliki kebudayaan
nasional kita sendiri, maka kita akan menjadi bangsa yang berdaulat.
Melalui
Pernyataan Asas Tamansiswa itu, jelaslah bahwa Ki Hadjar Dewantara adalah
seorang pemikir, seorang intelektual dan seorang cendekiawan yang pertama kali
menggagas mengenai pentingnya kebudayaan nasional. Dan Ki Hadjar Dewantaralah
yang mampu membuat analisa secara jelas mengenai relasi, keterkaitan atau
hubungan antara pendidikan dan kebudayaan. Pendidikan, dalam pandangan Ki
Hadjar Dewantara adalah bagian dari kebudayaan. Dengan demikian Pendidikan
Nasional, tidak terpisahkan dengan Kebudayaan Nasional.
Ki Hadjar
Dewantara sendiri merumuskan kebudayaan sebagai usaha dari manusia yang telah
tercerahkan kecerdasan budinya melalui pendidikan, baik pendidikan yang terjadi
di lingkungan keluarga, di lingkungan perguruan maupun di lingkungan masyarakat
yang berguna untuk mengatasi segala tantangan alam dan jaman, sehingga lahirlah
peradaban manusia yang berkualitas.
Ki Hadjar
Dewantara memandang kebudayaan manusia sebagai suatu yang terus berkembang ke
arah puncak kesempurnaannya yang tidak pernah berakhir yang terus menerus
membawa kemajuan bagi masyarakat secara evolusi. Tetapi gerak kebudayaan bisa
mandeg, mundur, bahkan mati. Kebudayaan yang mengalami kemandegan, kemunduran
dan akhirnya mengalami kematian, disebutnya sebagai kebudayaan yang tengah
mengalami dekandensi yang disebabkan oleh rusaknya budi pekerti, moralitas dan
ahlak masyarakat dari suatu bangsa. Pentingnya pendidikan sebagai suatu usaha
kebudayaan adalah mencegah agar kebudayaan nasional tidak mengalami dekadensi
yang menyebabkan rusaknya kebudayaan suatu bangsa.
Konsep dan
gagasan Ki Hadjar Dewantara tentang kebudayaan dikenal dengan Teori Trikon,
yakni singkatan dari kontinyu, konvergen dan konsentris.
Kontinyu,
artinya perkembangan kebudayaan yang sehat, harus merupakan kesinambungan dari
kebudayaan yang ada pada masa lalu, yang bisa berupa adat istiadat dan tradisi
dari suatu suku bangsa atau bangsa.
Konvergen,
mengandung arti kebudayaan suatu bangsa tidak mungkin tidak bercampur dengan
kebudayaan bangsa lain, dan terjadilah saling pengaruh mempengaruhi, dan
terjadilah akulturasi kebudayaan.
Dalam
menghadapi percampuran dengan kebudayaan asing, maka harus dilakukan proses
selektip dan adaptatip terhadap kebudayaan asing, sehingga hanya unsur-unsur
yang akan memperkaya kebudayaan kitalah yang seharusnya diambil. Unsur-unsur
kebudayaan asing yang merusak harus ditinggalkan. Demikian pula sikap terhadap
adat istiadat dan tradisi yang berasal dari kebudayaan lama. Adat istiadat dan
tradisi yang sudah usang dan tidak sesuai dengan jaman, harus kita tinggalkan.
Konsentris,
mengandung arti bahwa gerak kebudayaan suatu bangsa harus menuju kepada
persatuan dengan kebudayaan umat manusia yang bersifat universal di seluruh
muka bumi.
Dengan
demikian teori kebudayaan Ki Hadjar Dewantara itumenjelaskan gerak maju setiap kebudayaan
menurut garis yang kontinyu, konvergen, dan konsentrismenuju kebudayaan universal umat manusia.
Gagasan dan Konsepsi Ki Hadjar Dewantara soal teori kebudayaan, telah mengantarkan
Ki Hadjar Dewantara pada tahun 1956 memperoleh anugerah Doktor Kehormatan di
bidang kebudayaan dari Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
9. Gagasan Tentang Pemerataan Pendidikan dan
Pendidikan Yang Populis-Pro Rakyat.
Pada alinea
ke-empat Pernyataan Asas Tamansiswa, Ki Hadjar Dewantara melakukan kritik
terhadap Sistem Pendidikan Kolonial yang bersifat elitis, yang hanya dinikmati
oleh sebagian kecil rakyat saja. Ki Hadjar Dewantara menyatakan bahwa
pendidikan yang hanya dinikmati oleh sebagian kecil rakyat, tidak banyak
manfaatnya bagi seluruh bangsa.
Menurut Ki
Hadjar Dewantara seharusnya golongan rakyat yang terbesarlah yang harus
mendapatkan pendidikan yang cukup. Sebab, kekuatan suatu bangsa itu terletak
pada kekuatan dari sebagian besar rakyatnya. Karena itu menurut pandangan Ki
Hadjar Dewantara, lebih baik mendahulukan pendidikan untuk kemajuan sebagian
besar rakyat, dari pada meninggikan pendidikan jika usaha meninggikan
pendidikan itu akan berdampak pada kurang tersebarnya pendidikan untuk rakyat
umum.
Di sini Ki
Hadjar Dewantara memilih suatu sistem pendidikan yang populis, yang memihak
kepada kepentingan rakyat banyak, yakni suatu sistem pendidikan yang
mendahulukan aspek pemerataan dan kuantitatif, dari pada mengembangkan sistem
pendidikan yang elitis dan kualitatif.
Tentu
keliru jika ada anggapan seolah-olah sistem pendidikan yang digagas oleh Ki
Hadjar Dewantara tidak menyetujui pendidikan yang bermaksud meninggikan
kualitas. Tentu saja Ki Hadjar Dewantara menyadari pentingnya meninggikan
pengajaran. Hanya saja jika suatu sistem pendidikan dihadapkan pada pilihan dan
prioritas karena keterbatasan dana dan anggaran, Ki Hadjar Dewantara lebih
memilih mendahulukan kepentingan kuantitas dari pada kepentingan kualitas.
Tentu saja
gagasan Ki Hadjar Dewantara ini bertentangan dengan Sistem PendidikanKolonial
yang lebih mementingkan kualitas lulusannya, karena Sistem Pendidikan Kolonial
memang diciptakan untuk kepentingan jangka pendek saja, yaitu guna menghasilkan
tenaga yang terdidik, berkualitas, tetapi yang bisa dibayar murah di pasar
tenaga kerja. Sedangkan Sistem Pendidikan Nasional yang digagas Ki Hadjar
Dewantara punya tujuan jangka panjang, yakni menghasilkan calon-calon pemimpin
bangsa yang cerdas yang menyadari hak-haknya dan kewajibannya sebagai anggota
masyaarakat dari suatu bangsa.
Kontradiksi
antara kuantitas dan kualitas dalam Sistem Pendidikan mana pun sebenarnya tidak
dapat dihindari. Tetapi bagi Ki Hadjar Dewantara, kualitas bisa dicapai setelah
aspek kuantitas tercapai. Kelemahan kualitas akibat mendahulukan kuantitas,
sebenarnya lebih mudah diatasi dan lebih menghemat anggaran, jika sistem
pendidkan berjalan dengan benar.
Kebijakan yang bisa ditempuh untuk mengatasi
kualitas lulusan antara lain dengan cara meningkatkan kemampuan belajar secara
mandiri peserta didik, mengoptimalkan lingkungan-lingkungan pendidikan baik
formal, informal dan non formal, sebagai lingkungan belajar sepanjang hayat dan
tentu saja dengan memperbanyak perpustakaan-perpustakaan umum yang murah,
tetapi menyediakan buku-buku yang berkualitas.
Sistem
magang juga bisa diintegrasikan ke dalam sistem pendidikan yang terpadu dengan
pasar tenaga kerja untuk memperoleh tenaga yang terdidik dan berkualitas yang
memenuhi kebutuhan pasar tenaga kerja.
Dan yang
lebih penting lagi bagi Ki Hadjar Dewantara, suatu Sistem Pendidikan Nasional,
hendaknya tidak hanya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pasar tenaga kerja
saja. Tetapi tujuan yang lebih tinggi dan mulia harus bisa dicapai oleh Sistem
Pendidikan Nasional, yaitu bisa melahirkan tenaga kelas menengah yang bisa
menciptakan lapangan kerja. Kelompok klas menengah yang cerdas dan kreatif
inilah yang disebut oleh Ki Hadjar Dewantara sebagaimanusia dengan jiwa merdeka, yaitu merdeka
pikirannya, merdekan batinnya dan merdeka tangannya.
10. Gagasan Kemandirian Secara Ekonomi.
Pada alinea
ke lima Pernyataan Asas Tamansiswa, secara tersirat Ki Hadjar Dewantara
mengemukakan gagasannya tentang perlunya kemandirian secara ekonomi dalam
mengelola setiap organisasi formal maupun nonformal, pada tingkat mikro seperi
rumah tangga, perusahaan, lembaga pendidikan, partai politik, maupun organisasi
tingkat makro seperti negara. Jika organisasi-organisasi itu ingin berusaha
secara merdeka, dan tidak terikat kepada pihak lain, maka mereka harus bekerja
menurut asas-asas dan dasar-dasar kemampuan sendiri.
Seperti
kita ketahui untuk menjalankan suatu sistem pendidikan, entah itu kolonial
maupun nasional, selalu diperlukan sumber pembiayaan yang berupa dana. Hal ini
mengandung arti bahwa setiap sistem pendidikan tidak mungkin bisa dilepaskan
dari persoalan-persoalan ekonomi. Dan masalah umum persoalana ekonomi adalah
masalah defisinsi yang timbul karena setiap sumber daya ekonomi yang tersedia
selalu bersifat langka dan memiliki kegunaan yang bersifat alternatif.
Dikemukakan
oleh Ki Hadjar Dewantara, bahwa untuk dapat berusaha menurut asas yang merdeka
dan leluasa, maka kita harus bekerja menurut kekuatan kita sendiri. Walaupun
kita tidak menolak bantuan dari orang lain, akan tetapi kalau bantuan itu akan
mengurangi kemerdekaan kita lahir atau batin, harus kita tolak. Itulah jalannya
orang yang tidak mau terikat atau terperintah pada kekuasaan, karena
berkehendak mengusahakan kekuatan diri sendiri.
Prinsip
kemandirian yang diajarkan Ki Hadjar Dewantara ini sangat penting bagi
Tamansiswa, karena Sistem Pendidikan Nasional yang diciptakan Ki Hadjar
Dewantara melalui Perguruan Tamansiswa itu bertentangan secara diametral dengan
Sistem Pendidikan Kolonial. Dengan tetap menjaga kemandiriannya, Ki Hadjar
Dewantara berharap Sistem Pendidikan Nasional yang diciptakannya itu bisa
terhindar dari intervensi dan campur tangan pemerintah Hindia Belanda yang bisa
mengganggu tujuan-tujuan jangka panjang yang ingin dicapai Tamansiswa.
Namun
demikian, prinsip kemandirian sebagai upaya untuk meningkatkan efisiensi
penggunaan sumber daya ekonomi, sesungguhnya bersifat umum yang bisa diterapkan
pada setiap organisasi apa saja, baik organisasi mikro maupun makro.
Pentingnya
gagasan Kemandirian Secara Ekonomi dariKi Hadjar Dewantara sebenarnya terletak pada gagasan efisiensi
penggunaan sumber dana untuk membeayai suatu sistem pendidikanyang selalu dihadapkan pada keterbatasan
dana. Memang hanya konsep kemandirian dan efisiensi yang bisa mengatasi kendala
dana dan anggaran yang selalu terbatas itu.
Perlu
ditegaskan di sini bahwa konsep kemandirian gagasan Ki Hadjar Dewantara itu,
bukanlah konsep kemandirian yang menolak bantuan secara mutlak. Yang ditolak
secara tegas, adalah bantuan yang menyebabkan kehilangan kemandirian,
melahirkan ketergantungan dan bantuan-bantuan yang menyebabkan terjadinya
ikatan yang tidak wajar, yakni ikatan yang menyebabkan hilangnya kemerdekaan
dan kedaulatan baik sebagai individu, organisasi, maupun sebagai bangsa.
11. Gagasan Sistem Pengelolaan Anggaran
Penyelenggaraan Pendidikan Berimbang.
Alinea ke
enam dari Pernyataan Asas Tamansiswa, sebenarnya berisi gagasan Ki Hadjar
Dewantara tentang implementasi dari Prinsip Kemandirian Ekonomi pada tingkat
teknis-operasinalpelaksanaan, yang
disebutnya sebagaiZelfbedruipings
Systeem.
Inti dari
Zelfbedruipings Systeem adalah keseimbangan antara sektor penerimaan dan
pengeluaran. Dalam sistem penyusunan anggaran dikenal konsep anggaran yang
seimbang dan anggaran yang defisit. Ki Hadjar Dewantara yang terkenal memilki
sikap hemat yang tinggi, tentu memilih Zelfbedruipings System atau System
Anggaran Berimbang antara penerimaan dan pengeluaran dalam mengelola keuangan
Tamansiswa. Sistem Anggaran Berimbang banyak digunakan oleh negara-negara
modern yang sekaligus mencerminkan sikap hemat, tidak boros dan sikap cermat,
teliti dan produktip dari suatu bangsa.
Dengan
tegas dikemukakan oleh Ki Hadjar Dewantara pada aline ke enam Pernyataan Asas
Tamansiswa, bahwa karena kita akan berusaha berdasarkan kekuatan kita sendiri,
maka haruslah segala belanja dari usaha kita itu dipikul sendiri dengan uang
pendapatan biasa. “Inilah yang kita namakan Zelfbedruipings Systeem yang akan
jadi alatnya semua usaha yang hendak hidup tetap dengan berdiri sendiri.”,
demikian penegasan Ki Hadjar Dewantara dalam Pernyataan Asas Tamansiswa.
12. Gagasan Pengabdian Kepada Sang Anak.
Alinea
ketujuh Pernyataan Asas Tamansiswa, merupakan ungkapan yang mengandung nilai
luhur dan bermutu tinggi tentang darma seorang ksatria yang akan menunjukan
kualitas pengabdian yang rela dan ikhlas yang dilakukan oleh Sang Pendidik
Sejati demi kepentingan anak didik. Ki Hadjar Dewantara, menyatakan melalui
alinea ke tujuh Pernyataan Asas Tamansiswa, bahwa dengan tidak terikat lahir
atau batin, serta dengan suci hati berniatlah kita berdekatan dengan Sang Anak.
Kita tidak meminta suatu hak, akan tetapi menyerahkan diri akan berhamba kepada
Sang Anak.
Inilah
Closing Statemen dari Ki Hadjar Dewantara dalam pidato berdirinya Tamansiswa
pada tanggal 3 Juli 1922 yang menyentakkan kesadaran kolektif para
pendengarnya. Ki Hadjar Dewantara yang saat itu masih bernama Raden Mas Suwardi
Suryaningrat, tampil bagaikan Raden Narayana yang telah menjelma menjadi Sri
Kresna yang siap untuk mendidik anak-anak calon-calon putra bangsa yang
merdeka, putra para Pandawayang
dibekali dengan senjata cakra, yakini cipta, karsa dan rasa.
Tidak
keliru, bila tokoh Pendidik dan Pejuang Tamansiswa penerus Ki Hadjar
DewantaraKi Sarmidi Mangunsarkoro,
menyebut bahwa Tamansiswa sejak berdirinya merupakan suatu religi yang
mencita-citakan terbentuknya suatu masyarakat yang berdasarkan asas kekeluargaan,
yang merupakan susunan masyarakat asli bangsa Indonesia.
Ciri suatu
masyarakat yang religious adalahadanya
unsur pengabdian kepada Tuhan Yang Maha Esa.Di kalangan Tamansiswa, manifestasi dari bentuk pengabdian kepada Tuhan
Yang Maha Esa itu diwujudkan dalam aktivitas semacamritual pengabdian kepada Sang Anak, sebagai
bentuk pengabdian dan manifesetasicinta
kepada tanah air, bangsa, kemanuasiaan dan Tuhan Yang Maha Esa.Itulah sebabnya
Ki Hadjar Dewantara memandang mendidik adalah kegiatan yang suci dan mulia yang
merupakan darma daripara Ksatria
Sejati.
Di tinjau
dari sudut ajaran Islam, kegiatan mendidik memang merupakan amalan yang mulia
yang bernilai sebagai amal jariyah. Yakni amalan yang pahalanya akan terus
mengalir kepada seseorang muslim, sekalipun dia sudah berada di seberang maqom,
meninggalkan dunia yang fana ini.
Kata niat
yang diucapkan Ki Hadjar Dewantara dalam kalimat,” ….dengan suci hati
berniatlah kita…..”sejalandengan Sabda Nabi Muhammad saw dalam
hadistnya,“Innamal a’malu bin niat”. Yang artinya segala sesuatu dengan niat.
Dan seseorang akan memperoleh ganjaran dan pahala dari apa yang diniatkannya
tersebut.
Demikianlah
Pidato Ki Hadjar Dewantara pada pembukaan berdirnya Tamansiswa tanggal 3 Juli
1922 M yang pokok-pokok pikiran dan gagasan besarnya diabadikan menjadi
Pernyataan Asas Tamansiswa tahun 1922, yang merupakan pedoman, acuan, sumber
hukum dan stategi dasar perjuangan dari Tamansiswa yang secara institusi
setelah Indonesia Merdeka kemudin menamakan dirinya sebagai Badan Perjuangan
Kebudayaan dan Pembangunan Masyarakat.
Tahun 1922
sebagai tahunberdirinya Tamansiswa itu
diabadikan oleh Ki Hadjar Dewantara dengan semboyan candra sangkala ,”Lawan
Sastra Ngesti Mulya”, yang bermakna dengan pendidikan mencapai kemuliaan dan
kebahagiaan, setara dengan tahun Jawa 1852 Saka.
Dirgayahu
94 tahun Tamansiswa. [ Bandung, 03-07-2016]
Keterangan Gambar: Ki Suryo Adi Putro, mengajar murir-murid Taman Muda Tamansiswa Bandung (1925
-1929), di Cikakak -Bandung. Ketua Majelis Cabang Bung Karno.
Tamansiswa Bandung berdiri pada tanggal 7-7-1925. Lihat Buku 30 Tahun
Tamansiswa.Sumber Gambar;Wikipedia
2.Berdirinya Perguruan Tamansiswa.
Ki Hadjar Dewantara termasuk pejuang dan tokoh
pergerakan yang paling vokal melancarkan krtitik tajam terhadap sistem
pendidikan yang diciptakan Pemerintah Hindia Belanda yang disebutnya sebagai
Sistem Pendidikan Kolonial.
Istilah Sistem Pendidikan Kolonial, baru muncul
menjadi suatu antitese yang tajam setelah Ki Hadjar Dewantara mendirikan
Perguruan Nasional Tamansiswa. Antitese Sistem Pendidikan Kolonial adalah
Sistem Pendidikan Kebanggsaan atau Sistem Pendidikan Nasional yang ingin
diwujudkan Ki Hadjar Dewantara melalui Perguruan Tamansiswa.
Sekalipun para pendiri Perguruan Tamansiswa adalah
para ksatria Jawa, tetapi Ki Hadjar Dewantara menghindari gagasan nasionalisme
Jawayang dianut Budi Utomo, atau pun
nasionalisme Islam yang dianut Serikat Islam. Suwardi juga menghindari
nasionalisme baratseperti yang digagas
oleh Cipto Mangunkusumo.
Nasionalisme yang dianut Tamansiswa adalah
nasionalisme Hindia, sebagaimana yang telah digagas oleh Douwes Dekker dengan
IP nya maupun nasionalisme NIP-SH. Hanya bedanya NIP-SH bergerak dalam ranah
politik. Tamansiswa bergerak dalam ranah pendidikan dan kebudayaan.
Namun demikian sungguh keliru jika ada yang menganggap
corak nasionalisme Ki Hadjar Dewantara itu anti barat, apa lagi anti Islam.
Corak nasionalisme Ki Hadjar Dewantara mencakup aspek yang luas yang bersifat
humanis, religius, dan universal. Bukan nasionalisme yang chauvinistik dan
sempit.
Ki Hadjar Dewantaramenamakan intitusi yang didirikannya sebagai National Instituut Ondewijs
Tamansiswa. Secara harfiah berarti: Lembaga Pengajaran Nasional Tamansiswa.
Tetapi kata onderwijs sering diterjemahkan menjadi pendidikan, sehingga nama
lembaga pendidikan yang didirikan Ki Hadjar Dewantara itu sering diterjemahkan
sebagai: Perguruan Nasional Tamansiswa.
Pencantuman kata nasional, menjadikan Tamansiswa
sebagai institusi pendidikan yang radikalsekaligus juga reformis di bidang pendidikan dan kebudayaan. Dengan
mencantumkan kata nasional, Ki Hadjar Dewantara telah menciptakan institusi
pendidikan yang menantang institusi pendidikan yang bersifat kolonial yang
diciptakan pemerintah Hindia Belanda.
Maka dalam masyarakat Hindia Belanda muncul dua sistem
pendidikan yang bertentangan secara diametral, yakni Sistem Pendidikan Nasional
yang diciptakan Ki Hadjar Dewantara melalui Tamansiswa dan Sistem Pendidikan
Kolonial yang diciptakan pemerintah Hindia Belanda. Melalui Sistem Pendidikan
Kolonial didirikanlah sekolah-sekolah model barat hasil Kebijakan Politik Etis
yang bertujuan memperkuat kepentingan kolonialisme Hindia Belanda. Jika Sistem
Pendidikan Kolonial ditujukan untuk melestarikan kepentingan kolonial di tanah
jajahan, maka Sistem Pendidikan Nasional Tamansiswa ditujukan untuk
memperjuangkan kepentingan Nasional Pribumi yang terjajah.
Ki Hadjar Dewantara melalui Perguruan Tamanasiswa
melakukan langkah-langkah pembaharuan yang lebih mendalam dan tidak sekedar
mengambil alih kurikulum sekolah-sekolah Belanda sebagai suatu cetak biru yang
tidak boleh diganggu gugat. Ki Hadjar Dewantara menciptakan suatu sistem
pendidikan yanginovatif mulai dari
kurikulum, strategi pembelajaran, pendekatan kepemimpinan, proses belajar
mengajar, sistem organisasi pengelolaan, bahan ajar, landasan dan asasperjuangan sampai tujuan pendidikan yang
hendak dicapai, baik tujuan jangka pendek maupun tujuan jangka panjang. Tujuan
yang bersifat kelembagaan, mapun tujuan pendidkan yang bersifat ideologis
filosofis.
Tujuan kelembagaan, strategi dasar, dan landasan
perjuangan yang diperlukan untuk mewujudkan suatu Sistem Pendidikan Nasional,
diungkapkan oleh Ki Hadjar Dewantara dalam pidato pembukkan Tamansiswa pada
tanggal 3 Juli 1922. Isi pidato itukemudian dirumuskan dalam suatu dokumen yang dikenal dengan Pernyataan
Asas atau Beginsel Verklaring yang terdiri dari tujuh alinea yang masing-masing
alinea itu berisi asas-asas atau dasar-dasar dan strategi perjuangan untuk mewujudkan
Sistem Pendidikan Nasional .
.Secara garis besar Beginsel Verklaring yang kemudian
dikenal sebagai Pernyataan Asas Tamansiswa 1922,berisi asas perjuangan, pokok-pokok pikiran,
gagasan, konsep dasardan pandangan Ki
Hadjar Dewantara di tengah-tengah masyarakatnya.
Melaui Pernyataan Asas itu, Ki Hadjar Dewantara
memandang pendidikan adalah suatu medan perjuangan maha penting yang bukan
hanya perlu untuk memperbaiki kondisi-kondisi masyarakat yang terjajah yang
jauh dari kondisi-kondisi masyarakat yang ideal, tetapi pendidikan juga penting
sebagai alat, sarana dan strategi untuk mewujudkan masyarakat ideal yang
dicita-citakannya.
Dengan Pernyataan Asas itu, Ki Hadjar Dewantara
memandang pengertian pendidikan bukan dalam arti yang sempit. Tetapi pendidikan
diletakkan dalam pandangan yang luas sebagai suatu sistem yang berkaitan dengan
seluruh aspek kehidupan manusia yang luas yakni aspek kebudayaan dari suatu
bangsa yang beradab.
Pernyataan Asas Tamansiswa1922, di samping sebagai suatu antitese
terhadap Sistem Pendidikan Kolonial, juga berisi kritik-kritik yang tajamterhadap praktek-praktek dari Sistem
Pendidikan Kolonial. Yaitu suatu Sistem Pendidikan yang tidak memihak kepada
kepentingan Pribumi sebagai rakyat yang terjajah dan tertindas. Isi dari
Beginsel Verklaring Tamansiswa 1922 M yang telah diterjemahkan kedalam Bahasa
Indonesia terdiri dari tujuh buah alinea sbb:
1.Hak seseorang
akan mengatur dirinya sendiri (zelfbeschikkingsrecht) dengan mengingat tertib
damainya persatuan dalam perikehidupan umum (maatschappelijke saamhoorigheid)
itulah asas kita yang pertama. Tertib dan Damai (Orde en Vrede) itulah tujuan
kita yang setinggi-tingginya. Tidak ada ketertiban terdapat kalau tidak
bersandar pada perdamaian. Sebaliknya tak akan ada orang hidup damai, jika ia
dirintangi dalam segala syarat kehidupannya. Bertumbuh menurut kodrat
(natuurlijke groei) itulah perlu sekali untuk segala kemajuan (evolutie) dan
harus dimerdekakan seluas-luasnya. Karena itu pendidikan yang beralaskan syarat
“paksaan-hukuman-ketertiban” (regering-tuch en orde) itulah kita anggap
memperkosa hidup kebatinan anak. Yang kita pakai sebagai alat pendidikan yaitu
pemeliharaan dengan sebesar perhatian untuk mendapat tumbuhnya hidup anak,
lahir dan batin menurut kodratnya sendiri. Itulah yang kita namakan “Among
methode”
2.Dalam sistem
ini, maka pelajaran berarti mendidik anak-anak akan menjadi manusia yang
merdeka batinnya, merdeka fikirannya dan merdeka tenaganya. Guru jangan hanya
memberi pengetahuan yang baik dan perlu saja, akan tetapi harus juga mendidik
si murid mencari sendiri pengetahuan itu dan memakainya guna amal keperluan
umum. Pengetahuan yang baik dan perlu yaitu yang bermanfaat untuk keperluan
lahir dan batin dalam hidup bersama(sociaal belang).
3.Tentang zaman
yang akan datang, maka rakyat kita ada di dalam kebingungan. Sering kali kita
tertipu oleh keadaan, yang kita pandang perlu dan laras untuk hidup kita,
padahal itu adalah keperluan bangsa asing yang sukar didapatnya dengan alat
penghidupan kita sendiri. Demikianlah kita acap kali merusak sendiri kedamaian
hidup kita. Lagi pula kita sering juga mementingkan pengajaran yang hanya
menuju terlepasnya fikiran (intelektualisme), padahal pengajaran itu membawa
kita kepada gelombang kehidupan yang tidak merdeka (economishch afhankelijk)
dan memisahkan orang- orangterpelajar
dengan rakyatnya. Di dalam jaman kebingungan ini seharusnya keadaban kita
sendiri (cuultuurhistorie) kita pakai sebagai petunjuk jalan untuk mencari
penghidupan baru, yang selaras dengan kodrat kita dan akan memberikan kedamaian
dalam hidup kita. Dengan keadaban bangsa kita sendiri kita lalu pantas
berhubungan bersama-sama dengan keadaban bangsa asing.
4.Oleh karena pengajaran yang hanya didapat oleh
sebagian kecil dari rakyat kita itu tidak berfaedah untuk bangsa, maka haruslah
golongan rakyat yang terbesar dapat pengajaran secukupnya. Kekuatan bangsa dan
negara itu adalah jumlahnya kekuatan orang-orangnya. Maka dari itu lebih baik
memajukan pengajaran untuk rakyat umum dari pada meninggikan pengajaran, kalau
usaha meninggikan ini seolah-olah mengurangi tersebarnya pengajaran.
5.Untuk berusaha
menurut asas yang merdeka dan leluasa, maka kita harus bekerja menurut kekuatan
kita sendiri. Walaupun kita tidak menolak bantuan dari orang lain, akan tetapi
kalau bantuan itu akan mengurangi kemerdekaan kita lahir atau batin, haruslah
ditolak. Itulah jalannya orang yang tidak mau terikat atau terperintah pada
kekuasaan, karena berkehendak mengusahakan kekuatan diri sendiri.
6.Oleh karena kita
bersandar pada kekuatan kita sendiri, maka haruslah segala belanja dari segala
usaha kita itu dipikul sendiri dengan uang pendapatan biasa. Inilah yang kita
namakan,”zelfbedruipings systeem”, yang jadi alatnya semua usaha yang hendak
hidup tetap dengan berdiri sendiri.
7.Dengan tidak
terikat lahir dan batin, serta dengan suci hati, berniatlah kita berdekatan
dengan Sang Anak. Kita tidak meminta suatu hak, akan tetapi menyerahkan diri akan
berhamba kepada Sang Anak.
Pernyataan Asas Tamansiswa 1922 yang aslinya
ditulis dalam Bahasa Belanda dan merupakan intisari dari gagasan Ki Hadjar
Dewantara yang disampaikan sebagai pidato pada hari pembukaan berdirinya
Tamansiswa pada tanggal 3 Juli 1922 M itu, jelas merupakan asset kerochanian
yang luar biasa yang mengandung gagasan-gagasan besar yang segera bergaung di
seluruh penjuru Nusantara[bersambung]