Entri yang Diunggulkan

Kahyangan Suralaya, Tempat Tinggal Para Dewa

Legenda adalah kisah tentang orang, kejadian, atau peristiwa yang dibuat berdasarkan fantasi dengan maksud untuk menimbulkan kekaguman...

Rabu, 22 Juni 2016

Memperingati Hari Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2016 (01)



Mengenang Masa Kanak-Kanak Ki Hadjar Dewantara, dari ELS-STOVIA(01)

Jangan abaikan masa kanak-kanak. Sebab masa kanak-kanak sering sangat berpengaruh pada watak, karakter, dan karir seseorang di masa depan.  Lalu, bagaimana sih masa kanak-kanak Ki Hadjar Dewantara yang tanggal kelahirannya 2 Mei  selalu  kita peringati sebagai Hari Pendidikan Nasional? Ternyata dunia para ksatria dalam kisah wayang kulit yang bersumber dari Mahabarata dan Ramayana cukup berpengaruh kepada para ksatria Jawa ketika mereka berjuang untuk meraih kemerdekaan bangsanya dari penjajahan Belanda. Tidak hanya Ki Hadjar Dewantara. Juga Bung Karno dan para pejuang bangsa ksatria Jawa lainnya. Jika tokoh Bima menjadi tokoh idola Bung Karno, tokoh Kresna dan Yudistira menjadi tokoh wayang idola Ki Hadjar Dewantara. Selain itu, ketika masih kanak-kanak, ternyata Ki Hadjar Dewantara juga mempunyai nama yang unik. Sipakah nama unik Ki Hadjar Dewantara pada masa kanak-kanak ?


Nama Unik Ki Hadjar Dewantara Pada Masa Kanak-Kanak

Pada hari Kamis Legi, bertepatan dengan tanggal 2- Ramadhan 1309 Hijriyah, bertepatan dengan tanggal 2- Pasa -1811 Jawa dan bertepatan pula dengan tanggal 2 – Mei -1889  Masehi, Raden Ayu Sandiah istri KPH. Suryaningrat, dengan selamat melahirkan seorang bayi laki-laki yang mungil. BRAyu KPH. Suryaningrat atau Raden Ayu Sandiah tentu amat gembira karena mampu mempersembahkan seorang bayi laki-laki kepada suaminya. Kegembiran yang sama juga nampak pada wajah KPH. Suryaningrat saat menyambut kehadiran calon ksatria Pakualaman yang lahir dengan selamat itu. Ayah yang tengah bebahagia itu, memberi nama putranya yang baru lahir, Suwardi Suryaningrat. 


BS.Dewantara, putra Ki Hadjar Dewantara  dalam  bukunya,” Ki Hadjar Dewantara- Ayahku”, menceriterakan bahwa KPH. Suryaningrat, ayah Ki Hajar Dewantara, disamping memberi nama resmi kepada putranya yang baru lahir itu Suwardi Suryaningrat, juga masih memberi nama yang tidak resmi, yakni nama panggilan sehari-hari. Dalam tradisi Jawa disebut paraban. Konon nama tidak resmi atau nama panggilan Ki Hadjar Dewantara pada waktu masih kanak-kanak adalah Raden Mas Jemblung Jaya Trunagati( BS.Dewantara: 1989 : 27 ). Sebuah nama yang indah dan mengandung harapan. Lebih-lebih nama itu hasil karya dua orang yakni KPH. Suryaningrat, ayahnya sendiri dan sahabat ayahnya, Kiai Sulaeman, seorang ulama dari Prambanan. Nama Jemblung dan Jaya berasal dari ayahnya sendiri, sedang Trunogati, berasal dari Kiai Sulaeman.


Konon saat putra ke-6 KPH. Suryaningrat itu dilahirkan, bayi itu agak kecil. Bobotnya kurang dari 3 kg, perutnya sedikit buncit, Tetapi suara tangisannya amat lembut. Karena itu, mula-mula KPH.Suryaningrat agak ragu-ragu, dapatkah bayi mungil itu kelak menjadi salah seorang dari  ksatria Pakualaman yang akan dapat mikul duwur mendhem jero ayah ibunya dan keluarga Pakualaman?  Karena perut bayi itu agak buncit, maka ayahnya memberi nama panggilan Jemblung. Tentu saja hanyalah sebuah nama olok-olokan atau paraban, karena KPH. Suryaningrat memang gemar berkelakar. 


Tetapi  Kiai Sulaeman berbisik kepada sahabatnya itu, ”Dimas jangan cemas. Dan berbahagialah. Suara anak ini amat lembut. Kelak akan mampu menjadi pembicara yang baik yang nasihatnya akan diikuti oleh banyak orang. Perutnya yang sedikit buncit itu menandakan dia kelak akan dapat menampung banyak ilmu. Khususnya ilmu-ilmu yang berkaitan dengan keagamaan, kebudayaan, dan pendidikan”. 


KPH. Suryaningrat mengangguk-anggukan kepalanya dan wajahnya menjadi cerah. Lalu Kiai Sulaiman menambahkan nama Trunogati. Truno artinya pemuda atau ksatria. Gati artinya cerdas, cepat tanggap, dan berani. “Trunogati artinya ksatria yang cerdas, cepat tanggap dan berani dari Pakualaman” jelas Kiai Sulaiman menjelaskan arti nama yang telah dipilihnya itu.


“Amiin!.Amiin!”, komentar KPH. Suryaningrat, saat mendengar tambahan nama dari sahabatnya itu, ”Kalau begitu aku tambahkan lagi dengan nama Jaya, sehingga lengkaplah nama panggilan tidak resmi anakku ini, Jemblung Jaya Trunogati.”


Kiyai Soleh dan tamu-tamu yang hadir pada acara bayen itu tertawa gembira dan puas. Mereka berharap  bayi laki-laki yang mungil itu kelak benar-benar akan menjadi seorang pemuda yang berani, berilmu dan bisa menjunjung tinggi keluhuran keluarganya, kerabat Kadipaten Pakualaman, masyarakatnya, dan bangsanya. Tentu hanya orang-orang terdekat saja yang diijinkan memanggil nama tidak resmi putra KPH.Suryaningrat itu. Menurut BS.Dewantara, pengasuh setia Pangeran Muda itu memanggilnya dengan panggilan sayang, Den Mas Jemblung.


Memang dalam tradisi kebudayaan Jawa, seseorang bisa memiliki banyak nama. Di samping nama resmi dan nama tidak resmi, seorang priyayi dan bangsawan Jawa sering pula masih mempunyai nama pada saat dia bersusia dua windu, empat windu, dan lima windu. Ada nama seorang ksatria pada saat dia berumur dua windu, yakni nama saat dia memasuki masa remaja, yang dalam tradisi Jawa disebut memasuki periode remaja awal atau periode satrio. Nama saat berusia empat windu adalah nama saat dia mulai memasuki masa dewasa awal atau periode  Satrio Pinandito. Dan akhirnya nama saat dia memasuki usia lima windu, yaitu saat dia memasuki usia dewasa mantap atau periode Pandito Sinatrio.


Memang tidak setiap ksatria Jawa secara konsisten merubah-rubah dan menambah-nambah namanya berdasarkan tahapan periode dari usia kejiwaan seseorang, tetapi secara rata-rata hampir para ksatria Jawa mengikuti tradisi tersebut.  Hal ini nampak jelas dalam dunia wayang. Seorang ksatria, bisa memiliki lebih dari sepuluh nama yang menggambarkan karakteristik dan pribadi sang tokoh. Misalnya, tokoh Gatutkaca. Dia juga bernama Purbaya, Krincingwesi, Jabang Tetuka, dan lainnya lagi.   


Dalam tradisi kebudayaan Jawa, acara bayen adalah tradisi keluarga, khususnya keluarga para priyayi, dalam menyambut kehadiran seorang bayi yang senantiasa diharapkan oleh kedua orang tuanya dan keluarganya. Tetapi tradisi ini di kalangan priyayi dan bangsawan kraton pada saat itu, telah berkembang sedemikian rupa, sehingga sering-sering dalam pelaksanaannya telah menyimpang dari tujuan semula yakni syukur nikmat. Misalnya, acara bayen dilaksanakan dengan mengundang tetangga untuk bergadang pada malam hari. Dalam bahasa Jawa disebut lek-lekan, dari kata melek, yang artinya tidak tidur semalam suntuk.

Dalam acara lek-lekan ini, tuan rumah harus menyediakan makanan kecil, minuman, umumnya kopi, dan terkadang masih ditambah makanan berat. Acara lek-lekan tidak hanya berlangsung semalam, kadang-kadang sampai  tujuh malam. Bahkan tidak jarang dalam acara bayen itu, dengan dalih untuk meghilangkan kantuk mereka menggelar permaianan judi. Dan ujung-ujungnya ada pula yang minum-minuman keras, umumnya ciu, sampai mabok. Tentu saja dari sudut tradisi acara bayen itu bukan hanya memberatkan bagi tuan rumah, tetapi juga telah menyimpang jauh dari tujuan semula yakni tirakatan dan syukuran.


Mungkin karena pangaruh Kiai Soleh, ketika itu KPH. Suryaningrat berani merubah tradisi yang sudah mengakar di kalangan priyayi dan bangsawan tinggi itu.  Tradisi bayen disederhanakan. Tidak boleh ada acara judi dan mabok-mabokan. Lama acara juga tidak sampai tujuh malam. Kiai Sulaiman mengisinya dengan pengajian dan tausiyah. Kemudian dibacakan kisah-kisah dari kitab sastra Jawa maupun dari sastra Islam. Dari sastra Jawa biasanya kisah-kisah dari dunia pewayangan, seperti lahirnya Bratasena, Kresna, Gatotkaca, Abimanyu, Bambang Irawan, atau lahirnya Parikesit apabila bayinya laki-laki. Bila bayi yang dilahirkan perempuan biasanya kisah yang dibacakan adalah kisah Surtikanti, Banowati, Sembadra, Pergiwa dan Pergiwati. Sedang dari sastra Arab, umumnya kisah para nabi. Yang populer antara lain adalah kisah Nabi Yusuf, bila bayinya laki-laki. Dan kisah Siti Fatimah, bila bayinya perempuan. 


Karena KPH. Suryaningrat adalah seorang bangsawan yang santri, maka kitab yang dibacakan pada acara bayen lahirnya Ki Hadjar Dewantara adalah Serat Ambiya Yusuf dan Serat Rama. Kedua kitab itu telah tersedia di Perpustakaan Pakualaman. Serat Ambiya Yusuf digubah oleh Paku Alam III, sedang Serat Rama digubah olelh Paku Alam I. Dengan demikian KPH. Suryaningrat telah melakukan reformasi  tradisi bayen di lingkungan Pakualaman. Hal-hal yang merugikan dan tidak bermanfaat dari tradisi yang ada ditinggalkan. Tetapi tradisi yang masih baik dan bermanfaat, tetap dipertahankan.


Ketika Ki Hadjar Dewantara lahir, kondisi keuangan Kadipaten Pakualaman sudah mulai membaik. Saat itu Paku Alam V tengah menduduki tahta Kadipaten Pakualaman dibantu putranya Pangeran Noto Dirojo. Walapun begitu, keluarga KHP. Suryaningrat  dari segi penghasilan ternyata tidak termasuk golongan bangsawan tinggi. Dia hanyalah bangsawan menengah. Hal ini bisa dilihat dari tunjangan yang diterimanya sebagai putra Paku Alam III, yang hanya 250 gulden per bulan. Seorang bangsawan tinggi, minimal berpenghasilan 400 gulden perbulan. Pada saat itu, hanya priyayi dan bangsawan yang berpenghasilan 400 gulden per bulan yang dapat diterima di HBS. Maka wajar bila tidak ada satu pun putra-putra KPH. Suryaningrat yang bisa masuk HBS. Apalagi putra KPH.Suryaningrat banyak. Menurut BS. Dewantara, KPH. Suryaningrat mempunyai 10 orang putra dan putrai yaitu :

(1)   RM.Suryasudirjo, (2) RM.Suryopranoto, (3) RM.Suryasiswara, (4) R.Ayu Bintang, (5) R.Ayu Suryapratiknya, (6) RM.Suwardi (Ki Hadjar Dewantara), (7) KRMT. Suryaningrat, (8) RM.Suwarman Suryaningrat, (9) RM.Suryaadiputra, (10) RM.Harun Al Rasid.


Dengan demikian, Ki Hadjar Dewantara adalah putra no 6 dari KPH. Suryaningrat. Pada saat Ki Hadjar Dewantara lahir, sudah ada lima orang kakaknya yang mau tidak mau menyedot penghasilan KPH. Suryaningrat untuk keperluan sekolahnya. Kakak Ki Hadjar Dewantara, RM. Suryoparanoto misalnya, setamat sekolah dasar Belanda ELS, tidak melanjutkan ke HBS, tetapi melanjutkan ke OSVIA di Magelang karena OSVIA memberikan bea siswa, sehingga meringankan beban keuangan orang tuanya. Setamat OSVIA, dia melanjutkan ke Sekolah Pertanian di Bogor, kemudian bekerja sebagai pegawai Bumi Putra pada Dinas Pertanian Pemerintah Hiindia Belanda. Terakhir dinas di Wonosobo (1914 ), kemudian keluar dan menerjunkan dirinya di lapangan pergerakan. Jika sepak terjang RM.Suryopranoto mirip Raden Kokrosono dalam dunia wayang, maka adiknya, RM.Suwardi Suryaningrat kelak mirip Raden Noroyono atau Prabu Kresna dari Dwarawati.


Demikianlah Ki Hadjar Dewantara kecil atau RM. Suwardi Suryaningrat, menjalani masa kanak-kanaknya dalam suasana keuangan keluarga yang serba pas-pasan. Selain kakaknya banyak, dia pun punya adik yang cukup banyak juga, yang semuanya tentu membutuhkan biaya untuk keperluan pendidikannya.Namun demikian, kondisi keuangan keluarga ternyata tidak menutup jalan bagi keluarga KPH. Suryaningrat untuk memperkaya lingkungan keluarganya dengan ilmu, kebudayan, kesenian, filsafat, dan wawasan keagamaan. Pendeknya KPH.Surayaningrat beserta BRAyu Sandiah, berusaha mewujudkan rumah tangganya sebagai institusi pendidikan yang pertama bagi putra putrinya.



Masuk Sekolah Dasar Belanda atau ELS.

Suwardi kecil masuk ELS , Sekolah Dasar Belanda, pada usia 7 tahun. Pada saat itu masuk ELS bagi Pribumi Hindia Belanda bukan perkara yang mudah. Sekalipun anak priyayi atau bangsawan tinggi, jika ingin masuk ELS harus melalui test lebih dulu. Test itu adalah test berhitung dan bahasa Belanda. Sebab ELS adalah sekolah dengan pengantar bahasa Belanda. Jika tidak lulus test, tak akan diterima di ELS yang lama pendidikannya 7 tahun itu. Sudah barang tentu, para priyayi dan bangsawan yang ingin menyekolahkan anaknya ke ELS, harus mendidik putranya sedini mungkin kemampuan dalam bahasa Belanda. Sekalipun masuk ELS sulit, tetapi diburu juga oleh keluarga para priyayi. Sebab bagi lulusan ELS pada jaman itu, sudah tersedia lapangan pekerjaan yaitu dapat diterima sebagai Klein Ambtenaar, yakni pegawai rendahan pemerintah Hindia Belanda.


Walaupun hanya pegawai rendahan tetapi telah memberikan gengsi tersendiri bagi Pribumi, karena jabatan itu telah meningkatkan status mereka menjadi lebih terhormat di mata masyarakat Pribumi masa itu. Padahal jenjang tertinggi yang dapat di capai oleh pegawai rendahan lulusan ELS hanyalah kepala pegawai magang dengan gaji hanya 10 gulden per bulan. Dan jenjang karir itu harus ditempuhnya selama bertahun-tahun. Namun anak-anak mereka memang memiliki peluang untuk menjadi seorang asisten wedana bahkan wedana. Sangat wajar sebenarnya bila anak para priyayi Pribumi dan bangsawan berlomba-lomba untuk masuk ELS. Di samping itu lulusan ELS juga dapat meneruskan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi seperti HBS, OSVIA, Kweek School dan STOVIA. Di antara  sekolah-sekolah menengah tersebut, HBS adalah sekolah yang paling bergengsi. Anak-anak bupati dan raja Jawa umumnya masuk HBS, karena Belanda hanya akan mengangkat anak-anak Bupati lulusan HBS, sebagai calon pengganti jabatan ayahnya di kelak kemudian hari.


Suatu kenyataan bahwa Suwardi dengan mudah masuk ELS, menunjukkan bahwa Suwardi sudah menguasai bahasa Belanda dengan baik sebelum usia 7 tahun. ELS tempat Suwardi bersekolah, bukan ELS  klas satu, tetapi hanya ELS klas tiga yang terletak di Bintaran. Di ELS ini, tidak banyak anak-anak Belandanya. Sebagian besar adalah anak-anak Ambon yang bapaknya bekerja sebagai tentara Belanda. Kalau toh ada anak Belandanya, kebanyakan anak-anak Belanda dari orang tuanya yang hanya pegawai rendahan.


Sekalipun Suwardi hanya bisa masuk ELS Pinggiran, Suwardi tak pernah berkecil hati. Ia pun tak pernah merasa rendah diri. Bahkan sekalipun badannya kecil, jika ada sinyo Belanda atau Ambon yang berani menghinanya, Suwardi berani melawannya. Keberaniannya melawan sinyo-sinyo Belanda yang berani mengejeknya, merupakan benih nasionalisme yang diam-diam bersemi dalam benaknya. Jelas sekali bahwa benih-benih nasionalisme, nilai-nilai moral perjuangan dan nilai-nilai religiusitas dan wawaaan kebudayaan Suwardi, sudah tertempa sejak kecil dan itu semua tidak hanya didapat dari lingkungan pendidikan formalnya di ELS, tetapi juga di lingkungan  rumah tangga dan keluarganya, yang merupakan institusi pendikan pertamanya .


KPH. Suryaningrat rupanya memang secara sadar menjadikan lingkungan keluarga dan lingkungan Kadipaten Pakualaman sebagai lingkungan yang kondusif dan nyaman untuk menyemaikan dan mengembangkan nilai-nilai religiusitas, nilai-nilai moral, budi pekerti, dan nilai-nilai nasinolisme bagi putra-putrinya. Baginya, ELS dan sekolah formal lainnya, hanyalah tempat untuk mendidik dan mengembangkan intelektualitas dan kecerdasan. Sedang pendidkan moral, budi pekerti, nilai-nilai religiusitas dan kebudayaan, memang tetap harus menjadi tanggung jawab keluarga.


Agaknya pengalaman pribadi Suwardi masa kecil  yang telah mengoptimalkan lingkungan keluarganya sebagai salah satu sumber untuk mengembangkan sikap, watak dan kepribadiannya, kelak menjadi sumber ide dan inspirasi serta dasar baginya untuk mengembangkan teorinya mengenai tiga pusat pendidikan atau  tri sentra lingkungan pendidikan, yakni lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat. Memang lingkungan keluarga KPH. Suryaningrat sangat kondusif sebagai pusat pendidikan keluarga. Bahkan corak nasionalisme Ki Hadjar Dewantara sebagain besar justru terbentuk secara lebih dini di dalam lingkungan keluarganya di Pura Pakualaman.


Rumah keluarga KPH. Suryaningrat dan keluarga GPH. Sasraningrat, berdampingan dan berada di sisi timur Istana Pakualaman. Ayah Suwardi  adalah seorang empu di bidang seni gending Jawa, ahli sastra Jawa, penulis, filosof dan mistikus Islam Kejawen Aliran Sunan Kalijaga. Di rumah Suwardi, tersedia kitab-kitab sastra Jawa gubahan ayahnya. Di samping tempat tinggalnya, berdiri rumah  pamannya, yakni adik  ayahnya GPH. Sasraningrat. Dia adalah juga seorang penulis seperti kakaknya dan memiliki keahlian  dalam bidang sastra Jawa. Jelaslah bahwa lingkungan Suwardi kecil adalah lingkungan dari para cendekiawan Jawa yang akrab dengan dunia buku, dunia baca dan dunia tulis menulis.


Tidak heran bahwa bakatnya di bidang jurnalistik dan tulis menulis  yang ada pada diri Suwardi, berkembang juga. Tampaknya sudah sejak ELS, Suwardi sudah menggeluti sastra dan kebudayan Jawa. Wajar jika saat usianya 12 tahun, Suwardi sudah pandai menulis sajak tentang Satria Penengah Pendawa, Yudistira. Memang dua tokoh wayang idola Suwardi saat kecil adalah Yudistiro dan Narayana atau Kresna yang titisan Wisnu.


Hampir semua bangsawan dan priyayi Jawa adalah penggemar berat kisah-kisah ksatria dari dunia wayang. Tidak kecuali para ksatria dari Kadipaten Pakualaman. Hampir dapat dipastikan kisah-kisah kepahlawanan para ksatria dalam kitab Mahabarata dan Ramayana telah menjadi sumber insiparisi sikap, wasasan dan gagasan nasionalisme patriotik para bangsawan dan priyayi yang telah melahirkan sejumlah perlawanan kepada kesewenang-wenangan pemerintah penjajah Belanda, baik secara diam-diam, maupun melalui aksi protes sampai perjuangan secara fisik untuk mengakhiri penjajahan. Para penulis barat yang mendalami sejarah pergerakan nasinal Indonsia, seperti Ben Anderson, Kahin, Peter Carey Benard Dahm dan sarjana Jepang seperti Takashi Shiraisi menyebutkan bahwa jejak-jejak dan gagasan para nasionalis Indonesia, khususnya Jawa,  banyak yang dilhami dari kisah-kisah perjuangan para ksatria dalam dunia wayang.[Bersambung]


Tidak ada komentar:

Posting Komentar