Mengenang Masa Kanak-Kanak Ki Hadjar
Dewantara, dari ELS-STOVIA(01)
Jangan abaikan masa kanak-kanak.
Sebab masa kanak-kanak sering sangat berpengaruh pada watak, karakter, dan
karir seseorang di masa depan. Lalu,
bagaimana sih masa kanak-kanak Ki Hadjar Dewantara yang tanggal kelahirannya 2
Mei selalu kita peringati sebagai Hari Pendidikan
Nasional? Ternyata dunia para ksatria dalam kisah wayang kulit yang bersumber
dari Mahabarata dan Ramayana cukup berpengaruh kepada para ksatria Jawa ketika
mereka berjuang untuk meraih kemerdekaan bangsanya dari penjajahan Belanda.
Tidak hanya Ki Hadjar Dewantara. Juga Bung Karno dan para pejuang bangsa
ksatria Jawa lainnya. Jika tokoh Bima menjadi tokoh idola Bung Karno, tokoh
Kresna dan Yudistira menjadi tokoh wayang idola Ki Hadjar Dewantara. Selain
itu, ketika masih kanak-kanak, ternyata Ki Hadjar Dewantara juga mempunyai nama
yang unik. Sipakah nama unik Ki Hadjar Dewantara pada masa kanak-kanak ?
Nama
Unik Ki Hadjar Dewantara Pada Masa Kanak-Kanak
Pada hari Kamis Legi, bertepatan dengan
tanggal 2- Ramadhan 1309 Hijriyah, bertepatan dengan tanggal 2- Pasa -1811 Jawa
dan bertepatan pula dengan tanggal 2 – Mei -1889 Masehi, Raden Ayu Sandiah istri KPH.
Suryaningrat, dengan selamat melahirkan seorang bayi laki-laki yang mungil.
BRAyu KPH. Suryaningrat atau Raden Ayu Sandiah tentu amat gembira karena mampu
mempersembahkan seorang bayi laki-laki kepada suaminya. Kegembiran yang sama
juga nampak pada wajah KPH. Suryaningrat saat menyambut kehadiran calon ksatria
Pakualaman yang lahir dengan selamat itu. Ayah yang tengah bebahagia itu,
memberi nama putranya yang baru lahir, Suwardi Suryaningrat.
BS.Dewantara, putra Ki Hadjar Dewantara dalam
bukunya,” Ki Hadjar Dewantara- Ayahku”, menceriterakan bahwa KPH. Suryaningrat,
ayah Ki Hajar Dewantara, disamping memberi nama resmi kepada putranya yang baru
lahir itu Suwardi Suryaningrat, juga masih memberi nama yang tidak resmi, yakni
nama panggilan sehari-hari. Dalam tradisi Jawa disebut paraban. Konon nama
tidak resmi atau nama panggilan Ki Hadjar Dewantara pada waktu masih
kanak-kanak adalah Raden Mas Jemblung Jaya Trunagati( BS.Dewantara: 1989 : 27
). Sebuah nama yang indah dan mengandung harapan. Lebih-lebih nama itu hasil
karya dua orang yakni KPH. Suryaningrat, ayahnya sendiri dan sahabat ayahnya,
Kiai Sulaeman, seorang ulama dari Prambanan. Nama Jemblung dan Jaya berasal
dari ayahnya sendiri, sedang Trunogati, berasal dari Kiai Sulaeman.
Konon saat putra ke-6 KPH. Suryaningrat itu
dilahirkan, bayi itu agak kecil. Bobotnya kurang dari 3 kg, perutnya sedikit
buncit, Tetapi suara tangisannya amat lembut. Karena itu, mula-mula
KPH.Suryaningrat agak ragu-ragu, dapatkah bayi mungil itu kelak menjadi salah
seorang dari ksatria Pakualaman yang
akan dapat mikul duwur mendhem jero ayah ibunya dan keluarga Pakualaman? Karena perut bayi itu agak buncit, maka
ayahnya memberi nama panggilan Jemblung. Tentu saja hanyalah sebuah nama
olok-olokan atau paraban, karena KPH. Suryaningrat memang gemar
berkelakar.
Tetapi
Kiai Sulaeman berbisik kepada sahabatnya itu, ”Dimas jangan cemas. Dan
berbahagialah. Suara anak ini amat lembut. Kelak akan mampu menjadi pembicara
yang baik yang nasihatnya akan diikuti oleh banyak orang. Perutnya yang sedikit
buncit itu menandakan dia kelak akan dapat menampung banyak ilmu. Khususnya
ilmu-ilmu yang berkaitan dengan keagamaan, kebudayaan, dan pendidikan”.
KPH. Suryaningrat mengangguk-anggukan
kepalanya dan wajahnya menjadi cerah. Lalu Kiai Sulaiman menambahkan nama
Trunogati. Truno artinya pemuda atau ksatria. Gati artinya cerdas, cepat
tanggap, dan berani. “Trunogati artinya ksatria yang cerdas, cepat tanggap dan
berani dari Pakualaman” jelas Kiai Sulaiman menjelaskan arti nama yang telah
dipilihnya itu.
“Amiin!.Amiin!”, komentar KPH. Suryaningrat,
saat mendengar tambahan nama dari sahabatnya itu, ”Kalau begitu aku tambahkan
lagi dengan nama Jaya, sehingga lengkaplah nama panggilan tidak resmi anakku
ini, Jemblung Jaya Trunogati.”
Kiyai Soleh dan tamu-tamu yang hadir pada
acara bayen itu tertawa gembira dan puas. Mereka berharap bayi laki-laki yang mungil itu kelak
benar-benar akan menjadi seorang pemuda yang berani, berilmu dan bisa
menjunjung tinggi keluhuran keluarganya, kerabat Kadipaten Pakualaman,
masyarakatnya, dan bangsanya. Tentu hanya orang-orang terdekat saja yang
diijinkan memanggil nama tidak resmi putra KPH.Suryaningrat itu. Menurut
BS.Dewantara, pengasuh setia Pangeran Muda itu memanggilnya dengan panggilan
sayang, Den Mas Jemblung.
Memang dalam tradisi kebudayaan Jawa,
seseorang bisa memiliki banyak nama. Di samping nama resmi dan nama tidak
resmi, seorang priyayi dan bangsawan Jawa sering pula masih mempunyai nama pada
saat dia bersusia dua windu, empat windu, dan lima windu. Ada nama seorang
ksatria pada saat dia berumur dua windu, yakni nama saat dia memasuki masa
remaja, yang dalam tradisi Jawa disebut memasuki periode remaja awal atau
periode satrio. Nama saat berusia empat windu adalah nama saat dia mulai
memasuki masa dewasa awal atau periode
Satrio Pinandito. Dan akhirnya nama saat dia memasuki usia lima windu,
yaitu saat dia memasuki usia dewasa mantap atau periode Pandito Sinatrio.
Memang tidak setiap ksatria Jawa secara
konsisten merubah-rubah dan menambah-nambah namanya berdasarkan tahapan periode
dari usia kejiwaan seseorang, tetapi secara rata-rata hampir para ksatria Jawa
mengikuti tradisi tersebut. Hal ini
nampak jelas dalam dunia wayang. Seorang ksatria, bisa memiliki lebih dari
sepuluh nama yang menggambarkan karakteristik dan pribadi sang tokoh. Misalnya,
tokoh Gatutkaca. Dia juga bernama Purbaya, Krincingwesi, Jabang Tetuka, dan
lainnya lagi.
Dalam tradisi kebudayaan Jawa, acara bayen
adalah tradisi keluarga, khususnya keluarga para priyayi, dalam menyambut
kehadiran seorang bayi yang senantiasa diharapkan oleh kedua orang tuanya dan
keluarganya. Tetapi tradisi ini di kalangan priyayi dan bangsawan kraton pada
saat itu, telah berkembang sedemikian rupa, sehingga sering-sering dalam
pelaksanaannya telah menyimpang dari tujuan semula yakni syukur nikmat.
Misalnya, acara bayen dilaksanakan dengan mengundang tetangga untuk bergadang
pada malam hari. Dalam bahasa Jawa disebut lek-lekan, dari kata melek, yang
artinya tidak tidur semalam suntuk.
Dalam acara lek-lekan ini, tuan rumah harus
menyediakan makanan kecil, minuman, umumnya kopi, dan terkadang masih ditambah
makanan berat. Acara lek-lekan tidak hanya berlangsung semalam, kadang-kadang
sampai tujuh malam. Bahkan tidak jarang
dalam acara bayen itu, dengan dalih untuk meghilangkan kantuk mereka menggelar
permaianan judi. Dan ujung-ujungnya ada pula yang minum-minuman keras, umumnya
ciu, sampai mabok. Tentu saja dari sudut tradisi acara bayen itu bukan hanya
memberatkan bagi tuan rumah, tetapi juga telah menyimpang jauh dari tujuan
semula yakni tirakatan dan syukuran.
Mungkin karena pangaruh Kiai Soleh, ketika itu
KPH. Suryaningrat berani merubah tradisi yang sudah mengakar di kalangan
priyayi dan bangsawan tinggi itu.
Tradisi bayen disederhanakan. Tidak boleh ada acara judi dan
mabok-mabokan. Lama acara juga tidak sampai tujuh malam. Kiai Sulaiman
mengisinya dengan pengajian dan tausiyah. Kemudian dibacakan kisah-kisah dari
kitab sastra Jawa maupun dari sastra Islam. Dari sastra Jawa biasanya
kisah-kisah dari dunia pewayangan, seperti lahirnya Bratasena, Kresna,
Gatotkaca, Abimanyu, Bambang Irawan, atau lahirnya Parikesit apabila bayinya
laki-laki. Bila bayi yang dilahirkan perempuan biasanya kisah yang dibacakan
adalah kisah Surtikanti, Banowati, Sembadra, Pergiwa dan Pergiwati. Sedang dari
sastra Arab, umumnya kisah para nabi. Yang populer antara lain adalah kisah
Nabi Yusuf, bila bayinya laki-laki. Dan kisah Siti Fatimah, bila bayinya
perempuan.
Karena KPH. Suryaningrat adalah seorang
bangsawan yang santri, maka kitab yang dibacakan pada acara bayen lahirnya Ki
Hadjar Dewantara adalah Serat Ambiya Yusuf dan Serat Rama. Kedua kitab itu
telah tersedia di Perpustakaan Pakualaman. Serat Ambiya Yusuf digubah oleh Paku
Alam III, sedang Serat Rama digubah olelh Paku Alam I. Dengan demikian KPH.
Suryaningrat telah melakukan reformasi
tradisi bayen di lingkungan Pakualaman. Hal-hal yang merugikan dan tidak
bermanfaat dari tradisi yang ada ditinggalkan. Tetapi tradisi yang masih baik
dan bermanfaat, tetap dipertahankan.
Ketika Ki Hadjar Dewantara lahir, kondisi
keuangan Kadipaten Pakualaman sudah mulai membaik. Saat itu Paku Alam V tengah
menduduki tahta Kadipaten Pakualaman dibantu putranya Pangeran Noto Dirojo.
Walapun begitu, keluarga KHP. Suryaningrat
dari segi penghasilan ternyata tidak termasuk golongan bangsawan tinggi.
Dia hanyalah bangsawan menengah. Hal ini bisa dilihat dari tunjangan yang
diterimanya sebagai putra Paku Alam III, yang hanya 250 gulden per bulan.
Seorang bangsawan tinggi, minimal berpenghasilan 400 gulden perbulan. Pada saat
itu, hanya priyayi dan bangsawan yang berpenghasilan 400 gulden per bulan yang
dapat diterima di HBS. Maka wajar bila tidak ada satu pun putra-putra KPH.
Suryaningrat yang bisa masuk HBS. Apalagi putra KPH.Suryaningrat banyak.
Menurut BS. Dewantara, KPH. Suryaningrat mempunyai 10 orang putra dan putrai
yaitu :
(1) RM.Suryasudirjo, (2) RM.Suryopranoto, (3) RM.Suryasiswara, (4) R.Ayu
Bintang, (5) R.Ayu Suryapratiknya, (6) RM.Suwardi (Ki Hadjar Dewantara), (7) KRMT. Suryaningrat, (8) RM.Suwarman Suryaningrat, (9) RM.Suryaadiputra, (10) RM.Harun Al Rasid.
Dengan demikian, Ki Hadjar Dewantara adalah
putra no 6 dari KPH. Suryaningrat. Pada saat Ki Hadjar Dewantara lahir, sudah
ada lima orang kakaknya yang mau tidak mau menyedot penghasilan KPH.
Suryaningrat untuk keperluan sekolahnya. Kakak Ki Hadjar Dewantara, RM.
Suryoparanoto misalnya, setamat sekolah dasar Belanda ELS, tidak melanjutkan ke
HBS, tetapi melanjutkan ke OSVIA di Magelang karena OSVIA memberikan bea siswa,
sehingga meringankan beban keuangan orang tuanya. Setamat OSVIA, dia
melanjutkan ke Sekolah Pertanian di Bogor, kemudian bekerja sebagai pegawai
Bumi Putra pada Dinas Pertanian Pemerintah Hiindia Belanda. Terakhir dinas di
Wonosobo (1914 ), kemudian keluar dan menerjunkan dirinya di lapangan
pergerakan. Jika sepak terjang RM.Suryopranoto mirip Raden Kokrosono dalam
dunia wayang, maka adiknya, RM.Suwardi Suryaningrat kelak mirip Raden Noroyono
atau Prabu Kresna dari Dwarawati.
Demikianlah Ki Hadjar Dewantara kecil atau RM.
Suwardi Suryaningrat, menjalani masa kanak-kanaknya dalam suasana keuangan
keluarga yang serba pas-pasan. Selain kakaknya banyak, dia pun punya adik yang
cukup banyak juga, yang semuanya tentu membutuhkan biaya untuk keperluan
pendidikannya.Namun demikian, kondisi keuangan keluarga ternyata tidak menutup
jalan bagi keluarga KPH. Suryaningrat untuk memperkaya lingkungan keluarganya
dengan ilmu, kebudayan, kesenian, filsafat, dan wawasan keagamaan. Pendeknya
KPH.Surayaningrat beserta BRAyu Sandiah, berusaha mewujudkan rumah tangganya
sebagai institusi pendidikan yang pertama bagi putra putrinya.
Masuk
Sekolah Dasar Belanda atau ELS.
Suwardi kecil masuk ELS , Sekolah Dasar
Belanda, pada usia 7 tahun. Pada saat itu masuk ELS bagi Pribumi Hindia Belanda
bukan perkara yang mudah. Sekalipun anak priyayi atau bangsawan tinggi, jika
ingin masuk ELS harus melalui test lebih dulu. Test itu adalah test berhitung
dan bahasa Belanda. Sebab ELS adalah sekolah dengan pengantar bahasa Belanda.
Jika tidak lulus test, tak akan diterima di ELS yang lama pendidikannya 7 tahun
itu. Sudah barang tentu, para priyayi dan bangsawan yang ingin menyekolahkan anaknya
ke ELS, harus mendidik putranya sedini mungkin kemampuan dalam bahasa Belanda.
Sekalipun masuk ELS sulit, tetapi diburu juga oleh keluarga para priyayi. Sebab
bagi lulusan ELS pada jaman itu, sudah tersedia lapangan pekerjaan yaitu dapat
diterima sebagai Klein Ambtenaar, yakni pegawai rendahan pemerintah Hindia
Belanda.
Walaupun hanya pegawai rendahan tetapi telah
memberikan gengsi tersendiri bagi Pribumi, karena jabatan itu telah
meningkatkan status mereka menjadi lebih terhormat di mata masyarakat Pribumi
masa itu. Padahal jenjang tertinggi yang dapat di capai oleh pegawai rendahan
lulusan ELS hanyalah kepala pegawai magang dengan gaji hanya 10 gulden per
bulan. Dan jenjang karir itu harus ditempuhnya selama bertahun-tahun. Namun
anak-anak mereka memang memiliki peluang untuk menjadi seorang asisten wedana
bahkan wedana. Sangat wajar sebenarnya bila anak para priyayi Pribumi dan
bangsawan berlomba-lomba untuk masuk ELS. Di samping itu lulusan ELS juga dapat
meneruskan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi seperti HBS, OSVIA, Kweek
School dan STOVIA. Di antara
sekolah-sekolah menengah tersebut, HBS adalah sekolah yang paling
bergengsi. Anak-anak bupati dan raja Jawa umumnya masuk HBS, karena Belanda
hanya akan mengangkat anak-anak Bupati lulusan HBS, sebagai calon pengganti
jabatan ayahnya di kelak kemudian hari.
Suatu kenyataan bahwa Suwardi dengan mudah
masuk ELS, menunjukkan bahwa Suwardi sudah menguasai bahasa Belanda dengan baik
sebelum usia 7 tahun. ELS tempat Suwardi bersekolah, bukan ELS klas satu, tetapi hanya ELS klas tiga yang
terletak di Bintaran. Di ELS ini, tidak banyak anak-anak Belandanya. Sebagian
besar adalah anak-anak Ambon yang bapaknya bekerja sebagai tentara Belanda.
Kalau toh ada anak Belandanya, kebanyakan anak-anak Belanda dari orang tuanya
yang hanya pegawai rendahan.
Sekalipun Suwardi hanya bisa masuk ELS
Pinggiran, Suwardi tak pernah berkecil hati. Ia pun tak pernah merasa rendah
diri. Bahkan sekalipun badannya kecil, jika ada sinyo Belanda atau Ambon yang
berani menghinanya, Suwardi berani melawannya. Keberaniannya melawan
sinyo-sinyo Belanda yang berani mengejeknya, merupakan benih nasionalisme yang
diam-diam bersemi dalam benaknya. Jelas sekali bahwa benih-benih nasionalisme,
nilai-nilai moral perjuangan dan nilai-nilai religiusitas dan wawaaan
kebudayaan Suwardi, sudah tertempa sejak kecil dan itu semua tidak hanya
didapat dari lingkungan pendidikan formalnya di ELS, tetapi juga di
lingkungan rumah tangga dan keluarganya,
yang merupakan institusi pendikan pertamanya .
KPH. Suryaningrat rupanya memang secara sadar
menjadikan lingkungan keluarga dan lingkungan Kadipaten Pakualaman sebagai
lingkungan yang kondusif dan nyaman untuk menyemaikan dan mengembangkan
nilai-nilai religiusitas, nilai-nilai moral, budi pekerti, dan nilai-nilai
nasinolisme bagi putra-putrinya. Baginya, ELS dan sekolah formal lainnya,
hanyalah tempat untuk mendidik dan mengembangkan intelektualitas dan
kecerdasan. Sedang pendidkan moral, budi pekerti, nilai-nilai religiusitas dan
kebudayaan, memang tetap harus menjadi tanggung jawab keluarga.
Agaknya pengalaman pribadi Suwardi masa
kecil yang telah mengoptimalkan
lingkungan keluarganya sebagai salah satu sumber untuk mengembangkan sikap,
watak dan kepribadiannya, kelak menjadi sumber ide dan inspirasi serta dasar
baginya untuk mengembangkan teorinya mengenai tiga pusat pendidikan atau tri sentra lingkungan pendidikan, yakni
lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat. Memang
lingkungan keluarga KPH. Suryaningrat sangat kondusif sebagai pusat pendidikan
keluarga. Bahkan corak nasionalisme Ki Hadjar Dewantara sebagain besar justru
terbentuk secara lebih dini di dalam lingkungan keluarganya di Pura Pakualaman.
Rumah keluarga KPH. Suryaningrat dan keluarga
GPH. Sasraningrat, berdampingan dan berada di sisi timur Istana Pakualaman.
Ayah Suwardi adalah seorang empu di
bidang seni gending Jawa, ahli sastra Jawa, penulis, filosof dan mistikus Islam
Kejawen Aliran Sunan Kalijaga. Di rumah Suwardi, tersedia kitab-kitab sastra
Jawa gubahan ayahnya. Di samping tempat tinggalnya, berdiri rumah pamannya, yakni adik ayahnya GPH. Sasraningrat. Dia adalah juga
seorang penulis seperti kakaknya dan memiliki keahlian dalam bidang sastra Jawa. Jelaslah bahwa
lingkungan Suwardi kecil adalah lingkungan dari para cendekiawan Jawa yang
akrab dengan dunia buku, dunia baca dan dunia tulis menulis.
Tidak heran bahwa bakatnya di bidang jurnalistik
dan tulis menulis yang ada pada diri
Suwardi, berkembang juga. Tampaknya sudah sejak ELS, Suwardi sudah menggeluti
sastra dan kebudayan Jawa. Wajar jika saat usianya 12 tahun, Suwardi sudah
pandai menulis sajak tentang Satria Penengah Pendawa, Yudistira. Memang dua
tokoh wayang idola Suwardi saat kecil adalah Yudistiro dan Narayana atau Kresna
yang titisan Wisnu.
Hampir semua bangsawan dan priyayi Jawa adalah
penggemar berat kisah-kisah ksatria dari dunia wayang. Tidak kecuali para
ksatria dari Kadipaten Pakualaman. Hampir dapat dipastikan kisah-kisah
kepahlawanan para ksatria dalam kitab Mahabarata dan Ramayana telah menjadi
sumber insiparisi sikap, wasasan dan gagasan nasionalisme patriotik para
bangsawan dan priyayi yang telah melahirkan sejumlah perlawanan kepada
kesewenang-wenangan pemerintah penjajah Belanda, baik secara diam-diam, maupun
melalui aksi protes sampai perjuangan secara fisik untuk mengakhiri penjajahan.
Para penulis barat yang mendalami sejarah pergerakan nasinal Indonsia, seperti
Ben Anderson, Kahin, Peter Carey Benard Dahm dan sarjana Jepang seperti Takashi
Shiraisi menyebutkan bahwa jejak-jejak dan gagasan para nasionalis Indonesia,
khususnya Jawa, banyak yang dilhami dari
kisah-kisah perjuangan para ksatria dalam dunia wayang.[Bersambung]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar