Geografi dan Anthropologi
Dari sudut pandang anthropologi
budaya, maka yang disebut dengan suku bangsa Jawa adalah orang-orang yang
secara turun temurun menggunakan bahasa Jawa dengan berbagai ragam dialeknya
dalam kehidupan sehari-harinya , dan tinggal di daerah Jawa Tengah dan Jawa
Timur serta mereka yang berasal dari kedua daerah tersebut. Wilayah di sebelah
barat Sungai Cilosari dan Citanduy, disebut daerah Jawa Barat atau Tanah
Pasundan, dan didiami oleh suku bangsa Sunda. Sedangkan wilayah di sebelah
timur kedua sungai tersebut disebut Tanah Jawa, yaitu daerah yang didiami oleh
suku bangsa Jawa. Daerah tersebut meliputi wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Suku bangsa Jawa asli atau pribumi, hidup di
daerah pedalaman yaitu daerah-daerah yang secara kolektip disebut daerah
Kejawen. Daerah itu meliputi wilayah Banyumas, Kedu, Yogyakarta, Surakarta,
Madiun, Malang dan Kediri. Sedangkan
daerah di luar itu dinamakan daerah Pesisir dan Ujung Timur. Yogyakarta dan
Surakarta, dua daerah bekas kerajaan Mataram merupakan pusat dari kebudayaan
Jawa. Pada dua daerah itulah terletak dua kerajaan terakhir dari pemerintahan
raja-raja Jawa.
Adapun pulau Jawa adalah salah satu
pulau dari kepulauan Indonesia, yakni kepulauan yang terbentang di antara 6 *
Lintang Utara , 11 * Lintang Selatan, dan 95 * Bujur Timur , 141 * Bujur Timur.
Pulau Jawa terbagi ke dalam enam daerah pemerintahan, yaitu Propinsi Daerah
Tingkat I Banten, Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat, Daerah Khusus Ibu Kota
Jakarta, Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Tengah, Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta, dan Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur.
Dasar masyarakat Jawa.
Bentuk kemasyarakatan Jawa pada
dasarnya terdiri atas masyarakat kekeluargaan, masyarakat gotong royong, dan
masyarakat yang berketuhanan.
a.Masyarakat kekeluargaan dan gotong royong
Masyarakat Jawa bukanlah merupakan
sekumpulan manusia yang menghubungkan individu satu dengan individu lainnya,
dan individu satu dengan masyarakat, tetapi merupakan satu kesatuan yang lekat
terikat satu sama lain oleh norma-norma hidup karena sejarah, tradisi, maupun
religi. Sebagai unit terkecil dalam masyarakat adalah hidup kekeluargaan. Hidup
kekeluargaan itu sungguh-sungguh mewujudkan hidup bersama dalam masyarakat yang
paling kecil yang disebut masyarakat desa. Beberapa ratus desa yang secara
geografis tergabung dalam suatu wilayah daerah seperti Banyumas, Kedu, Yogya,
dan sebagainya, dimana masing-masing daerah ini memiliki norma-norma hidup
bermasyarakat sendiri, dialek bahasa sendiri serta tata cara adat tradisional
sendiri, merupakan suatu masyarakat kekeluargaan yang disebut masyarakat
daerah.
Sistim hidup kekeluargaan di Jawa
tergambar dalam hukum adatnya. Adat istiadat dimana setiap orang laki-laki
bekerja membantu keluarga yang lain dalam hal-hal tertentu seperti mengerjakan
sawah, membuat rumah, memperbaiki jalan desa, membersihkan kompleks makam dan
kepentingan-kepentingan bersama lainnya, hampir terdapat di semua wilayah
daerah yang ada. Hal ini merupakan landasan masyarakat gotong royong.
b.Masyarakat Ber-Ketuhanan.
Suku bangsa Jawa pada jaman pra
sejarah mempunyai pandangan hidup animisme, yaitu suatu kepercayaan adanya roh
atau jiwa pada semua benda, hewan, tumbuh-tumbuhan, atau manusia itu sendiri.
Masuknya agama Hindu ke Jawa membawa pandangan hidup manusia ke dalam Dewa-Dewa
yang mempunyai dan menguasai alam semesta. Masuknya agama-agama Buddha, Islam,
Kristen, dan Katolik ke Jawa, membawa
perkembangan lebih lanjut kepada keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Perkembangan tingkat demi tingkat sesuai perkembangan jaman tetap menggambarkan
kehidupan bereligi masyarakat Jawa dari dulu sampai sekarang.
Dongengan Tentang Asal Usul Suku Bangsa Jawa.
Dongeng Aji Saka vs Prabu Dewatacengkar
Al kisah pada jaman dulu ada seorang
empu satria pinandita yang bernama Aji Saka. Dia mempunyai dua orang punakawan
pengiring yang bernama Dora dan Sembada. Aji Saka sendiri berasal dari tanah
Hindustan. Beliau memiliki kesaktian yang sangat tinggi dan bersikap arif
bijaksana. Dia pun memiliki sebilah keris yang ampuh, pusaka dari kedua orang
tuanya yang selalu dibawa kemanapun dia pergi. Dulu dia seorang raja yang
bernama Prabu Isaka Sangkala. Tiba-tiba kerajaannya diserang musuh, sehingga
Prabu Isaka Sangkala melarikan diri ke hutan, dan menemui ayahnya, Prabu
Anggajali yang telah menjadi pertapa dan bergelar Batara Anggajali. Putranya
disarankan agar berganti nama menjadi Aji Saka, dan disuruhnya pergi ke Pulau
Jawa yang masih kosong yang letaknya arah tenggara tanah Hindustan. Di sana Aji
Saka bisa membangun lagi kerajaannya yang telah hilang.
Dengan petunjuk ayahnya, berangkatlah
Aji Saka dengan membawa keris pusaka dan ditemani murid dan pembantu setianya,
Dora dan Sembada. Dalam perjalanannya menuju tanah Jawa, Aji Saka dan pengiringnya,
mula-mula mendarat di pulau kecil, yang namanya Pulau Majeti, tidak jauh dari Teluk
Penyu di Pantai Selatan Pulau Jawa. Di Pulau Majeti ini, Aji Saka membangun sebuah pertapaan. Setelah tinggal beberapa bulan di Pulau Majeti, Aji
Saka mendengar berita, bahwa di Medangkamulan, Pulau Jawa, bertahta seorang
raja raksasa yang sakti dan mempunyai kegemaran memakan daging manusia yang
tidak lain adalah daging rakyatnya sendiri. Oleh karena ulah rajanya itu, rakyat Medangkamulan
selalu diliputi rasa cemas dan ketakutan, karena merasa selalu dikejar-kejar
oleh rajanya, menunggu giliran untuk jadi mangsa rajanya. Sang Raja itu bernama
Dewatacengkar, yang artinya dewa yang ingkar karena hobbynya makan daging
manusia rakyatnya sendiri. Tetapi ada pula yang
menafsirkan cengkar bukan hanya ingkar, tetapi libido Sang Raja juga sangat besar dan kasar. Cengkar artinya, phalus Sang Raja mudah dan kuat sekali berereksi. Maksudnya nafsunya terhadap wanita
tidak pernah terpuaskan. Kalau jaman now, disebut buaya darat.
Oleh karena polah rajanya sendiri
itulah rakyat Medangkamulan selalu diliputi rasa cemas dan ketakutan, karena
merasa selalu diawasi oleh rajanya, bahkan sering kali dikejar-kejar rajanya
ketika tiba gilirannya menjadi mangsa rajanya. Aji Saka merasa terpanggil untuk
membebaskan rakyat Medangkamulan dari cengkeraman kezaliman rajanya. Maka pada
suatu ketika dipanggilah kedua ponakawannya yang bernama Dora dan Sembada untuk
menghadapnya.
Aji Saka menjelaskan maksudnya untuk
berkunjung menghadap Raja Dewatacengkar di Medangkamulan. Dijelaskan pula bahwa
Aji Saka akan pergi dengan tidak membawa senjata keris pusakanya. Maka kepada Sembada
diperintahkannya untuk tetap tinggal di Majeti menunggu keris pusakanya. Aji
Saka memilih Sembada untuk menjaga pusakanya, karena dia yakin akan kejujuran
dan kesetiaan Sembada pada janji, seyakin dia akan ketidakjujuran Dora yang
selalu tidak dipercaya dan gemar ingkar janji. Oleh karena itu Dora dibawanya
serta dalam perjalanan ke Medangkamulan. Kepada Sembada dipesannya bahwa tidak
seorang pun boleh mengambil keris pusaka itu, kecuali oleh Empu Sangkala
sendiri. Sembada pun berjanji akan mejaga pusaka itu dengan sebaik-baiknya
sampai Empu Sangkala kembali.
Maka beragkatlah Aji Saka dan Dora
menuju tanah Jawa. Ketika tiba di Medangkamulan, apa yang didengarnya ternyata
benar. Sang Raja Dewatacengkar, berperilaku kasar, gemar makan sop dan gulai
daging manusia.Namun juga sakti mandraguna.
Mendengar cerita penduk Medangkamulan, Aji Saka menjadi tak sabar untuk
menunggu lebih lama lagi. Dia segera pergi untuk menjumpai Sang Raja. Sampai di
gerbang istana, Aji Saka mengaku datang menyerahkan diri untuk dijadikan
santapan makan malam Sang Raja. Karena Aji Saka berwajah tampan, masih muda
remaja, kulitnya halus, pakaiannya bersih, tak bawa senjata apa pun, kecuali
apa yang melekat pada badannya, yaitu celana panjang, ikat pinggang, baju
atasan, dan ikat kepala atau iket dalam bahasa Jawa, penjaga langsung percaya
dan segera membawa Aji Saka menghadap Sang Raja Dewatacengkar.
Sang Raja Dewatacegkar langsung keluar air liurnya melihat pemuda yang
sehat, wajahnya ceria, dan kulitnya halus mulus, bagaikan melihat cempe muda
atau ayam dere kemanggang. “Hem, baru hari ini ada bahan santapan lezat datang
menghadap sendiri,” katanya Sang Raja, berdecak kagum dalam benaknya.
“Hamba tidak minta harta benda,
Baginda Raja. Jika Baginda hendak memberi hadiah kepada hamba, cukup hamba
diberi tanah dari alun-alun seluas ikat kepala hamba. Tetapi harus Baginda Raja
sendir yang mengambilkannya dan mengisikannya ke dalam ikat kepala hamba,” Aji
Saka mengajukan permohonan, ketika Raja Dewatacengkar akan memberikan hadiah
apa saja yang akan dimintanya sebelum dikurbankan jadi santapan Sang Raja.
Permohonan Aji Saka langsung
dikabulkan. Raja Dewatacengkar segera berdiri dari singgasananya, berjalan
keluar diiringi para punggawa kerajaan. Aji Saka ikut mengiringinya sampai tiba
dan berhenti di tengah alun-alun. Raja Dewatacengkar pun berdiri
berhadap-hadapan dengan Aji Saka yang sudah melepas ikat kepalanga. Aji Saka
memegang dua ujung ikat kepala, sedangkan Dewatacengkar, memegang ujung ikat
kepala Aji Saka yang lainnya lagi. Dengan disaksikan para punggawa dan
rakyatnya yang datang berbondong-bondong ke alun-alun Medangkamulan, Sang Raja
Dewatacengkar mulai mengisi ikat kepala Aji Saka dengan tanah. Tetapi aneh bin
ajaib, setiap kali ikat kepala sudah penuh, ikat kepala itu selalu saja bertambah
lebar dengan sendirinya.
Akibatnya Sang Raja Dewatacengkar harus terus menerus bergerak mundur, supaya ikat kepala Aji Saka dapat dipenuhi
dengan tanah. Sampai suatu saat ikat kepala Aji Saka yang terus menerus
bertambah lebar itu menutupi seluruh tanah Medangkamulan. Pada saat itulah Sang
Raja Dewatacengkar menjadi murka, karena setiap dia mundur satu langkah, rakyat
yang menyaksikannya ramai-ramai menyorakinya. Sang Raja Dewatacengkar pun
mengeluarkan kesaktiannya sehingga munculah
tenaga raksasanya yang kekuatannya bagaikan kekuatan gunung Kelud yang
hendak meletus. Ditariknya dengan sekuat tenaga
ikat kepala yang ujungnya dipegang Aji Saka, agar Aji Saka terlempar ke
arahnya. Tetapi Aji Saka lebih waspada. Sebelum kekuatan tarikan Sang Raja
Dewatacengkar menyeretnya, Aji Saka sudah lebih dulu melepaskan ujung ikat
kepala yang dipegangnya. Sang Raja Dewatacengkar pun terlempar sendiri ke belakang,
bagaikan tersedot angin putting beliung yang mampu membawa batu sebesar kerbau.
Sang Raja Dewatacengkar melayang-layang di angkasa, terlempar ke arah selatan
oleh tenaga yang dikeluarkannya sendiri,
dan jatuh di Lautan Selatan. Sang Raja Dewatacengkar pun berubah menjelma menjadi
wujudnya semula, yaitu seekor buaya putih raksasa.
Aji Saka pun dinobatkan menjadi Raja Medangkamulan dengan gelar Prabu
Sangkala Aji Saka. Rakyat Medangkamulan
pun hidup makmur dan sejahtera. Sang Prabu Sangkala Aji Saka mulai mengajar rakyatnya menulis dan
berhitung. Tahun ketika Prabu Sangkala Aji Saka dinobatkan sebagaia raja, ditetapkannya sebagai tahun ke-1 Saka Jawa yang bertepatan
dengan tahun 78 Masehi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar