Entri yang Diunggulkan

Kahyangan Suralaya, Tempat Tinggal Para Dewa

Legenda adalah kisah tentang orang, kejadian, atau peristiwa yang dibuat berdasarkan fantasi dengan maksud untuk menimbulkan kekaguman...

Senin, 17 April 2017

Mengenang Bulan Kartini : Peran Wanita Sebagai Soko Guru Peradaban




Andaikata Raden Ajeng Kartini yang lahir pada tanggal 21 April 1879  dan gemar baca koran masih hidup, nistaya dia akan langsung berkomentar, jika membaca berita seorang anak siswa klas X sebuah SMA Unggulan terkenal di Magelang, tega menggorok leher teman satu barak sampai tewas. Siapakah yang pantas dipersalahkan? Kepala Sekolah bisa jadi kecolongan. Tetapi siapa yang bisa mengendalikan masa lalu seorang anak, jika bukan keluarganya?

Kepala Sekolah tersebut dalam penjelasannya, menyebutkan, siswa pembunuh yang masih berusia remaja itu, ketika masih duduk di bangku SMP, gemar nonton film Rambo. Dia terobsesi oleh kepahlawanan Sang Rambo yang dengan sadis mampu dengan mudah membunuh lawannya dengan sebilah pisau. Dimana anak tersebut menonton film keras tersebut? Di sekolah, rumah teman, atau di rumahnya sendiri? Pengalaman anak yang ingin jadi hero akibat nonton film laga di masa lalu itu, telah mengendap ke dalam alam bawah sadarnya. Ketika emosinya naik, obsesi anak itu muncul kembali dari kedalaman jiwanya. Terjadilah ketegangan jiwa yang muncul terus-menerus, dan membuat anak itu semakin tegang gelisah. Akibatnya anak itu tak dapat mengendalikan dirinya lagi.  Bagaikan air bah keinginan melepaskan ketegangan jiwa itu menjebol akal sehatnya, dan mencari jalan keluar. Motivasi  dan  keinginannya untuk bertindak sebagai seorang hero  begitu kuat, tapi salah arah dan sasaran. Korban pun jatuh seketika, jadi korban yang tewas sia-sia. 

Sesungguhnya perilaku brutal dan sadis anak usia belia semacam itu, bisa menimpa siapa saja. Orang tua dan para guru  seyogyanya bisa mengambilnya jadi pelajaran berharga. Kini sudah banyak orang tua yang memahami, bahwa selain pranata sekolah sebagai tempat pembelajaran anak, orang tua tidak boleh mengaibaikan pranata keluarga sebagai tempat pembelajaran yang utama dan pertama. Keluarga adalah pranata istimewa bagi orang tua, terutama ibu,  untuk memberikan pendidikan budi pekerti, ahlakul karimah, moral, pendidikan watak, dan istilah sejenis lainnya yang melukiskan kualitas jiwa manusia yang  telah beradab..

Kartini dengan tegas, satu abad yang lalu sudah menyampaikan pendapatnya, bahwa wanita dan ibu adalah pendidik utama dan pertama yang harus berdiri di garis depan dalam memberikan pendidikan budi pekerti. Pendidikn budi pekerti bagi seorang anak, yang utama dan pertama, bukan ditangan laki-laki dan ayah. Bukan pula di sekolah. Tapi di rumah dan di tangan ibu. Bukan berarti ayah tidak perlu berperan. Dan sekolah tidak penting. Ayah tetap berperan tetapi cukup dalam posisi- meminjam istilah Ki Hadjar Dewantara,  tut wuri handayani. Dan sekalolah tetap penting.  Meminjam pandangan Kartini, orang tua dalam kasus di atas  kemungkinan telah salah dengan memanjakan dalam  mendidik anak, sehingga terjadi tragedi yang menghebohkan itu. Kartini melukiskan cita-citanya berupa  saran bagaimana cara mendidik seorang anak laki-laki maupun perempuan, sebagai berikut. 

“Ingin hatiku punya anak perempuan dan laki-laki yang akan kubentuk dan kudidik jadi manusia sepadan dengan kehenda hatiku. Pertama-tama akan kubuangkan ada kebiasaan yang buruk yang melebihkan anak laki-laki dari pada perempuan. Tidak usah kita herankan lagi, apa sebab nafsu laki-laki suka memikirkan dirinya sendiri saja, bila kita ingat, laki-laki itu  sejak masa kecilnya, sudah dilebih-lebihkan dari pada anak perempuan.  Dan semasa kanak-kanak, laki-laki sudah diajar merendahkan derajat perempuan. Bukankah acap kali kudengar seorang ibu berkata kepada anaknya laki-laki, bila dia jatuh lalu menangis, ‘cis anak laki-laki menangis tiada malu seperti anak peremppuan’ Anakku laki-laki maupun perempuan akan aku ajar supaya menghargai dan pandang memandang sama rata, makhluk yang sama, dan didikannya akan kusamakan benar. Yakni tentu saja masing-masing menurut kodrat kecakapannya.” 

Apa sebabnya perempuan sering disebut sebagai soko guru peradaban? Kartini, Pejuang emansiapasi  yang bercita-cita menjadi guru itu berkata, ”Bukan karena perempuan yang dipandang cakap untuk itu. Tetapi karena saya sendiri yakin sungguh-sungguh bahwa dari perempuan itu pun akan timbul pengaruh yang besar akibatnya dalam membaikkan dan memburukkan kehidupan. Dari wanitalah pertama-tama manusia menerima didikannya. Di haribanannya, anak itu belajar merasa, berpikir, berkata-kata. Dan tahulah saya bahwa pendidikan yang mula-mula itu, bukan tidak besar pengaruhnya bagi kehidupan manusia di kemudian harinya,” tulis Kartini pula.



Secara singkat dapat dikatakan bahwa, peran ibu dalam memajukan pendidikan budi pekerti bagi putra-putrinya sangatlah besar. Sebagai soko guru peradaban, pengaruhnya sungguh luar biasa, Pengaruh  seorang ibu kepada anak yang dikandungnya, dilahirkannya, disusuinya, lalu dididiknya dengan cinta dan kasih sayang.  Dari haribaannyalah akan lahir anak-anak berbudi pekerti luhur, berakhlakul karimah, ber watak mulia sebagai manusia berbudaya dan berkeadaban. Itulah cita-cita emansipasi wanita yang digagas dan diperjuangkan Kartini. Wallahualam.[Bandung,18-04-2017] Anwar Hadja, Guru SMA Tamansiswa Bandung.
 


Minggu, 16 April 2017

[9] Jejak-Jejak Nasionalisme Ki Hadjar Dewantara dan Sejarah Perjuangannya





4.Keluarga Ki Hadjar Dewantara
Kita akan bicarakan sejenak keluarga Ki Hadjar Dewantara yang banyak memberikan pengaruh pada karir Ki Hadjar Dewantara sebagai salah seorang Bapak Bangsa dengan gagasan nasinalisme   yang bercorak khas.  Adapun yang dimaksud dengan kelurga Ki Hadjar disini adalah ayahnya, KPH. Suryaningrat, Ibunya Raden Ayu Sandiah dan paman sekaligus mertuanya KPH. Sasraningrat.
 4.1 KPH. Suryaningrat
KPH. Suryaningrat adalah putra sulung PA III dari permaisurinya, BRAyu Paku Alam III. Setelah ibunya minta cerai, dia ditinggal sendirian di Pakualaman dengan hanya diasuh oleh salah seorang emban pengasuhnya yang disediakan oleh ayahnya, PA III. Pangeran muda i ni, tumbuh ke arah  masa remaja, jauh dari kasih sayang ibu, lagi pula dia tuna netra, menyebabkan dia menjadi amat religius, mendalami ajaran Islam secara intensif. Tidak hanya aspek sayriat, tetapi juga aspek-aspek hakekat.Karena dia besar dilingkungan kraton ,maka corak islam yang dianutnya bercorak islam Kejawen.
Islam Kejawen sebenarnya pecah menjadi dua aliran, yakni :
A. Aliran Syekh Siti Jenar.
B.  Aliran Sunan Kalijaga.
Kita akan tinjau secara sepintas kilas perbedaan antara kedua aliran itu.
 A.Islam Kejawen Aliran Syekh Siti Jenar.
Aliran Syekh Siti Jenar ini cenderung  menolak syariat  Islam secara tegas.  Tidak mau membaca  Sahadat, menolak mengerjakan salat,  saum Ramadhan, apa lagi  menunaikan ibadah haji. Syekh Siti Jenar menolak ajaran  Syariat Islam, karena memamdang bahwa Tuhan itui ada di dalam diri manusia, karena itu, tidak perlu disembah. Baginnya, tidak masuk akal jika manusia menyembah Tuhan yang ada di dalam dirinya sendiri. Dia mengembangkan sendiri konsep ritualistiknya yang sangat diawarnai oleh ajaran Hindu- Budha aliran Tantrayana,tetapi dikemas dengan menggunakan idiom idiom Islam. Bahkan dengan berani mengutip ayat-ayat Al Qur’an, terkadang hadist, tetapi dengan cara mentakwilkannya menurut persepsinya sendiri dengan gaya Jarwa Dorsok. Suatu metode penafsiran yang amat populer dan digemari  para  Cendekiawan Islam Kejawen.  Sebagai ganti  ritual syariat Islam yang diajarkan para Walisongo, dia mengajarkan dzikir yang dilakukan dengan cara bersamadhi dan mengatur teknik pernapasan yang banyak diajarkan pengikut Yoga. Tujuan dzikir dan samadhi adalah sebagai salah satu cara mencapai puncak maqom fana dari perjalanan mistik spiritualnya, yakni mencapai kondisi persatuan hamba dan Tuhan. 

Doktrin persatuan hamba dan Tuhan ini, di kalangan Islam Kejawen dikenal sebagai doktrin mistik Manunggaling Kawula Gusti. Dalam ajaran mistik Kejawen Syekh Siti Jenar, ruh atau sukma dalam bahasa Jawa, merupakan emanansi atau pancaran dari zat Tuhan, karenanya ia adalah Tuhan itu sendiri. Ia adalah hulul, iitihad atau reinkarnasi dari Tuhan yang terperangkap dalam raga manusia. Melaui ritualitas yang diajarkannya, Syekh Siti Jenar mengajarkan, manusia akan bisa mencapai kemanunggalan dengan tuhannya di puncak makom perjalanan makrifatnya. Pada kondisi kondisi puncak itu, tercapailah keadaan fana atau ekstase atau mabok,suatu realitas subyektif sebenarnya  dimana kesadaran  seorang hamba larut lebur menjadi  satu dengan relaitas Tuhan. Pada tahap ini sang hamba merasa sebagai Tuhan. Mencapai puncak kenikmatan yang luar biasa yang digambarkannya sebagai uninong-anung uning. Doktrin Budhiisme, menyebutnya sebagai pencapaiaan  Nirwana.  
Pada awalnya ajaran Syekh Siti Jenar itu, merupakan oposisi kegamaan terhadap ajaran Syariat Islam yang diajarkan oleh Dewan Walisongo Kerajaan Islam Demak. Tetapi lama kelamaan menjelma menjadi gerakaan politik untuk menentang  hegemoni Kerajaan Islam Demak yang tengah naik daun,dengan memanfaatkan Ki Ageng Pengging Kebo Kenanga selaku penguasa Kadipaten Pengging, sebagai basis perlawanannya terhadap Kerajaan Islam Demak. Tentu saja konflik Pengging VS Demak tak dapat dihindarkan. Kadipaten Pengging yang menolak mengakui  kedaulatan Kerajaan Islam Demak, diserbu tentara Demak (1530 M), dibawah pimpinan Sunan Kudus Ja’far Shodiq. Ki Ageng Pengging, berhasil ditangkap dan  dieksekusi mati oleh Sunan Kudus.Syekh Siti Jenar berhasil meloloan diri. Tetapi akhirnya berhasil ditangkap di Cirebon dan dieksekusi di sana(1545 M ).  Mistikus Jawa terbesar itu menjadi korban ambisinya sendiri yang bermain-main dengan  wilayah politik.
Syekh Siti Jenar, diperkirakan lahir pada tahun 1485 M, di Cirebon. Dia adalah putra seorang Pendeta agama Budha Tantrayana , Resi Bungsu,  yang pada mulanya mengabdi pada Raja Majapahit terakahir, Dyah Suraprabhawa. Ketika Kerajaan Majapahit runtuh(1478 M), karena serbuan tentara Kadipaten Keling, Resi Bungsu berhasil menyelamatkan diri dari pembantaian tentara penyerbu dan menjadi pengungsi di Cirebon.  Ayahnya memberinya nama Raden Saksar. Ia menuntut ilmu di Pesantren Gunung Jati yang dirintis oleh Syekh Datuk Kahfi (1420 M). Pada usia dua windu (1900 M ), setelah menguasai ajaran Islam, ia merubah namannya menjadi Raden Hasan Ali Saksar. Ia mulai mendalami tasawuf ajaran Husein Mansur Al Hallaj ( w. 910 M), yang mengajarkan konsep hulul dan ittihad, yakni ajaran mistik Persatuan Hamba –Tuhan dalam visi ajaran Islam. Dan ajaran Manunggaling Kawula Gusti dari mistikus Hindu Budha, Syiwa Murti. 

Pada usia empat windu (1515 M), dia merubah namanya menjadi Abdull Jalil. Karirnya sebagai mistikus terus menanjak, dan pada usia lima windu(1524 M), ia kembali mengubah namanya menjadi Siti Jenar dan para pengkutnya menobatkannya dengan tambahan gelar Syekh di depan namanya. Wawasan Keislamannya yang mendalam, meyebabkan Syekh Siti Jenar sempat menjadi anggota Dewan Walisongo Kerajaan islam Demak. Syekh Siti Jenar masuk menjadi anggota Dewan Walisongo Kerajaan Islam Demak, bersamaan dengan Sunan Kalijaga, sekitar tahun 1524 M. Mungkin atas rekomendasi Syekh Nurullah Sunan Gunung Jati, yang sudah lebih dulu menjadi anggota Dewan Walisongo. Tetapi Syekh Siti Jenar tidak lama menjadi anggota Dewan Walisongo, karena dia mulai menyebarkan ajarannya tentang hakekat zat Tuhan yang bertentangan dengan teologi dasar  tentang hakekat zat Tuhan sebagaimana yang diajarkan Rasulullah saw, dan dianut oleh Dewan Walisongo. Akhirnya Syekh Siti Jenar dituduh menyebarkan ajaran sesat dan diberhentikan sebagai anggota Dewan Walisongo ( 1525 M ).
Dalam ajaran Islam yang dianut Dewan Walisongo, Tuhan berada diluar mahluk.Karena itu Dia diebuat Al Kahliq, Sang Maha Pencipta, Yang mencipta mahluknya dari ketiadaan dengan kalimat “Kun “. Jadilah, maka akan terjadi.  Dalam filsafat dikenal sebagai konsep Creatio ex nihillo. Artinya  Tuhan adalah Maha Pencipta, yang mencipta dari ketiadaan. Dia adalah transesenden terhadap semua mahluk ciptaannnya. Bagi Syekh Siti Jenar, Zat Tuhan tidak mencipta, tetapi beremanansi, dan menyatu dengan hambanya. Perbedaan antara konsep Tuhan yang transenden dan Tuhan yang  emanent atau menyatu dengan mahluk, sebenarnya merupakan perbedaan yang bersifat  klasik dan ada dalam setiap agama, tidak peduli Yahudi, Kristen, Islam dan Hindu-Budha. Namun demikian semua kitab suci agama monoteistik, menganut konsep Tuhan yang transenden. Itulah sebabnya munculnya pandangan konsep Tuhan yang emanent di antara pemeluk agama monoteistik itu, dianggap sebagai penyimpangan terhadap doktrin teologi  utama agama monoteistik, yakni  Islam, Kristen, dan Yahudi.
Usai dipecat, Syekh Siti Jenar segera pergi ke Pengging. Dan di sana menyebarkan doktrin dan ajarannya yang menentang Ajaran Syariat Islam yang diajarkan Dewan Walisongo dan dianut oleh Kerajaan Islam Demak. Di Pengging, Syekh Siti Jenar mendapat sambutan hangat, memperoleh banyak pengikut, termasuk Ki Ageng  Pengging atau Ki Kebo Kenanga, putra Adipati Pengging Handayaningrat.
Saat itu, wilayah Pengging belum merupakan wilayah Kerajaan Islam Demak. Kadipaten Pengging merupakan wilayah yang tunduk kepada Kerajaan Hindu Budha Kediri( 1486 M – 1527 M ). Perlu diketahui, pasca runtuhnya Kerajaan Majapahit (1478 M), di Pulau Jawa terdapat tiga buah kerajaan yakni Kerajaan Islam Demak ( 1481 – 1546 M ), Kerajaan Hindu Budha Kediri ( 1486- 1527 M ) yang mengaku sebagai penerus Kerajaan Majapahit, dan Kerajaan Hindu Pakuan Pajajaran (    -1579 M), yang berpusat di Bogor.         
Karena Kerajaan Kediri dan Pajajaran menjalin aliansi dengan Portugal di Malaka untyk melawan Demak,, maka Demak melakukan gerakan ofesif untuk menaklukan Kediri dan Pakuan Pajajaran.  Pada tahun 1527 M, Sunda Kelapa, Juwana, Tuban dan Kediri berhasil ditaklukan Demak. Dalam penaklukan Kediri, pada gelombang serangan pertamaSunan Ngudung Rahmatulllah, ayah Sunan Kudus Ja’far Shodiq tewas. Pada serangan gelombang kedua, Sunan Kudus Ja’far Shodiq berhasil menaklukkan Kediri dan menewaan Adipati Pengging Handayaningrat yang bertempur membela Kediri. Ki Kebo Kenanga, putra Handayaningrat, naik menjadi Adipati Pengging menggantikan ayahnya.Sekalipun pusat pemrintahan Kediri telah jatuh, Pengging menolak mengakui kedaulatan Demak.

Walaupun begita  Demak tidak buru-buru menyerang Pengging, tetapi  memberi waktu tiga tahun bagi Pengging untuk secara suka rela mengakui kedaulatan Demak. Karena hasutan Syekh Siti Jenar yang menjadi penasihat Spiritual Ki Ageng Pengging, Pengging menolak mengakui kedaulatan Demak, sampai tenggang waktu yang diberikan Demak berakhir. Tahun 1530 M, Demak menyerbu Pengging dibawah pimpinan Sunan Kudus Ja’far Shodiq. Ki Ageng Pengging berhasil di tangkap dan  langsung dieksekusi. Sementara itu Syekh Siti Jenar, berhasil melarikan diri dan bersembunyi di Cirebon. Syekh Siti Jenar, baru berhasil ditangkap pada tahun 1545 M. Dan dieksukusi di Cirebon oleh Sunan Kudus  yang datang ke Cirebon atas  nama Sultan Trenggono.
Jenazah Syekh Siti Jenar pada mulanya di makamkan di pemakamna umum Pamlaten di pinggiran kota Cirebon. Tetapi karena pengkutnya dari sejumlah daerah, mulai dari Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa  Barat bahkan Lampung, datang berduyun-duyun dan terus menerus melakukan ziarah, Syekh Nurullah  Gunung Jati, Penguasa Banten – Cirebon, memerintahkan agar jenazah Syekh Siti Jenar dipindahkan ke tepat yang tersembunyi dan dirahasiakan, agar makammnya tidak dijadikan obyek ziarah, pemujaan dan persembahan pengikut-pengikut setianya. Setelah jenazah Syekh Siti Jenar dipindahkan, makam itupun menjadi sepi. Tetapi para pengikut setianya,terus meyebarkan ajarannya dan melakukan kultus pemujaan terhadapnya.  Bukan hanya dengan mengembangkan kisah-kisah fantasi dan mitos yang berbau mistik dan legenda di seputar kematian Syekh Siti Jenar, tetapi mereka juga terus memantapkan ajaran Syekh Siti Jenar. Akhirnya ajarannya berkembang menjadi semacam agama yang dikenal dengan agama Bairawa. Namun lebih populer dengan sebutan Islam Abangan. Seperti Sang Pendiri, Islam Abangan banyak melibatkan diri dalam kegiatan politik dengan melakukan oposisi melawan pemerintah yang berkuasa.
Salah satu kisah fantasi yang dikembangkan oleh para pengikutnya adalah upaya menyudutkan Walisongo dan Sultan Demak Raden Fatah atau Sultan Bintoro. Misalnya dikisahkan bahwa Syekh Siti Jenar dihukum mati dengan hukum sayariat Islam, yakni di hukum mati karena dianggap murtad dan menyebarkan ajaran sesat. Adapun yang memerintahkan hukuman mati adalah Sultan Bintaro dan Wali yang menjadi  komandan hukuman mati pada versi Yogyakarta adalah Syekh Magribi dan Sunan Giri. Pada versi Cirebon, , sebagai komandan hukuman mati adalah Sunan Gunung Jati. Pelaksana eksekusi, baik versi Cirebon maupun versi Yogyakarta, sama yakni Sunan Kudus Ja’far Shodiq dengan cara menusukkan keris ke tubuh Syekh Siti Jenar. Tetapi baik versi Yogyakarta, seperti yang ditulis oleh Raden Panji Natarata atau Ki Sasra Wijaya dalam bukunya Serat Syekh Siti Jenar, maupun versi Cirebon yang ditulis oleh PS.Sulendraningrat dalam bukunya Babad Tanah Sunda-Babad Cirebon, kedua-duanya bertentangan dengan fakta sejarah. Pada saat eksekusi hukuman mati, Sultan Bintaro atau Raden Patah telah wafat (1518 M), demikain pula Syekh Maghribi (1419 M). Peristiwa Syekh Siti Jenar, terjadi bukan pada masa Raden Patah, tetapi pada masa Sultan Trenggono. Dan Sultan Trenggono lah yang memerintahkan hukuman mati kepada Syekh Siti Jenar, maupun Ki Ageng Pengging, karena Kadipaten Pengging menolak mengakui kedaulatan Kerajaan Islam Demak pasca jatuhnya Kediri ke tangan Demak (1530 M ).
Berdasarkan fakta sejarah, hukuman mati atas Syekh Siti Jenar dan Ki Ageng Pengging, bukan karena masalah perbedaan pandangan dalam masalah agama, tetapi lebih karena masalah politik.
 B. Islam  Kejawen Aliran Sunan Kalijaga.
 Berbeda denan Islam Kejawen aliran Syekh Siti Jenar, Islam  Kejawen  aliran Sunan Kalijaga, tidak menolak ajaran Syariat Islam yang diajarkan Dewan Walisongo. Islam. Aliran Sunan Kalijaga ini sangat toleran terhadap nilai-nilai budaya lokal, lebih menekankan nilai-nilai batiniah, tetapi tidak mengabaikan aspek lahiriah. Pengikutnya dibimbing secara setahap dami setahap, selangkah  demi selangkah, dalam pengamalan ajaran syariat  Islam, dengan cara menekankan pembacaan Kalimah Syahadat terlebih dahulu. Sedangkan syariat Islam yang lain seperti  salat lima waktu, puasa, zakat dan menunaikan ibadah haji, dilaksakan kemudian, disesuaikan dengan kemampuan dan perkembangan tingkat keimanan seseorang yang terus berproses ke arah yang lebih sempurna.
Pengikut Islam Kejawen Aliran Sunan Kalijaga ini, sering di cap sebagai muslim yang kurang taat pada Syariat Islam.Namun mereka secara prinsip tidak pernah menolak Syariat Islam. Mereka dengan senang, sukarela bahkan kadang-kadang bergairah, melaksanakan berbagai ritual yang diajarkan syariat Islam, seperti pada saat menyambut kehadiran seorang bayi dengan melaksanakan suatu acara yang Islami semacam Sunah Nabi saw, menkhitan anak laki-laki, menikah menurut tatacara syariat Islam dan penguburan jenazah pun menurut tatacara yang Islami. Sedang ibadah yang pokok seperti salat dan saum Ramadhan, ada yang melaksanakan kadang-kadang atau sesekali. Tetapi ada yang sama sekali tidak melaksanakan, dengan berbagai alasannya masing-masing. Tetapi secara prinsip, mereka tidak menolak. Jawaban klasik biasanya adalah, belum sempat, sibuk, nanti saja kalau sudah tua dan seribu satu macam alasan lainnnya. Bagi mereka, membaca sahadat sudah dianggap cukup untuk menyatakan identitas keislaman mereka.
Mereka sering menyadari, bahwa  Keislaman mereka memang belum sempurna. Karena itu, di dalam dirinya terkandung potensi untuk menjadi sempurna dalam mengamalkan syariat Islam. Mereka malah sering dengan faseh mengutip ajaran Sunan Kalijaga yang terkenal, “ Hakekat tanpa syariat adalah batal. Syariat tanpa hakekat adalah kosong.” . Dari sudut ajaran syariat Islam makna kalimat tersebut sebenarnya adalah,”Laksanakan Rukun Iman, dan jangan tinggalkan  Rukun Islam. Dan Laksanakan Rukun  Islam, dan jangan tinggalkan Rukun Iman”. Bagi Sunan Kalijaga, Rukun Iman adalah Syariat Batin. Dan Rukun Islam adalah Syariat Lahir. Kedua-duanya hakekatnya sama, seperti daun sirih, tampak muka dan belakangnya berbeda, tetapi jika digigit daun sirih itu akan sama rasanya. Dalam bahasa Jawa diungkapkan dengan frase yang amat indah, “ Pinda suruh, lumah lan kurebe, sinawang seje rupane. Ginigit pada rasane”.
Ajaran Islam Kejawen Sunan Kalijaga banyak dianut oleh para priyayi,ningrat dan bangsawan kraton dan kabupaten.Antropolog  Clifford Gerttz menyebut mereka sebagai Islam Priyayi. Yakni varian Islam  yang dianut para priyayi dan bangsawan, termasuk raja-raja Mataram dan  kerajaan pecahannya’ dari segeri konsep, sebenarnya, baik Islam Kejawen aliran Syekh Siti Jenar, maupun aliran Sunan Kajijaga, sama sama menggagas Manunggaling Kawula-Gusti. Bedanya adalah tafsir terhadap pengertian manunggal.
Bagi Syekh Siti Jenar, manunggal ,mengandung pengertian menyatu dan lebur menjadi satu, bagaikan  madu dengan manisnya, air laut dengan asinnya, sehingga tidak dapat dibedakan mana hamba mana tuhan. Ya hamba, ya tuhan.  Sedangkan dalam pandangan Sunan Kalijaga, manunggal itu hanyalah berarti bersatu, tetapi tidak menyatu. Manunggal bisa juga berarti dekat atau sangat dekat. Tetapi sedekat apa pun, kawula, tetap kawula, dan gusti tetap gusti. Sedekat apapun hamba dan Tuhan, diantara keduanya tetap ada batas.   Ungkapan yang terkenal dari Sunan Kalijaga untuk menggambarkan relasi antara hamba dan Tuhan , diungkapkan dalam kalimat sbb :
“Sira pancen kadunungan sifat-sifat Pangeran. Nanging aja pisan-pisan sira ngaku yen Pangeran “.
Artinya, “ Dalam diri Anda memang terdapat sifat-sifat  Tuhan. Tetapi jangan sekali-sekali mengaku dirimu Tuhan “.
Dapat kita mengerti bahwa Sunan Kalijaga menganjurkan kepada pengikutnya untuk rajin melaksanakan salat, saum, dan zakat. Bahkan  Sunan Kalijaga juga mengajarkan pengikutnya untuk rajin melaksanakan salat malam atau salat tahajud. Salah satu ciri lain dari Islam Kejawen aliran Sunan Kalijaga adalah mereka cenderung menjauhi hingar bingar dunia politik, menolak formalisme  ajaran Islam. Karena itu mereka pada umumnya menolak pelaksanan Syariat Islam pada tingkat negara. Berbeda dengan Islam  Kejawen aliran  Syekh Siti  Jenar yang cenderung gemar memasuki intrik-intrik politik.
Dari sudut pandangan ajaran Islam, Islam Kejawen aliran Syekh Siti Jenar adalah Islam yang sudah keluar dari jalur Islam. Sehingga memang dapat dikategorikan murtad. Sedang Islam Kejawen aliran Sunan Kalijaga, oleh para Ulama dan cendekiawan Islam,  dianggap sebagai Islam yang tengah dan terus berproses menuju Islam yang sesungguhnya, sebagaimana yang telah diajarkan oleh Rasulullah. Dalam pandangan para ulama, dakwah kepada kelompok Islam Kejawen harus terus diintensifkan, karena pada prinsipnya mereka sebenarnya tidak menolak  Syariat Islam secara total.
Pemahaman tentang  Islam Kejawen ini penting guna mengetahui corak religiusitas para kerabat Kadipaten Pakualaman dan Kraton Jawa yang lain, termasuk keluarga Ki Hadjar Dewantara, yang berasal dari Pakualaman. Demikianlah, corak Islam Kejawen KPH. Suryaningrat adalah Islam Kejawen aliran Sunan Kalijaga. Hal ini bisa kita lihat dari riwayat hidupnya yang menceriterakan bahwa dia rajin salat ke Masjid Pakualaman, rajin salat Jum,at, saum pada bulan Ramadhan dan mengeluarkan zakat.
KPH. Suryaningrat juga memiliki bakat sastra yang menonjol. Terbukti dari karya tilisnya yang sebagian besar bercorak sastra mistik. Karya tulis KPH. Suryaningrat, menurut Ki Hadjar Dewantara adalah sbb:
1.      Serat Sastra Gending, Wirayat Dalem Ingkang Sinuhun Sultan Agung ing Mataram.
2.      Serat Babad Demak.
3.      Serat Ngabdul Muluk.
4.      Serat Pustaka Raja, Gubahan dari Serat Pustaka Raja Purwa, karangan Ranggawarsito banyaknya 4 jilid.
5.      Wasita Prana.
6.      Msawarat Wali
7.      Serat Weda Mangsa, suatu kitab yang berisi perhitungan jaman menurut persepsi orang Jawa.
8.      Serat Paniti Mangsa, seperti serat Weda Mangsa, tetapi ditulis dalam bentuk prosa.
Timbul pertanyaan, bagaiman seorang yang tuna netra bisa menghasilkan karya  sastra yang hebat dan berbobot ?. Rupanya untuk menulis, dia mendiktekan pokok-pokok  pikirannya dan gagasannya yang tersimpan dalam memori otaknya, kemudian ada orang lain yang membantu menuliannya, lalu membacakannya kembali untuk mendapatkan koreksi dan pembetulan. Demikian pula cara beliau memperoleh  informasi dan pengetahuan, ialah dengan mendengarkan dari buku,  dan media cetak lainnya yang dibacakan oleh orang lain. Dapat dipastikan bahwa KPH. Suryaningrat memiliki daya ingat dan memori yang tajam luar biasa. Bahkan konon dia hafal Serat Sastra Gending karya Sultan Agung yang pernah dibacakan kepadanya. Selain memilikibakat yang luar biasa sebagai penulis kitab-kitab sastra suluk dan babad, dia juga banyak menulis di media massa berbahasa Jawa, seperti  Bromartani, Retno Dumilah dan Jawi Kanda. Retno Dumilah adalah  berbahasa Jawa pimpinan dr. Wahidin Sudiro Husodo, dokter pribadi Keluarga Pakualaman dan penggagas Budi Utumo.  Yang unik barang kali adalah, KPH. Suryaningrat, pernah berpolemik dalam   mngenai mistik ketuhanan dengan seorang guru agama Islam yang bernama Bagus Ngamprah. KPH. Suryaningrat sendiri menulis dengan nama samaran  Rara Sadhiyem ( KHD; 1967:313 ).
Nampaknya Ki Hadjar Dewantara mewarisi bakat menulis dari ayahndanya yang memiliki kemampuan luar biasa itu.[Bersambung]