Entri yang Diunggulkan

Kahyangan Suralaya, Tempat Tinggal Para Dewa

Legenda adalah kisah tentang orang, kejadian, atau peristiwa yang dibuat berdasarkan fantasi dengan maksud untuk menimbulkan kekaguman...

Rabu, 22 Juni 2016

Memperingati Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2016 (02-Tamat)



Mengenang Masa Kanak-Kanak Ki Hadjar Dewantara Dari ELS Menuju STOVIA(02)


Bernard  Dahm menyebutkan bahwa Sukarno telah mengidentifikasikan dirinya, mula-mula dengan Adipati Karna. Bung Karno ketika kecil namanya sebenarnya adalah Kusno. Tetapi kemudian ayahnya, R.Sukemi merubah namya menjadi Karno, lengkapnya Sukarno, karena berharap anaknya itu kelak bisa meneladani Ksatria Awangga Adipati Karno yang cinta kepada tanah airnya dan tugas yang diembannya, sehingga memilih gugur dalam Perang Barata Yudha melawan adiknya sendiri Arjuna. Padahal, bila mau, Adipati Karno bisa menghindari kematiannnya bila saja dia mau bergabung dengan adik-adiknya, Keluarga  Pandawa.


Tetapi setelah remaja, Adipati Karna tidak lagi menjadi idola Bung Karno, karena Bung Karno mungkin menilai karakter Adipati Karna yang berperang di pihak Astina, tidak sejalan dengan aspirasi dan semangat nasionalismenya. Bung Karno mengidentifikasikan dirinya sebagai Bima yang selalu siap untuk melawan pemerintah Hindia Belanda yang diidentifikasikan dengan Astina. Dan bagi Bung Karno, perang Bharata Yudha melawan Belanda harus terjadi dan harus dimenangkan oleh para nasionalis Indonesia yang diidentifikasikannya sebagai Keluarga Pandawa. Dapat kita mengerti bahwa Bung Karno, seperti juga Ki Hadjar Dewantara dengan Tamansiswanya kelak, lebih suka menempuh jalan nonkooperatif dan non kompromi dalam melawan pemerintah Hindia Belanda.


Ksatria Wayang, Sumber Inspirasi Nasionalisme Ksatria Jawa

Sebenarnya tradisi para ksatria, bangsawan, dan para raja Jawa mengidentifikasikan dirinya dengan para ksatria dari dunia wayang dalam perjuangannya meraih kekuasaan, mengelola keuasaan, dan kelak dalam usaha merebut kemerdekaan dari penjajah Belanda, sudah berlangsung sejak para pujangga dan cendekiawan Jawa masa pra-Islam menerjemahkan kitab Mahabarata dan Ramayana ke dalam bahasa Jawa.


Bagi  orang Jawa, kisah-kisah dalam dunia wayang yang bersumber dari kedua kitab itu, telah menjadi semacam religi yang mendarah daging dan terus diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya sampai pada jaman munculnya kerajaan-kerajaan Islam di Jawa Tengah, bahkan sampai jaman kita sekarang ini.

Erlangga misalnya, ketika berjuang bersama Narotama untuk merebut kembali tahta mertuanya Darmawangsa yang hilang karena direbut Raja Wengker, telah mengidentifikasikan dirinya dengan Arjuna dalam kisah Arjuna Wiwaha. Raja Wengker yang akan ditaklukannya, diidentifikasikan sebagai Raja Niwatakawaca dari Kerajaan Ima-Imantaka. Sebagaimana Arjuna akhirnya dapat menaklukan musuhnya, Erlangga pun akhirnya dapat menaklukan Raja Wengker dan meraih kembali tahta mertuanya yang hilang dan dibangunlah Kerajaan Kahuripan.


Demikian pula ketika Raja Jayabaya dari Daha atau Kediri harus berperang dengan Jenggala, dia menganggap Daha atau Kediri adalah Pandawa dan Jenggala musuhnya adalah Kurawa yang harus dikalahkannya dalam perang Bharata Yudha. Raja Jayabaya berhasil mengalahkan Jenggala, sebagaimana Pandawa berhasil mengalahkan Kurawa. Raja Jayabaya kemudian menyatukan Daha dan Jenggala menjadi satu kerajaan, maka lahirlah Kerajaan Kediri yang mencapai puncak kejayaannya setelah dipersatukan oleh Jayabaya.


Agaknya sejak Jayabaya berhasil mewujudkan negara kesatuan  Daha-Jenggala dan berhasil membangun kerajaannya menuju negara yang makmur, sejahtera, dan berkelimpahan, maka sejak itulah ideologi persatuan dan kesatuan menjadi tema-tema yang diperjuangan para ksatria Jawa dan menjadi obsesi para priyayi dan bangsawan yang menggagas negara kebangsaan patriotik berbasis ideologi persatuan. Pada masa Kerajaan Islam, Sunan Kalijaga dan Sunan Murio juga telah memanfaatkan kisah-kisah dari dunia wayang sebagai salah satu media dakwah untuk menyebarkan agama Islam. Istana kraton Jawa, mulai dari Demak, Pajang, Mataram, Surakarta, Mangkunegaran, Yogyakarta dan Pakualaman, secara rutin menggelar pentas wayang.


Bahkan Pangeran Diponegoro  yang mengobarkan Perang Jawa (1825 – 1830 M), seperti halnya Erlangga, mengidentifikasikan dirinya dengan Arjuna. Sedang Jendral De Kock diidentifikasikan dengan Niwata Kawaca dalan kisah Arjuna Wiwaha. Hanya saja Perjuangan Erlangga berhasil, sedangkan perjuangan Diponegoro gagal.


Karena itu amat menarik juga meneliti sikap nasionalisme para priyayi dan bangsawan Jawa  dalam menilai dan mengidentifikasikan dirinya dalam Perang Jawa yang hampir saja membuat pemerintah Hindia Belanda nyaris bangkrut. Seperti kita ketahui saat Perang Jawa meletus (1825 M), para bangsawan dan priyayi dari kraton Jawa warisan Mataram itu terpecah menjadi dua, yakni kelompok yang berpihak kepada Pangeran Diponegoro dan kelompok yang berpihak pada kompeni. Anehnya masing-masing pihak mengidentifikasikan dirinya dengan ksatria dunia wayang dengan cara dan persepsinya sendiri-sendiri dan masing-masing pihak mengaku sebagai ksatria yang telah melaksanakan darmanya dengan benar.


Dalam perang Jawa itu, Kraton Surakarta perpihak kepada Belanda. Menurut Peter Carey, ahli sejarah Perang Jawa, Kraton Surakarta mengirimkan Ki Cakranegara, sebagai komandan pasukan Surakarta untuk membantu Belanda berperang melawan Diponegoro. Bagi Cakranegara, Diponegoro adalah Duryudono, karena Dipongoro ingin menjadi Raja di Tanah Jawa. Padahal di Tanah Jawa sudah ada rajanya yang sah yaitu pemerintah Hindia Belanda. Ki Cakranegara sendiri mengidentifikasikan dirinya denga Raden Setyaki, sedang Paku Buwono VI (1823- 1830 M), tempat Ki  Cakranegara mengabdi dianggapnya sebagai Prabu Kresna. Atasannya Kol. Cleerens, didentifikasikan sebagai Bima. Sedangkan Jendral De Kock, dianggapnya sebagai Yudistiro. Bagi Ki Cakranegara, Diponegoro adalah kurawa, sebab jika Diponegoro Pendawa, Diponegoro harus menang dalam perang. Faktanya Diponegoro dapat dikalahkan, karena itu mustahil Diponegoro adalah Pandawa. Sebab Pandawa tidak mungkin kalah dalam Perang Barata Yudha. Demikian pandangan Ki Cakranegara yang pro Belanda.


Usai Perang Jawa, Ki Cakranegara diangkat menjadi Bupati Purworejo secara turun temurun karena Belanda menganggap jasa Ki Cakranegara dalam Perang Jawa amat besar. Ki Cakranegara sendiri mengaggapnya, Kabupaten Purworejo adalah Kadipaten Lesanpura. Memang pada awalnya Kabupaten Purworejo merupakan wilayah Kraton Surakarta yang oleh Ki Cakrangara dianggapnya sebagai Kerajaan Dwarawati, yakni kerajan tempat ia mengabdi dan meniti karir di bidang birokrasi pemerintah Hindia Belanda.


Berbeda dengan Ki Cakranegara, Raja-raja Mangkunegara yang mengirimkan Legiun Mangkunegaran berperang membantu Belanda dalam Perang Jawa, mereka mengidentifikasikan dirinya dengan Kadipaten Awangga. Dengan demikian Raja-Raja Mangkunegara menyadari posisinya bahwa dia memang berperang memihak Kurawa yang dalam  Perang Jawa di wakili oleh Belanda.


Dalam serat Tri Pama, Mangkunegara IV, memuji tiga ksatria yang memiliki nilai-nilai pengabdian yang tinggi terhadap tugasnya, yakni Adipati Karna, Kumbokarna dan Sumantri. Bagi Mangkunegoro IV, ketiga satria itu adalah nasionalis teladan, karena gugur membela tanah airnya dan tugas yang diembannya, tidak peduli gusti dari mana pun asalnya yang telah memerintahnya. Karena Sang Gusti itu telah memberinya kesejahteraan dan kemakmuran bagi ketiga ksatria itu. Bagi ketiga ksatria pilihan Mangkunegara IV dalam Serat Tri Pama, Gusti mereka adalah Duryodana untuk Adipati Karna, Rahwana untuk Kumbokarna dan  Harjuna Sasrabahu untuk  Raden Sumantri.


Kini mari kita lihat bagaimana pandangan nasionalisme para ksatria Pakualaman dalam menghadapi Perang Jawa. Paku Alam I dengan Legiun Pakualamannya, terpaksa harus membatu Belanda dalam Perang Jawa melawan kemenakannya sendiri Pangeran Diponegoro. Sebagai menantu Adipati Kadipaten Madura, rupanya Paku Alam I telah mengidentifikasikan dirinya sebagai Raja Basudewa dari Kerajaan Mandura dalam dunia wayang. Memang ada kemiripan antara kata Madura dan Mandura. Mungkin karena adanya kemiripan itu, banyak bangsawan dan Raja-raja Surakarta dan Yogyakarta yang mengambil istri putri bangsawan dari Madura. Termasuk di antaranya adalah Pangeran Noto Kusumo yang kemudian menjadi Paku Alam I. Bagi Paku Alam I, berperang melawan Diponegoro adalah berperang melawan anak keponakannya sendiri. Karena itu, Paku Alam I menjalaninya dengan menanggung beban moral yang berat. Dapat dimengerti bila Paku Alam I melaksanakan perang hanya dengan setengah hati.


Berbeda dengan Ki Cakranegara yang menganggap Perang Jawa adalah Perang Bharata Yudha, Paku Alam  I menganggap Perang Jawa bukan perang Bharata Yuddha, karena itu Diponegoro kalah. Tetapi kekalahan itu bersifat sementara, sebab kelak pasti akan tiba masanya terjadi Perang Bharata Yudha, dan dalam perang itu para ksatria Jawa pasti akan dapat mengalahkan Belanda yang diidentifikasikannya sebagai Kurawa dengan Patih Sangkuni sebagai komandannya.  Bukankah seperti halnya Belanda yang adalah  orang asing yang telah menjadi gusti di tanah Jawa, Sangkuni juga seorang patih yang berasal dari negeri asing yang juga menjadi gusti di Hastina Pura, Kerajaan milik Pandawa ? Demikianlah Paku Alam I, membantu Belanda karena terpaksa, yaitu tidak mampu menolak perintah Gusti yang berasal dari tanah seberang lautan.


Kisah dari dunia wayang yang menjadi sumber inspirasi para nasionalis Indonesia di masa pergerakan, ternyata terus berlanjut setelah Indonsia Merdeka. Bung Karno, misalnya, yang mengidentifikasikan dirinya dengan Bima,  hampir secara rutin nanggap wayang di Istana Negara. Pak Harto  yang mengidentifikasikan dirinya dengan Semar, dan menamai SP 11 Maret 1966 M yang mengantarkan ke kursi kepresidennnya sebagai Super Semar(Surat Perintah 11 Maret), diam-diam gemar nonton wayang juga dan menjelang akhir masa jabatannya, mengundang dalang kondang Ki Manteb Sudarsono, mementaskan Lakon Rama Tambak. Mungkin itu semua dimaksudkan untuk menambak atau mencegah agar kekuasaan Presiden terlama RI itu tidak terputus di tengah jalan.


Tak Mengenal Kata Putusasa

Demikianlah Suwardi, sejak masa kanak-kanak sudah gemar menonton wayang kulit yang secara rutin di pentaskan di Pendopo Kadipaten Pakualaman yang tidak jauh dari rumah kediamannya. Dan seperti para ksatria Pakualaman yang lain Ki Hadjar Dewantara agaknya juga senantiasa mengidentifikasikan Kadipaten Pakualaman  sebagai Kadipaten Mandura. Dan tokoh idola Suwardi disamping Yudistira adalah Raden Narayana, yang kelak menjadi Batara Kresna, Raja Dwarawati, Raja Titisan Wisnu yang mempunyai tugas menegakkan tertib dan damai di dunia dan alam semesta.


Pada tahun 1904 M, Suwardi berhasil menyelesaikan studinya di ELS tepat waktu. Saat itu usianya sudah 15 tahun. Bila dihitung dalam kalender Jawa, kemungkinan sudah hampir mengakhiri windu ke dua dan akan memasuki windu ke-3. Masa kanak-kanak akan segera ditinggalkan dan  masa remaja atau masa satrio sebentar  lagi akan menyongsongnya.


Tidak banyak catatan yang diperoleh dari prestasinya saat belajar di ELS. Tetapi bisa menyelesaikan studi di ELS bagi Pribumi sudah merupakan prestasi yang langka. Bayangkan, betapa repotnya kehidupan anak priyayi  yang mengikuti pendidikan Barat. Di rumah dia harus bebicara bahasa Jawa, tetapi di sekolah harus mampu berbicara dalam bahasa Belanda, karena bahasa Belanda merupakan bahasa pengantar di ELS.  Sekalipun repot,  tamatan ELS, memiliki posisi yang menjanjikan di tengah-tengah masyarakat yang didominasi oleh sistem kolonial. Setidak-tidaknya lapangan pekerjaan bagi mereka, sudah tersedia dan terbuka lebar, sekalipun bagi Pribumi paling banter hanya sebagai pegawai rendahan.


Suwardi adalah putra bangsawan ningrat, cucu seorang raja pula. Jika harus bekerja sebagai Klein Ambtenar, tentu dia tidak mau. Maka satu-satunya jalan adalah melanjutkan pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi. Masuk HBS jelas tidak mungkin, mengingat kondisi keuangan ayahnya. Maka jalan yang mudah baginya adalah memasuki sekolah-sekolah pemerintah Hindia Belanda yang memberikan bea siswa. Pilihan yang ada adalah Kweekschool atau sekolah guru, OSVIA, sekolah Pamong Praja, dan STOVIA, sekolah dokter Jawa di Batavia. Jika masuk OSVIA seperti kakaknya RM.Suryopranoto, harus pergi ke Magelang. Sedang bila ke STOVIA, harus ke Batavia. Tetapi bila ke KweekSchool, cukup di Yogya saja, sebab saat itu di Yogya sudah mulai pula didirikan Kweekschool atau sekolah guru.


Akhirnya Suwardi memilih masuk Kweekschool yang rupanya sesuai dengan bakat dan minatnya. Ternyata Suwardi diterima. Kweekschool adalah sekolah dengan memberikan beasiswa juga. Uang saku yang diterimanya 10 gulden per bulan yang berarti sama besarnya dengan gaji seorang pegawai magang pamong praja pemerintah Hindia Belanda yang gajihnya per bulan hanya 10 gulden. Lama pendiikan 3 tahun dan bila lulus akan ditempatkan oleh pemerintah dan akan mendapat gaji 75 gulden per bulan, suatu gajih yang sama besarnya dengan gajih seorang asisten wedana. Bila dia tekun menjalani profesi sebagai guru, berpeluang bisa naik pangkat sampai mantri guru, dengan gaji 150 gulden per  bulan. Suatu gajih yang sama dengan gajih seorang wedana dan dokter Jawa yang baru lulus. Karena itu dengan masuk Kweekschool sebenarnya masa depan Suwardi sebagai priyai dan bangsawan ningrat sudah terjamin.


Tetapi setelah belajar hampir satu tahun tiba-tibab dr. Wahidin Sudiro Husodo, dokter pribadi Keluarga Kadipaten Pakualaman, datang kepada keluarga KPH. Suryaningrat dan menawarkan bea siswa masuk STOVIA. Suwardi menjadi bimbang, dihadapkan pada dua pilihan. Tetapi akhirnya Suwardi memilih meninggalkan Kweekschool dan menerima tawaran bea siswa STOVIA yang lebih bergengsi itu.


Dokter Wahidin Sudiro Husodo adalah seorang dokter yang bersahabat cukp erat dengan Pangeran Noto Dirojo, putra Paku Alam V. Usia mereka tidak berbeda jauh, hanya terpaut satu tahun. Dokter Wahidin lahir tahun 1857 M, sedang sahabatnya Pangeran Noto Dirojo kelahiran tahun 1858 M. Dokter Wahidin adalah  alumni STOVIA tahun 1876 M. Sejak menjadi dokter Keluarga Pakualaman, hubungan mereka berdua semakin erat. Mereka berdua merasa prihatin dengan masa depan pemuda Jawa, bila tidak segera menyesuaikan diri dengan arus modernisasi yang dengan deras mulai menyerbu Pulau Jawa. Sedangkan Pangeran Noto Dirojo  adalah alumni HBS yang berpikiran maju. Dia sudah melihat bahwa satu-satunya jalan untuk menyelamatkan masa depan putra-putrinya hanyalah dengan memasuki sekolah-sekolah Barat. Maka lima putra Pangeran Noto Dirjo semuanya menempuh pendidikan di Negeri Belanda. Mereka adalah RM.Noto Suroto, RM.Noto Kusworo, RM.Noto Diningrat, RM.Sewojo, R.Ajeng Karlinah. Rajeng Karlinah adalah wanita Indonesia pertama yang berhasil lulus pendidikan guru dan meraih Akte Guru Eropa.

Pribumi Hindia Belanda yang mampu menyelesaikan pendidikannya di sekolah-sekolah Belanda, dapat dipastikan adalah anak-anak yang memiliki kecerdasan luar biasa. Sebab Sekolah-sekolah Belanda di Eropa adalah sekolah yang sangat ketat, berkualitas, dan diakui di Eropa Daratan sebagai sekolah dengan kualitas standar Internasional. Sebagai alumnus HBS Semarang, Pangeran Noto Dirojo juga pandai sejumlah bahasa asing Eropa, selain bahasa Belanda, khususnya Bahasa Inggris. Ketika Raja Siam berkunjung ke Hindia Belanda, Pangeran Noto Dirojolah satu-satunya Pangeran yang bisa bercakap-cakap secara langsung dengan Raja Siam yang hanya bisa bercakap-cakap dengan menggunanakan bahasa Inggris. Bahkan kemampuan berbahasa Inggris Pangeran Noto Dirojo mampu mengungguli  orang-orang Belanda yang duduk dalam pemerintahan. Perlu diketahui bahwa kurikulum HBS, disamping menggunakan penvgantar bahas Belanda dan memberikan pelajaran bahasa Belanda, juga mengajarkan bahasa-bahasa Eropa lainnya seperti bahasa Inggris, Perancis, dan Jerman.  


Ketika Dokter Wahidin menggagas Dana Bea Siswa untuk membiayai pendidikan pemuda-pemuda Jawa, maka Pangeran Noto Dirojolahlah yang pertama kali mendukung dan menyetujuinya. Bisa jadi Pangeran Noto Dirojo pula yang membujuk Suwardi agar mengambil kesempatan yang ditawarkan oleh Dokter Wahidin itu. Tanpa harus berpikir lama Suwardi segera mengambilan keputusan cepat. Meninggalkan Kweek School yang dimasukinya belum genap satu tahun. Rupanya Pengaruh Pangeran Noto Dirojo dan Dokter Wahidin Sudiro Husodo cukup kuat pada dirinya. Kelak ketika Suwardi tinggal di Negeri Belanda dan menjadi Pemimpin Redaktur Hindia Putra, Suwardi berturut-turut mengenag keduanya dengan menulis riwayat hidup Dokter Wahidin Sudiro Husodo dan Pangeran Noto Dirojo dalam majalah yang dipimpinnya itu.


Pilihan masuk STOVIA bagi Suwardi sebenarnya banyak memberikan keuntungan, bukan hanya finasial dan status, tetapi juga memperluas cakrawala dari wawasan kebangsaannya. Dari segi finansial, uang bea siswa yang akan diterima Suwardi sebagai siswa STOVIA adalah 20 gulden per bulan, lebih banyak dari siswa KweekSchool yang hanya 10 gulden per bulan. Dengan uang bea siswa 20 gulden per bulan para Pelajar STOVIA sudah berani menikah dan membangun rumah tangga. Bila lulus dan ditempatkan gajih pertama yang akan diterimanya adalah 150 gulden per bulan, yang berarti sama besarnya dengan gajih seorang Wedana. Dari segi status, pendidikan bahasa Belanda di STOVIA memilki standar tinggi yang mampu menyamai standar HBS. Dengan demikian lulusan STOVIA, kemampuan berbahasa Belandanya tidak kalah dengan para alumus HBS. Hanya STOVIA satu-satunya sekolah di Hindia Belanda yang mampu menyamai HBS dalam standar kualitas pendidikan bahasa Belanda. Dari segi cakrawala wawasan kebangsaan, jelas para siswa di STOVIA  akan bergabung dengan anak-anak dari pelbagai suku bangsa yang ada di Hindia Belanda, sehingga interaksi di antara mereka lebih intensif dan wawasan kebangsaannya lebih meningkat.


Atas dasar pertimbangan seperti tersebut di atas, akhirnya pada tahun 1905 M, Suwardi memutuskan keluar dari Kweekschool dan berangkat ke Batavia memasuki STOVIA. Sebuah institusi pendidikan kolonial yang kelak melahirkan banyak kaum nasionalis berbobot yang akan mengguncang hegemoni dan dominasi Gusti Asing di tanah Hindia. Sayang studinya di STOVIA tidak berhasil diselesaikan oleh Suwardi Suryaningrat. Panggilan karir dibidang Jurnalistik dan memperjuangkan kemerdekaan bagi Pribumi bangsanya yang terjajah, serta kesibukannya berorganisasi, menjadi faktor utama yang menghambat Suwardi menyelesaikan studinya di STOVIA. Tetapi, Suwardi tak pernah menyerah kepada setiap kegagalan yang dihadapinya. Sebab kegagalan bagi Suwardi Suryaningrat adalah guru yang paling bijaksana. Takdir akhirnya memang mengembalikan Ki Hadjar Dewantara pada karir awalnya, sebagai Pendidik bagi anak-anak Pribumi bangsanya yang terjajah. Tidak berjuang sebagai dokter. Tetapi berjuang sebagai Pendidik dan Guru Bangsa.[Tammat]


Tidak ada komentar:

Posting Komentar