4.Keluarga Ki Hadjar Dewantara
Kita
akan bicarakan sejenak keluarga Ki Hadjar Dewantara yang banyak memberikan
pengaruh pada karir Ki Hadjar Dewantara sebagai salah seorang Bapak Bangsa
dengan gagasan nasinalisme yang
bercorak khas. Adapun yang dimaksud dengan
kelurga Ki Hadjar disini adalah ayahnya, KPH. Suryaningrat, Ibunya Raden Ayu
Sandiah dan paman sekaligus mertuanya KPH. Sasraningrat.
4.1 KPH. Suryaningrat
KPH.
Suryaningrat adalah putra sulung PA III dari permaisurinya, BRAyu Paku Alam
III. Setelah ibunya minta cerai, dia ditinggal sendirian di Pakualaman dengan
hanya diasuh oleh salah seorang emban pengasuhnya yang disediakan oleh ayahnya,
PA III. Pangeran muda i ni, tumbuh ke arah
masa remaja, jauh dari kasih sayang ibu, lagi pula dia tuna netra,
menyebabkan dia menjadi amat religius, mendalami ajaran Islam secara intensif.
Tidak hanya aspek sayriat, tetapi juga aspek-aspek hakekat.Karena dia besar
dilingkungan kraton ,maka corak islam yang dianutnya bercorak islam Kejawen.
Islam
Kejawen sebenarnya pecah menjadi dua aliran, yakni :
A.
Aliran Syekh Siti Jenar.
B.
Aliran Sunan Kalijaga.
Kita
akan tinjau secara sepintas kilas perbedaan antara kedua aliran itu.
A.Islam Kejawen Aliran Syekh Siti Jenar.
Aliran
Syekh Siti Jenar ini cenderung menolak
syariat Islam secara tegas. Tidak mau membaca Sahadat, menolak mengerjakan salat, saum Ramadhan, apa lagi menunaikan ibadah haji. Syekh Siti Jenar
menolak ajaran Syariat Islam, karena
memamdang bahwa Tuhan itui ada di dalam diri manusia, karena itu, tidak perlu
disembah. Baginnya, tidak masuk akal jika manusia menyembah Tuhan yang ada di
dalam dirinya sendiri. Dia mengembangkan sendiri konsep ritualistiknya yang
sangat diawarnai oleh ajaran Hindu- Budha aliran Tantrayana,tetapi dikemas
dengan menggunakan idiom idiom Islam. Bahkan dengan berani mengutip ayat-ayat
Al Qur’an, terkadang hadist, tetapi dengan cara mentakwilkannya menurut
persepsinya sendiri dengan gaya Jarwa Dorsok. Suatu metode penafsiran yang amat
populer dan digemari para Cendekiawan Islam Kejawen. Sebagai ganti ritual syariat Islam yang diajarkan para
Walisongo, dia mengajarkan dzikir yang dilakukan dengan cara bersamadhi dan
mengatur teknik pernapasan yang banyak diajarkan pengikut Yoga. Tujuan dzikir
dan samadhi adalah sebagai salah satu cara mencapai puncak maqom fana dari
perjalanan mistik spiritualnya, yakni mencapai kondisi persatuan hamba dan Tuhan.
Doktrin persatuan hamba dan Tuhan ini, di kalangan Islam Kejawen dikenal sebagai
doktrin mistik Manunggaling Kawula Gusti. Dalam ajaran mistik Kejawen Syekh
Siti Jenar, ruh atau sukma dalam bahasa Jawa, merupakan emanansi atau pancaran
dari zat Tuhan, karenanya ia adalah Tuhan itu sendiri. Ia adalah hulul, iitihad
atau reinkarnasi dari Tuhan yang terperangkap dalam raga manusia. Melaui
ritualitas yang diajarkannya, Syekh Siti Jenar mengajarkan, manusia akan bisa
mencapai kemanunggalan dengan tuhannya di puncak makom perjalanan makrifatnya.
Pada kondisi kondisi puncak itu, tercapailah keadaan fana atau ekstase atau
mabok,suatu realitas subyektif sebenarnya dimana kesadaran seorang hamba larut lebur menjadi satu dengan relaitas Tuhan. Pada tahap ini
sang hamba merasa sebagai Tuhan. Mencapai
puncak kenikmatan yang luar biasa yang digambarkannya sebagai uninong-anung
uning. Doktrin Budhiisme, menyebutnya sebagai pencapaiaan Nirwana.
Pada
awalnya ajaran Syekh Siti Jenar itu, merupakan oposisi kegamaan terhadap ajaran
Syariat Islam yang diajarkan oleh Dewan Walisongo Kerajaan Islam Demak. Tetapi
lama kelamaan menjelma menjadi gerakaan politik untuk menentang hegemoni Kerajaan Islam Demak yang tengah
naik daun,dengan memanfaatkan Ki Ageng Pengging Kebo Kenanga selaku penguasa
Kadipaten Pengging, sebagai basis perlawanannya terhadap Kerajaan Islam Demak.
Tentu saja konflik Pengging VS Demak tak dapat dihindarkan. Kadipaten Pengging
yang menolak mengakui kedaulatan
Kerajaan Islam Demak, diserbu tentara Demak (1530 M), dibawah pimpinan Sunan
Kudus Ja’far Shodiq. Ki Ageng Pengging, berhasil ditangkap dan dieksekusi mati oleh Sunan Kudus.Syekh Siti
Jenar berhasil meloloan diri. Tetapi akhirnya berhasil ditangkap di Cirebon dan
dieksekusi di sana(1545 M ). Mistikus
Jawa terbesar itu menjadi korban ambisinya sendiri yang bermain-main dengan wilayah politik.
Syekh
Siti Jenar, diperkirakan lahir pada tahun 1485 M, di Cirebon. Dia adalah putra
seorang Pendeta agama Budha Tantrayana , Resi Bungsu, yang pada mulanya mengabdi pada Raja
Majapahit terakahir, Dyah Suraprabhawa. Ketika Kerajaan Majapahit runtuh(1478 M),
karena serbuan tentara Kadipaten Keling, Resi Bungsu berhasil menyelamatkan
diri dari pembantaian tentara penyerbu dan menjadi pengungsi di Cirebon. Ayahnya memberinya nama Raden Saksar. Ia
menuntut ilmu di Pesantren Gunung Jati yang dirintis oleh Syekh Datuk Kahfi
(1420 M). Pada usia dua windu (1900 M ), setelah menguasai ajaran Islam, ia
merubah namannya menjadi Raden Hasan Ali Saksar. Ia mulai mendalami tasawuf
ajaran Husein Mansur Al Hallaj ( w. 910 M), yang mengajarkan konsep hulul dan
ittihad, yakni ajaran mistik Persatuan Hamba –Tuhan dalam visi ajaran Islam.
Dan ajaran Manunggaling Kawula Gusti dari mistikus Hindu Budha, Syiwa Murti.
Pada usia empat windu (1515 M), dia merubah namanya menjadi Abdull Jalil.
Karirnya sebagai mistikus terus menanjak, dan pada usia lima windu(1524 M), ia
kembali mengubah namanya menjadi Siti Jenar dan para pengkutnya menobatkannya dengan tambahan gelar Syekh di depan
namanya. Wawasan Keislamannya yang
mendalam, meyebabkan Syekh Siti Jenar sempat menjadi anggota Dewan Walisongo
Kerajaan islam Demak. Syekh Siti Jenar masuk menjadi anggota Dewan Walisongo
Kerajaan Islam Demak, bersamaan dengan Sunan Kalijaga, sekitar tahun 1524 M.
Mungkin atas rekomendasi Syekh Nurullah Sunan Gunung Jati, yang sudah lebih
dulu menjadi anggota Dewan Walisongo. Tetapi Syekh Siti Jenar tidak lama
menjadi anggota Dewan Walisongo, karena dia mulai menyebarkan ajarannya tentang
hakekat zat Tuhan yang bertentangan dengan teologi dasar tentang hakekat zat Tuhan sebagaimana yang diajarkan
Rasulullah saw, dan dianut oleh Dewan Walisongo. Akhirnya Syekh Siti Jenar
dituduh menyebarkan ajaran sesat dan diberhentikan sebagai anggota Dewan
Walisongo ( 1525 M ).
Dalam
ajaran Islam yang dianut Dewan Walisongo, Tuhan berada diluar mahluk.Karena itu
Dia diebuat Al Kahliq, Sang Maha Pencipta, Yang mencipta mahluknya dari
ketiadaan dengan kalimat “Kun “. Jadilah, maka akan terjadi. Dalam filsafat dikenal sebagai konsep Creatio
ex nihillo. Artinya Tuhan adalah Maha
Pencipta, yang mencipta dari ketiadaan. Dia adalah transesenden terhadap semua
mahluk ciptaannnya. Bagi Syekh Siti Jenar, Zat Tuhan tidak mencipta, tetapi
beremanansi, dan menyatu dengan hambanya. Perbedaan antara konsep Tuhan yang
transenden dan Tuhan yang emanent atau
menyatu dengan mahluk, sebenarnya merupakan perbedaan yang bersifat klasik dan ada dalam setiap agama, tidak
peduli Yahudi, Kristen, Islam dan Hindu-Budha. Namun demikian semua kitab suci
agama monoteistik, menganut konsep Tuhan yang transenden. Itulah sebabnya
munculnya pandangan konsep Tuhan yang emanent di antara pemeluk agama monoteistik itu, dianggap sebagai penyimpangan
terhadap doktrin teologi utama agama
monoteistik, yakni Islam, Kristen, dan Yahudi.
Usai
dipecat, Syekh Siti Jenar segera pergi ke Pengging. Dan di sana menyebarkan doktrin dan ajarannya yang menentang Ajaran
Syariat Islam yang diajarkan Dewan Walisongo dan dianut oleh Kerajaan Islam
Demak. Di Pengging, Syekh Siti Jenar mendapat sambutan hangat, memperoleh
banyak pengikut, termasuk Ki Ageng
Pengging atau Ki Kebo Kenanga, putra Adipati Pengging Handayaningrat.
Saat
itu, wilayah Pengging belum merupakan wilayah Kerajaan Islam Demak. Kadipaten
Pengging merupakan wilayah yang tunduk kepada Kerajaan Hindu Budha Kediri( 1486
M – 1527 M ). Perlu diketahui, pasca runtuhnya Kerajaan Majapahit (1478 M), di
Pulau Jawa terdapat tiga buah kerajaan yakni Kerajaan Islam Demak ( 1481 – 1546
M ), Kerajaan Hindu Budha Kediri ( 1486- 1527 M ) yang mengaku sebagai penerus
Kerajaan Majapahit, dan Kerajaan Hindu Pakuan Pajajaran ( -1579 M), yang berpusat di Bogor.
Karena
Kerajaan Kediri dan Pajajaran menjalin aliansi dengan Portugal di Malaka untyk
melawan Demak,, maka Demak melakukan gerakan ofesif untuk menaklukan Kediri dan
Pakuan Pajajaran. Pada tahun 1527 M,
Sunda Kelapa, Juwana, Tuban dan Kediri berhasil ditaklukan Demak. Dalam
penaklukan Kediri, pada gelombang serangan pertamaSunan Ngudung Rahmatulllah,
ayah Sunan Kudus Ja’far Shodiq tewas. Pada serangan gelombang kedua, Sunan
Kudus Ja’far Shodiq berhasil menaklukkan Kediri dan menewaan Adipati Pengging
Handayaningrat yang bertempur membela Kediri. Ki Kebo Kenanga, putra
Handayaningrat, naik menjadi Adipati Pengging menggantikan ayahnya.Sekalipun
pusat pemrintahan Kediri telah jatuh, Pengging menolak mengakui kedaulatan
Demak.
Walaupun begita Demak tidak
buru-buru menyerang Pengging, tetapi memberi waktu tiga tahun bagi Pengging untuk secara
suka rela mengakui kedaulatan Demak. Karena hasutan Syekh Siti Jenar yang
menjadi penasihat Spiritual Ki Ageng Pengging, Pengging menolak mengakui
kedaulatan Demak, sampai tenggang waktu yang diberikan Demak berakhir. Tahun
1530 M, Demak menyerbu Pengging dibawah pimpinan Sunan Kudus Ja’far Shodiq. Ki
Ageng Pengging berhasil di tangkap dan
langsung dieksekusi. Sementara itu Syekh Siti Jenar, berhasil melarikan
diri dan bersembunyi di Cirebon. Syekh Siti Jenar, baru berhasil ditangkap pada
tahun 1545 M. Dan dieksukusi di Cirebon oleh Sunan Kudus yang datang ke Cirebon atas nama Sultan Trenggono.
Jenazah
Syekh Siti Jenar pada mulanya di makamkan di pemakamna umum Pamlaten di pinggiran
kota Cirebon. Tetapi karena pengkutnya dari sejumlah daerah, mulai dari Jawa
Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat bahkan
Lampung, datang berduyun-duyun dan terus menerus melakukan ziarah, Syekh
Nurullah Gunung Jati, Penguasa Banten –
Cirebon, memerintahkan agar jenazah Syekh Siti Jenar dipindahkan ke tepat yang
tersembunyi dan dirahasiakan, agar makammnya tidak dijadikan obyek ziarah,
pemujaan dan persembahan pengikut-pengikut setianya. Setelah jenazah Syekh Siti
Jenar dipindahkan, makam itupun menjadi sepi. Tetapi para pengikut setianya,terus
meyebarkan ajarannya dan melakukan kultus pemujaan terhadapnya. Bukan hanya dengan mengembangkan kisah-kisah fantasi
dan mitos yang berbau mistik dan legenda di seputar kematian Syekh Siti Jenar,
tetapi mereka juga terus memantapkan ajaran Syekh Siti Jenar. Akhirnya ajarannya
berkembang menjadi semacam agama yang dikenal dengan agama Bairawa. Namun lebih
populer dengan sebutan Islam Abangan. Seperti Sang Pendiri, Islam Abangan
banyak melibatkan diri dalam kegiatan politik dengan melakukan oposisi melawan
pemerintah yang berkuasa.
Salah
satu kisah fantasi yang dikembangkan oleh para pengikutnya adalah upaya menyudutkan
Walisongo dan Sultan Demak Raden Fatah atau Sultan Bintoro. Misalnya dikisahkan
bahwa Syekh Siti Jenar dihukum mati dengan hukum sayariat Islam, yakni di hukum
mati karena dianggap murtad dan menyebarkan ajaran sesat. Adapun yang
memerintahkan hukuman mati adalah Sultan Bintaro dan Wali yang menjadi komandan hukuman mati pada versi Yogyakarta adalah
Syekh Magribi dan Sunan Giri. Pada versi Cirebon, , sebagai komandan hukuman
mati adalah Sunan Gunung Jati. Pelaksana eksekusi, baik versi Cirebon maupun versi
Yogyakarta, sama yakni Sunan Kudus Ja’far Shodiq dengan cara menusukkan keris
ke tubuh Syekh Siti Jenar. Tetapi baik versi Yogyakarta, seperti yang ditulis
oleh Raden Panji Natarata atau Ki Sasra Wijaya dalam bukunya Serat Syekh Siti
Jenar, maupun versi Cirebon yang ditulis oleh PS.Sulendraningrat dalam bukunya
Babad Tanah Sunda-Babad Cirebon, kedua-duanya bertentangan dengan fakta
sejarah. Pada saat eksekusi hukuman mati, Sultan Bintaro atau Raden Patah telah
wafat (1518 M), demikain pula Syekh Maghribi (1419 M). Peristiwa Syekh Siti
Jenar, terjadi bukan pada masa Raden Patah, tetapi pada masa Sultan Trenggono.
Dan Sultan Trenggono lah yang memerintahkan hukuman mati kepada Syekh Siti
Jenar, maupun Ki Ageng Pengging, karena Kadipaten Pengging menolak mengakui
kedaulatan Kerajaan Islam Demak pasca jatuhnya Kediri ke tangan Demak (1530 M
).
Berdasarkan
fakta sejarah, hukuman mati atas Syekh Siti Jenar dan Ki Ageng Pengging, bukan
karena masalah perbedaan pandangan dalam masalah agama, tetapi lebih karena
masalah politik.
B. Islam
Kejawen Aliran Sunan Kalijaga.
Berbeda denan Islam Kejawen aliran Syekh Siti
Jenar, Islam Kejawen aliran Sunan Kalijaga, tidak menolak ajaran
Syariat Islam yang diajarkan Dewan Walisongo. Islam. Aliran Sunan
Kalijaga ini sangat toleran terhadap nilai-nilai budaya lokal, lebih menekankan
nilai-nilai batiniah, tetapi tidak mengabaikan aspek lahiriah. Pengikutnya dibimbing
secara setahap dami setahap, selangkah
demi selangkah, dalam pengamalan ajaran syariat Islam, dengan cara menekankan pembacaan
Kalimah Syahadat terlebih dahulu. Sedangkan syariat Islam yang lain
seperti salat lima waktu, puasa, zakat
dan menunaikan ibadah haji, dilaksakan kemudian, disesuaikan dengan kemampuan
dan perkembangan tingkat keimanan seseorang yang terus berproses ke arah yang
lebih sempurna.
Pengikut
Islam Kejawen Aliran Sunan Kalijaga ini, sering di cap sebagai muslim yang
kurang taat pada Syariat Islam.Namun mereka secara prinsip tidak pernah menolak
Syariat Islam. Mereka dengan senang, sukarela bahkan kadang-kadang bergairah,
melaksanakan berbagai ritual yang diajarkan syariat Islam, seperti pada saat
menyambut kehadiran seorang bayi dengan melaksanakan suatu acara yang Islami
semacam Sunah Nabi saw, menkhitan anak laki-laki, menikah menurut tatacara
syariat Islam dan penguburan jenazah pun menurut tatacara yang Islami. Sedang
ibadah yang pokok seperti salat dan saum Ramadhan, ada yang melaksanakan
kadang-kadang atau sesekali. Tetapi ada yang sama sekali tidak melaksanakan,
dengan berbagai alasannya masing-masing. Tetapi secara prinsip, mereka tidak
menolak. Jawaban klasik biasanya adalah, belum sempat, sibuk, nanti saja kalau
sudah tua dan seribu satu macam alasan lainnnya. Bagi mereka, membaca sahadat
sudah dianggap cukup untuk menyatakan identitas keislaman mereka.
Mereka
sering menyadari, bahwa Keislaman mereka
memang belum sempurna. Karena itu, di dalam dirinya terkandung potensi untuk
menjadi sempurna dalam mengamalkan syariat Islam. Mereka malah sering dengan
faseh mengutip ajaran Sunan Kalijaga yang terkenal, “ Hakekat tanpa syariat
adalah batal. Syariat tanpa hakekat adalah kosong.” . Dari sudut ajaran syariat
Islam makna kalimat tersebut sebenarnya adalah,”Laksanakan Rukun Iman, dan
jangan tinggalkan Rukun Islam. Dan
Laksanakan Rukun Islam, dan jangan tinggalkan
Rukun Iman”. Bagi Sunan Kalijaga, Rukun Iman adalah Syariat Batin. Dan Rukun
Islam adalah Syariat Lahir. Kedua-duanya hakekatnya sama, seperti daun sirih,
tampak muka dan belakangnya berbeda, tetapi jika digigit daun sirih itu akan
sama rasanya. Dalam bahasa Jawa diungkapkan dengan frase yang amat indah, “
Pinda suruh, lumah lan kurebe, sinawang seje rupane. Ginigit pada rasane”.
Ajaran
Islam Kejawen Sunan Kalijaga banyak dianut oleh para priyayi,ningrat dan
bangsawan kraton dan kabupaten.Antropolog
Clifford Gerttz menyebut mereka sebagai Islam Priyayi. Yakni varian
Islam yang dianut para priyayi dan
bangsawan, termasuk raja-raja Mataram dan
kerajaan pecahannya’ dari segeri konsep, sebenarnya, baik Islam Kejawen
aliran Syekh Siti Jenar, maupun aliran Sunan Kajijaga, sama sama menggagas
Manunggaling Kawula-Gusti. Bedanya adalah tafsir terhadap pengertian manunggal.
Bagi
Syekh Siti Jenar, manunggal ,mengandung pengertian menyatu dan lebur menjadi
satu, bagaikan madu dengan manisnya, air
laut dengan asinnya, sehingga tidak dapat dibedakan mana hamba mana tuhan. Ya
hamba, ya tuhan. Sedangkan dalam
pandangan Sunan Kalijaga, manunggal itu hanyalah berarti bersatu, tetapi tidak
menyatu. Manunggal bisa juga berarti dekat atau sangat dekat. Tetapi sedekat
apa pun, kawula, tetap kawula, dan gusti tetap gusti. Sedekat apapun hamba dan
Tuhan, diantara keduanya tetap ada batas.
Ungkapan yang terkenal dari Sunan Kalijaga untuk menggambarkan relasi antara
hamba dan Tuhan , diungkapkan dalam kalimat sbb :
“Sira
pancen kadunungan sifat-sifat Pangeran. Nanging aja pisan-pisan sira ngaku yen
Pangeran “.
Artinya,
“ Dalam diri Anda memang terdapat sifat-sifat
Tuhan. Tetapi jangan sekali-sekali mengaku dirimu Tuhan “.
Dapat
kita mengerti bahwa Sunan Kalijaga menganjurkan kepada pengikutnya untuk rajin
melaksanakan salat, saum, dan zakat. Bahkan
Sunan Kalijaga juga mengajarkan pengikutnya untuk rajin melaksanakan
salat malam atau salat tahajud. Salah satu ciri lain dari Islam Kejawen aliran
Sunan Kalijaga adalah mereka cenderung menjauhi hingar bingar dunia politik,
menolak formalisme ajaran Islam. Karena
itu mereka pada umumnya menolak pelaksanan Syariat Islam pada tingkat negara.
Berbeda dengan Islam Kejawen aliran Syekh Siti
Jenar yang cenderung gemar memasuki intrik-intrik politik.
Dari
sudut pandangan ajaran Islam, Islam Kejawen aliran Syekh Siti Jenar adalah
Islam yang sudah keluar dari jalur Islam. Sehingga memang dapat dikategorikan
murtad. Sedang Islam Kejawen aliran Sunan Kalijaga, oleh para Ulama dan
cendekiawan Islam, dianggap sebagai
Islam yang tengah dan terus berproses menuju Islam yang sesungguhnya, sebagaimana yang telah diajarkan oleh
Rasulullah. Dalam pandangan para ulama, dakwah kepada kelompok Islam Kejawen
harus terus diintensifkan, karena pada prinsipnya mereka sebenarnya tidak menolak Syariat Islam secara total.
Pemahaman
tentang Islam Kejawen ini penting guna
mengetahui corak religiusitas para kerabat Kadipaten Pakualaman dan Kraton Jawa
yang lain, termasuk keluarga Ki Hadjar Dewantara, yang berasal dari Pakualaman. Demikianlah,
corak Islam Kejawen KPH. Suryaningrat adalah Islam Kejawen aliran Sunan
Kalijaga. Hal ini bisa kita lihat dari riwayat hidupnya yang menceriterakan
bahwa dia rajin salat ke Masjid Pakualaman, rajin salat Jum,at, saum pada bulan
Ramadhan dan mengeluarkan zakat.
KPH.
Suryaningrat juga memiliki bakat sastra yang menonjol. Terbukti dari karya
tilisnya yang sebagian besar bercorak sastra mistik. Karya tulis KPH.
Suryaningrat, menurut Ki Hadjar Dewantara adalah sbb:
1. Serat Sastra Gending, Wirayat Dalem Ingkang
Sinuhun Sultan Agung ing Mataram.
2. Serat Babad Demak.
3. Serat Ngabdul Muluk.
4. Serat Pustaka Raja, Gubahan dari Serat Pustaka
Raja Purwa, karangan Ranggawarsito banyaknya 4 jilid.
5. Wasita Prana.
6. Msawarat Wali
7. Serat Weda Mangsa, suatu kitab yang berisi
perhitungan jaman menurut persepsi orang Jawa.
8. Serat Paniti Mangsa, seperti serat Weda
Mangsa, tetapi ditulis dalam bentuk prosa.
Timbul
pertanyaan, bagaiman seorang yang tuna netra bisa menghasilkan karya sastra yang hebat dan berbobot ?. Rupanya
untuk menulis, dia mendiktekan pokok-pokok
pikirannya dan gagasannya yang tersimpan dalam memori otaknya, kemudian
ada orang lain yang membantu menuliannya, lalu membacakannya kembali untuk
mendapatkan koreksi dan pembetulan. Demikian pula cara beliau memperoleh informasi dan pengetahuan, ialah dengan
mendengarkan dari buku, dan media cetak
lainnya yang dibacakan oleh orang lain. Dapat dipastikan bahwa KPH.
Suryaningrat memiliki daya ingat dan memori yang tajam luar biasa. Bahkan konon
dia hafal Serat Sastra Gending karya Sultan Agung yang pernah dibacakan
kepadanya. Selain memilikibakat yang luar biasa sebagai penulis kitab-kitab
sastra suluk dan babad, dia juga banyak menulis di media massa berbahasa Jawa,
seperti Bromartani, Retno Dumilah dan
Jawi Kanda. Retno Dumilah adalah
berbahasa Jawa pimpinan dr. Wahidin Sudiro Husodo, dokter pribadi
Keluarga Pakualaman dan penggagas Budi Utumo.
Yang unik barang kali adalah, KPH. Suryaningrat, pernah berpolemik dalam mngenai mistik ketuhanan dengan seorang guru
agama Islam yang bernama Bagus Ngamprah. KPH. Suryaningrat sendiri menulis
dengan nama samaran Rara Sadhiyem ( KHD;
1967:313 ).
Nampaknya
Ki Hadjar Dewantara mewarisi bakat menulis dari ayahndanya yang memiliki
kemampuan luar biasa itu.[Bersambung]