Entri yang Diunggulkan

Kahyangan Suralaya, Tempat Tinggal Para Dewa

Legenda adalah kisah tentang orang, kejadian, atau peristiwa yang dibuat berdasarkan fantasi dengan maksud untuk menimbulkan kekaguman...

Kamis, 27 Desember 2018

Aji Saka Menaklukkan Raja Jawa Dewatacengkar




Geografi dan Anthropologi
Dari sudut pandang anthropologi budaya, maka yang disebut dengan suku bangsa Jawa adalah orang-orang yang secara turun temurun menggunakan bahasa Jawa dengan berbagai ragam dialeknya dalam kehidupan sehari-harinya , dan tinggal di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur serta mereka yang berasal dari kedua daerah tersebut. Wilayah di sebelah barat Sungai Cilosari dan Citanduy, disebut daerah Jawa Barat atau Tanah Pasundan, dan didiami oleh suku bangsa Sunda. Sedangkan wilayah di sebelah timur kedua sungai tersebut disebut Tanah Jawa, yaitu daerah yang didiami oleh suku bangsa Jawa. Daerah tersebut meliputi wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Suku bangsa Jawa asli atau pribumi, hidup di daerah pedalaman yaitu daerah-daerah yang secara kolektip disebut daerah Kejawen. Daerah itu meliputi wilayah Banyumas, Kedu, Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Malang dan Kediri. Sedangkan daerah di luar itu dinamakan daerah Pesisir dan Ujung Timur. Yogyakarta dan Surakarta, dua daerah bekas kerajaan Mataram merupakan pusat dari kebudayaan Jawa. Pada dua daerah itulah terletak dua kerajaan terakhir dari pemerintahan raja-raja Jawa.

Adapun pulau Jawa adalah salah satu pulau dari kepulauan Indonesia, yakni kepulauan yang terbentang di antara 6 * Lintang Utara , 11 * Lintang Selatan, dan 95 * Bujur Timur , 141 * Bujur Timur. Pulau Jawa terbagi ke dalam enam daerah pemerintahan, yaitu Propinsi Daerah Tingkat I Banten, Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat, Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Tengah, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur.

Dasar masyarakat Jawa.
Bentuk kemasyarakatan Jawa pada dasarnya terdiri atas masyarakat kekeluargaan, masyarakat gotong royong, dan masyarakat yang berketuhanan.

a.Masyarakat kekeluargaan dan gotong royong
Masyarakat Jawa bukanlah merupakan sekumpulan manusia yang menghubungkan individu satu dengan individu lainnya, dan individu satu dengan masyarakat, tetapi merupakan satu kesatuan yang lekat terikat satu sama lain oleh norma-norma hidup karena sejarah, tradisi, maupun religi. Sebagai unit terkecil dalam masyarakat adalah hidup kekeluargaan. Hidup kekeluargaan itu sungguh-sungguh mewujudkan hidup bersama dalam masyarakat yang paling kecil yang disebut masyarakat desa. Beberapa ratus desa yang secara geografis tergabung dalam suatu wilayah daerah seperti Banyumas, Kedu, Yogya, dan sebagainya, dimana masing-masing daerah ini memiliki norma-norma hidup bermasyarakat sendiri, dialek bahasa sendiri serta tata cara adat tradisional sendiri, merupakan suatu masyarakat kekeluargaan yang disebut masyarakat daerah.

Sistim hidup kekeluargaan di Jawa tergambar dalam hukum adatnya. Adat istiadat dimana setiap orang laki-laki bekerja membantu keluarga yang lain dalam hal-hal tertentu seperti mengerjakan sawah, membuat rumah, memperbaiki jalan desa, membersihkan kompleks makam dan kepentingan-kepentingan bersama lainnya, hampir terdapat di semua wilayah daerah yang ada. Hal ini merupakan landasan masyarakat gotong royong.

b.Masyarakat  Ber-Ketuhanan.
Suku bangsa Jawa pada jaman pra sejarah mempunyai pandangan hidup animisme, yaitu suatu kepercayaan adanya roh atau jiwa pada semua benda, hewan, tumbuh-tumbuhan, atau manusia itu sendiri. Masuknya agama Hindu ke Jawa membawa pandangan hidup manusia ke dalam Dewa-Dewa yang mempunyai dan menguasai alam semesta. Masuknya agama-agama Buddha, Islam, Kristen,  dan Katolik ke Jawa, membawa perkembangan lebih lanjut kepada keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Perkembangan tingkat demi tingkat sesuai perkembangan jaman tetap menggambarkan kehidupan bereligi masyarakat Jawa dari dulu sampai sekarang.

Dongengan Tentang Asal Usul Suku Bangsa Jawa.

Dongeng   Aji Saka vs Prabu Dewatacengkar

Al kisah pada jaman dulu ada seorang empu satria pinandita yang bernama Aji Saka. Dia mempunyai dua orang punakawan pengiring yang bernama Dora dan Sembada. Aji Saka sendiri berasal dari tanah Hindustan. Beliau memiliki kesaktian yang sangat tinggi dan bersikap arif bijaksana. Dia pun memiliki sebilah keris yang ampuh, pusaka dari kedua orang tuanya yang selalu dibawa kemanapun dia pergi. Dulu dia seorang raja yang bernama Prabu Isaka Sangkala. Tiba-tiba kerajaannya diserang musuh, sehingga Prabu Isaka Sangkala melarikan diri ke hutan, dan menemui ayahnya, Prabu Anggajali yang telah menjadi pertapa dan bergelar Batara Anggajali. Putranya disarankan agar berganti nama menjadi Aji Saka, dan disuruhnya pergi ke Pulau Jawa yang masih kosong yang letaknya arah tenggara tanah Hindustan. Di sana Aji Saka bisa membangun lagi kerajaannya yang telah hilang.

Dengan petunjuk ayahnya, berangkatlah Aji Saka dengan membawa keris pusaka dan ditemani murid dan pembantu setianya, Dora dan Sembada. Dalam perjalanannya menuju tanah Jawa, Aji Saka dan pengiringnya, mula-mula mendarat di pulau kecil, yang namanya Pulau Majeti, tidak jauh dari Teluk Penyu di Pantai Selatan Pulau Jawa. Di Pulau Majeti ini, Aji Saka membangun sebuah pertapaan. Setelah tinggal beberapa bulan di Pulau Majeti, Aji Saka mendengar berita, bahwa di Medangkamulan, Pulau Jawa, bertahta seorang raja raksasa yang sakti dan mempunyai kegemaran memakan daging manusia yang tidak lain adalah daging rakyatnya sendiri. Oleh karena ulah rajanya itu, rakyat Medangkamulan selalu diliputi rasa cemas dan ketakutan, karena merasa selalu dikejar-kejar oleh rajanya, menunggu giliran untuk jadi mangsa rajanya. Sang Raja itu bernama Dewatacengkar, yang artinya dewa yang ingkar karena hobbynya makan daging manusia rakyatnya sendiri. Tetapi ada pula yang menafsirkan cengkar bukan hanya ingkar, tetapi libido Sang Raja juga sangat besar dan kasar. Cengkar artinya, phalus Sang Raja mudah dan kuat sekali  berereksi. Maksudnya nafsunya terhadap wanita tidak pernah terpuaskan. Kalau jaman now, disebut buaya darat.

Oleh karena polah rajanya sendiri itulah rakyat Medangkamulan selalu diliputi rasa cemas dan ketakutan, karena merasa selalu diawasi oleh rajanya, bahkan sering kali dikejar-kejar rajanya ketika tiba gilirannya menjadi mangsa rajanya. Aji Saka merasa terpanggil untuk membebaskan rakyat Medangkamulan dari cengkeraman kezaliman rajanya. Maka pada suatu ketika dipanggilah kedua ponakawannya yang bernama Dora dan Sembada untuk menghadapnya.

Aji Saka menjelaskan maksudnya untuk berkunjung menghadap Raja Dewatacengkar di Medangkamulan. Dijelaskan pula bahwa Aji Saka akan pergi dengan tidak membawa senjata keris pusakanya. Maka kepada Sembada diperintahkannya untuk tetap tinggal di Majeti menunggu keris pusakanya. Aji Saka memilih Sembada untuk menjaga pusakanya, karena dia yakin akan kejujuran dan kesetiaan Sembada pada janji, seyakin dia akan ketidakjujuran Dora yang selalu tidak dipercaya dan gemar ingkar janji. Oleh karena itu Dora dibawanya serta dalam perjalanan ke Medangkamulan. Kepada Sembada dipesannya bahwa tidak seorang pun boleh mengambil keris pusaka itu, kecuali oleh Empu Sangkala sendiri. Sembada pun berjanji akan mejaga pusaka itu dengan sebaik-baiknya sampai Empu Sangkala kembali.

Maka beragkatlah Aji Saka dan Dora menuju tanah Jawa. Ketika tiba di Medangkamulan, apa yang didengarnya ternyata benar. Sang Raja Dewatacengkar, berperilaku kasar, gemar makan sop dan gulai daging manusia.Namun juga sakti mandraguna.  Mendengar cerita penduk Medangkamulan, Aji Saka menjadi tak sabar untuk menunggu lebih lama lagi. Dia segera pergi untuk menjumpai Sang Raja. Sampai di gerbang istana, Aji Saka mengaku datang menyerahkan diri untuk dijadikan santapan makan malam Sang Raja. Karena Aji Saka berwajah tampan, masih muda remaja, kulitnya halus, pakaiannya bersih, tak bawa senjata apa pun, kecuali apa yang melekat pada badannya, yaitu celana panjang, ikat pinggang, baju atasan, dan ikat kepala atau iket dalam bahasa Jawa, penjaga langsung percaya dan segera membawa Aji Saka menghadap Sang Raja Dewatacengkar.
 Sang Raja Dewatacegkar langsung keluar air liurnya melihat pemuda yang sehat, wajahnya ceria, dan kulitnya halus mulus, bagaikan melihat cempe muda atau ayam dere kemanggang. “Hem, baru hari ini ada bahan santapan lezat datang menghadap sendiri,” katanya Sang Raja, berdecak kagum dalam benaknya.

“Hamba tidak minta harta benda, Baginda Raja. Jika Baginda hendak memberi hadiah kepada hamba, cukup hamba diberi tanah dari alun-alun seluas ikat kepala hamba. Tetapi harus Baginda Raja sendir yang mengambilkannya dan mengisikannya ke dalam ikat kepala hamba,” Aji Saka mengajukan permohonan, ketika Raja Dewatacengkar akan memberikan hadiah apa saja yang akan dimintanya sebelum dikurbankan jadi santapan Sang Raja.

Permohonan Aji Saka langsung dikabulkan. Raja Dewatacengkar segera berdiri dari singgasananya, berjalan keluar diiringi para punggawa kerajaan. Aji Saka ikut mengiringinya sampai tiba dan berhenti di tengah alun-alun. Raja Dewatacengkar pun berdiri berhadap-hadapan dengan Aji Saka yang sudah melepas ikat kepalanga. Aji Saka memegang dua ujung ikat kepala, sedangkan Dewatacengkar, memegang ujung ikat kepala Aji Saka yang lainnya lagi. Dengan disaksikan para punggawa dan rakyatnya yang datang berbondong-bondong ke alun-alun Medangkamulan, Sang Raja Dewatacengkar mulai mengisi ikat kepala Aji Saka dengan tanah. Tetapi aneh bin ajaib, setiap kali ikat kepala sudah penuh, ikat kepala itu selalu saja bertambah lebar dengan sendirinya.

Akibatnya Sang Raja Dewatacengkar  harus terus menerus bergerak mundur,  supaya ikat kepala Aji Saka dapat dipenuhi dengan tanah. Sampai suatu saat ikat kepala Aji Saka yang terus menerus bertambah lebar itu menutupi seluruh tanah Medangkamulan. Pada saat itulah Sang Raja Dewatacengkar menjadi murka, karena setiap dia mundur satu langkah, rakyat yang menyaksikannya ramai-ramai menyorakinya. Sang Raja Dewatacengkar pun mengeluarkan kesaktiannya sehingga munculah  tenaga raksasanya yang kekuatannya bagaikan kekuatan gunung Kelud yang hendak meletus. Ditariknya dengan sekuat tenaga  ikat kepala yang ujungnya dipegang Aji Saka, agar Aji Saka terlempar ke arahnya. Tetapi Aji Saka lebih waspada. Sebelum kekuatan tarikan Sang Raja Dewatacengkar menyeretnya, Aji Saka sudah lebih dulu melepaskan ujung ikat kepala yang dipegangnya. Sang Raja Dewatacengkar pun terlempar sendiri ke belakang, bagaikan tersedot angin putting beliung yang mampu membawa batu sebesar kerbau. Sang Raja Dewatacengkar melayang-layang di angkasa, terlempar ke arah selatan oleh tenaga yang dikeluarkannya  sendiri, dan jatuh di Lautan Selatan. Sang Raja Dewatacengkar pun berubah menjelma menjadi wujudnya semula, yaitu seekor buaya putih raksasa.

Aji Saka pun dinobatkan menjadi Raja Medangkamulan dengan gelar Prabu Sangkala Aji Saka.  Rakyat Medangkamulan pun hidup makmur dan sejahtera. Sang Prabu Sangkala Aji Saka mulai mengajar rakyatnya menulis dan berhitung. Tahun ketika Prabu Sangkala Aji Saka dinobatkan sebagaia raja, ditetapkannya  sebagai tahun ke-1 Saka Jawa yang bertepatan dengan tahun 78 Masehi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar