Entri yang Diunggulkan

Kahyangan Suralaya, Tempat Tinggal Para Dewa

Legenda adalah kisah tentang orang, kejadian, atau peristiwa yang dibuat berdasarkan fantasi dengan maksud untuk menimbulkan kekaguman...

Jumat, 29 Juli 2016

Pidato Mendikbud Anies Baswedan Menyambut Hardiknas 2 Mei 2016


Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
Salam sejahtera untuk kita semua,
Hari ini kita kembali merayakan Hari Pendidikan Nasional. Mari kita panjatkan puji dan puja ke hadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, atas ijin, rahmat dan karunia-Nya kita dapat kembali berkumpul merayakan semangat, capaian dan cita-cita pendidikan dan kebudayaan bangsa.

Kepada para pegiat pendidikan di seluruh penjuru Nusantara, ijinkan saya menyampaikan apresiasi atas peran aktifnya dalam mencerdaskan saudara sebangsa. Kepada Ibu dan Bapak pendidik di seluruh jenjang, yang tak lelah menyalurkan inspirasi, membuka jalan pencerahan, dan membangkitkan asa setiap insan yang dididiknya agar menjadi manusia yang berkarakter, berpengetahuan dan memberikan faedah bagi sekitarnya, ijinkan saya atas nama pemerintah menghaturkan rasa hormat mendalam.

Ibu, Bapak dan Hadirin yang mulia,
Hari Pendidikan Nasional kita rayakan sebagai hari kesadaran tentang pentingnya kualitas manusia. Presiden Jokowi menggariskan bahwa Indonesia akan menjadi bangsa yang disegani dunia dan akan berhasil dalam berbagai kompetisi era global jika tinggi kualitas manusianya. manusia yang terdidik dan tercerahkan adalah kunci kemajuan bangsa. Segala capaian yang kita raih sebagai individu maupun sebagai bangsa kolektif tak lepas dari persinggungan dengan pendidikan. Mutu dan jenjang pendidikan berdampak besar pada ruang kesempatan untuk maju dan sejahtera. Maka memastikan setiap manusia Indonesia mendapatkan akses pendidikan yang bermutu sepanjang hidupnya sama dengan memastikan kejayaan dan keberlangsungan bangsa.

Dunia saat ini adalah dunia yang sangat berbeda dengan dunia beberapa dekade lalu. Perubahan terjadi begitu cepat dalam skala eksponensial yang tidak pernah ditemui dalam sejarah umat manusia sebelumnya. Revolusi teknologi menjadi pendorong lompatan perubahan yang akan berpengaruh pada cara kita hidup, cara kita bekerja,

dan tentu saja, cara kita belajar. Meramalkan masa depan menjadi semakin sulit karena ketidakpastian perubahan yang ada. Namun yang harus kita pastikan kepada anak-anak kita adalah bahwa kita memberikan dukungan sepenuhnya kepada mereka untuk menyiapkan diri meraih kesempatan yang terpampang di hadapannya.

Salah satu dukungan yang perlu kita berikan pada anak-anak Indonesia adalah memastikan bahwa apa yang mereka pelajari saat ini adalah apa yang memang mereka butuhkan untuk menjawab tantangan jamannya. Keterampilan utuh yang dibutuhkan oleh anak-anak Indonesia di abad 21 ini mencakup tiga komponen yaitu kualitas karakter, kemampuan literasi, dan kompetensi.

Karakter terdiri dari dua bagian. Pertama, karakter moral, sesuatu yang sering kita bicarakan. Karaker moral itu antara lain adalah nilai Pancasila, keimanan, ketakwaan, intergitas, kejujuran, keadilan, empati, rasa welas asih, sopan santun. 

Yang kedua dan tak kalah pentingnya adalah karakter kinerja. Di antara karakter kinerja adalah kerja keras, ulet, tangguh, rasa ingin tahu, inisiatif, gigih, kemampuan beradaptasi, dan kepemimpinan. Kita ingin anak-anak Indonesia menumbuhkan kedua bagian karakter ini secara seimbang. Kita tak ingin anak-anak Indonesia menjadi anak yang jujur tapi malas, atau rajin tapi culas. Keseimbangan karakter baik ini akan menjadi pemandunya dalam menghadapi lingkungan perubahan yang begitu cepat.

Literasi dasar menjadi komponen kemampuan abad 21 yang perlu kita perhatikan berikutnya. Literasi dasar memungkinkan anak-anak meraih ilmu dan kemampuan yang lebih tinggi serta menerapkannya kepada kehidupan hariannya. Bila selama ini kita berfokus pada literasi baca-tulis dan berhitung yang masih harus kita perkuat, maka kini kita perlu pula memperhatikan literasi sains, literasi teknologi, literasi finansial dan literasi budaya.

Terakhir dan tak kalah pentingnya adalah komponen kompetensi. Abad 21 menuntut anak-anak Indonesia mampu menghadapi masalah-masalah yang kompleks dan tidak terstruktur. Maka mereka membutuhkan kompetensi kemampuan kreativitas, kemampuan berpikir kritis dan memecahkan masalah, kemampuan komunikasi serta kemampuan kolaborasi.

Ibu, Bapak, dan Hadirin yang mulia,
Setiap anak lahir sebagai pembelajar, tumbuh sebagai pembelajar. Kita semua menyaksikan sendiri betapa anak-anak terlahir dengan rasa ingin tahu yang besar dan keberanian untuk mencoba. Proses belajarnya didapatkan melalui permainan dan petualangan. Lalu saat ia mulai melangkah masuk ke sekolah, ia mulai berhadapan dengan struktur dan berbagai peraturan sebagai bagian dari sebuah model masyarakat mini. Struktur dan berbagai peraturan yang ia hadapi ini dapat mengarahkan mereka terus menjadi pembelajar, atau justru sebaliknya, meredupkan hasrat belajarnya.

Adalah tugas kita semua untuk memastikan binar keingintahuan di mata setiap anak Indonesia, serta api semangat berkarya di dalam dirinya tidak akan padam. Adalah tugas kita memberikan ruang bagi anak-anak Indonesia untuk berkontribusi, memajukan dirinya, memajukan masyarakatnya, memajukan kebudayaan bangsanya. Rasa percaya dari orang dewasa kepada anak-anak untuk berkarya dan ikut membawa kebudayaan kita terus bergerak melangkah maju adalah kunci kemajuan negara.

Ibu, Bapak dan Hadirin yang berbahagia,
Hari Pendidikan Nasional ini kita rayakan karena kita termasuk di antara yang sudah merasakan dampaknya. Maka pada bulan Mei ini, di mana Hari Pendidikan Nasional terletak, ayo kita ikut bergerak, ikut terlibat dalam memperluas dampak pendidikan terhadap saudara-saudara sebangsa yang belum sepenuhnya merasakan kesempatan itu. Karena itulah pada tahun ini kita memilih tema “Nyalakan Pelita, Terangkan Cita-cita” sebagai tema keriaan Hari Pendidikan Nasional. Kita ingin pendidikan benar-benar berperan sebagai pelita bagi setiap anak Indonesia yang akan membuatnya bisa melihat peluang, mendorong kemajuan, menumbuhkan karakter, dan memberikan kejernihan dalam menata dan menyiapkan masa depannya.

Mari kita perluas keriaan pendidikan dan kebudayaan selama sebulan ke depan. Kita bayar balik apa yang telah kita dapatkan dari pendidikan, kita gelorakan semangat bergerak untuk pendidikan, dan kita teruskan ikhtiar bersama ini.

Kepada semua yang telah merasakan manfaat pendidikan dan di bulan pendidikan ini, sapalah para pendidik kita dulu. Tanyakan kabarnya, ucapkan terima kasih dan tunjukkan apreasiasi pada mereka, para pendidik dan pejuang pendidikan. Lalu mari sama-sama kita tetapkan bahwa ikhtiar memajukan pendidikan akan kita lanjutkan dan kembangkan.

Selamat Hari Pendidikan Nasional,
Selamat merayakan dan memeriahkan bulan pendidikan dan kebudayaan.
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Jakarta, 2 Mei 2016

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia.
Anies Baswedan,Ph.D

Sabtu, 02 Juli 2016

(3) Mengenang 94 Tahun Tamansiswa ( 3 Juli 1922 - 3 Juli 2016 ) Bagian 03 -Dari 4 Tulisan.






Pernyataan Asas Tamansiswa  1922 M itu, berisi sejumlah gagasan besar sbb:

 1. Gagasan tentang Hak Asasi Manusia dan Kewajiban Asasi Manusia.

Alinea pertama dari Pernyataan Asas Tamansiswa 1922 diawali dengan kalimat sebagai berikut, ”Hak seseorang untuk mengatur dirinya sendiri,” jelas merupakan hak yang paling dasar dan paling eksistensial dari manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Secara eksistensial, manusia adalah mahluk individu. Sebagai mahluk individu, manusia memiliki hak-hak yang secara kodrati dan alamiah melekat kepadanya. Hak-hak individu yang merupakan anugerah dari Tuhan YME kepada setiap individu adalah hak untuk mengatur dirinya sendiri yang terdiri dari hak-hak untuk memilih pekerjaan, memilih tempat tinggal, memilih keyakinan dan agama, memilih pasangan hidup, memilih pendidikan dan hak-hak eksistensial lainnya dari manusia sebagai individu yang bebas dan merdeka.

Kalimat berikutnya, “dengan mengingat tertib damainya  persatuan dalam perikehidupan umum”, mengandung arti bahwa hak untuk mengatur dirinya sendiri secara merdeka dan bebas itu, mengandung suatu kewajiban asasi yang paling dasar dan eksistensial dari manusia sebagai mahluk sosial. Kewajiban yang asasi itu adalah cara menggunakan kebebasan dan kemerdekaan sebagai mahluk individu, tidak boleh menggangu kebebasan dan kemerdekaan individu yang lainnya, sehingga tidak mengancam tertib damainya persatuan dalam kehidupan bersama sebagai mahluk sosial.

Dengan demikian Ki Hadjar Dewantara memandang Hak Asasi Manusia  bukan hak yang berdiri sendiri. Tetapi Hak Asasi Manusia berdampingan dengan Kewajiban Asasi Manusia juga. Hak dan Kewajiban merupakan dua hal yang tidak terpisahkan. Mereka yang mempunyai hak, otomatis memiliki kewajiban.

 2. Gagasan Tentang Masyarakat Yang Tertib Damai.

Dalam alinea pertama, Pernyataan Asas disebutkan bahwa, tertib damai adalah tujuan yang setinggi-tingginya yang harus dicapai oleh setiap manusia dalam kehidupan bersama. Masyarakat yang tertib dan damai adalah masyarakat yang menjunjung tinggi  nilai-nilai keadilan sosial. Dalam alam gagasan Ki Hadjar Dewantara, tertib yang sebenarnya, tidak boleh ditimbulkan karena adanya rasa takut dan adanya ancaman kepada setiap individu. Tertib yang sebenarnya akan muncul hanya jika dalam diri manusia  timbul rasa damai yang sesungguhnya, yakni rasa damai yang timbul bukan karena adanya paksaan dari luar. Tetapi rasa damai yang muncul akibat dari berlakunya asas keadilan sosial di dalam masyarakat. Jika di dalam masyarakat berlaku keadilan sosial, maka tidak boleh ada seorang pun dari anggota masyarakat yang dihalang-halangi, dihambat, atau mengalami perlakuan yang diskriminatif. Perlakuan diskriminatif bukan hanya dalam lapangan ekonomi, tetapi dalam lapangan kehidupan yang lainnya. Masyarakat yang berkeadilan sosial itu, oleh Ki Hadjar Dewantara dilukiskan sebagai suatu masyarakat yang tertib dan damai. Tertib sebenarnya juga mengandung makna disiplin dari setiap individu yang sadar sepenuhnya akan kewajibannya sebagai mahluk sosial. Dengan demikian hukum, peraturan dan undang-undang yang berlaku, bukanlah alat represif untuk menimbulkan efek jera. Tetapi sekedar alat preventif untuk mengingatkan setiap individu, betapa pentingnya melaksanakan kewajiabannya sebagai anggota masyarakat agar hak-haknya sebagai individu dapat terjamin.

 3. Gagasan Kekuatan Kodrati Yang Ada Pada Manusia.

Dalam alinea pertama Pernyataan Asas disebutkan bahwa bertumbuh menurut kodrat itu perlu sekali bagi kemajuan yang berjalan secara evolusi, oleh karenanya agar kemajuan tercapai, harus diciptakan kondisi yang memberikan kemerdekaan, kebebasan dan keleluasaan yang sebesar-besarnya.

Ki Hadjar Dewantara memandang bahwa setiap manusia secara kodrati memiliki potensi atau kekuatan jiwa yang merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa yang pada setiap individu itu bersifat khas dan unik. Ki Hadjar Dewantara menyebutkan asal kata kebudayaan itu dari kata budi dan daya. Dengan demikian kebudayaan secara harfiah mengandung makna usaha-usaha memberdayakan budi yang ada pada diri manusia, agar manusia dapat mengatasi tantangan alam dan jaman. Budi dalam terminologi Taxonomi Bloom, disebut kemampuan berpikir yang memiliki tiga ranah, yakni ranah kognitip, ranah afektip dan ranah psykhomotorik.  Dalam paradigma berpikir menurut Danah Zohar dan Ian Smith,  budi identik dengan kecerdasan yang memiliki tiga jenis kecerdasan, yakni kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual.

Menurut Ki Hadjar Dewantara dan Para Pujangga Jawa, potensi budi terdiri atas daya cipta, daya rasa, daya karsa dan daya karya. Apa pun terminologi dan atribut yang dipakai untuk menggambarkan adanya kekuatan jiwa, budi, kemampuan berpikir maupun kecerdasan pikiran, para ahli ilmu psykhologi maupun para ahli pendidikan sepakat, bahwa setiap anak memiliki potensi jiwa yang akan terus tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan aspek jasmani maupun kejiwaan anak didik. Perkembangan potensi kejiwaan itu juga berjalan secara evolusi mengikuti tahap-tahap  usia seorang anak yang terus bertambah menuju tingkat kedewasaan.

Peran yang harus dijalankan oleh para pendidik, guru, trainer, maupun pemimpin dalam menyikapi perkembangan potensi anak didik maupun anak buah yang dipimpinnya adalah mengurangi sebanyak mungkin intervensi yang bisa memperkosa perkembangan potensi jiwa. Cara yang paling bijaksana, menurut Ki Hadjar Dewantara, setiap pendidik, pamong, guru, trainer ataupun pemimpin adalah mengambil posisi sebagai seorang pamong atau pun pengasuh. Peran seorang pamong atau pengasuh  adalah memelihara dengan cara yang sebaik-baiknya agar perkembangan potensi jiwa itu anak didik dapat tumbuh secara leluasa dan bebas dalam batas-batas yang tidak membahayakan dirinya sendiri maupun masyarakat yang ada di lingkungannya. Ki Hadjar Dewantara memberi nama pendekatan kepada anak didik itu  sebagi Metode Among atau dalam arti yang lebih luas disebut Sistem Among atau Sistem Tut Wuri Handayani.

Sebenarnya kata pendidik itu pun awalnya berasal dari kata latin pedagog yang berarti budak. Para pedagok itu, dalam masyarakat Romawi dan Yunani tempo dulu, diberi tugas oleh tuannya untuk mengantarkan anak-anak tuannya itu mengantarkan dan membawa kepada seorang guru yang akan mengajar kepada si anak.Tetapi lama kelamaan lama kata pedagog naik peringkat karena digunakan untuk menyebut cabang dari ilmu Filsafat yang membicarakan soal-soal yang berkaitan dengan paedagogi atau ilmu pendidikan.

 4. Gagasan Kepemimpinan Yang Demokratis.

Pada alinea ke tiga Pernyataan Asas Tamansiswa dijelaskan pentingnya mendidik anak-anak agar mereka menjadi manusia yang merdeka batinnya, merdeka fikirannya dan merdeka tangannya.  Kembali di sini Ki Hadjar Dewantara mengemukakan perlunya mendidik anak agar menjadi manusia yang merdeka. Yakni manusia yang berkembang budi, akal dan kecerdasannya baik yang menyangkut perkembangan potensi rasa, potensi cipta maupun potensi karsa dan karya.

Kepemimpinan yang diperlukan dalam pendidikan agar potensi kodrati anak berkembang secara merdeka adalah kepemimpinan ang demokratis. Bukan kepemimpinan yang otoriter. Kepemimpinan yang demokratis itu dikenal sebagai Trilogi Kepemimpinan yang terdiri dari tiga metode atau tiga cara menjalankan proses kepemimpinan dalam dunia pendidikan maupun di tengah-tengah masyarakat, yakni:

1.      Tut Wuri Handayani

2.      Ing Madya Mangun Karsa

3.      Ing Ngarsa Sung Tulodo.



 Keterangan Gambar : Nyi Suryo Adi Putro, sedang mengajar anak-anak Taman Muda Bandung (1925 - 1929 ). Taman Muda Bandung saat itu bertempat di Cikakak, sekarang Jl.Sudirman.Taman Muda Bandung bekas sekolah Tan Malaka yang dikenal dengan Sekolah Rakyat (SR), yang diserahkan kepada Bung Karno. Dan Bung Karno menyerahkannya pada Ki Hadjar Dewantara/ Tamansiswa.( Lihat Dr.Darsiti Suratman dalam Ki Hadjar Dewantara, terbitan Dep. Pend dan Kebud) Ki Suryo Adi Putra adalah adik Ki Hadjar Dewantara yang ditugaskan untuk menangani SD Tamansiswa Bandung(Taman Muda) yang saat itu masih bertempat di Cikakak yang baru diserahkan Bung Karno, dan disahkan menjadi Cabang Tamansiswa Bandung. Sayang Ki Suryo Adiputro dan istrinya ditarik lagi ke Yogyakarta pada tahun 1929 M. Padahal Taman Muda sedang berkembang dengan baik, berkat asuhan Ki Suryo Adiputro dan istrinya. Bung Karno, menjadi Ketua Majelis Cabang, bersama Ibu Inggit masih tinggal di Jl,Astana Anyar.(Baca buku Manusia Bebas-karya Suwarsih Joyopuspito, istri Sugondo Joyopuspito, Ketua Perguruan Tamansiswa Bandung 1929 - 1936, yang menggantikan Ki Suryo Adiputro. Lihat juga dokumentasi Musium Dewantara Kirti Griya, foto-foto Tamansiswa Bandung pada jaman penjajahan)
5. Gagasan Belajar Secara Mandiri

Pada alinea kedua Pernyataan Asas Tamansiswa ditegaskan pentingnya anak-anak memiliki kemampuan belajar secara mandiri. Disebutkan bahwa hendaknya guru jangan hanya memberikan pengetahuan yang perlu dan baik saja. Akan guru juga harus mendidik agar si murid mencari sendiri pengetahuan itu dan memakainya guna keperluan umum.

Kemampuan belajar mandiri merupakan dasar dari autodidak yang dulu merupakan tradisi yang sangat berkembang di lingkungan Tamansiswa. Tamansiswa menghargai setara mereka yang mencapai derajat keilmuan melalui pendidikan formal, bekwamheid. Dengan mereka yang mencapai derajat keilmuan melaui belajar mandiri  atau autodidak yang di lingkungan Tamansiswa dikenal dengan istilah befuhheid.

Banyak tokoh-tokoh Tamansiswa yang mencapai derajat keilmuan yang tinggi dan meniti karirir yang bagus di masyarakat tanpa melalui jenjang pendidikan tinggi. Ki Moch.Tauhid, Ki Moch.Said, Ki Suratman, Ki Sarino Mangunpranoto, Ki Sarmidi Mangunsarkoro, BM.Diah dan masih banyak lagi, adalah tokoh-tokoh autodidak.

Ki Sarino Mangunpranoto misalnya, sempat jadi Menteri Pendidikan dua kali, bahkan meraih gelar doktor dari IKIP Malang. Ki Moch. Said dan Ki Sarmidi Mangunsarkoro, pernah juga menjadi Menteri Pendidikan. Sayang tradisi belajar mandiri di kalangan Tamansiswa sudah lama pudar. Jalur pendidikan formal banyak  dianggap sebagai  satu-satunya jalan untuk meraih derajat keilmuan yang tinggi.

Kini konsep belajar mandiri mulai banyak dijadikan model proses pembelajaran di sejumlah sekolah dengan aneka macam terminologi, seperti CBSA(Cara Belajar Siswa Aktif), Revolusi Belajar, Metode Proyek, Metode Siswa Bertanya, Metode Tematik dan lainnya lagi. Kurikulum 2013  sebenarnya juga menganut konsep Belajar Mandiri yang sejak semula telah digagas oleh Ki Hadjar Dewantara dan dulu telah diterapkan dengan sukses di lingkungan sekolah-sekolah Tamansiswa.

 6. Gagasan Paham Kebangsaan dan Ideologi Persatuan.

Pada  alinea ke-tiga Pernyataan Asas, Ki Hadjar Dewantara berbicara mengenai zaman yang akan datang, yang membuat rakyat kebingungan. Seringkali orang tertipu oleh keadaan yang dipandangnya perlu dan laras untuk keperluan hidup kita, padahal itu adalah keperluan bangsa asing yang sukar didapatnya dengan alat penghidupan kita sendiri. Demikianlah kita acapkali merusak sendiri kedamaian hidup kita.

Di sini Ki Hadjar Dewantara  secara tersirat mengemukakan gagasan paham kebangsaan, yaitu suatu paham yang membela dan mementingkan segala alat penghidupan yang ada pada diri kita sendiri yang berupa nilai-nilai yang mulia yang berasal dari warisan kebudayaan kita dan peradaban kita pada  masa lalu.

Menurut Ki Hadjar Dewantara, semangat kebangsaan itu timbul dari rasa cinta kepada bangsa sendiri yang ada pada diri manusia yang timbul secara tidak disadari. Semangat kebangsaan itu berasal dari rasa cinta diri, yang terbawa dalam pergaulan hidup manusia, lalu menjelma jadi rasa cinta keluarga, kemudian berkembang menjadi rasa cinta kepada bangsa sendiri yang hidup bersamanya.

Semangat kebangsaan itu umumnya terwujud dalam bentuk keinginan yang kuat untuk melakukan identifikasi, sehingga kepentingan bangsa dianggap kepentingan sendiri dan nasib bangsa pun dianggap nasib sendiri, kehormatan bangsa dianggap juga sebagai kehormatan sendiri. Dengan demikian, rasa kebangsaan itu akan menimbulkan rasa persatuan di antara sesama bangsa sendiri.(Ki Hadjar Dewantara; Kebudayaan;1967 ).

Namun rasa cinta kepada bangsa, secara tidak sadar juga akan berkembang menjadi rasa cinta kepada sesama manusia. Tentu saja ujung dari perkembangan rasa cinta terhadap sesama manusia dan kemanusiaan itu, akan berakhir pada rasa cinta kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Rasa kebangsaan pada setiap manusia, yang pada mulanya timbul secara tidak disadari, jika kepentingan suatu bangsa terdesak oleh kepentingan bangsa lain, maka rasa kebangsaan itu akan menjelma menjadi semangat persatuan di antara sesama bangsa sendiri yang berupa kehendak untuk memperjuangkan kepentingan bersama dengan melawan kepentingan bangsa lain. Bangsa yang terjajah pasti akan bersatu dan berjuang untuk melawan bangsa yang menjajah dan menuntut hak untuk megatur diri sendiri. Dari sini perjuangan kemerdekaan dimulai.

Jelaslah bahwa corak kebangsaan atau nasionalisme yang digagas oleh Ki Hadjar  Dewantara bertolak dari semangat persatuan untuk  memperjuangan kemerdekaan, yakni semangat melepaskan diri dari penjajahan bangsa asing mau pun penjajahan oleh bangsa sendiri. Nasionalisme yang demikian berbeda dengan nasionalisme bangsa-bangsa barat yang melahirkan sejumlah peperangan antar bangsa yang merdeka. Nasionalisme bangsa barat adalah nasionalisme yang sempit yang timbul dari kepentingan untuk menguasai bangsa lain atau pun keinginan mengungguli bangsa lain, karena merasa dirinya adalah bangsa yang unggul. Nasionalisme demikian disebut nasionalisme chauvinistik yang anti kemanusiaan.

Sedangkan nasionalisme yang digagas Ki Hadjar Dewantara adalah nasionalisme yang anti penjajahan dan anti penindasan oleh manusia kepada manusia. Corak nasionalisme yang demikian disebut nasionalisme yang humanis.

 7. Gagasan Pendidikan Yang Menolak Pendewaan Terhadapa Rasio dan Intelek.

Pada aline ke-3, Pernyataan Asas Tamansiswa, Ki Hadajr Dewantara dengan tegas menolak suatu pendidikan yang mendewakan rasio dan intelek yang disebutnya sebagai intelektualisme, yakni suatu pengajaran yang hanya mementingkan terlepasnya fikiran. Menurut Ki Hadjar Dewantara  intelektualisme hanya akan membawa manusia kepada gelombang kehidupan yang tidak merdeka.(economishch afhankelijk), serta akan memisahkan kaum terpelajar dengan rakyatnya.

Perlu ditegaskan di sini, bahwa penolakan bahkan kecaman Ki Hadjar Dewantara terhadap pendidikan dan pengajaran yang bersifat intelektualistis, bukan berarti Ki Hadjar Dewantara menolak pendidikan dan pengajaran yang mencerdaskan pikiran atau intelek.Yang ditolak oleh Ki Hadjar Dewantara adalah  pendidikan yang berat sebelah, yakni pendidikan dan pengajaran yang hanya menekankan pada aspek perkembangan intelek secara optimal, tetapi mengabaikan aspek kecerdasan rasa atau kecerdasan emosional dan mengabaikan aspek kecerdasan karsa, kecerdasan kemauan atau kecerdasan  spritual.

Bagi Ki Hadjar Dewantara, pendidikan yang utuh adalah pendidikan yang mengembangkan seluruh potensi jiwa manusia, yang terdiri atas potensi cipta, rasa dan karsa. Dalam ungkangkapan khas Ki Hadjar Dewantara pendidikan yang tidak intelektualistis adalah pendidikan yang menjadikan anak didik merdeka pikirannya, merdeka batinnya dan merdeka tangannya.

Dalam sejarah pendidikan modern, pendidikan yang intelektualistis memang dianggap sebagai pendidikan yang usang, dan sudah mulai ditinggalkan oleh para pendidik. Perang besar yang melanda seluruh dunia, yakni Perang Dunia I(1914 -1918 M) dan Perang Dunia II( 1942-1945 ), ditengarai sebagai akibat dari pendidikan di dunia barat yang mendewakan rasio, yang muncul di dunia barat pada abad ke 17 M.

Peletak dasar-dasar filsafat Rasionalisme adalah seorang filsuf Perancis, Rene Descartes(1596-1650 M) yang sering disebut-sebut sebagai Bapak Filsafat Modern. Ungkapannya yang sangat terkenal adalah cogito ergo  sum, yang artinya: Aku berpikir, maka aku ada”.

Memang akibat dari filsafat rasionalisme dan empirisme, dunia sain dan teknologi di dunia barat maju dengan pesat. Tetapi karena tidak diimbangi dengan nilai-nilai budi pekerti yang luhur, akibatnya mereka terjebak pada usaha untuk menguasai hal-hal yang bersifat kebendaan dan pemujaan materi saja. Yang terjadi akhirnya perang-perang besar antara sesama negara imperialis, yang justru mengancam perdamaian dunia.

Peringatan Ki Hadjar Dewantara, bahwa pendidikan yang bercorak intelektualisme, akan melahirkan gelombang penghidupan yang tidak merdeka, sepenuhnya benar. Tentu saja gagasan Ki Hadjar Dewantara pada saat itu merupakan gagasan yang radikal dan revolusioner.(bersambung)


Artikel Lanjutan Klik :
https://wwwtamansiswa.blogspot.co.id/2016/07/mengenang-94-tahun-perguruan-tamansiswa.html 

(1) Mengenang 94 Tahun Tamansiswa ( 3 Juli 1922 - 3 Juli 2016 ) - Bagian 01 Dari 4 Tulisan




Di depan Parlemen Negeri Belanda, pada tanggal 8 Desember 1851, anggota Parlemen, WR Van Hoevell, mengucapkan pidatonya yang berapi-api. Dia menuntut agar pribumi terjajah diberikan pendidikan yang baik dan tidak membiarkan mereka tetap bodoh dan membiarkan mereka menjadi budak China karena kebodohannya.

“You caannot give the Javanese the free disposal of the fruits of their labour because they let themselves be fooled, they fall into the hands of the Chinese, they are children and they cannot be in charge of their own goods…..then educate the Javanese, give them a sound primary education and develop the people to higher civilization, and the evil that now still necessitates, the Culture System will gradually disappear….”

Setengah abad kemudian gagasan Baron Van Hoevell dilaksanakan pemerintah Hindia Belanda. Sistem Tanam Paksa dihapus, kebijakan politik etis dijalankan dengan mendirikan banyak sekolah untuk mendidik pribumi agar mereka dapat diikutsertakan dalam proses industrialisasi untuk menggali kekayaan sumber alam Hindia Belanda melalui proses Revolusi Industri.

Melalui kebijakan politik etis telah banyak dilahirkan pribumi terdidik. Tetapi pribumi terdidik itu, melalui politik etis, diarahkan untuk menjadi bagian dari kawula Negeri Belanda, dan mengabdikan dirinya untuk kepentingan Negeri Belanda. 

Ki Hadjar Dewantaralah yang pertama-tama melihat bahwa sistem pendidikan kolonial yang diciptakan pemerintah Hindia Belanda melalui kebijakan Politik Etis, harus dilawan melalui sistem pendidikan nasional. Tujuannya agar  pribumi terjajah sadar akan jati dirinya sebagai anak bangsa yang bermartabat, berkedudukan setara dengan bangsa kulit putih, dan tidak ada diskriminasi dan prasangka ras, pribumi vs non pribumi. Untuk menciptakan sistem pendidikan nasional itulah, pada tanggal 3 Juli 1922, Ki Hadjar Dewantara dan kawan-kawannya, mendirikan Perguruan Nasional Tamansiswa. Sejak itu, Perguruan Nasional Tamansiswa menjadi benteng sistem pendidikan nasional dan benteng perlawanan terhadap sistem pendidikan kolonial. Ki Hadjar Dewantara melawan Sistem Pendidikan Kolonial, bukan dengan mengangkat senjata. Tetapi dengan mengangkat ujung pena, mengembangkan gagasan dan konsepsi pendidkan nasional melalui pranata pendidikan, dan  menawarkan sistem pendidikan nasional sebagai antitese terhadap sistem pendidikan kolonial.

1.Kritik Terhadap Kebijakan Politik Etis

Kebijakan Etis yang dijalankan Pemerintah Hindia Belanda di bidang pendidikan memang memilki sejumlah kelemahan yang tidak memuaskan kalangan Pribumi Hindia Belanda. Enam kelemahan kebijakan politik etis yang mengandung banyak kelemahan antara lain sbb:

1.      (1)Gradualisme, (2) Dualisme, (3) Kontrol yang ketat, (4)  Keterbatasan tujuan, (5)  Prinsip Konkordansi, (6)    Tanpa Organisasi Perencanaan yang sistematis.

(Prof.Dr.Nasution ,MA; 1987)

1.1.Gradualisme

Pemerintah Hindia Belanda lebih memprioritaskan pendidikan untuk anak-anak Belanda dari pada anak-anak Pribumi. Pemerintah Hindia Belanda dinilai lambat memperbaiki pendidikan Pribumi, sehingga hampir tidak ada bedanya kondisi Pribumi yang tidak terdidik sebelum Belanda datang sampai awal abad ke-20 M. Gerakan Liberal dan Politik Etis yang muncul di negeri Belanda belum memberikan pendidikan yang proporsional kepada golongan Pribumi.


1.2.Dualisme

Dualisme dalam pendidikan kolonial merupakan ciri yang paling menonjol. Sistem Pendidikan terbagi ke dalam dua kategori, Sekolah Belanda dan Sekolah Pribumi. Masing-masing sistem memiliki kurikulum, pengawas, bahasa pengantar dan pembiayaan yang terpisah.

Pemerintah Hindia Belanda berdalih bahwa dualisme itu bukan rasialisme. Tetapi semata-mata karena soal bahasa dan kebutuhan yang berbeda bagi anak-anak Belanda dan anak-anak Pribumi. Tetapi fakta di lapangan memang menunjukkan bahwa dualsime dalam sistem penidikan yang diciptakan Pemerintah Hindia Belanda itu lebih pada alasan yang bersifat rasial dan diskriminatif yang diciptakan Pemerintah Hindia Belanda.

Faktanya memang hanya sedikit para penganut kebiajakan plitik etis di kalangan birokrat Pemerintah Hindia Belanda yang berani menentang kebijakan dualisme  dalam bidang pendidikan. Mereka antara lain hanya Dr.Snouck Hurgronye, Van Heutz, Idenburg, Van Limburg Stirum, Abendanon dan sejumlah akademsi dan ilmuwan yang jumlahnya minoritas.


1.3.Kontrol yang kuat.

Kebijakan atas pendidikan di Hindia Belanda dilaksanakan dengan kontrol yang sangat ketat dan kuat oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda. Dengan demikian maka kepentingan Pemerintah Hindia Belanda selaku penjajah, lebih diutamakan dari pada kepentingan Pribumi yang terjajah.


1.4.Pendidikan Sebagai Penyedia Pegawai.

Pemerintah Hindia Belanda mendirikan sekolah untuk Pribumi hanyalah untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek, yaitu hanya untuk memenuhi kebutuhan pegawai tingkat rendah.baik pada birokrasi pemerintah Hindia Belanda maupun perusahaan-perusahaan swasta Belanda.

Karena itu jika kebutuhan pegawai sudah terpenuhi, aktivitas pendidikan dengan mudah akan ditutup. Tidak ada gagasan untuk mencapai tujuan pendidikan yang lebih maju lagi, selain hanya sebagai tujuan jangka pendek yaitu sebagai pabrik pegawai rendahan. Paling banter pegawai menengah untuk anak-anak priyayi golongan ningrat.


1.5.Konkordansi

Prinsip ini memaksa agar semua sekolah Pribumi yang didirikan Pemerintah Hindia Belanda, mengikuti model sekolah di negeri Belanda sebagai suatu cetak biru yang tidak boleh di ganggu gugat. Sekalipun sekolah-sekolah Pribumi itu didirikan di Hindia Belanda, tetapi kurikulumnya mengikuti dengan ketat kurikulum yang ada di negeri Belanda. Akibatnya anak-anak Pribumi mendapatkan pendidikan yang kurang relevan dengan kebutuhan Pribumi di tanah airnya sendiri.


1.6.Tidak Adanya Organisasi Yang Sistematis.

Sekolah-sekolah Pribumi yang didirikan Pemerintah Hindia Belanda pada awalnya terpecah-pecah dan berdiri sendiri-sendiri. Ada Sekolah Desa, ada Sekolah Klas Satu ada Sekolah Klas Dua. Memang secara berangsur-angsur ada pembenahan di sana-sini, tetapi tetap saja tidak terjadi sinkronisasi yang padu. Masih ada kendala antara pendidkan Pribumi di Jawa dengan luar Jawa. Di samping itu sekolah-sekolah kejuruan yang ada pun hanya terbuka bagi golongan Pribumi tertentu saja. Demikianlah sejumlah kelemahan dari sistem pendidikan yang diciptakan oleh Pemerintah Hindia Belanda melalui kebijakan politik etis.(bersambung)


Artikel lanjutan klik :
https://wwwtamansiswa.blogspot.co.id/2016/07/mengenang-94-tahun-3-juli-1922-3-juli.html