Entri yang Diunggulkan

Kahyangan Suralaya, Tempat Tinggal Para Dewa

Legenda adalah kisah tentang orang, kejadian, atau peristiwa yang dibuat berdasarkan fantasi dengan maksud untuk menimbulkan kekaguman...

Rabu, 12 April 2017

[8] Jejak-Jejak Nasionalisme Ki Hadjar Dewantara dan Sejarah Perjuangannya




3.3  Paku Alam  III ( 1858 – 1866 M )
Seperti ayah dan kakeknya, Raja muda kelahiran tahun 1824 M ini, memiliki bakat  dalam bidang kesusastraan. Dalam usianya yang relatip masih muda, dia sudah menghasilkan karya sastra religius yang berbobot , antara lain  Kitab Darmowirayat, Serat Ambiya Yusuf, dan Serat Piwulang.  Menurut Ki Hadjar Dewantara yang sudah sejak masa remaja gemar membaca kitab-kitab sastra karya para pujangga dan sastrawan dari Pakualaman, kitab Darmo Wirayat merupakan kitab yang paling baik dan indah. Bukan hanya dari segi keindahan bahasanya. Tetapi juga dari bobot kandungan isinya.
Pada saat Paku Alam III naik tahta, dia sudah memiliki seorang permaisuri, BRA. Paku Alam III, putri dari seorang bangsawan tinggi pula yang berasal dari Kraton Yogya, BPA.Puger, putra dari SHB II. Dari permaisuri PA III dikarunia dua orang putra yakni  GPA. Suryaningrat dan GPA. Sasraningrat. Ketika PA III naik tahta, kedua putra dari permaisurinya, BRA.Paku Alam III, masih kecil-kecil. Bila kita anggap PA III menikah pada usia 20 tahun, dan putra pertamanya lahir saat berusia 24 tahun, maka saat PA III naik tahta(usia 34 tahun), putra sulunnya, GPA. Suryaningrat  baru bersia sekitar 10-11 tahun. Dan adiknya, GPA.Sasraningrat, baru berusia 6-7 tahun. Pada umumnya secara rata-rata  Ksatria Jawa menikah pada usia muda, yakni  saat dia berusia antara windu ke 2 dan ke-3, yakni pada usia antara 18 – 24 tahun. Dan putra pertamanya rata-rata lahir saat dia berusia 24 tahun. Ki Hadjar Dewantara sendiri menikah pada saat usianya  18 tahun (2007 M ). Dan baru punya putra saat usianya 25 tahun (1914 M), suatu usia yang agak terlambat untuk ukuran ksatria Jawa.
Rupanya BRA.Pakualam III, Sang Permaisuri, hanya sebentar menikmati kedudukannya sebagai permaisuri. Sebab, prahara tiba-tiba datang melanda rumah tangganya. Begitu naik tahta. GPA. Suryo Sasraningrat itu yang kemudian bergelar PA III, jatuh cinta pada janda istri kakaknya,Gusti Kanjeng,  wanita yang energik, cantik dan cerdas itu. Maka  PA III segera melamar janda satu anak dari kakaknya, BRA. Nataningprang atau Gusti Kanjeng. Sebenarnya bagi istri para ksatria Jawa, dimadu pada jaman itu, adalah hal yang biasa. Apalagi posisi  Gusti Kanjeng, setelah diperistri PA III hanyalah sebatas Istri Padmi atau istri kedua bukan Istri Utama atau Permaisuri. Tetapi rupanya BRA. Paku Alam  III, sangat tidak senang  dan merasa tidak akan sanggup bersaing memperebutkan cinta Paku Alam III. Akibatnya, putri bangsawan tinggi  dari Pugeran itu, memilih cerai dan kembali ke rumah orang tuanya. Putranya GPA. Suryaningrat yang sulung ditingal di Istana. Tetapi  anak yang keduanya yang masih kecil, berusia sekitar 6-7 tahun, dibawanya serta ke Pugeran.
Hal yang sebaliknya terjadi pada Gusti Kanjeng. Kini posisinya naik. Sekalipun bukan permaisuri, tetapi karena kecantikannya dan kecakapannya, dia mengambil alih posisi sebagai istri permaisuri, mendampingi PA III mengendalikan roda pemerintahan Kadipaten Pakualaman. Dalam tradisi Jawa, pernikahan PA III dengan janda kakaknya itu disebut  naik ranjang bagi PA III. Dari perkawinannya itu, mereka dikarunia seorang putri yang juga cantik dan cerdas luar biasa yang diberi nama BR Ajeng Siti Jaleko. Jaleko  adalah terjemahan ke dalam bahasa Jawa dari bahasa Arab Juleha, yang artinya amat cantik. Karena PA III naik tahta pada tahun 1858 M, dan langsung menikahi janda kakaknya itu, maka BRA. Siti Jaleko, besar kemungkinan lahir pada tahun 1859 M, satu tahun setelah pernikahan kedua orang tuanya. Dengan lahirnya putri kesayangan mereka itu, maka ikatan kekeluargaan Gusti Kanjeng dengan PA III menjadi semakin kuat dan erat. Boleh dikatakan Gusti Kanjeng semakin berpengaruh dalam urusan rumah  tangga Istana Pakualaman.  Putranya  RM. Nataningrat, saat itu usinya diperkirakan 18 tahun, dinaikkan pangkatnya dengan mendapat gelar GPA. Suryo Sasraningrat II. Diam-diam  kemenakan PA III dan putra kakaknya itu diangkat jadi putra mahkota.
Memang posisi GPA. Suryaningrat dan adiknya  GPA. Sasraningrat serba sulit. Sehingga nampaknya takdir memang manjauhkannya dari posisinya sebagai  pewaris tahta. GPA. Suryaningrat, terlahir dalam keadaan tuna netra, sehingga peluang untuk menduduki tahta kerajaan gugur dengan sendirinya. Adiknya GPA. Sasraningat, dibawa ibunya ke Pugeran hingga praktis menjauh dari  ayahnya PA III dan lingkaran dalam Istana Pakualaman. Karena itu posisi RM.Nataningrat di kalangan  istana memang menguat. Dia lah kandidat pewaris tahta yang paling dekat.
Menurut Darsiti Soeratman, PA III mempunyai tujuh orang  putra dan putri dari sejumlah istrinya, yakni :
1.      KPH Purwoseputra
2.      BRMH Suryohudoyo
3.      KPH Suryaningrat(Ayah Ki Hadjar Dewantara)
4.      BRMH Suryokusumo
5.      BRAyu. Nototaruno
6.      GPH Sasraningrat (Ayah Nyi Hadjar Dewantara )
7.      GBR Ayu Adipati Paku Alam VI.
( Darsiti Suratman ; 1985 : 3).
GBR Ayu Adipati Paku Alam VI adalah GBR Ajeng Siti Jaleko, putri  bungsu PA III dari istrinya Gusti Kanjeng.
PA III hanya menduduki tahta Pakualaman tidak terlalu lama. Setalah  enam tahun menduduki tahta, pada tahun 1864 N, PA III wafat dalam usia yang relatip muda, 40 tahun .
RM.Nataningrat, putra Gusti Kanjeng yang begelar  GPA. Surya Sasraningrat II, naik tahta dan bergelar Paku Alam IV.
 3.4. Paku Alam IV ( 1864 -1876 M )   
Ketika Pangeran Muda ini naik tahta, sebenarnya  usianya masih amat muda baru 24 tahun. Karena itu, dapat dimengerti bila wawasan kenegaraannya, pandangan hidupnya, filsafatnya dan wawasan kebudayaannya, belum begitu mendalam. Raja muda ini cenderung tertarik pada hal-hal yang bersifat material kebendaan, hedonis, cenderung boros, gemar pesta pora, dan mengagungkan aspek-aspek lahiriyah. Dia terpukau dengan kebudayaan sampah Eropa yang dibawa Belanda, seperti pesta pora dansa dansi dan mabok-mabokan.
Berbeda dengan  raja para pendahulunya yang rata-rata anti Belanda, PA IV justru amat dekat dengan  Belanda. Pada masa pemerintahannya yang berlangsung cukup lama, 14
Sumber:Wikipedia




tahun, kegiatan kesenian Jawa di Pakualaman, hampir-hampir terhenti dan terabaikan. Pendopo Kadipaten Pakualaman yang biasanya ramai dengan anak-anak yang belajar menari, dan secara peridik ada pentas wayang kulit yang dapat dinikmati penduduk sekitar, tiba-tiba menjadi sepi. PA IV juga kurang tertarik  pada kesusastraan. Terbukti dari tidak adanya karya sastra hasil peningalannya.
Memang ada perhatian sedikit pada seni tari. Tetapi itu pun seni tari dan drama Eropa.konon, pernah dia menciptakan sejenis tari beksan adaptasi tari Eropa, tetapi tidak berkembang. Namun begitu, perhatian terhadap pendidikan dan modernisasi Eropa cukup menonjol. Dia lah Raja Paku Alam  yang memelopori pendidikan barat bagi keluarganya. Mulai ada dari keluarganya yang dikirimkan belajar ke negeri Belanda. Pegawainya ada yang dikirim untuk belajar di sekolah guru Kweek School di Magelang dan ada pula yang dikirim untuk belajar di sekolah bidan di  Batavia.
Dengan adanya pegawai-pegawai yang mulai di kirim ke sekolah guru, PA IV telah memelopori pendidikan barat yang dilaksanakan untuk keluarga Pakualaman. Dapat dipastikan Paku Alam IV telah memelopori pelaksanaan pendidikan barat di lingkungan kraton, sebagaiman juga dilakukan oleh para Bupati yang berpikiran maju untuk mendirikan sekolah-sekolah model barat di lingkungan kabupatennya.
Kegiatan yang juga menonjol selama masa  PA IV berkuasa, adalah kegemarannya untuk terus menerus melakukan pembangunan fisik dilingkunag Kraton Pakualaman. Sayangnya proyek-proyek mercuasuarnya untuk memperindah bangunan fisik lingkungan Paku Alalam itu, dilakukan dengan mengandalkan utang dengan bunga yang cukup tinggi. Kemungkinan kebijakan ini, akibat dari dorongan sahabat-sahabat Belandanya yang gemar berpesta pora di Kraton Pakualaman, tetapi sekaligus menjadi penyandang dana dengan bunga selangit. Pada masa  pelaksanaan Politik Ekonomi Liberal di Hindia Belanda itu (1870 – 1900 M), banyak pula birokrat Belanda yang merangkap menjadi rentenir, bersaing dengan orang-orang China. Dan sasaran empuknya adalah para priyayi dan pangeran Jawa yang  berwatak lemah, gemar foya-foya dan pesta pora seperti halnya PA IV. Dapat dipahami, bahwa dalam waktu singkat, keuangan Kadipaten Pakualaman nyaris bangkrut, terbelit oleh utang. Pada saat akhir  kekuasaan PA IV, hampir seluruh kelaurga Pakualaman amat menderita, karena tunjangan-tunjangan untuk para pangeran dan gaji pewgawai kraton  yang biasa mereka terima, menjadi tersendat-sendat dan tak menentu. Pada tahun 1878 M, setelah berkuasa hampir 14 tahun, PA III wafat dengan meninggalkan warisan hutang yang berat bagi penggantinya.
Beruntung  Kadipaten Pakualaman masih punya tokoh kuat yang menurut Ki Hadjar Dewantara adalah satusatunya ahli ekonomi Pakualaman. Kepada  Pangeran yang sudah tida muda lagi inilah masa depan keuangan Pakualaman hang nyaris bangkrut, dibebankan keatas pundaknya. Dia adalah Pangeran Suryadilogo, adik dari PA III, tetapi lain ibu.

3.5 Paku Alam V ( 1878 – 1900 M ).
Ketika PA V naik tahta dia sudah bersuia di atas lima puluh tahun. Kemungkinan usianya  sekitar 53 tahun. Nampaknya usia KPA. Suryodilogo dengan kakaknya  PA III hampir seusia, karena mereka berdua beda ibu. Dengan sendirnya saat naik tahta , putranya pertamanya, RM. Noto Kusumo, sudah memasuki  usia rema.  RM.Notokusumo, mengambil  nama kakek buyutnya yakni  Pangeran Noto Kusumo, pendiri Kadipaten PakualamanI. Sementara itu Gusti Kanjeng, usianya sudah sekitar 53 tahun, sudah menjadi janda yang ke dua selama 14 tahuh, yaitu selama putranya PA IV menduduki tahta Pakualaman. Sedang putrinya,hasil pernikahannya dengan PA III, GBRA. Siti Jaleko, sudah menjadi gadis remaja, kurang lebih berusia 19 tahun.
Begitu menduduki tahta Pakualaman, PA V, seorang yang cerdas, rasional dan ekonom hebat ini, ternyata tidak berdaya mengadapi pesona Gusti Kanjeng, janda kakaknya yany sudah menjanda 14 tahun. PA V pun melamar Gusti Kanjeng, maka menikahlah keduanya dengan mulus. Dengan demikian dalam tradisi Jawa, PA V, mengikuti jejak PA III, naik ranjang karena menikahi janda kakaknya. Tetapi pernikahan keduanya sudah dalam usia  sekitra 53 tahun, sehingga bagi Gusti Kanjeng tak mungkin lagi mempersembahkan keturunan bagi PA V.
Akan tetapi GBRA. Siti Jaleko, bukan hanya gadis cantik dan cekatan seperti ibunya, Dia juga cerdas seperti ayahnya PA III. Saat itu dia sedang mekar sebagai kembang Kadipaten Pakualaman. Banyak Pangeran yang mulai berminat untuk meminangnya. Tetapi siapakah Arjuna yang beruntung memetik kembang Pakualaman itu ?. Dia lah  RM. Noto Kusumo,  putra mahkota dan putra PA V. Akhirnya Gusti Kanjeng dan PA V, bukan hanya bersatus sebagai suami istri, mereka berdua juga berbesanan, karena  anak-anak bawaan mereka saling menikah. Kemungkinan besar mereka menikah pada tahun 1879 M, satu tahun setelah pernikahan orang tua mereka. Putra pertama mereka lahir tidak lama kemudian dan diberi nama RM. Sutarjo, kelak menjadi Paku Alam VII(1907 -1938 M).
PA  V menduduki tahta cukup lama, kurang lebih 22 tahun (1878- 1900 M ). Tugas berat ada di pundaknya. Ia harus menyelesaikan hutang-hutang yang ditinggalkan pendahulunya, PA IV, memperbaiki manajemen tatakelola keuangan dan pemerintahan Kadipaten agar dapat bertahan pada era awal Revolusi Industri di Jawa pada masa Kebijakan Ekonomi Liberal  berbasis sistem produksi kapitalis yang dilaksanakan Pemerintah Hindia Belanda.
Nampaknya PA V seorang adminstaror yang cakap, berpikir rasional, bekerja efisien. Dia banyak melakukan efisiensi, melakukan penghematan dan pengetatan anggaran, modernisasi manajemen keuangan. Dalam waktu kurang dari sepuluh tahun, keuangan Kadipaten Pakualaman yang nyaris bangkrut karena terbelit  hutang dengan bunga gila-gilaan dari para rentenir, mulai pulih dan menjadi sehat kembali. Para Pangeran dan Kerabat Pakualaman, kembali hidup normal dan sejahtera. Salah satu tindakan yang berani adalah membubarkan Legiun Pakualaman, karena dianggapnya pemborosan dan hanya dimanfaatkan oleh Belanda untuk berperang melawan bangsanya sendiri, yaitu memadamkan setiap aksi protes atau pemberontakan yang muncul melawan pemerintah Hindia Belanda.
Dalam menata manajemen keuangan  kadipaten, PA III mempunyai tangan kanan  yang dapat diandalkan  yakni putranya  Pangeran Noto Dirojo ( 1858 – 1913 M ). Pangeran alumnus HBS dan sahabat karib  dr.Wahidin Sudiro Husodo ini, mewarisi bakat ayahnya yang menonjol dalam bidang ekonomi, keuangan dan manajemen. Tidak heran bila Ki Hadjar Dewantara memuji keduanya sebagai ekonom Kadipaten Pakualaman yang hebat.
Paku Alam V memang tertarik pada modernisasi, rasionalitas, intelektualitas Barat. Nampaknya PA V ini tertarik pada modernisasi Barat model Inggris  seperti halnya ayah dan kakeknya, daripada modernisasi Barat model Belanda yang cenderung konservatif dan ortodoks.Tetapi memang bagi PA V tak ada jalan lain kecuali mempelajari modernisasi Barat lewat Belanda. Pandangannnya terhadap pendidikan Barat,  sejalan dengan PA IV,  pendahulunya.  PA V juga giat mengirimkan putra-putranya untuk menuntut ilmu di sekolah-sekolah Belanda. Tidak heran bila putra-putra PA V banyak yang menonjol dan  kelak banyak pula yang terjun ke dunia pergerakan nasional. Selain putra Mahkota  GPH. Natakusumo dan adiknya Pangeran Noto Dirojo, putra PA V yang lan adalah Kusumo Yudo. Kelak Kusumo Yudo  yang berhasil meraih gelar kesarjanannya di Negeri Belanda, diangkat pemerintah menjadi Bupati Madiun dan Anggota Volksraad (1918 M ). Sedangkan P. Noto Dirojo, ekonom Paku Alam ini, pernah menjabat sebagai Ketua Umum Budi Utomo ( 1911 – 1913 M ). Cucu-cucu PA V juga  giat menntut ilmu di Negeri Belanda, antara lain RM. Surtio dan RM. Noto Suroto. RM. Noto Suroto adalah  seorang sastrawan dan seniman yang mencipta dalam bahasa Belanda maupun Jawa dan aktif mendirikan Perkumpulan Mahasiswa Hindia Belanda di Negeri Belanda , Yakni Indische Vereeneging(IV), yang kelak berubah menjadi Perhimpunan Indonesia ( 1924 M ).
Karena kegemarannya mendalami bahasa, sastra dan kebudayan Belanda dan banyak mencipta karya-karya sastra dalam bahasa Belanda, Sastrawan Sutan Takdir Alisyahbana pernah mengejeknya sebagai sastrawan Jawa yang kurang nasionalis. Tuduhan Takdiir , sastrawan Pujangga Baru itu, sebenarnya terlalu dini dan mengada-ada.  Sebab dari sisi positip, kita melihat bahwa, bukan hanya orang Belanda saja yang bisa menjadi ahli dalam bahasa-bahasa Nusantara, seperti Jawa, Sunda, Batak, Bali, Minang dan Toraja. Tetapi ada juga orang Jawa  Pribumi Hindia Belanda yang ternyata bisa menjadi ahli dalam bahsa, kesusastraan dan kebudayaan Belanda. Kebudayaan dari bangsa yang menjajahnya.
Seperti PA IV,  PA V juga tidak meninggalkan karya sastra. Karena waktunya dihabian ntuk memperbaiki manajemen keuangan dan tata pemerintahan Kadipatennya. Namun demikian paruh ke dua dari masa pemerintahan PA V, dia mulai memperhatikan kembali soal-soal keseniaan yang menjadi tradisi dari Kraton Pakualaman. Pa V gemar mementaan  pagelaran wayang kulit dan drama tari di Pendopo Pakualaman.
Salah satu drama tari gubanhannya yang terkenal adalah Kisah Banjaran Sari yang amat populer dilakangan anak-anak. Rupanya pementasan lagu dolanan, drama Joko Tingkir dan kisah-kisah lain yang bersumber dari Babad Tanah Jawi yang banyak dipentaan di Pendopo Tamansiswa yang masih sering kita saksikan dewasa ini, jika dilacak akar-akarnya  berasal dari tradisi pementasan drama  tari Banjaran Sari  yang secara rutin di pentasakan di Pendopo Pakualaman pada masa PA V.
Memang pada masa PA V inilah, Ki Hajara Dewantara di lahirkan dan melewati masa kanak-kanaknya  sampai menjelang tamat ELS Bintaran.
Pada tahun 1900 M, setelah bertahta selama 22 tahun, Raja Pembaharu dan Refarmator Kadipaten Pakualaman ini, wafat  pada usia yang cuku lanjut untuk ukuran Raja Jawa, 75 tahun. Putra Mahkota, KPA.Noto Kusumo dinobatkan sebagai Paku Alam VI.

3.6  Paku Alam VI ( 1900 – 1902 M ).
Paku Alam  VI, naik tahta pada usia sekitar 45 tahun,  didampingi istrinya BRAyu Siti Jaleko, yang berusia sekitar 41 tahun. RM. Sutarjo , putra mahkota, sudah berusia sekitar 20 tahun dan tengah menuntut ilmu di HBS Semarang. Saat naik tahta, Paku Alam VI dalam kondisi sakit-sakitan, hingga tidak banyak karyanya baik dibidang pemerintahan maupun kesusastraan. Pengendali utama pemerintahan Kadipaten Pakualaman adalah adiknya, Pangeran Noto Dirojo. Karena Pangeran Noto Dirojo, adalah birokrat Jawa yang cakap, maka pada masa Paku Alam V, Kadipaten Paku Alama relatif stabil, sekalipun Sang Raja dalam keadaan gering.
Kegiatan dalam bidang kesusastraan justru dimototi oleh permaisari BRAyu Paku Alam VI, yakni BRAyu Siti Jaleko, wanita cendekia  yang mewarisi bakat sastra dari ayahnya, PA III. Ki Hadjar Dewantara sempat mencatat karya bibinya itu yang telah menyelesaikan Kitab Babad Pakualaman. Untuk menyelesaikan proyeknya itu, BRAyu  Siti Jaleko dibantu oleh dua orang abdi dalem Pakualaman yang cakap dalam bidang kesusastraan  yakni Raden R. Jayeng utara dan R. Panji Jayeng prana. ( KHD ; 1967 : 309 ).
 Ahli sastra dan sejarah jawa yang lain yang berpasangan dengan BRAyu Siti Jaleko, adalah kakaknya BRAyu Noto Taruno. Dia  juga seorang wanita cendekia dari Pakualaman yang rupanya juga mewarisi bakat sastra dari ayahnya, PA III. Di tangan BRAyu Noto Taruno, Perpustakaan Paku Alama di kelola dengan sangat baik. Ki Hadjar Dewantara dalam salah satu tulisanny, memuji adik ayahnya itu sebagai satu-satunya  wanita  pada jamannya yang paling menguasai Babad Tanah Jawa. Ingatannya tajam luar biasa, sehingga hal-hal yang sekecil apapun dari   kisah raja-raja  Demak dan Mataram yang dimuat dalam Babad Tanah Jawi, tidak luput dari   memori ingatannya.
Pada tahun 1902 M, setelah beruasa hampir dua tahun, PA VI pun wafat. Karena  Putra Mahkota RM. Sutarja tengah melanjutkan pendidikannya di HBS Semarang, kemudian melanjutkan ke Sekolah Gymnasium Willem III di Batavia, maka dibentuk suatu Dewan Wali untuk menangani urusan pemerintahan Kadipaten Pakualaman. Dewan Wali dipimpin Pangeran Noto Dirojo, dan salah seorang anggotanya adalah KPG. Sasraningrat, ayah Nyi.Hadjar Dewantara. Tetapi mertua Ki Hadajar Dewantara ini, tak lama menjabat anggota Dewan Wali, karena pada tahun 1904 M, wafat mendahului kakaknya KPG. Suryaningrat, ayah Ki Hadjar Dewantara .

3.7 Paku Alam VII (1907 – 1938 M).
Pada tahun 1907 M, RM. Sutarjo dinobatkan sebagai Paku Alam VII ( 1907 – 1938 M ). Putra BRA Ayu Siti Jaleko dan Paku Alam VI ini, bertahta cukup lama juga, 31 tahun. Pada masanya, Pemerintah Hindia Belanda menjalankan Kebijakan Politek Etis. Pada masa ini  muncul pergerakan nasional  dengan bebagai hingar bingarnya dalam panggung sejarah selama empat dasa warsa awal abad 20 M yang dinamis, dari yang menuntut otonomi bagi bangsa Hindia maupun yang menuntut kemerdekaan penuh lepas dari penjajahan Belanda. Dalam hingar bingar gerakan nasionalisme itu, para ksatria Pakualaman ikut serta dalam perjalanan arus besar bangsa, bahkan ikut ambil peranan di dalamnya. Pada  masa Paku Alam VII inilah  Perguruan Tamansiswa didirikan (1922 M), yang di gagas oleh pendirinnya Ki Hadjar Dewantara sebagai tempat menyemai  anak-anak bangsa yang berjiwa  nasionalisme yang patrotik, demokratik, kulturalik, humanistik dan religius.[Bersambung]


Selasa, 11 April 2017

[7] Jejak-Jejak Nasionalisme Ki Hadjar Dewantara dan Sejarah Perjuangannya




2.Berdirinya Kadipaten Pakualaman(1813 -1945 M ).
Di bawah SHB I (1755 -1792 M ), wilayah Kesultanan Yogyakarta berkembang menjadi daerah yang makmur. Hal ini menunjukkan bahwa  SHB I seorang pemimpin dan negarawan yang cakap. Kraton Yogyakarta mampu mengungguli kraton-kraton Jawa yang lain, khususnya dalam bidang kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Sayangnya penggantinya SHB II (1792 – 1810 M  dan 1811 -1812 M), bukanlah pemimpin yang cakap.  Dia hidup boros, lingkungan kekuasaannya dipenuhi oleh intrik dan fitnah, bahkan dia konflik dengan putra mahkota dan adiknya  P. Notokusumo.
Sesungguhnya Pangeran Notokusumo  adalah pangeran yang cerdas, cakap, memiliki  wawasan dan visi, punya bakat pujangga dan mendalami filfafa, khususnya filsafat kejawen, namun tetap dapat berpikir rasional dan berpikiran maju. Bakat kenegarawanan P.Mangkubumi  rupanya menurun kepadanya.  Dia sendiri banyak meneladani ayahnya, SHB I. Wajar jika SHB I konon sempat berujar, bila boleh memilih, sebenarnya dia lebih menyukai P.Notokusumo sebagai penggantinya daripada putra mahkota yang kelak menjadi SHB II. Putra mahkota sendiri diam-diam mencurigai adiknya.
Ki Hadjar Dewantara sempat mengisahkan perselisihan P.Notokusumo dengan SHB II. Konon suatu saat SHB II  sempat menanyakan kebenaran berita intrik dan desas-desus yang didengarnya  bahwa P.Notokusumo punya ambisi ingin menjadi raja. Dengan terbata-bata P.Notokusumo menjawab, “ Hamba hanyalah seorang santana yang rendah dan kawula raja dan hanya akan berbuat menurut kehendak Tuan” ( Ki Hadjar Dewantara ;  1967 :305  )
Mungkin saja Ki Hadjar Dewantara agak subyektif ketika menceriterakan mendiang moyangnya itu, akan tetapi faktanya memang P.Notokusomalah yang dianggap oleh Daendels biang keladi meletusnya pemberontakan penguasa Madiun dan  mendorong-dorong SHB II menolak gagasannya yang menuntut penghormatan dan perlakuan yang sama kepada residen-residen Belanda seperti halnya penghormatan dan perlakuan kepada raja-raja Jawa. Akibatnya P.Notokusumo dan putranya ditangkap dan dibuang ke Batavia (1810 -1812 M).
Dr.Peter Carey, melukiskan watak SHB II sebagai seorang penguasa yang tak berguna, kurang simpatik, tidak efektif dalam menjalankan roda pemerintahan. Dia gemar meninggalkan pemerintahannya hanya untuk bercengkerema berhar-hari di pesanggrahnnya. Selirnya amat banyak dan kegemaran utamnya berburu binatang buas.  SHB II juga gemar dengan proyek mercusuar, seperti pembangunan pasanggrahan baru. Akibatnya rakyat yang jadi korban ,karena pembangunan pesanggrahan baru itu dibebankan kepada rakyat yang harus bekerja secara suka rela.
Namun begitu, berbeda dengan moyangnya Amangkurat I , SHB II sangat anti Belanda. Tetapi sifat anti Belandanya ini sering tanpa perhitungan yang matang. Dan lebih di dorong oleh sikapnya yang sombong dari pada pertimbangnnya yang lebih rasional dan terencana. Akibat dari sikap anti Belandanya yang bertolak dari sikap sombongnya  yang tanpa perhitungan, semuanya itu mengakibatkan musibah  yang menimpa dirinya sendiri. Demikian Peter Carey, ahli sejarah Perang Jawa, menilai sifat, perilaku dan watak SHB II.
Sekalipun begitu, sikap anti Belandanya itu, membuatnya menjadi amat populer di kalangan Istana dan rakyat, karenanya dia mempunyai banyak pengikut. Sebabnya dengan mudah dapat kita tebak. Sikap SHB II itu sebenarnya mencerminkan aspirasi  rakyat yang sudah lama muak kepada Belanda, Gusti asing yang datang dari seberang lautan itu. Konflik pun meletus dengan Daendels, Gubernur Jendral Hindia Belanda yang baru saja bertugas (1807 -18 11 M).
Daendels, bagaimanapun juga ia seorang liberalis pemuja doktrin Revolusi Perancis. Dia amat tidak suka dengan aturan yang ditetapkan  raja-raja Jawa di Surakarta-Yogyakarta terhadap residennya yang akan menghadap raja di kraton  Jawa.  Di mata Daendeles aturan yang dibuat raja-raja Jawa itu menghina residennya. Padahal residennya dalam pandangan Deandels adalah wakil dari Raja Belanda, Louis Napoleon. Karena itu dia menuntut perlakuan yang sama seperti  halnya perlakuan terhadap raja-raja Jawa yang lain. Misalnya seorang residen yang akan menghadap raja, berdasarlkan ketentuan lama, tidak boleh mengendarai kereta di alun-alun kraton. Dia harus  turun dari kereta, berjalan kaki, tidak boleh memakai payung. Di hadapan raja, residen juga harus duduk lebih rendah dari raja. Karena tidak suka dengan aturan demikian, Daendels segera merubahnya.  Residen boleh memasuki alun-alun dengan kendaraannya sampai  pintu kraton. Kemudian masuk kraton juga harus dijemput  oleh pengiring yang membawa payung untuknya  sebagaimana layaknya raja  Jawa. Di dalam istana  residen harus diberi tempat duduk yang sama tingginya dengan  raja Jawa.
Jika peraturan yang lama membuat Daendels tidak senang, kini peraturan yang baru membuat raja-raja Jawa tidak senang, karena peraturan itu dianggap menghinanya dan menghina kraton Jawa. Tetapi dari tiga raja Jawa  yang paling menunjukan rasa tidak senang dan memperlihatkan sikap menentang hanyalah SHB II. Sedangkan  PB  IV , sekalipun tidak senang dengan peraturan itu, tetapi tidak berani menentangnya. Pada bulan Juli 1809 M, Daendels mengunjungi  Yogyakarta guna merundingkan  masalah tata etika  yang baru itu. Dalam kesempatan itu, Daendels juga menuntut monopoli penebangan dan pemotongan kayu jati.  Rupanya SHB II  memperlihatkan rasa tidak senangnya dengan usul-usul Daendels itu. Antara keduanya tidak tercapai kata sepakat. Mereka berpisah dengan membawa perasaan masing-masing yang tidak puas.
Tiba-tiba pada bulan November 1810 M, meletuslah  pemberontakan   melawan Daendels yang dipimpin oleh Bupati Madiun Raden Rangga Prawiradirja III. Kebetulan dia adalah ipar SHB II. Maka Daendels segera mencurigai SHB II sebagai berada dibalik pemberontakan tersebut. Raden Rangga Prawiradirjo segera membawa pasukannya dan mengawali pemberontakannya dengan cara menyerang pos-pos pemerintah Hidia Belanda dari tepi Sungai Katangga yang dipercayainya sebagai tempat bakal munculnya  Ratu Adil yang akan membebaskan tanah Jawa dari cengkeraman penjajahan bangsa Asing. (Peter Carey ; 1886 : 34 ). Dengan mendapat dukungan dari Legiun Mangkunegoro , pasukan Daendels  segera berusaha melakukan  operasi penumpasan. Walaupun Raden Rangga  dan anak buahnya betempur dengan gagah berani, tetapi akhirnya Raden Rangga dapat  ditewaskan. Pada  31 Desember 1810 M, Daendels yang mencurigai SHB II, segera mengintruksikan pasukannya untuk menyerbu Karton Yogyakarta.  Pasukan Kraton Yogya tak dapat berbuat banyak menghadapi  serbuan Daendels dan dengan mudah dapat dilumpuhkan.  SHB II   ditangkap dan diturunkan  dari tahta. Putranya  dinaikkan keatas tahta dengan gelar Sultan Raja. Kepada Sultan Raja yang baru diangkat itu, Daendels minta imbalan 500.000 gulden. Nasib SHB II masih beruntung, karena Daendels membiarkannya tetap tinggal di istana, hingga dia sejak itu dikenal sebagai Sultan Sepuh.  Tetapi  nasib malang malah menimpa P.Notokusumo, adiknya. Dia dituduh dalang yang sebenarnya dari pemberontakan Raden Rangga. Maka P.Notokusumo dan anaknya dibuang oleh Daendels ke Batavia.
Dengan sedih, kecewa, kesal  dan jengkel, P.Notokusumo dan putranya menjalani hari-hari sepinya sebagai orang buangan di Batavia. Beruntung, Daendels segera dipanggil  pulang ke Eropa. Penggantinya   Jansen, tak mampu mempertahankan P.Jawa dari serangan Inggris. Pada tahun 1811 M, P.Jawa jatuh ke tangan Inggris, dan Raffles diangkat sebagi  penguasa tertinggi P.Jawa. Dengan jatuhnya Belanda, Inggris segera mengganti para residennya dengan orang-orang Inggris. Di Yogyakarta, John Crawfurd ditetapkan sebagai Residen Yogyakarta.
Sementara itu, Sultan Sepuh, meskipun telah turun tahta, tetapi masih memiliki dukungan yang kuat di lingkungan  istana. Dia melihat tumbangnya Belanda  sebagai kesempatan untuk meraih kembali tahtanya yang hilang. Dengan dukungan pengikutnya Sultan Sepuh melakukan aksi menurunkan Sultan Raja  dan menduduki kembali tahtanya yang sempat  lepas. Dengan demikian Sultan Sepuh naik lagi menjadi SHB II, sedang Sultan Raja kembali ke status semula sebagai putra mahkota. Agresivitas SHB II tidak hanya  sampai di situ. Dia segera mengerahkan pasukannya menyerbu  Kepatihan dan pasukannya membunuh Patih Danurejo dan sejumlah pengawalnya.  Akibat agresivitas SHB II, Putra Mahkota merasa sangat terancam. Apalagi sejumlah pengkutnya sudah ada yang tewas.
Putra Mahkota segera meminta tolong seorang Kapten China, Tan Jin Sing, yang akrab dengannya  dan pandai  bicara banyak bahasa, antara lain  Jawa, Melayu, Belanda dan Inggris. Bahkan Kapten China itu memberikan perlindungan keamanan kepada Putra Mahkota dan keluarganya dari kemungkinan balas dendan pengikut SHB II. Melalui  Kapten China itu, Putra Mahkota menghubungi Residen John Crawfurd agar Inggris segera bertindak untuk menghentikan  ambisi SHB II  untuk melancarkan balas dendam. Residen segera menyampaikannya kepada   Raffles. Tetapi pada awalnya Raffles menanggapinya dengan  hati-hati. Usia Raffles saat itu masih muda, baru 31 tahun.  Raffles merasa perlu bertemu lebih dulu dengan  Sultan Yogya, SHB II.
Dalam pertemuan  itu, kembali SHB II memperlihatkan sikap sombongnya. Padahal waktu itu , Raffles hanya minta agar SHB II bersedia mentaati semua peraturan dan perjanjian yang pernah dibuat oleh pmerintah Eropa pada masa yang lalu. Tetapi karena sikap arogannya, SHB II malah memandang permintaan Raffles itu sebagai tanda kelemahan dari orang-orang Inggris. Akhirnya bagi Raflles memang tak ada pilihan lain, kecuali mengerahkan pasukannya untuk menyerbu Kraton Yogyakarta.  Dengan mengerahkan pasukan Sepoy , Kraton Yogya dikepung.  Pada saat itu  SHB II menolak untuk menyerah. Maka pasukan  Inggris dari Benggali itu menjebol pintu benteng sisi Timur Laut Kraton. Pasukan penyerbu berhamburan masuk ke kediaman para pangeran, menangkap SHB II dan melakukan penjarahan besar-besaran. Harta  kraton di kuras habis, sejumlah besar buku perpustakaan sebanyak dua pedati lebih dianggkut keluar dari  kraton. SHB II dan sejumlah pengikutnya dibuang ke Pulau Pinang. Putra Mahkota dilantik  menjadi Sultan Hamengkubuono III.   
Raffles tidak melupakan jasa-jasa P. Notokusumo yang telah banyak memberikan informasi kepadanya, hingga memudahkan Rafffes menaklukan  SHB II. Maka dibentuklah Kadipaten Pakualaman dan P.Noto Kusumo dinobakan sebagai raja dengan gelar Adipati Paku Alam I. Wilayah Kadipaten Pakualaman berada di luar kota Yogyakarta, yakni di daerah Kulon Progo, sedang kedudukan  Kraton Pakualam ada di dalam kota Yogyakarta.
Boleh dikatakan Kadipaten Pakualaman adalah satu-satunya proyek politik Pemerintah Inggris yang didirikan di Pulau Jawa. Bahkan di Bengkulu,  dimana Inggris juga pernah berkuasa beberapa lama, bahkan lebih lama daripada di Pulau Jawa, tidak ada proyek politik semacam Kadipaten Pakualaman. Dapat dimengerti bahwa serpihan-serpihan pemikiran  para politisi dan negarawan Inggris bercorak modern, individualis, liberalis, humanistis dan rasionalis  sedikit banyak bermunculan disana-sini pada corak pemikiran dan gagasan para ksatria  Pakualaman  kelak di kemudian hari. Lebih-lebih bila diingat hubungan yang dekat antara P.Notokusumo, baik dengan Raffles sendiri maupun Residen John Crawfurd. Sekalipun relasi Pakualaman dan Inggris hanya singkat saja (1813 -1816 M), P. Notokusumo dan putranya Notodiningrat, tentu sempat menangkap gagasan-gagasan modern dari Barat. Bukan lewat Belanda. Tetapi lewat Inggris yang lebih progresif. Kita akan lihat nanti bahwa gagasan tentang individualitas, liberalitas, humanitas, produktivitas , economic efisiensi dan efektivitas, yang jelas  khas   berasal dari para pemikir dan negarawan Inggris, bermunculan di sana-sini dalam konsepsi dan gagasan Ki Hadjar Dewantara, yang dipadukan dengan nilai-nilai filsafat  dan pandangan  kejawennya.

3. Raja-Raja  Kadipaten Pakualaman.
Berturut-turut akan kita bicarakan  Raja-raja Pakualaman  yang merupakan nenek moyang dan kerabat Ki Hadjar Dewantara.

3.1  Paku Alam I (1813 -1829 M)
Dia  adalah P.Notokusumo, putra SHB I  adaik SHB II yang diangkat oleh Raffles menjadi Adipati Kadipaten Pakualaman. Baik Raffles, P.Notokusumo maupun John Crawfurd, memiliki minat yang sama kepada kebudayaan, sastra,sejarah dan filsafat, gemar membaca dan sama-sama gemar menulis. John Crawfurd menulis tentang kota-kota dan kabupaten di Jawa  dilengkapi data dan analisa kependudukan yang menjadi semacam  map atau PETA pemerintahan, hingga memudahkan setiap Gubernur Eropa  dalam menjalankan tugasnya. Raffles yang sangat terbantu dengan tulisan residennya itu, menulis sebuah buku yang amat terkenal, History of Java. Mengingat persahabatan yang cukup erat antara P.Notokusumo dan John Crawfurd, besar kemungkinan P.Notokusumo banyak memasok data guna penyusunan kedua buku tersebut khususnya yang berkaitan dengan sejarah Kerajaan Mataram. Ketika melakukan penyerbuan ke Kraton Yogya(1812 M), bukan hanya uang, harta benda yang dijarah. Buku-buku koleksi perpusatkaan  kraton dan dokumen kerajaan ikut diangkut juga. Besar kemungkinan Raffles bukan hanya menguasai uang  hasil rampasan untuk dirinya sendiri, tetapi juga menguasai buku-buku dan dokumen kerajaan yang penting. Akibat dari raibnya koleksi perpustakaan kraton Yogya, maka di bidang kesusastraan dan kepujanggaan Kraton Yogya memang agak ketinggalan dan kalah produktif dengan Kraton Surakarta, Mangkunegaran, bahkan denga tetangga dekatnya Pakualaman.
Paku Alam I yang memiliki bakat kepujanggan itu, meninggalkan sejumlah karya tulis yang kemudian menjadi semacam pusaka dari Kraton Pakualaman, yakni Kitab Jati Pusaka. Oleh kerabat Pakualaman, kitab ini dikeramatkan  sebagai benda pusaka sehingga diberi nama Kanjeng Kiai Jati Pusaka.  Menurut Ki Hadjar  Dewantara yang dapat dipastikan sudah membaca isi kitab ini, isi Kitab Jati Pusaka terdiri dari dua pokok bahasan, yang kedua-duanya ditulis dalam bentuk tembang Macapat. Pokok bahasan pertama berisi gambaran tentang watak, sikap dan nilai-nilai luhur yang dimiliki oleh Raja-raja Mataram , mulai dari Senapati, Sultan Agung, sampai Mangkubumi, pendiri   Kraton Yogya  yang juga ayahnya sendiri. Pokok bahasan kedua berisi riwayat  Mataram pada jaman Amangkurat I yang penuh dengan berbagai macam persoalan, perpecahan dan akhirnya pemberontakan yang mengakibatkan jebolnya Kraton Plered. Amangkurat I dan pengirignya melarikan diri ke arah Banyumas dengn tujuan Batavia guna meminta bantuan  Kumpeni, sahabatnya. Tetapi dia mangkat  di daerah sisi utara lereng Gunung Slamet, setelah berhasil melewati daerah Banyumas.
Ki Hadjar Dewantara menduga, bahwa pokok bahasan dari kitab itu dimaksudkan sebagai kupiya atau peringatan kepada sidang pembacanya, khususnya Kerabat Pakualaman agar dapat mengambil manfaat dari perisitiwa tersebut ( Ki Hadjar Dewantara;1967 : 304  ). Yang jelas, dengan Kitab Jati Pusaka itu, sebenarnya Paku Alam I, sedang menanamkan dan mewariskan nasionalisme  Jawa yang bersifat patriotik, religious dan menjunjung tinggi persatuan jika ingin meraih sukses dalam kepemimpinan dengan cara mengikuti teladan dari  Senopati, Sultan Agung dan Pangeran Mangkubumi.  Dan tidak mencontoh perilaku Amangkurat I  yang dinilainya sebagai raja yang kurang cakap, hedonis dan berwawasan sempit.
Di samping Kitab Jati Pusaka, Paku Alam I juga meninggalkan karya tulis yang lain seperti Babad Betawi, Kitab Surahdarna, Serat Rama dan Serat Piwulang.
Peter Carey mengungkapkan bahwa hubungan Paku Alam I dengan kemenakannya SHB III sempat kurang harmonis. Adapun penyebabnya Paku Alam I sempat jengkel kepada SHB III, karena SHB III telah mengangkat  Kapitan China Tan Jin Sing  menjadi seorang Adipati di daerah Kedu dengan hak menguasai 1000 cacah penduduk. Kapitan China ini kemudian masuk Islam, disunat, memotong kucirnya dan mengganti nama Chinanya dengan nama Jawa, dan menjelmalah dia menjadi bangsawan Jawa dengan nama Tumenggung Secadiningrat. Ketika SHB III wafat pada tahun 1814 M, maka karir Tumenggung Secadiningrat pun cepat memudar, karena hubungan baiknya dengan elit Kraton Yogya terputus. Lebih-lebih karena  Residen Inggris menetapkan Paku Alam I sebagai Wali Raja Kraton Yogyakarta, karena saat itu Putra Mahkota yang kelak menjadi SHB IV masih belum cukup  umur. 

3.2  Paku Alam II ( 1829 – 1858 M ).
Pangeran Noto Diningrat  rupanya seorang pemuda yang cakap, cerdas dan cekatan. Sedikit banyak mewarisi bakat ayahnya. Dia dengan setia mendampingi ayahnya pada saat ayahnya menjalani pembuangan di Batavia. Pada saat menjelang  tahap akhir dari Perang Diponegoro (1825 – 1830 M), Paku Alam I yang terpaksa ikut berperang di pihak Belanda melawan kemenakannya sendiri, wafat pada tahun 1829 M. P.Noto Diningrat diangkat sebagai penggantinya dengan gelar Paku Alam II.
Seperti  mendiang ayahnya, PA II juga seorang sastrawan dan seniman yang berbakat. Dia meninggalkan sejumlah karya sastra antara lain, Serat Barata Yudha, Serat Dewa Ruci, Kitab Sahadat dan Sifat Kalih Dasa, Serat Ngadidamastra dan Serat Babad Lupian. Menurut Ki Hadjar Dewantara isi dari Babad Lupian adalah soal-soal yang berkaitan dengan seni keindahan atau estetika, seperti  kecantikan wanita, seni bangunn gapura dan seni  kaligrafi huruf Jawa.
Disamping seorang sastrawan, Paku Alam II juga seorang seniman tari. Karya tari hasil ciptaannya  antara lain Tari Beksan Bondo-Bojo, Beksan Ladrang-Inum, Lawung Ageng-Lawung Alit, Beksan Gandrung  Mlati, dan Beksan Puspawarno. Beksan Lawung  Ageng-Lawung Alit merupakan tarian yang menggambarkan sejarah Kadipaten Madura. Hal ini menunjukkan ada ikatan yang kuat antara Kadipaten Pakualaman dengan para bangsawan Madura. Memang di dalam darah para ksatria Pakualaman sedikit banyak mengalir darah bangsawan Madura, karena permaisuri Pangeran Notokusumo atau Paku Alam I, adalah putri Adipati Madura Cakradiningrat. Dalam benak pikiran orang Jawa, Madura sering diidentikkan dengan Kerajaan Mandura dalam dunia wayang. Karena itu kelak para ksatria Pakualaman  sangat mengidolakan para ksataria Mandura dan keturunannya, seperti Kresna dan Kakrasrana. Tokoh wayang idola  RM. Suryopranoto, kakak Ki Hadjar Dewantara adalah tokoh Kakrasana. Dalam karir politiknya sempat menjadi Ketua PFB, suatu organisasi serikat buruh gula terbesar di Jawa pada sekitar tahun 1918 -1920 M. Pemogokan-pemogokan yang dipimpinnya selalu sukses, hingga  Kakrasana dari Pakualaman ini di juluki Raja Pemogokan. Adiknya, Suwardi Suryaningrat, tokoh wayang idolanya adalah Yudistira dan Kresna. Kelak kita akan melihat bahwa banyak lambang-lambang Perguruan Tamansiswa yang didirikannya berasal dari pusaka  Prabu Kresna, Raja Dwarawati  titisan Wisnu, seperti Garuda,Cakra, dan Bunga Wijaya Kusuma.
Memang Paku Alam II juga penggemar berat wayang kulit. Pada masanya, pentas wayang kulit secara rutin digelar di  Pura Pakualaman. Bahkan wayang gedog pun sempat pula beberapa kali dipentaan.
Paku Alam II mempunya dua orang putra dari permaisurinya Gusti Kanjeng Ratu Ayu, yakni GPA. Nataningprang dan  adiknya GPA.Surya Sasraningrat. Dari  istri yang lain, punya putra juga yakni KPA Suryodilogo. Baik GPA. Nataningprang maupun GPA.Surya Sasraningrat, sama-sama punya hak waris tahta kerajaaan. (BS.Dewantara ; 1989 : 29 -30 ).
GPA. Nataningprang, Sang Putra Mahkota, memiliki seorang istri calon permaisuri yang bukan hanya cantik, tetapi juga cerdas, cekatan, piawi dalam urusan administrasi pemerintahan, berwibawa dan putri bangsawan tinggi Kraton Yogyakarta, GPA. Mangkudiningrat yang merupakan cucu dari SHB II. Kerabat Kraton Pakulaman menyebutnya sebagai   Gusti Kanjeng  dan merupakan menantu kesayangan Paku Alam II dan Permaisuri Gusti Kanjeng Ratu Ayu.
BS.Dewantara dalam bukunya 100 tahun ki Hadjar Dewantara menyebut Gusti Kanjeng ini sebagai seorang wanita jenius dan memiliki daya msitik yang luar biasa. Dia dipercaya dikalangan kerabat Pakualaman sebagai wanita yang mendapat anugerah Tuhan untuk menurunkan raja-raja Kadipaten Pakualaman. Dalam mitologi  kepercayaan Jawa Kuno, wanita semacam Gusti Kanjeng ini disebut wanita Nareswari. Yakni wanita yang apabila diperistri oleh pria siapa saja, sekalipun ia seorang pria yang berasal dari keturunan biasa saja, bahkan sekali pun pernah berbuat dosa, akan membuka jalan untuk menjadi seorang Maharaja, dan akan menurunkan para putra calon raja. Dalam kitab Pararaton, wanita yang disebut-sebut  Nareswari adalah Ken Dedes yang ternyata memang telah menurunkan raja-raja Singasari dan Majapahit. Dalam  Babad Bali, Ken Bebed, ibu Gajah Mada juga disebut-sebut sebagai wanita Nareswari. Dan pada masa Orde baru, beredar pula desas-desus, yang berasal dari mitologi kepercayaan Jawa Kuno, bahwa Ibu Tien Suharto, putri dari kerabat Mangkunegaran, adalah juga wanita Nareswari, yang menyebabkan Suharto, anak PETAni dari Desa Kemusuk bisa mencapai  kedudukan tinggi, menjadi Presiden  terlama (1966 -1998 M ) dalam Sejarah   Indonesia Modern.  Namanya desas-desus dan mitologi, orang boleh percaya, boleh pula tidak. Demikian pula kisah Gusti Kanjeng  yang fenomanal  dari Kraton Pakualaman itu.
Dari  perkawinannya dengan  Putra Mahkota  GPA. Nataningprang, mereka dikarunia seorang putra yang diberi nama RM. Nataningrat. Tiba-tiba Putra Mahkota GPA. Nataningprang, wafat mendahului ayahnya Paku Alam II. Gusti Kanjeng menjadi seorang janda, putranya RM. Nataningrat menjadi yatim. Dan jabatan putra mahkota jatuh ketangan putra ke dua Paku Alam II, yakni GPA. Surya Sasraningrat.   
Pada tahun 1856 M, Paku Alam II wafat dan  GPA. Surya Sasraningrat, naik tahta dalam usia yang masih muda, sekitar 34 tahun dan bergelar Paku Alam III.[Bersambung]