Mengenang Masa Kanak-Kanak Ki Hadjar
Dewantara Dari ELS Menuju STOVIA(02)
Bernard
Dahm menyebutkan bahwa Sukarno telah mengidentifikasikan dirinya,
mula-mula dengan Adipati Karna. Bung Karno ketika kecil namanya sebenarnya
adalah Kusno. Tetapi kemudian ayahnya, R.Sukemi merubah namya menjadi Karno,
lengkapnya Sukarno, karena berharap anaknya itu kelak bisa meneladani Ksatria
Awangga Adipati Karno yang cinta kepada tanah airnya dan tugas yang diembannya,
sehingga memilih gugur dalam Perang Barata Yudha melawan adiknya sendiri
Arjuna. Padahal, bila mau, Adipati Karno bisa menghindari kematiannnya bila saja
dia mau bergabung dengan adik-adiknya, Keluarga
Pandawa.
Tetapi setelah remaja, Adipati Karna tidak
lagi menjadi idola Bung Karno, karena Bung Karno mungkin menilai karakter
Adipati Karna yang berperang di pihak Astina, tidak sejalan dengan aspirasi dan
semangat nasionalismenya. Bung Karno mengidentifikasikan dirinya sebagai Bima
yang selalu siap untuk melawan pemerintah Hindia Belanda yang diidentifikasikan
dengan Astina. Dan bagi Bung Karno, perang Bharata Yudha melawan Belanda harus
terjadi dan harus dimenangkan oleh para nasionalis Indonesia yang
diidentifikasikannya sebagai Keluarga Pandawa. Dapat kita mengerti bahwa Bung
Karno, seperti juga Ki Hadjar Dewantara dengan Tamansiswanya kelak, lebih suka
menempuh jalan nonkooperatif dan non kompromi dalam melawan pemerintah Hindia
Belanda.
Ksatria
Wayang, Sumber Inspirasi Nasionalisme Ksatria Jawa
Sebenarnya tradisi para ksatria, bangsawan,
dan para raja Jawa mengidentifikasikan dirinya dengan para ksatria dari dunia
wayang dalam perjuangannya meraih kekuasaan, mengelola keuasaan, dan kelak
dalam usaha merebut kemerdekaan dari penjajah Belanda, sudah berlangsung sejak
para pujangga dan cendekiawan Jawa masa pra-Islam menerjemahkan kitab
Mahabarata dan Ramayana ke dalam bahasa Jawa.
Bagi
orang Jawa, kisah-kisah dalam dunia wayang yang bersumber dari kedua
kitab itu, telah menjadi semacam religi yang mendarah daging dan terus
diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya sampai pada jaman
munculnya kerajaan-kerajaan Islam di Jawa Tengah, bahkan sampai jaman kita
sekarang ini.
Erlangga misalnya, ketika berjuang bersama
Narotama untuk merebut kembali tahta mertuanya Darmawangsa yang hilang karena
direbut Raja Wengker, telah mengidentifikasikan dirinya dengan Arjuna dalam
kisah Arjuna Wiwaha. Raja Wengker yang akan ditaklukannya, diidentifikasikan
sebagai Raja Niwatakawaca dari Kerajaan Ima-Imantaka. Sebagaimana Arjuna
akhirnya dapat menaklukan musuhnya, Erlangga pun akhirnya dapat menaklukan Raja
Wengker dan meraih kembali tahta mertuanya yang hilang dan dibangunlah Kerajaan
Kahuripan.
Demikian pula ketika Raja Jayabaya dari Daha
atau Kediri harus berperang dengan Jenggala, dia menganggap Daha atau Kediri
adalah Pandawa dan Jenggala musuhnya adalah Kurawa yang harus dikalahkannya
dalam perang Bharata Yudha. Raja Jayabaya berhasil mengalahkan Jenggala,
sebagaimana Pandawa berhasil mengalahkan Kurawa. Raja Jayabaya kemudian
menyatukan Daha dan Jenggala menjadi satu kerajaan, maka lahirlah Kerajaan
Kediri yang mencapai puncak kejayaannya setelah dipersatukan oleh Jayabaya.
Agaknya sejak Jayabaya berhasil mewujudkan
negara kesatuan Daha-Jenggala dan
berhasil membangun kerajaannya menuju negara yang makmur, sejahtera, dan
berkelimpahan, maka sejak itulah ideologi persatuan dan kesatuan menjadi
tema-tema yang diperjuangan para ksatria Jawa dan menjadi obsesi para priyayi
dan bangsawan yang menggagas negara kebangsaan patriotik berbasis ideologi persatuan.
Pada masa Kerajaan Islam, Sunan Kalijaga dan Sunan Murio juga telah
memanfaatkan kisah-kisah dari dunia wayang sebagai salah satu media dakwah
untuk menyebarkan agama Islam. Istana kraton Jawa, mulai dari Demak, Pajang,
Mataram, Surakarta, Mangkunegaran, Yogyakarta dan Pakualaman, secara rutin
menggelar pentas wayang.
Bahkan Pangeran Diponegoro yang mengobarkan Perang Jawa (1825 – 1830 M),
seperti halnya Erlangga, mengidentifikasikan dirinya dengan Arjuna. Sedang
Jendral De Kock diidentifikasikan dengan Niwata Kawaca dalan kisah Arjuna
Wiwaha. Hanya saja Perjuangan Erlangga berhasil, sedangkan perjuangan
Diponegoro gagal.
Karena itu amat menarik juga meneliti sikap
nasionalisme para priyayi dan bangsawan Jawa
dalam menilai dan mengidentifikasikan dirinya dalam Perang Jawa yang
hampir saja membuat pemerintah Hindia Belanda nyaris bangkrut. Seperti kita
ketahui saat Perang Jawa meletus (1825 M), para bangsawan dan priyayi dari
kraton Jawa warisan Mataram itu terpecah menjadi dua, yakni kelompok yang
berpihak kepada Pangeran Diponegoro dan kelompok yang berpihak pada kompeni.
Anehnya masing-masing pihak mengidentifikasikan dirinya dengan ksatria dunia
wayang dengan cara dan persepsinya sendiri-sendiri dan masing-masing pihak
mengaku sebagai ksatria yang telah melaksanakan darmanya dengan benar.
Dalam perang Jawa itu, Kraton Surakarta
perpihak kepada Belanda. Menurut Peter Carey, ahli sejarah Perang Jawa, Kraton
Surakarta mengirimkan Ki Cakranegara, sebagai komandan pasukan Surakarta untuk
membantu Belanda berperang melawan Diponegoro. Bagi Cakranegara, Diponegoro
adalah Duryudono, karena Dipongoro ingin menjadi Raja di Tanah Jawa. Padahal di
Tanah Jawa sudah ada rajanya yang sah yaitu pemerintah Hindia Belanda. Ki
Cakranegara sendiri mengidentifikasikan dirinya denga Raden Setyaki, sedang
Paku Buwono VI (1823- 1830 M), tempat Ki
Cakranegara mengabdi dianggapnya sebagai Prabu Kresna. Atasannya Kol.
Cleerens, didentifikasikan sebagai Bima. Sedangkan Jendral De Kock, dianggapnya
sebagai Yudistiro. Bagi Ki Cakranegara, Diponegoro adalah kurawa, sebab jika
Diponegoro Pendawa, Diponegoro harus menang dalam perang. Faktanya Diponegoro
dapat dikalahkan, karena itu mustahil Diponegoro adalah Pandawa. Sebab Pandawa
tidak mungkin kalah dalam Perang Barata Yudha. Demikian pandangan Ki
Cakranegara yang pro Belanda.
Usai Perang Jawa, Ki Cakranegara diangkat
menjadi Bupati Purworejo secara turun temurun karena Belanda menganggap jasa Ki
Cakranegara dalam Perang Jawa amat besar. Ki Cakranegara sendiri mengaggapnya,
Kabupaten Purworejo adalah Kadipaten Lesanpura. Memang pada awalnya Kabupaten
Purworejo merupakan wilayah Kraton Surakarta yang oleh Ki Cakrangara
dianggapnya sebagai Kerajaan Dwarawati, yakni kerajan tempat ia mengabdi dan
meniti karir di bidang birokrasi pemerintah Hindia Belanda.
Berbeda dengan Ki Cakranegara, Raja-raja
Mangkunegara yang mengirimkan Legiun Mangkunegaran berperang membantu Belanda
dalam Perang Jawa, mereka mengidentifikasikan dirinya dengan Kadipaten Awangga.
Dengan demikian Raja-Raja Mangkunegara menyadari posisinya bahwa dia memang
berperang memihak Kurawa yang dalam
Perang Jawa di wakili oleh Belanda.
Dalam serat Tri Pama, Mangkunegara IV, memuji
tiga ksatria yang memiliki nilai-nilai pengabdian yang tinggi terhadap
tugasnya, yakni Adipati Karna, Kumbokarna dan Sumantri. Bagi Mangkunegoro IV,
ketiga satria itu adalah nasionalis teladan, karena gugur membela tanah airnya
dan tugas yang diembannya, tidak peduli gusti dari mana pun asalnya yang telah
memerintahnya. Karena Sang Gusti itu telah memberinya kesejahteraan dan
kemakmuran bagi ketiga ksatria itu. Bagi ketiga ksatria pilihan Mangkunegara IV
dalam Serat Tri Pama, Gusti mereka adalah Duryodana untuk Adipati Karna,
Rahwana untuk Kumbokarna dan Harjuna
Sasrabahu untuk Raden Sumantri.
Kini mari kita lihat bagaimana pandangan
nasionalisme para ksatria Pakualaman dalam menghadapi Perang Jawa. Paku Alam I
dengan Legiun Pakualamannya, terpaksa harus membatu Belanda dalam Perang Jawa
melawan kemenakannya sendiri Pangeran Diponegoro. Sebagai menantu Adipati
Kadipaten Madura, rupanya Paku Alam I telah mengidentifikasikan dirinya sebagai
Raja Basudewa dari Kerajaan Mandura dalam dunia wayang. Memang ada kemiripan
antara kata Madura dan Mandura. Mungkin karena adanya kemiripan itu, banyak
bangsawan dan Raja-raja Surakarta dan Yogyakarta yang mengambil istri putri
bangsawan dari Madura. Termasuk di antaranya adalah Pangeran Noto Kusumo yang
kemudian menjadi Paku Alam I. Bagi Paku Alam I, berperang melawan Diponegoro
adalah berperang melawan anak keponakannya sendiri. Karena itu, Paku Alam I
menjalaninya dengan menanggung beban moral yang berat. Dapat dimengerti bila
Paku Alam I melaksanakan perang hanya dengan setengah hati.
Berbeda dengan Ki Cakranegara yang menganggap
Perang Jawa adalah Perang Bharata Yudha, Paku Alam I menganggap Perang Jawa bukan perang Bharata
Yuddha, karena itu Diponegoro kalah. Tetapi kekalahan itu bersifat sementara,
sebab kelak pasti akan tiba masanya terjadi Perang Bharata Yudha, dan dalam
perang itu para ksatria Jawa pasti akan dapat mengalahkan Belanda yang
diidentifikasikannya sebagai Kurawa dengan Patih Sangkuni sebagai
komandannya. Bukankah seperti halnya
Belanda yang adalah orang asing yang
telah menjadi gusti di tanah Jawa, Sangkuni juga seorang patih yang berasal
dari negeri asing yang juga menjadi gusti di Hastina Pura, Kerajaan milik
Pandawa ? Demikianlah Paku Alam I, membantu Belanda karena terpaksa, yaitu
tidak mampu menolak perintah Gusti yang berasal dari tanah seberang lautan.
Kisah dari dunia wayang yang menjadi sumber
inspirasi para nasionalis Indonesia di masa pergerakan, ternyata terus
berlanjut setelah Indonsia Merdeka. Bung Karno, misalnya, yang
mengidentifikasikan dirinya dengan Bima,
hampir secara rutin nanggap wayang di Istana Negara. Pak Harto yang mengidentifikasikan dirinya dengan
Semar, dan menamai SP 11 Maret 1966 M yang mengantarkan ke kursi kepresidennnya
sebagai Super Semar(Surat Perintah 11 Maret), diam-diam gemar nonton wayang
juga dan menjelang akhir masa jabatannya, mengundang dalang kondang Ki Manteb
Sudarsono, mementaskan Lakon Rama Tambak. Mungkin itu semua dimaksudkan untuk
menambak atau mencegah agar kekuasaan Presiden terlama RI itu tidak terputus di
tengah jalan.
Tak
Mengenal Kata Putusasa
Demikianlah Suwardi, sejak masa kanak-kanak
sudah gemar menonton wayang kulit yang secara rutin di pentaskan di Pendopo
Kadipaten Pakualaman yang tidak jauh dari rumah kediamannya. Dan seperti para
ksatria Pakualaman yang lain Ki Hadjar Dewantara agaknya juga senantiasa mengidentifikasikan
Kadipaten Pakualaman sebagai Kadipaten
Mandura. Dan tokoh idola Suwardi disamping Yudistira adalah Raden Narayana,
yang kelak menjadi Batara Kresna, Raja Dwarawati, Raja Titisan Wisnu yang
mempunyai tugas menegakkan tertib dan damai di dunia dan alam semesta.
Pada tahun 1904 M, Suwardi berhasil
menyelesaikan studinya di ELS tepat waktu. Saat itu usianya sudah 15 tahun.
Bila dihitung dalam kalender Jawa, kemungkinan sudah hampir mengakhiri windu ke
dua dan akan memasuki windu ke-3. Masa kanak-kanak akan segera ditinggalkan
dan masa remaja atau masa satrio
sebentar lagi akan menyongsongnya.
Tidak banyak catatan yang diperoleh dari
prestasinya saat belajar di ELS. Tetapi bisa menyelesaikan studi di ELS bagi
Pribumi sudah merupakan prestasi yang langka. Bayangkan, betapa repotnya
kehidupan anak priyayi yang mengikuti
pendidikan Barat. Di rumah dia harus bebicara bahasa Jawa, tetapi di sekolah
harus mampu berbicara dalam bahasa Belanda, karena bahasa Belanda merupakan
bahasa pengantar di ELS. Sekalipun
repot, tamatan ELS, memiliki posisi yang
menjanjikan di tengah-tengah masyarakat yang didominasi oleh sistem kolonial.
Setidak-tidaknya lapangan pekerjaan bagi mereka, sudah tersedia dan terbuka
lebar, sekalipun bagi Pribumi paling banter hanya sebagai pegawai rendahan.
Suwardi adalah putra bangsawan ningrat, cucu
seorang raja pula. Jika harus bekerja sebagai Klein Ambtenar, tentu dia tidak
mau. Maka satu-satunya jalan adalah melanjutkan pendidikannya ke tingkat yang
lebih tinggi. Masuk HBS jelas tidak mungkin, mengingat kondisi keuangan
ayahnya. Maka jalan yang mudah baginya adalah memasuki sekolah-sekolah
pemerintah Hindia Belanda yang memberikan bea siswa. Pilihan yang ada adalah
Kweekschool atau sekolah guru, OSVIA, sekolah Pamong Praja, dan STOVIA, sekolah
dokter Jawa di Batavia. Jika masuk OSVIA seperti kakaknya RM.Suryopranoto,
harus pergi ke Magelang. Sedang bila ke STOVIA, harus ke Batavia. Tetapi bila
ke KweekSchool, cukup di Yogya saja, sebab saat itu di Yogya sudah mulai pula
didirikan Kweekschool atau sekolah guru.
Akhirnya Suwardi memilih masuk Kweekschool
yang rupanya sesuai dengan bakat dan minatnya. Ternyata Suwardi diterima. Kweekschool
adalah sekolah dengan memberikan beasiswa juga. Uang saku yang diterimanya 10
gulden per bulan yang berarti sama besarnya dengan gaji seorang pegawai magang
pamong praja pemerintah Hindia Belanda yang gajihnya per bulan hanya 10 gulden.
Lama pendiikan 3 tahun dan bila lulus akan ditempatkan oleh pemerintah dan akan
mendapat gaji 75 gulden per bulan, suatu gajih yang sama besarnya dengan gajih
seorang asisten wedana. Bila dia tekun menjalani profesi sebagai guru,
berpeluang bisa naik pangkat sampai mantri guru, dengan gaji 150 gulden
per bulan. Suatu gajih yang sama dengan
gajih seorang wedana dan dokter Jawa yang baru lulus. Karena itu dengan masuk
Kweekschool sebenarnya masa depan Suwardi sebagai priyai dan bangsawan ningrat
sudah terjamin.
Tetapi setelah belajar hampir satu tahun
tiba-tibab dr. Wahidin Sudiro Husodo, dokter pribadi Keluarga Kadipaten
Pakualaman, datang kepada keluarga KPH. Suryaningrat dan menawarkan bea siswa
masuk STOVIA. Suwardi menjadi bimbang, dihadapkan pada dua pilihan. Tetapi
akhirnya Suwardi memilih meninggalkan Kweekschool dan menerima tawaran bea
siswa STOVIA yang lebih bergengsi itu.
Dokter Wahidin Sudiro Husodo adalah seorang
dokter yang bersahabat cukp erat dengan Pangeran Noto Dirojo, putra Paku Alam
V. Usia mereka tidak berbeda jauh, hanya terpaut satu tahun. Dokter Wahidin
lahir tahun 1857 M, sedang sahabatnya Pangeran Noto Dirojo kelahiran tahun 1858
M. Dokter Wahidin adalah alumni STOVIA
tahun 1876 M. Sejak menjadi dokter Keluarga Pakualaman, hubungan mereka berdua
semakin erat. Mereka berdua merasa prihatin dengan masa depan pemuda Jawa, bila
tidak segera menyesuaikan diri dengan arus modernisasi yang dengan deras mulai
menyerbu Pulau Jawa. Sedangkan Pangeran Noto Dirojo adalah alumni HBS yang berpikiran maju. Dia
sudah melihat bahwa satu-satunya jalan untuk menyelamatkan masa depan
putra-putrinya hanyalah dengan memasuki sekolah-sekolah Barat. Maka lima putra
Pangeran Noto Dirjo semuanya menempuh pendidikan di Negeri Belanda. Mereka
adalah RM.Noto Suroto, RM.Noto Kusworo, RM.Noto Diningrat, RM.Sewojo, R.Ajeng
Karlinah. Rajeng Karlinah adalah wanita Indonesia pertama yang berhasil lulus
pendidikan guru dan meraih Akte Guru Eropa.
Pribumi Hindia Belanda yang mampu
menyelesaikan pendidikannya di sekolah-sekolah Belanda, dapat dipastikan adalah
anak-anak yang memiliki kecerdasan luar biasa. Sebab Sekolah-sekolah Belanda di
Eropa adalah sekolah yang sangat ketat, berkualitas, dan diakui di Eropa
Daratan sebagai sekolah dengan kualitas standar Internasional. Sebagai alumnus
HBS Semarang, Pangeran Noto Dirojo juga pandai sejumlah bahasa asing Eropa,
selain bahasa Belanda, khususnya Bahasa Inggris. Ketika Raja Siam berkunjung ke
Hindia Belanda, Pangeran Noto Dirojolah satu-satunya Pangeran yang bisa
bercakap-cakap secara langsung dengan Raja Siam yang hanya bisa bercakap-cakap
dengan menggunanakan bahasa Inggris. Bahkan kemampuan berbahasa Inggris
Pangeran Noto Dirojo mampu mengungguli
orang-orang Belanda yang duduk dalam pemerintahan. Perlu diketahui bahwa
kurikulum HBS, disamping menggunakan penvgantar bahas Belanda dan memberikan
pelajaran bahasa Belanda, juga mengajarkan bahasa-bahasa Eropa lainnya seperti
bahasa Inggris, Perancis, dan Jerman.
Ketika Dokter Wahidin menggagas Dana Bea Siswa
untuk membiayai pendidikan pemuda-pemuda Jawa, maka Pangeran Noto Dirojolahlah
yang pertama kali mendukung dan menyetujuinya. Bisa jadi Pangeran Noto Dirojo
pula yang membujuk Suwardi agar mengambil kesempatan yang ditawarkan oleh
Dokter Wahidin itu. Tanpa harus berpikir lama Suwardi segera mengambilan
keputusan cepat. Meninggalkan Kweek School yang dimasukinya belum genap satu
tahun. Rupanya Pengaruh Pangeran Noto Dirojo dan Dokter Wahidin Sudiro Husodo
cukup kuat pada dirinya. Kelak ketika Suwardi tinggal di Negeri Belanda dan
menjadi Pemimpin Redaktur Hindia Putra, Suwardi berturut-turut mengenag
keduanya dengan menulis riwayat hidup Dokter Wahidin Sudiro Husodo dan Pangeran
Noto Dirojo dalam majalah yang dipimpinnya itu.
Pilihan masuk STOVIA bagi Suwardi sebenarnya
banyak memberikan keuntungan, bukan hanya finasial dan status, tetapi juga
memperluas cakrawala dari wawasan kebangsaannya. Dari segi finansial, uang bea
siswa yang akan diterima Suwardi sebagai siswa STOVIA adalah 20 gulden per
bulan, lebih banyak dari siswa KweekSchool yang hanya 10 gulden per bulan.
Dengan uang bea siswa 20 gulden per bulan para Pelajar STOVIA sudah berani
menikah dan membangun rumah tangga. Bila lulus dan ditempatkan gajih pertama
yang akan diterimanya adalah 150 gulden per bulan, yang berarti sama besarnya
dengan gajih seorang Wedana. Dari segi status, pendidikan bahasa Belanda di
STOVIA memilki standar tinggi yang mampu menyamai standar HBS. Dengan demikian
lulusan STOVIA, kemampuan berbahasa Belandanya tidak kalah dengan para alumus
HBS. Hanya STOVIA satu-satunya sekolah di Hindia Belanda yang mampu menyamai
HBS dalam standar kualitas pendidikan bahasa Belanda. Dari segi cakrawala
wawasan kebangsaan, jelas para siswa di STOVIA
akan bergabung dengan anak-anak dari pelbagai suku bangsa yang ada di Hindia
Belanda, sehingga interaksi di antara mereka lebih intensif dan wawasan
kebangsaannya lebih meningkat.
Atas dasar pertimbangan seperti tersebut di atas,
akhirnya pada tahun 1905 M, Suwardi memutuskan keluar dari Kweekschool dan
berangkat ke Batavia memasuki STOVIA. Sebuah institusi pendidikan kolonial yang
kelak melahirkan banyak kaum nasionalis berbobot yang akan mengguncang hegemoni
dan dominasi Gusti Asing di tanah Hindia. Sayang studinya di STOVIA tidak
berhasil diselesaikan oleh Suwardi Suryaningrat. Panggilan karir dibidang
Jurnalistik dan memperjuangkan kemerdekaan bagi Pribumi bangsanya yang
terjajah, serta kesibukannya berorganisasi, menjadi faktor utama yang
menghambat Suwardi menyelesaikan studinya di STOVIA. Tetapi, Suwardi tak pernah
menyerah kepada setiap kegagalan yang dihadapinya. Sebab kegagalan bagi Suwardi
Suryaningrat adalah guru yang paling bijaksana. Takdir akhirnya memang
mengembalikan Ki Hadjar Dewantara pada karir awalnya, sebagai Pendidik bagi
anak-anak Pribumi bangsanya yang terjajah. Tidak berjuang sebagai dokter.
Tetapi berjuang sebagai Pendidik dan Guru Bangsa.[Tammat]
