Entri yang Diunggulkan

Kahyangan Suralaya, Tempat Tinggal Para Dewa

Legenda adalah kisah tentang orang, kejadian, atau peristiwa yang dibuat berdasarkan fantasi dengan maksud untuk menimbulkan kekaguman...

Rabu, 26 Desember 2018

Profil Alumni SMA Tamanssiswa Bandung : H.Dadang Zaenal BR,SH

Pengusaha Sukses dari Cimaragas, Karangsari, Wanareja, Garut



Penampilannya sederhana, memakai kopiyah hitam,  atasan baju koko abu-abu dengan motif bunga, celana panjang hitam, sandal hitam, jari manisnya dihiasi cincin emas dengan batu permata jade warna coklat tua. Hari itu, adalah hari Ahad siang, 23 Desember 2018 yang membahagiakan dirinya, dan membuatnya terharu. Di vilanya yang indah dan antik yang dibangun di atas kolam ikan seluas 7000 meter persegi itu, berkumpul Ikatan Lintas Alumni Tamansiswa Bandung, wabil khusus alumni SMA Tamansiswa tahun 1983. Mereka hadir di kampung H. Dadang Zaenal BR, SH untuk bersilaturahmi, rekreasi, kangen-kangenan, dan melepas rindu, sambil memanfaat libur panjang empat hari pada minggu ke-3 bulan Desember 2018.  Jumlah yang hadir lumayang banyak, lebih dari 50 orang.

Tuan rumah mengerahkan segala daya dan kemampuannya agar acara itu berjalan sukses. Di halaman villanya, didirikan tenda, spanduk penyambutan, sound sistem. Di teras villanya disediakan aneka macam hidangan santap siang, peralatan memancing lengkap dengan umpannya. Bahkan seekor kambing telah dipotong. Juga dikerahkan kerabat dan keluarga tuan rumah demi lancarnya acara.  Sepuluh alumni Tamansiswa sahabatnya, ada yang datang hari sebelumnya sehingga bisa bermalam, dan esoknya bisa mancing ikan bawal lebih dulu. H.Dadang Zaenal, di dampingi istri tercintanya menyambut tamunya dengan senyum ramah mengembang. 


Acara rekreasi dan silaturahmi ikatan Alumni Tamansiswa yang dimotori H. Dadang Zaenal, SH, dan Alumni Angkatan 1983, berjalan meriah, menyenangkan, mampu membangkitkan kembali emosi penuh kenangan indah masa-masa sekolah di SMA Tamansiswa Bandung. Unang Rosadi, Budi Mulyadi, Ki Anwar Hadja, dan Ki Turiman, ikut menyemarakkan acara rekrasi bersama dan silaturahmi dengan memberikan sambutan. Tampak hadir dalam tenda alumni Tamansiswa, antara lain Robby dan adiknya Sherly, Dadang Suhendar, Eggy, Agus, Irwan, Wawan, Yaman, Ati,  Nia, dan lainnya lagi. Selesai acara sambutan, dilanjutkan dengan foto, door prize, dan makan siang bersama dengan aneka macam hidangan luar biasa. Ada ikan mas goreng, sate, pepes ayam, rendang jengkol, rendang daging, lalaban, sambel,  bakso, buah-buahan dan lainnya lagi.

Sambil duduk lesehan menikmati hidangan makan siang, di villa yang dibangun di atas kolam yang luas itu, para alumni berbincang ke sana kemari, sambil memandang panorama indah di hadapannya. Kenangan masa 35 tahun lalu, keakraraban, solidaritas, dan rasa kekeluargaan  pun dibangun kembali dan dilestarikan. Banyak dari para alumni itu yang sudah punya cucu. Alangkah cepatnya waktu berlalu. Berbahagialah yang telah memanfaatkannya dengan baik untuk meningkatkan iman, takwa, amal soleh, dan saling ingat mngingatkan dalam kebenaran, dan kesabaran, sebagaimana firman Allah swt dalam Q.S  Wal ‘Ashri, Surat ke-103.

Di balik penampilan Haji Dadang Zaenal yang sederhana, sesungguhnya tersembunyi deretan prestasi luar biasa. Dia adalah alumni SMA Tamansiswa angkatan 1983. Kini pada 2018, usianya sudah menginjak 55 tahun, dikarunia seorang istri yang solehah, dua orang putra dan seorang putri.  Dia merasa bangga  karena sebagai jebolan SMA Tamansiswa, mampu meraih prestasi yang membanggakan. Tentu saja, prestasi yang diraihnya itu tidak datang dengan tiba-tiba. Semua keberhasilannya diraihnya  berkat kerja keras, ulet, pantang menyerah, dan tidak pernah meninggalkan iman, islam,  takwa, dan amal soleh. 


H.Dadang Zaenal, mengendalikan sebuah perusahaan yang diberi nama Bintang Rejeki, dibantu   sejumlah karyawan yang digajinya dengan baik. Bisnis intinya adalah pemasok  aneka macam sayuran di Pasar Induk Cibitung, Bekasi. Tiap hari dia mampu mendatangkan berton-ton sayuran, antara lain kentang dari Dieng, Wonosobo, cabe dari Pangalengan, bawang dari Brebes, dan barang dagangan  dari  daerah sentra penghasilan sayuran lainnya. Untuk lebih mengenalkan dan  membranding nama perusahannya, dia tidak segan-segan menambahkan initial BR, di belakang namanya. Maka dikampungnya, Cimaragas, Karangsari, Wanareja,Garut, dia dikenal dengan panggilan kesayangan  Haji Dadang BR. Dijelaskannya  bahwa BR singkatan dari Bintang Rejeki, nama perusahaan yang didirikannya di Bekasi itu.

Ketika ditanya, bagaimana memulai karir bisnisnya dia mengaku terus terang, mulai menggeluti bisnisnya dengan jualan sayuran di Pasar Ancol yang sudah dilakoninya sejak masih duduk jadi siswa SMA Tamansiswa. “Sambil sekolah, berjualan sayuran di Pasar Ancol, Bandung,” katanya membuka rahasia  masa lalunya. 

Pasar Ancol memang tidak jauh dari Sekolah Tamansiswa Bandung, dan Universitas Langlangbuana. Dia mengaku jika jualan pas hari minggu atau hari libur, sering ketemu salah satu gurunya yang sering belanja sayuran di Pasar Ancol. Ada juga teman-teman sekelasnya, sambil menyebut beberapa teman-teman wanita satu kelas yang masih diingatnya dengan baik. Karena malu, kadang-kadang dia harus sembunyi supaya tidak diketahui gurunya dan teman-temannya. Tetapi rasa malunya, berhasil dilawannya, karena cita-citanya yang tinggi yang ingin diraihnya untuk dipersembahkan kepada kedua orang tuanya di kampung halamannya. Cita-citanya ialah ingin meraih gelar sarjana ekonomi. 

Konon, dulu ayahnya pernah berpesan,”Silahkan, Dang, jika kamu ingin bersekolah di Bandung. Tapi jangan harap Bapak akan datang ke sekolah kamu. Bapak baru akan mau datang ke sekolah kamu, jika kamu sudah berhasil  menyandang gelar sarjana ekonomi!” pesan ayahnya. Dadang enam bersaudara,  nomor empat dalam keluarganya. Tiga kakaknya perempuan, satu adiknya laki-laki, dan adiknya yang paling bungsu perempuan. Kakeknya KH.Mansyur, adalah ulama terkenal di Kampung Cimaragas, Karangsari, Wanareja. Semuanya  kakak-kakaknya,  tidak ada yang masuk sekolah umum. Sebagian besar masuk sekolah agama. Demikian pula kebanyakan teman-teman di kampungnya.

Akhirnya, salah seorang saudara ayahnya, membawa Dadang kecil yang baru duduk klas IV SD ke Bandung, dan memasukkan ke SD Islam Yapinu. Dua tahun kemudian tamat SD, dan gurunya menyalurkan Dadang masuk SMP Tamansiswa. SD Islam Yapinu, tidak jauh dari Kampus Tamansiswa.  Tamat SMP Tamansiswa, Dadang langsung melanjutkan ke SMA Tamansiswa, karena merasa betah dengan sistem pendidikan yang ditawarkan Tamansiswa. Apa lagi SMA Tamansiswa Bandung saat itu merupakan salah satu sekolah favorit di Bandung. Tiap tahun ajaran baru, menolak calon siswa baru yang terlambat mendaftar, karena daya tampung yang ada cepat penuh. Rata-rata tiap tahun ajaran baru mampu menerima sekitar 500 siswa baru atau sekitar 11 kelas. 

Berhubung cita-cita Dadang  ingin jadi sarjana ekonomi, Dadang memilih jurusan IPS. Walaupun sekolah sambil belajar jualan sayur di  Pasar Ancol, Dadang, termasuk anak yang rajin, dan cakap membagi waktu antara sekolah, ibadah, dan jualan. Guru-gurunya mengenalnya bukan sebagai anak yang nakal. Kalau toh ada kenakalan, adalah kenakalan kreatif khas remaja SMA jaman itu.  Dadang mengakui salah satu kenakalannya yang sifatnya kreatip, dilakukan setiap ada acara pembagian raport dan kenaikan kelas.

“Yah, terpaksa harus sering  bohong kepada Wali Klas setiap ada acara pembagian rapot dan kenaikan klas,” katanya sambil tersenyum mencoba mengingat masa-masa indah jadi siswa SMA Tamansiswa. “ Peraturannya saat itu rapot harus diambil oleh orang tua atau wali. Tetapi karena tidak mungkin orang tua yang jauh  di kampung bisa datang ke Bandung, maka dicarilah akal. Bukan ayah atau ibu yang menambil rapot, tetapi tetangga yang bisa  dimintai tolong untuk mengambil raport dengan mengaku sebagai wali atau orang tua.” 

“Oh, masih ada lagi,” katanya pula. ”Uang SPP bulanan tidak dibayar setiap bulan sebagaimana ketentuan yang berlaku. Tetapi dibayarkan setiap empat bulan sekali.”

Kenapa tidak dibayarkan? Bukan karena Dadang tidak punya uang untuk bayar SPP. Tapi uang untuk bayar SPP dipinjamnya dulu untuk tambahan modal jual beli sayuran di Pasar Ancol. Bahkan setelah tamat SMA Tamansiswa, dan dinyatakan lulus untuk masuk Fakultas Ekonomi, masih pinjam fotokopi  STTB SMA IPS.  Dia pun mengaku bersyukur karena saat itu kepala sekolahnya memberikan rekomendasi, sehingga dengan bekal fotokopi STTB SMA IPS yang telah dilegalisir, Dadang berhasil diterima di Fakultas Ekonomi Universitas Langlangbuana. STTB SMA Tamansiswa Dadang baru diambil berapa waktu kemudian. Adapun letak Kampus Universitas Langlangbuana,  persis berhadap-hadapan dengan Pasar Ancol, hanya terpisah dengan jalan Karapitan, jembatan, dan trotoar tempat Dadang remaja, berjualan sayur sambil sekolah. 

Salah satu sahabatnya di Tamansiswa sejak SMP-SMA Tamansiswa, Hermansyah,  juga masuk Unversitas Langlangbuana dengan mengambil jurusan Ilmu Sosial Politik. Tapi Dadang, gagal menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Ekonomi, karena ternyata dia lebih tertarik belajar Ilmu Hukum. Dia pun pindah ke Fakultas Hukum Universitas Islam Nusantara. Akhirnya Dadang  berhasil meraih gelar Sarjana Hukum.

“Pada saat acara wisuda itulah kedua orang tua di kampung, baru mau hadir ke Bandung,” tuturnya.
Walaupun cita-cita ayahnya agar Dadang jadi sarjana ekonomi tidak tercapai, tetapi Dadang mengobati kekecewaan ayahnya, dengan membawa adiknya, Dedeng, masuk SMA Tamansiswa. Setelah lulus dari SMA Tamansiswa, adiknya melanjutkan ke Fakiltas Ekonomi jurusan Akuntasi Universitas Islam Nusantara. Adiknya berhasil meraih gelas Sarjana Ekonomi yang dicita-citakan ayahnya. Kini adiknya sukses  dalam bisnis perbangkan dengan memulai karirnya  sebagai karyawan BRI. 

Sementara itu, Dadang yang telah menyandang gelar Sarjana Hukum, melamar kerja di Pemda Bekasi, dan diterima sebagai PNS. Tentu saja, Ayahnya bangga sekali. Saat itu pandangan orang dikampungnya, jabatan PNS merupakan kebanggaan semua orang. Dengan menyandang status PNS,  punya pekerjaan, dan jadi pegawai dengan pakaian seragam, lengkap sudahlah status terhormat yang dimiliknya. Sekarang  apa lagi yang masih kurang  dengan status terhormatnya? Tentu saja cari istri. Istrinya pun tidak jauh-jauh dicarinya, yaitu gadis satu kampung, masih saudara dekat, dan lulusan pondok pesantren. 

Selesai resepsi pernikahan,  istrinya langsung diboyong ke Bekasi. Padahal sebagai PNS, Dadang belum punya fasilitas rumah dan kendaraan dinas. Rumah pun masih mengontrak. Walaupun demikian jadi PNS dengan  gajih  kecil, tetap dilakoni Dadang dan istrinya dengan sabar.  Sampai suatu ketika istrinya mengeluh, “Kapan kita akan punya rumah sendiri? Bagaimana kalau anggota keluarga terus bertambah, tetapi rumah masih juga mengontrak?”

Dadang seperti tersentak. Penghasilannya sebagai PNS tidak akan pernah cukup untuk membeayai kebutuhan rumah tangganya yang dari hari ke hari, dan dari bulan ke bulan terus tambah membengkak. Sebagai PNS Dadang  merasa sudah berhemat. Msalnya, Dadang memillih tidak merokok supaya ada jatah uang  transpor ke kantor pulang pergi pakai kendaraan umum. Tapi jika ingin merokok, dia terpaksa jalan kaki dari kantor sampai ke rumah agar supaya jatah uang belanja untuk istrinya tidak terganggu. 

Sering kali, sampai di rumah baju PNS Dadang sudah  basah oleh keringat. Tetapi Dadang puas, karena bisa merokok. Istrinya sering tidak tega melihat Dadang pulang dari kantor jalan kaki, hanya agar bisa merokok. Terpaksa kadang-kadang istrinya menyisihkan sebagian uang belanjanya yang sudah terbatas, untuk membelikan rokok buat suaminya.

Akhirnya akal Dadang mulai berputar. Jika dirinya tetap jadi PNS, pikirnya, peluang untuk jadi kaya sangat terbatas. Banyak PNS tergoda korupsi sebagai jalan untuk menambah penghasilan. Ujung-ujungnya akan menyeret si pelaku ke balik jeruji besi. Lingkungan pesantren yang diakrabinya di kampung halamannya, dan pesan-pesan istrinya agar jangan memberi makan rumah tangganya dengan rejeki yang tidak halal, membuat Dadang akhirnya mengambil keputusan. Yaitu nekad keluar dari PNS Pemda Bekasi yang telah diraihnya dengan susah payah. 

Pengalamannya sebagai penjual sayur di Pasar Ancol Bandung, kembali diingatnya. Bisa jadi, Dadang saat itu ingat kisah Abdurahman bin Auf, sahabat Nabi yang datang ke Madinah ikut hijrah Nabi saw, tanpa sepeser uang pun. Begitu tiba, Abdurahman bin Auf langsung bertanya kepada sahabat Ansor, “Dimana letak pasar? Tunjukkan tempatnya!” Setelah tahu letak pasar Madinah, paginya Abdurahman bin Auf langsung mengayunkan langkahnya ke pasar, membantu menjualkan barang dagangan para  pedangan pasar Madinah yang memerlukan jasanya. Dalam waktu singkat Abdurahman bin Auf menjadi sahabat Nabi saw paling kaya dengan cara berdagang di Pasar Madinah.

Seperti Abdurahman bin Auf, setelah minta ijin keluar dari PNS kepada istrinya, Dadang pun langsung mendatangi pasar induk Cibitung, Bekasi. Dia kembali menekuni jualan sayur. Bedanya, waktu masih siswa SMA jualan sayur di trotoar pasar Ancol dengan konsumen yang terbatas dan omset penjualan   kecil. Di Pasar Induk Cibitung, Dadang berhasil menjual  sayuran kepada para pedagang menengah dan  pengecer, dengan omset puluhan ton. Dia mengaku penghasilan bersihnya dari jualan sayur di Pasar Induk Cibitung Bekasi, paling sedikit Rp 2 juta semalam alias Rp 60 juta per bulan. Mana ada PNS dengan gaji Rp60 juta/ bulan? 

Pernah suatu ketika  Dadang ingin beli mobil yang harganya Rp400 juta. Dia pun berdoa kepada Allah swt. Anehnya, Allah swt mengabulkan doanya dengan memberinya rejeki yang tak disangka-sangka. Rejeki itu datang dengan tiba-tiba saja. Dadang tiba-tiba memborong cabe puluhan ton dengan harga  beli di pasar petani Rp4.000 per/kg. Begitu harga cabai dibayar lunas, paginya harga cabai sudah naik jadi Rp19.000,-/ kg. Ketika harga semakin menggila, dia pun malah semakin untung, karena cabe di pasar cepat terserap, padahal harga terus naik. Saat harga cabe stabil, dan mulai turun, kurang dari satu bulan mobil seharga Rp400 juta, sudah parkir di garasi rumahnya. Dia berhasil membeli mobil yang diinginkannya dengan pertolongan dari Allah swt. 

Orang-orang sesama pedagang di Pasar Induk Cibitung, banyak yang heran dengan naluri  bisnis Dadang. Akhirnya Dadang sering mewakili para pedagang bila ada urusan dengan Bupati. Bahkan dia pun didaulat sebagai Ketua Asoaiasi Pedagang Asal Garut. Dengan bekal ijasah SH yang disandangnya, memang memudahkan Dadang melakukan advokasi dan membela kepentingan para pedagang terhadap penguasa. Ladang bisnisnya pun terus berkembang, antara lain membuka rumah kontrakan, bisnis distribusor sarung, busana muslim, dan alat-alat keperluan ibadah lainnya.  Dia mengaku tidak banyak mendapat warisan dari orang tuanya di kampungnya. Maklum enam bersaudara. Tapi sekarang, sawahnya tersebar di kampung halamannya, dan tidak pernah pergi ke pasar untuk beli beras, karena beras dari kampungnya selalu mengalir ke Bekasi. Dia juga memelihara kambing yang  dititipkan pada saudaranya. Tapi cita-citanya untuk beternak sapi belum tercapai. Karena di samping sulit lahan, juga sulit cari orang yang bisa diandalkan memelihara sapi.
Ketika ditanya apa cita-citanya yang belum tercapai, setelah kebutuhan pokoknya terpenuhi, dan hartanya melimpah? “Ingin masuk surga beserta istri dan anak-anaknya kelak di yaumil akhir,” jawabnya tangkas. 

“Untuk bisa masuk surga, orang juga harus tahu ilmunya,” katanya. “llmunya ialah beriman, beramal shaleh, mendirikan shalat, melaksanakan zakat, infak, shodaqoh, menyantuni anak yatim dan kaum dhuafa, serta berbuat  amalan lainnya yang dapat memperbanyak bekal amal ibadah di akhirat kelak.”
Di kampungnya, dibangumnnya pula pesantren yang diberi nama Al Mansyuriah, dan dibiayainya semua kegiatan pesantren. Tiap hari raya Qurban, paling tidak Dadang  berkurban satu ekor sapi khusus untuk   kampung halamannya. Pada Iedul Qurban Tahun tahun 1439 H lalu, Dadang meningkatkannya nilai qurban jadi dua ekor sapi dengan harga total Rp.66 juta,-  Dagingnya  langsung dibagikan merata kepada penduduk di kampung halamannya. 

Dadang juga berhasil membeli kolam ikan pemancingan  yang luas dan  diisinya antara lain dengan  ikan bawal. Kolam pemancingan itu tidak dibisniskan untuk dijual hasilnya atau dijadkan kolam pemancingan komersial. Tiap tahun kolam ikannya dibedah, dan diundangnya penduduk kampung untuk mengambilnya sendiri ikan dalam kolamnya sampai semuanya kebagian secara merata.  Padahal kolam seluas 7000 meter persegi itu dibeli pada tahun 2004 dengan harga Rp400 Juta.

“Kolam ini aneh,” katanya sambil menunjuk kolam pemancingan dengan dinding pembatas dari batu dan  beton yang di tata rapi, “Sumber air kolam berasal dari sebuah mata air di tengah kolam yang tidak pernah kering. Dasar kolam di bawah permukaan air  di sekitar  vila sekitar 3 meter, sedangkan lainnya 2 meter.” 

Sejumlah pohon nyiur tampak berdiri agak jauh dari pinggirnya, dan mampu memberikan kesejukan  dan melindungi sebagian kolam dari sengatan matahari langsung pada siang hari. Karena airnya jernih, banyak anak-anak kampung yang  memanfaatknya untuk belajar renang, tanpa harus menggangu ikan yang ada di dalamnya. Di sebelah kolam Dadang, saudaranya yang mantan lurah, ikut membangun kolam ikan, dengan memanfaatkan sumber air di kolamnya yang mengalir keluar menuju tempat  lebih rendah, sampai air itu masuk saluran air dan membawanya ke sungai dan sawah terdekat. 

Ketika diajukan prtanyaan, “ Apakah  Dadang pernah tergoda untuk cari istri lagi?” Dia hanya tersenyum sehingga bibir dengan kumis tipisnya mengembang, dan keluar jawabannya.

“Malah istri yang menawari untuk menikah lagi. Hanya dengan syarat, cara shalat dirinya  harus sudah mengikuti cara shalat Kanjeng Nabi saw. Demikian pula dzikirnya, amal ibadahnya, dan amal shaleh lainnya,” tutur Dadang.

“Silahkan jika Aa mau menikah lagi, asal syarat-syarat tadi dipenuhi dulu,” kata Dadang menirukan tantangan istrinya kepadanya. 

Dadang mengaku, pikiran untuk menikah lagi langsung dibuangnya jauh-jauh, ketika  ingat setiap tengah malam pulang dari pasar induk, selalu dijumpainya istrinya yang telah memberinya tiga orang anak itu, bersimpuh di atas sajadah,  khusuk berdoa dalam salat tahajut yang tak pernah dilewatinya tiap malam, jika sedang tidak berhalangan. Dadang merasa istrinya adalah wanita solehah yang telah dipilihkan Allah swt kepadanya, sehingga tidak boleh disakitinya. 

“Lebih baik, punya istri satu, membesarkan dan mendidik tiga anak-anak agar menjadi anak yang soleh dan salehah, dari pada punya istri baru dan rumah tangga baru, tapi tiap saat bisa berantem, yang  bisa-bisa malah menganggu konsntrasi, karir bisnis, dan ibadahnya,” kata Dadang  pula. Sebuah jawaban yang bijak dan cerdas, tentu saja. 

Tiga anak Dadang  masuk sekolah Al Mukminun Boarding School di Bekasi. Yang bungsu masih SMP, punya bakat sepak bola, cita-citanya mau jadi pemain bola profesional. Rencana tamat SMP, ingin masuk SMA Ragunan, Sekolah Khusus Atlit Berbakat. Melaui HP, ditunjukkannya, foto Si Bungsu sedang bermain bola melawan kesebalasan anak-anak Perancis yang tinggal di Jakarta, karena ikut orang tua yang bekerja di Kedutaan Perancis. Tampak anaknya  sedang berdiri di tengah lapangan dengan kostum warna hitam, dengan nomor punggung nomor enam. Di atas nomor, tertulis dengan huruf merah tua, SAKTI, yaitu nama Si Bungus Kesayangan yang bercita-cita jadi pemain bola profesional.

Kemudian diajukan lagi pertanyaan kepadanya, “Benda miliknya apakah yang paling  disayangi?”
Dadang pelan-pelan mengangkat tangan kirinya, dan menunjukkan cincin emas bermata batu jade warna coklat yang menghiasi jari manisnya. “Cincin ini warisan dari Kakek. Nilainya tidak terhingga, karena tidak ada yang jual. Kalau mobil, dengan mudah bisa dibeli, karena ada yang jual,” katanya. Tentu bagi Dadang, cincin warisan kakeknya itu, adalah simbol kasih sayang kakek dan ayahnya, yang dicintainya, dan yang sedikit banyak telah menjadi sumber motivasi dalam miniti karir meraih keberhasilan dan kebaikan hidup, baik di dunia maupun di akhirat kelak. 

“Saat-saat apa yang sekarang ini dirasakan sebagai sesuatu yang paling membahagiakan dirinya?”
“Betemu teman waktu sekoah di SMA Tamansiswa seperti sekarang ini,” jawabnya sambil tertawa. Dia pun beceritera Hermansyah adalah salah satu  sahabat karibnya, karena  sejak jadi siswa SMP dan SMA Tamansiswa, kemana-mana bareng, masuk Universitas Langlangbuana juga bareng, walaupun akhirnya berpisah karena Hermansyah terus menyelesaikan studinya di Langlangbuana sampai selesai, sedang Dadang pindah ke Uninus dan pindah jurusan. Tapi naik haji pun bisa bareng dengan Hermansyah, dengan membawa istrinya masing-masing. 

Yang juga akrab, adalah pertemanannya dengan Yaman, Wawan, Ati, dan lainnya lagi. Anehnya, karib Dadang, suksses juga meniti karir. Yaman Karyuda, menjadi Direktur PT.DEKATAMA CENTRA, aktif jadi anggota club menembak PERBAKIN, dan berkeliling kemana-mana mengurus bisnisnya. Ati, sukses pula jadi pengusaha muda dibidang produksi roti Sari Rasa, yang counternnya tersebar luas di Bandung, bahkan cabangnya sampai ke luar kota. 

Dulu, minggu 25 November 2018, waktu peresmian pengurus Ikatan Lintas Alumni Tamansiswa Bandung dan penyerahan sarana lapangan olah raga kepada para pamong dan pengurus Yayasan Tamansiswa, Dadang memang tampak menikmati pertemuan dengan teman-teman dan mantan pamongnya. Di samping merogoh koceknya untuk  panitya pembangunan lapang olah raga, Dadang tidak canggung ikut  turun berjoged ria dengan teman-temannya. 

“Tapi sekarang tidak berani joged, ada istri,” bisiknya sambil tertawa. Konon istrinya suka mengingatkan jika dia yang sudah bergelar haji masih suka joget. Memang di bawah tenda para alumni asyik berjoged ria sambil menyanyikan lagu-lagu nostalgia untuk menyemarakkan suasan dan menghibur teman-temannya yang asyik bertukar pikiran, maupun asyik mancing ikan bawal. Tetapi Haji Dadang Zaenal BR,SH milih berbincang-bincang di tepi kolam, sambil berkisah masa lalunya. Kisah yang bisa memotivasi dan menginspirasi siapa saja untuk masa depan yang lebih baik. Baik di dunia, maupun di akhirat.

Selesai Shalat Maghrib, rombongan tamu Ikatan Alumni Tamansiswa, ramai-ramai  meninggalkan Kp.Cimaragas, Desa Karangsari, Kecamatan Wanareja, Kabupaten Garut, dengan membawa kenangan manis dan indah. [25-12-2018, anwar hadja]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar