Entri yang Diunggulkan

Kahyangan Suralaya, Tempat Tinggal Para Dewa

Legenda adalah kisah tentang orang, kejadian, atau peristiwa yang dibuat berdasarkan fantasi dengan maksud untuk menimbulkan kekaguman...

Senin, 31 Desember 2018

Kahyangan Suralaya, Tempat Tinggal Para Dewa



Legenda adalah kisah tentang orang, kejadian, atau peristiwa yang dibuat berdasarkan fantasi dengan maksud untuk menimbulkan kekaguman, pemujaan dan penghormatan terhadap subyek yang dikisahkan. Legenda bukan sejarah, walaupun bisa jadi subyeknya adalah tokoh sejarah. Legenda biasanya bersifat mitologis, karena dalam kisahnya biasanya mengandung unsur-unsur gaib yang bersifat supernatural. Sebagai suatu karya sastra, legenda menarik, karena petualangan tokoh-tokohnya yang unik, kadang-kadang menegangkan, dan dapat memacu imajinasi, daya khayal, dan kreativitas pembacanya.

Adapun mengenai legenda para dewa orang Jawa dapat dijumpai dalam kitab Tantu Panggelaran yang konon berasal dari jaman Kediri,  kitab Paramayoga dan Pustaka Rajapurwa.  Dua yang terakhir adalah karya Pujangga Agung Keraton Surakarta, R.Ng. Ranggawarsita (1802 – 1873 M).

Seperti para sastrawan Romawi yang memindahkan dewa-dewa Yunani menjadi dewa-dewa Romawi, sastrawan Jawa juga memindahkan dewa-dewa dari tanah Hindustan ke Pulau Jawa. Bagi Orang Yunani, Mahadewa Zeus, adalah dewa tertinggi penguasa jagad raya. Tetapi oleh para sastrawan Romawi, Dewa Zeus diboyong ke Romawi dan diberi nama baru, Mahadewa Yupiter. Istri Zeus, Hera, diberi nama baru Yuno. Gadis cantik jelita tapi perkasa, Athena dan Selena, diganti jadi Minerva dan Diana. Dewa lainnya juga diperlakukan dengan cara yang sama, yaitu diromawikan. Demikian pula ritual untuk menyembah para dewa Romawi, sebagian besar merupakan adopsi yang dilakukan orang Rowawi dari ritual pemujaan orang Yunani terhadap dewa-dewa mereka. Para Pujangga Jawa juga melakukan hal yang sama seperti para Pujangga Romawi. 

Dalam kitab Tantu Panggelaran dan Paramayoga, dewa tertinggi Orang Jawa adalah Batara Guru yang juga bergelar Sang Hyang Jagad Girinata. Padahal dalam agama Hindu, dewa tertinggi adalah  Syiwa bagi pengkut Syiwaisme,  Wisnu bagi pengikut Waisnawa, dan Brahma bagi pengikut Brahmaisme. Tetapi apakah Batara Guru dapat disamakan dengan Sang Hyang Syiwa? Ternyata tidak. Sebab dalam teologi Hindusime, Syiwa adalah Sang Hyang Widdhi, Tuhan Yang Maha Kuasa, setara dengan Sang Adi Budha dalam teologi Buddha, setara dengan Yahweh dalam Kitab Perjanjian Lama, dan setara dengan Tuhan Bapa dalam Kitab Perjajian Baru. Batara Guru dalam Kitab Paramayoga, hanya setara dengan Nabi Isa as atau Nabi Sulaeman. Jadi, Batara Guru bukan Tuhan, hanya setara dengan utusan Tuhan. Tetapi juga bukan manusia, sebab Batara Guru termasuk golongan dewa yang berbadan halus, hidup abadi, tidak terkena sakit, dan tida bisa mati.

Dari sudut ajaran Islam, Batara Guru itu termasuk golongan Jin. Memang leluhur Batara Guru, dari jalur ibunya, akan sampai pada raja jin sakti, Yakni Jin Ngajajil. Sedang dari jalur ayahnya, akan sampai kepada Nabi SIS, yang menurut Kitab Paramayoga, adalah turunan Nabi Adam dan Siti Kawa. Rantai nasab Batara Guru sampai kepada Nabi Adam dan Siti Kawa adalah sbb, “Batara Guru putra Sang Hyang Tunggal, putra  Sang Hyang Wenang, putra Sang Hyang Nurrasa, putra Sang Hyang Nurcahya, putra Nabi SIS, putra Nabi Adam.

Pujangga yang pertama kali menciptakan nama Batara Guru sebagai dewa tertinggi orang Jawa, sesungguhnya bukan pengarang kitab Paramayoga, juga bukan pengarang kitab Tantu Panggelaran. Tetapi pengarang lakon Kunjarakarna, sebuah lakon yang ditulis dalam metrum kakawin pada abad ke-14 M. (Ir.Sri Mulyono, Simbolisme dan Mistikime dalam Wayang).

Dalam lakon itu, tokoh Wairocana mengajari Kunjarakarna tentang mistik ketuhanan dengan mengatakan, ”Aku Wairocana, adalah Buddha dan Syiwa dalam bentuk yang nyata dan tampak. Karena itu, aku terkenal dimana-mana dengan nama Batara Guru. Akulah dewa yang tertinggi dan meliputi seluruh jagad.” Suatu pandangan mistik ketuhanan yang bersifat panteistik dan imanent. Dalam mistik Islam pandangan diatas termassuk aliran wujudiyah yang merupakan akar-akar dari pandangan Islam Kejawen.

Dari kutipan di atas jelaslah, bahwa Batara Guru dalam Kunjarakarna, adalah Syiwa yang menjelma menjadi wujud yang lain, sebagaimana dikatakan Mpu Tantular dalam Sutasoma, ”Bhineka tunggal ika, tan hana janma mangrawa”. Artinya berbeda-beda dalam wujudnya, tapi satu dalam hakekat.

Dalam Paramoyoga, yang ditulis pada jaman ketika para raja, punggawa, dan pujangga  Keraton Surakarta sudah memeluk agama Islam, tokoh Batara Guru secara lahiriyah mengalami penurunan status. Batara Guru bukan lagi Tuhan Alam Semsesta. Tetapi sejalan dengan mistik Islam wujudiyah, Batara Guru adalah Gusti yang sedang manunggal dan berwujud Kawula. Itulah sebabnya Sang Pujangga, melukiskan rantai nasab Batara Guru dari jalur ayah sebagai masih keturuan Nabi Adam. Dan Nabi Adam adalah kawula atau hamba Allah yang mendapat karuniaNya sehingga diangkat jadi Utusan Allah. Demikian pula Batara Guru, dalam pandangan Sang Pujangga, adalah hamba Allah yang mendapat karuniaNya, sebagai mana dikatakan Wairocana, ”Dewa tertinggi yang meliputi seluruh jagad.” Gagasan Sang Pujangga yang telah memadukan persespi ketuhanan atas dasar pandangan Islam dengan pandangan Hindu dan Buddha, telah melahirkan suatau pandangan teologi Islam baru yang bersifat sinkretik.

Lepas dari pandangan teologi Sang Pujangga, Kisah Mitologi para dewa dalam kesustraan Jawa, tetap menarik untuk dinikmati, ada pesan etik yang dapat diambil sebagai bahan pembelanjaran, dan petualangan para dewa dalam mitologi sastra Jawa, sangat menggetarkan, tidak kalah dengan petualangan dewa-dewa Yunani dalam karya Hommer. Lagi pula kisah petualangan para dewa itu juga menggugah fantasi dan imajinasi yang dapat memicu kreativitas pembacanya. Sebagai karya sastra, tentu saja mitologi para dewa dalam sastra Jawa bisa menjadi pintu masuk untuk lebih memahami warna dan corak kebudayaan Jawa di masa lampau yang diwarisan dari para pujangga kesusastraan Jawa.

Bagi para penggemar wayang kulit, mengetahui kosmogoni para dewa dalam kesusastraan Jawa, akan membantu dan memudahkan memahami jalan ceriteranya. Sebab, dalam pertunjukan wayang kulit, pasti akan muncul salah satu atau beberapa tokoh dewa yang mengendalikan dunia wayang.
2.Kahyangan Suralaya, Tempat Istana Para Dewa.
Dimanakah letak kediaman para dewa sebagai tempat untuk mengendalikan pemerintahan alam semesta? Para dewa tinggal di suatu tempat di dunia atas atau dilangit, yang bernama Kahyangan Suralaya, atau Kahyangan Surapada, dan kadang-kadang disebut juga sebagai Kahyangan Suraloka.

Kahyangan Suralaya, tempat tinggal para dewa, dilukiskan sebagai suatu tempat di puncak Gunung Mahendra, yang disebut juga sebagai Gunung Mahameru. Kelak disebut juga sebagai Gunung Lawu.Tetapi Suralaya tidak benar-benar ada di puncak Mahameru. Sebab para dewa membagia dunia ini menjadi tiga, yakni dunia atas, dunia tengah, dan dunia bawah. Dunia atas adalah tempat tinggal para dewa. Jadi Kahyangan Suralaya itu merupakan dunia atas atau dunia langit. Puncak Mahameru hanya merupakan jalan masuk pintu gerbang Suralaya. Dan Gunung Mahameru juga hanya merupakan tangga naik ke Suralaya.

Jika Kahyangan Suralaya adalah tempat tinggal para dewa, maka dunia tengah, atau permukaan bumi  yang berupa daratan dan lautan merupakan tempat tinggal manusia. Sadangkan dunia bawah, adalah dunia di bawah daratan dan lautan, merupakan dunia tempat tinggal bangsa raksasa,  jin, setan, demit, dan mahluk halus lainnya yang bukan dewa, dan pada umumnya  mereka berperilaku jahat.

Suralaya sebagai dunia atas dilukiskan sebagai tempat tinggal yang luas sekali. Di sana terdapat istana tempat tinggal para dewa. Misalnya Istana Jonggringsalaka atau Istana Perak, merupakan tempat tinggal Batara Guru dengan istrinya yang kedua, Dewi Laksmi. Dari Istrinya yang pertama, Dewi Uma, Batara Guru punya lima putra, yakni Sambo, Brahma, , Indra, Bayu, Wisnu ,dan Kala. Dari Dewi Laksmi, Batara Guru punya tiga putra, yaitu Mahadewa, Asmara, dan Sakra.

Istana  Suwelagringging merupakan tempat tingga Dewa Sambu dengan istrinya, Dewi Astuti. Jabatan Dewa Sambu adalah sekretaris Batara Guru. Sedangkan Istana Duksinageni, merupakan Istana Dewa Brahma. Dia tinggal dengan Istrinya Dewi Saraswati. Dewa Brama adalah dewa penguasa api. Di Suralaya Dewa Brahma menjabat sebagai Menteri Pertahanan yang bertanggung jawab atas keamanan Suralaya. Sebagai Menteri Pertahanan, Dewa Brama mengendalikan tentara dewa yang namanya Dorandana. Istana Tinjomaya, merupakan istana tempat tinggal Dewa Indra dengan istrinya Dewi Wiranci. Jabatan Dewa Indra adalah  Panglima Perang Tentara Dewa, atau Senapati pada dewa. Dewa Indra adalah dewa penguasa awan, sungai, telaga, hujan dan air.

Sedangkan Istana Panglawung, merupakan istana tempat  tinggal Dewa Bayu dan istrinya, Dewi Sumi. Dewa Bayu adalah dewa yang menguasai angin, badai, angin topan, angin putting beliung dan angin lainnya. Lalu, Istana Uttarasagara, merupakan tempat tinggal Dewa Wisnu dengan istrinya, Dewi Sri Sekar. Dewa Wisnu adalah dewa yang mengatur alam semesta, menegakkan hukum, dan membasmi semua kejahatan. Selain istana di atas, masih banyak istana para dewa lainnya, seperti Istana Cakrakembang-Dewa Kamajaya, Argadumilah-Dewa Yama, Jongmeru-Dewa Sakra, Selamangumpeng-Dewa Kala, Tejamaya-Dewa Ismaya, Sabaluri-Dewa Antaga, Argapura-Dewa Mahadewa, Mayaretna-Dewa Asmara, dan Glugutinular-Dewa Ganesha.

Sebagai kompleks istana para dewa, Suralaya memiliki pintu gerbang Selamatangkep, balai pertemuan Marcukundha, gelanggang latihan perang prajurit dewa Repatkepanasan, alun-alun Papajarwarna, sepasang beringin kembar di alun-alun  Dewandaru dan Wijayandaru, gedung kesenian Mandhalasana, lengkap dengan gamelannya Lokananta, dan tamansari Nandana. Binatang di Suralaya, antara lain, kuda sembrani Ucchaihasrawa, sapi perempuan tunggangan Batara Guru, Nandini, dan gajah tunggangan Senapati Suralaya Dewa Indra, Airawata. Di Suralaya juga ada Gunung Jamurdipa, dengan kawahnya Candradimuka, dan lumpur panasnya Blegedaba.

Kahyangan Suralaya juga punya pabrik senjata untuk para dewa, yang dipimpin oleh dua dewa, yakni Dewa Ramadi dan Dewa Anggajali. Pada mulanya Dewa Ramadi dan Dewa Anggajali, adalah empu pembuat senjata pada dewa di Kahyangan Ondar-Andir Bawana, Kahyangan Ayah Batara Guru di Puncak Gunung Tengguru atau Gunung Himalaya, tanah Hindustan. Karena jasa-jasanya, Dewa Anggajali mendapat hadiah Kerajaan Surati, maka Dewa Anggajali turun ke dunia menjadi Raja Kerajaan Surati, dengan mengambil gelar Prabu Iwaksa Anggajali. Dia berputra Raden Aji Saka. Ketika tahu Batara Guru akan pindah ke tanah Jawa, dan akan membangun Kahyangan Suralaya di Pulau Jawa, Prabu Iwaksa Anggajali lengser keprabon dan menobatkan putranya Raden Aji Saka dengan nama nobat Prabu Isaka Sangkala.

Prabu Anggajali sendiri pergi bertapa, agar kesaktiannya membuat senjata para dewa yang telah lama ditinggalkannya, bisa pulih kembali. Tetapi putranya yang menduduki tahta Kerajaan Surati, tidak berlangsung lama, karena tiba-tiba  saja Kerajaan Surati berhasil diduduki musuh, sehingga Raden Aji Saka dan dua ponakawannya, Sembada dan Dora, melarikan diri untuk menemui ayahnya di pertapaanya. Oleh Ayahnya, yang telah kembali bergelar Empu Anggajali, Aji Saka diberitahu agar melupakan Kerajaan Surati dan tidak usah bersedih hati. Diberitahu bahwa Batara Guru sudah beberapa kali melakukan survai ke tanah Jawa, dan berniat pindah ke Pulau Jawa dan membangun Kahyangannnya sendiri di Puncak Mahameru .

Raden Aji Saka disarankan agar pindah saja ke Pulau Jawa, dan membangun kembali kerajaannya yang hilang. Ayahnya, berjanji kelak akan menyusul juga pindah ke Pulau Jawa, mengikuti Batara Guru dan keluarganya. Raden Aji Saka mengikuti petunjuk ayahnya dan pindah ke Pulau Jawa. Akhirnya Aji Saka berhasil menuduki tahta Kerajaan Medangkamulan, dengan mengambil nama nobat Prabu Sangkala Aji Saka. Ketika Batara Guru mulai membangun Kahyangan Suralaya dibantu putra-putranya, Empu Anggajali menemui Batara Guru. Batara Guru sangat gembira, ketika Empu Aggajali akan ikut pindah ke Pulau  Jawa. Empu Anggajali pun kembali diangkat menjadi dewa, dan dipasangkan kembali dengan sahabat lamanya  Dewa Ramadi yang juga ikut pindah ke Jawa.  Dewa Anggajali dan Dewa Ramadi, dibuatkan istana Candramuka di Kahyangan Suralaya, tidak jauh dari  puncak Gunung Merapi. Tugas Dewa Anggajali dan Dewa Rahmadi,  ialah membuat senjata para dewa di pabrik senjata para dewa  di puncak Gunung Merapi.,

Dalam menjalankan roda pemerintahannya, Batara Guru dibantu Patih Narada, dan dua punokawan setianya, Dewa Patuk dan Dewa Temboro. Semua dewa yang keluar masuk Suralaya harus melewati pintu gerbang Selamatangkep, pintu gerbang dari batu yang bisa membuka dan menutup sendiri, dijaga oleh dua raksasa kembar Cingkarabala dan Balaupata yang bersenjatakan gada. Mahluk biasa seperti manusia dan raksasa, tidak bisa masuk lewat pintu gerbang Selamatangkep tanpa ijin dewa. Dan dua rakasa kembar itu punya wewenang menolak manusia, raksasa, dan jin  yang mencoba masuk Suralaya tanpa ijin.

Disamping dihuni para dewa, Suralaya juga dihuni para bidadari yang cantik jelita dan juga sakti. Dinatara bidadari itu ada yang menjadi istri para dewa, tetapi ada juga yang tidak punya suami atau pernah punya suami dewa atau manusia, tetapi tetap gadis, walaupun pernah melahirkan anak. Tujuh bidadari Suralaya yang paling cantik adalah, (1) Dewi Supraba, (2) Dewi Tilottama atau Wilutama, (3) Dewi Warsiki, (4) Dewi Gagarmayang, (5) Dewi Lengleng Mulat, (6) Dewi Surendra, (7) Dewi Tunjungbiru. Tujuh bidadari cantik itu semuanya pandai menari dan menyanyi, dan memegang peran penting untuk menghibur para dewa dalam acara pentas seni dan pesta para dewa di Balai Kesenian Mandhalasana diiring gending Lokananta yang ditabuh para dewa.

Kahyangan Suralaya di puncak Mahameru dibangun sendiri oleh Batara Guru dibantu oleh putra-putrinya. Sebelumnya Batara Guru tinggal di Kahyangan Ondar-Andir Bawana di Puncak  Gunung Tangguru atau Gunung Himlaya di tanah Hindustan milik ayahnya, Sang Hyang Tunggal.

Konon Sang Hayang Tunggal masih keturunan Nabi Adam. Adapun nasabnya sebagai berikut: Sang Hyang tunggal bin Sang Hyang Wenang, bin  Sang Hyang Nurasa, bin Sang Hyang Nurcahya, bin Sang Hyang Sita. Sang Hyang Sita adalah putra keenam Kanjeng Nabi Adam dengan Dewi Siti Kawa. Bagaimana bisa Nabi Adam, jadi leluhur Batara Guru? [01-01-2019]

Jumat, 28 Desember 2018

Prabu Sangkala Aji Saka menciptakan Aksara Jawa



Setelah dinobatkan jadi raja, Prabu Sangkala Aji Saka ingat pada Sembada yang masih tingggal di pertapaanya untuk menjaga kerisnya. Apa lagi Aji Saka perlu keris pusaka dan juga perlu bantuan Sembada untuk membantu mengajar rakyat Medangkamulan pandai baca tulis. Sedangkan sebagai guru, Dora dianggap kurang sabar, dan kurang cakap. Maka disuruhlah Dora supaya menjemput Sembada, sekalian membawa keris pusakanya. Maka berangkatlah Dora. Tapi ditengah jalan Dora berubah pikiran, dia ingin menipu Sembada, dengan mengatakan bahwa dirinya disuruh Aji Saka untuk mengambil keris pusaka, dan dirinya juga disuruh menyampaikan pesan Aji Saka, agar Sembada tetapi tinggal di Pulau Majeti dan melanjutkan menjaga pertapaan dan meneruskan aktivitas mengajar penuduk dari daratan sekitar Teluk Penyu yang berdatangan untuk berguru di pertapaan Pulau Majeti. Sebab dalam pikiran Dora, jika Sembada ikut ke Medangkamulan, Dora pasti akan diganti Sembada sebagai tenaga pegajar, sebab Sembada memang lebih cakap jadi guru ketimbang dirinya.

Begitu tiba di Pulau Majeti dan bertemu Semabada, Dora pun saling berpeluk-pelukan karena rindu telah lama berpisah. Tetapi kerinduan antara dua sahabat satu guru dan satu padepokan itu, berubah jadi pertentangan, ketika Dora mengaku disuruh Aji Saka mengambil keris pusaka. Sembada berikukuh akan tetapi mempertahankan keris Aji Saka yang dititipkan kepadanya sebagai amanat. Keris hanya akan diberikan jika Aji Saka sendiri yang mengambilnya. Atau jika Aji Saka memang sibuk karena sudah jadi raja, Sembada mau mengalah, yaitu dia sendiri yang akan menyusul ke Medangkamulan sambil membawa keris pusaka untuk diserahkan.

 Ternyata semua usul Sembada ditolak Dora. Akibatnya terjadi adu mulut dan mulai bertengkar. Dari adu mulut meningkat jadi adu jotos, dan perkelahaian antara Dora dan Sembada tak dapat dihindarkan lagi. Walapun dalam kemapuan mengajar sastra dan tulisan Semabada lebih pandai dari pada Dora, tapi dalam ilmu kanuragan dan ilmu jaya kawijayan guna kasantikan, kedua-duanya sama-sama saktinya, karena sama-sama cantrik Aji Saka. Sampai suatu ketika, Dora berhasil merebut keris pusaka dan langsung ditusukkan ke dada Sembada, sehingga Sembada rubuh ke tanah, dan pingsan seketika. Tetapi ketika Dora mendekatkan wajahnya untuk memeriksa  apakah Sembada benar-benar tewas, Sembada yang pura-pura pingsan dapat merebut kembali keris pusaka dan langsung ditusukkan ke perut Dora. Dora pun jatuh ke tanah dan tewas seketika. Tapi luka-luka Sembada pun makin lama makin hebat, karena racun pada keris pusaka mulai menggerogoti tubuh Sembada juga. Akhirnya, Sembada tewas menyusul Dora.

Sementara itu, setelah berminggu-minggu menungu, Aji Saka belum juga  menerima kabar dari Dora yang diutus untuk menjemput Sembada. Dia mulai merasa tidak enak, hatinya gelisah, dan cemas. Apa lagi saat ingat pesannya sendiri kepada Sembada, bahwa Aji Saka sendirilah yang kelak akan mengambil keris pusaka yang dititipkan pada Sembada. Akhirnya Aji Saka memutuskan untuk mengirim utusan lengkap dengan sejumlah pengawalnya menyusul Dora dan menemui Sembada.

 Tetapi betapa terkejutnya setelah utusan tiba kembali dari Pulau Majeti, kemudian melaporkan semua kejadian menyedihkan yang menimpa  dua cantrik kesayangannya di pertapaannya di Pulau Majeti.Namun demikian, Aji Saka kembali dapat menerima keris pusaka yang ditunggui cantriknya di Pulau Majeti. Konon, disamping membangun pertapaan dan padepokan di Pulau Majeti, Aji Saka juga menamam pohon dari bunga langka, dan disucikan, yakni pohon  Wijayakusuma (Epiphyllum anguliger). Selain di Pulau Majeti, pohon Wijayakusuma juga tumbuh di Pulau Karimunjawa dan Bali.

Merasa sangat terpukul dengan nasib malang yang menimpa dua cantrik kesayangannya itu, Prabu Sangkala Aji Saka, menggubah sebuah syair untuk mengenang dan mengabadikan peristiwa yang memilukan itu. Bunyi syair  yang ditulisnya dalam bahasa dan huruf Jawa ciptaan Prabu Sangkala Aji Saka  berbunyi sbb :

Hana caraka/data sawala/pada jayanya/maga batanga. Artinya
Ada utusan/ saling bertengkar/ sama saktinya/ tewa keduanya.

Sejak itulah tercipta tulisan dalam huruf Jawa yang diajarkan Prabu Sangkala Aji Saka. Dia menjadi penguasa Kerajaan Medangkamulan, dan menurunkan putra-putri dan keturunannya, yang dipercaya menjadi cikal bakal leluhur orang Jawa. Karena Prabu Sangkala Aji Saka, berasal dari tanah Hindustan, maka ada anggapan, bahwa leluhur orang Jawa berasal dari Tanah Hindustan. Demikianlah dongengan Aji Saka yang berisi kisah asal-usul orang Jawa, huruf Jawa, dan bahasa Jawa.

Sumber Pustaka Dongengan Aji  Saka.
Seorang ahli sastra Jawa, Prof.Dr.Purbocaroko, menjelaskan bahwa Dongengan Aji Saka berasal dari tulisan pujangga Jawa R.Ng.Ranggawarsita, dalam karyanya yang berjudul Parama Yoga, kemudian dilanjutkan dalam kitab Pustaka Raja. Kitab Pustaka Raja, terdiri dari 2 bagian, yaitu:

1.      Pustaka Raja Purwa, menceritrakan masa 800 tahun tanah Jawa, yakni antara tahun 1 Saka – 800 tahun Saka ( 78 M – 878 M). Pada masa ini dikisahkan ceritera wayang purwa.
2.      Pustaka Raja Purawa, menceriterakan :

a.      Kejadian di tanah Jawa selama 600 tahun, yakni setelah jaman wayang purwa, sampai runtuhnya Kerajaan Majapahit, 800- 1400 Saka (878 – 1478 M).
b.      Kejadian di tanah Jawa selama 200 tahun, yakni jaman setelah Majapahit runtuh sampai jaman Demak, Pajang, dan Mataram Plered,  1400 – 1600 Saka ( 1478 – 1678)

Dalam Pustaka Raja Purwa, diceriterakan bahwa Sang Prabu Sangkala Aji Saka dan keturunannya hanya memerintah selama 101 tahun saja. Pada tahun 101 Saka (179 M), keturunan Aji Saka musnah karena wabah penyakit. Kemudian dimulailah pemerintahan para dewa dari tanah Hindustan yang turun ke tanah Jawa untuk meembangun kembali pulau Jawa.

 Dongengan Para Dewa Membangun Tanah Jawa.
Dongengan tentang asal usul orang Jawa dari tanah Hinustan, juga ada dalam kitab Tantu Panggelaran, konon Karya Prabu Jayabaya dari Mamenang. Menurut Prof. Dr.Purbocaroko, isinya sbb :

Batara Guru menciptakan sepasang manusia di Pulau Jawa, yang kemudian berkembang biak, tapi masih belum berperadaban. Mereka masih banyak yang telanjang, belum pandai bertutur kata, dan belum pula pandai membuat rumah. Maka Batara Guru pun memerintahkan ke lima putranya, yakni Wisnu, Sambo, Brahma, Wisnu, dan Bayu untuk turun ke Pulau Jawa, agar mengajar mereka supaya pandai berbicara, berpakaian, membuat rumah, membuat alat-alat untuk berburu dan bercocok tanam. Saat itu Sumatra, Jawa, dan Bali masih jadi satu.

Batara Wisnu merupakan dewa yang pertama kali turun dan menjadi raja pertama di pulau Jawa, dengan nama Sang Maharaja Suman Kandiawan. Dia mendirikan Kerajaan Medhangpura di lereng Gunung Gora, kelak berubah nama jadi Gunung Slamet. Sang Maharaja Suman Kandiawan mempunyai empat putra, yakni Sang Mangkukuhan, Sandang Garba, Katung Malaras, Karung Kala, dan Wreti Kandayun.

Menyusul Batara Brahma, turun di Tanah Pasundan, dan mendirikan Kerajaan Medhanggili di lereng Gunung Tangkuban Perahu, dengan gelar Sang Maharaja Sundha. Lalu turun Batara Indra mendirikan Kerajaan Medhanggana, di lereng Gunung Semeru, dengan gelar Sang Maharaja Sakra. Berikutnya turun Batara Bayu, mendirikan Kerajaan Medhanggora di lereng Gunung Agung, Pulau Bali, dengan gelar Sri Maharaja Bima. Terakhir turun adalah Batara Sambo, yang mendirikan Kerajaan Medangprawa di lereng Gunung Rajabasa, Lampung, dengan gelar Sang Maharaja Maldewa.

Sebelum kelima putra Batara Guru turun ke Pulau Jawa, Batara Guru sudah lebih dulu mengunjungi Pulau Jawa, dan menemukan pulau yang masih kosong itu banyak ditumbuhi pohon Jawawut. Dari nama pohon Jawawut itulah, Batara Guru memberi nama pulau yang dikunjunginya itu, Pulau Jawa.

Demikianlah dari dongeng dalam kita Putaka Raja dan Tantu Panggelaran, disebutkan bahwa leluhur orang Jawa berasal dari tanah Hindustan yang melakukan migrasi ke Pulau Jawa, mengikuti para dewa. Seorang Sarjana Belanda C.C. Berg, mengutip silisilah leluhur para raja Kerajaan Jawa  yang bersumber dari karya sastra orang Jawa adalah sbb :

(1)   Raja Sakri-Parikesit ,(2) Udayana (3) Gendrayana, (4) Jayabaya , (5) Suwelacala, (6) Resi Gentayu, (7) Lembu Amiluhur, (8) Banjaran Sari, (9) Jaka Susuruh Raden Wijaya, (10) Senapati.

Karena dalam kisah di atas tampak  campur aduk, antara dewa dan manusia, maka para sejarawan menganggapnya Pustakaraja dan Paramayoga bukan karya historiografi sejarah. Tetapi lebih merupakan karya sastra yang berisi dongengan, atau fantasi Sang Pujangga penulis kisah, sekalipun mengandung juga sebagian kecil fakta sejarah.  [28-12-2018]

Kamis, 27 Desember 2018

Aji Saka Menaklukkan Raja Jawa Dewatacengkar




Geografi dan Anthropologi
Dari sudut pandang anthropologi budaya, maka yang disebut dengan suku bangsa Jawa adalah orang-orang yang secara turun temurun menggunakan bahasa Jawa dengan berbagai ragam dialeknya dalam kehidupan sehari-harinya , dan tinggal di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur serta mereka yang berasal dari kedua daerah tersebut. Wilayah di sebelah barat Sungai Cilosari dan Citanduy, disebut daerah Jawa Barat atau Tanah Pasundan, dan didiami oleh suku bangsa Sunda. Sedangkan wilayah di sebelah timur kedua sungai tersebut disebut Tanah Jawa, yaitu daerah yang didiami oleh suku bangsa Jawa. Daerah tersebut meliputi wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Suku bangsa Jawa asli atau pribumi, hidup di daerah pedalaman yaitu daerah-daerah yang secara kolektip disebut daerah Kejawen. Daerah itu meliputi wilayah Banyumas, Kedu, Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Malang dan Kediri. Sedangkan daerah di luar itu dinamakan daerah Pesisir dan Ujung Timur. Yogyakarta dan Surakarta, dua daerah bekas kerajaan Mataram merupakan pusat dari kebudayaan Jawa. Pada dua daerah itulah terletak dua kerajaan terakhir dari pemerintahan raja-raja Jawa.

Adapun pulau Jawa adalah salah satu pulau dari kepulauan Indonesia, yakni kepulauan yang terbentang di antara 6 * Lintang Utara , 11 * Lintang Selatan, dan 95 * Bujur Timur , 141 * Bujur Timur. Pulau Jawa terbagi ke dalam enam daerah pemerintahan, yaitu Propinsi Daerah Tingkat I Banten, Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat, Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Tengah, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur.

Dasar masyarakat Jawa.
Bentuk kemasyarakatan Jawa pada dasarnya terdiri atas masyarakat kekeluargaan, masyarakat gotong royong, dan masyarakat yang berketuhanan.

a.Masyarakat kekeluargaan dan gotong royong
Masyarakat Jawa bukanlah merupakan sekumpulan manusia yang menghubungkan individu satu dengan individu lainnya, dan individu satu dengan masyarakat, tetapi merupakan satu kesatuan yang lekat terikat satu sama lain oleh norma-norma hidup karena sejarah, tradisi, maupun religi. Sebagai unit terkecil dalam masyarakat adalah hidup kekeluargaan. Hidup kekeluargaan itu sungguh-sungguh mewujudkan hidup bersama dalam masyarakat yang paling kecil yang disebut masyarakat desa. Beberapa ratus desa yang secara geografis tergabung dalam suatu wilayah daerah seperti Banyumas, Kedu, Yogya, dan sebagainya, dimana masing-masing daerah ini memiliki norma-norma hidup bermasyarakat sendiri, dialek bahasa sendiri serta tata cara adat tradisional sendiri, merupakan suatu masyarakat kekeluargaan yang disebut masyarakat daerah.

Sistim hidup kekeluargaan di Jawa tergambar dalam hukum adatnya. Adat istiadat dimana setiap orang laki-laki bekerja membantu keluarga yang lain dalam hal-hal tertentu seperti mengerjakan sawah, membuat rumah, memperbaiki jalan desa, membersihkan kompleks makam dan kepentingan-kepentingan bersama lainnya, hampir terdapat di semua wilayah daerah yang ada. Hal ini merupakan landasan masyarakat gotong royong.

b.Masyarakat  Ber-Ketuhanan.
Suku bangsa Jawa pada jaman pra sejarah mempunyai pandangan hidup animisme, yaitu suatu kepercayaan adanya roh atau jiwa pada semua benda, hewan, tumbuh-tumbuhan, atau manusia itu sendiri. Masuknya agama Hindu ke Jawa membawa pandangan hidup manusia ke dalam Dewa-Dewa yang mempunyai dan menguasai alam semesta. Masuknya agama-agama Buddha, Islam, Kristen,  dan Katolik ke Jawa, membawa perkembangan lebih lanjut kepada keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Perkembangan tingkat demi tingkat sesuai perkembangan jaman tetap menggambarkan kehidupan bereligi masyarakat Jawa dari dulu sampai sekarang.

Dongengan Tentang Asal Usul Suku Bangsa Jawa.

Dongeng   Aji Saka vs Prabu Dewatacengkar

Al kisah pada jaman dulu ada seorang empu satria pinandita yang bernama Aji Saka. Dia mempunyai dua orang punakawan pengiring yang bernama Dora dan Sembada. Aji Saka sendiri berasal dari tanah Hindustan. Beliau memiliki kesaktian yang sangat tinggi dan bersikap arif bijaksana. Dia pun memiliki sebilah keris yang ampuh, pusaka dari kedua orang tuanya yang selalu dibawa kemanapun dia pergi. Dulu dia seorang raja yang bernama Prabu Isaka Sangkala. Tiba-tiba kerajaannya diserang musuh, sehingga Prabu Isaka Sangkala melarikan diri ke hutan, dan menemui ayahnya, Prabu Anggajali yang telah menjadi pertapa dan bergelar Batara Anggajali. Putranya disarankan agar berganti nama menjadi Aji Saka, dan disuruhnya pergi ke Pulau Jawa yang masih kosong yang letaknya arah tenggara tanah Hindustan. Di sana Aji Saka bisa membangun lagi kerajaannya yang telah hilang.

Dengan petunjuk ayahnya, berangkatlah Aji Saka dengan membawa keris pusaka dan ditemani murid dan pembantu setianya, Dora dan Sembada. Dalam perjalanannya menuju tanah Jawa, Aji Saka dan pengiringnya, mula-mula mendarat di pulau kecil, yang namanya Pulau Majeti, tidak jauh dari Teluk Penyu di Pantai Selatan Pulau Jawa. Di Pulau Majeti ini, Aji Saka membangun sebuah pertapaan. Setelah tinggal beberapa bulan di Pulau Majeti, Aji Saka mendengar berita, bahwa di Medangkamulan, Pulau Jawa, bertahta seorang raja raksasa yang sakti dan mempunyai kegemaran memakan daging manusia yang tidak lain adalah daging rakyatnya sendiri. Oleh karena ulah rajanya itu, rakyat Medangkamulan selalu diliputi rasa cemas dan ketakutan, karena merasa selalu dikejar-kejar oleh rajanya, menunggu giliran untuk jadi mangsa rajanya. Sang Raja itu bernama Dewatacengkar, yang artinya dewa yang ingkar karena hobbynya makan daging manusia rakyatnya sendiri. Tetapi ada pula yang menafsirkan cengkar bukan hanya ingkar, tetapi libido Sang Raja juga sangat besar dan kasar. Cengkar artinya, phalus Sang Raja mudah dan kuat sekali  berereksi. Maksudnya nafsunya terhadap wanita tidak pernah terpuaskan. Kalau jaman now, disebut buaya darat.

Oleh karena polah rajanya sendiri itulah rakyat Medangkamulan selalu diliputi rasa cemas dan ketakutan, karena merasa selalu diawasi oleh rajanya, bahkan sering kali dikejar-kejar rajanya ketika tiba gilirannya menjadi mangsa rajanya. Aji Saka merasa terpanggil untuk membebaskan rakyat Medangkamulan dari cengkeraman kezaliman rajanya. Maka pada suatu ketika dipanggilah kedua ponakawannya yang bernama Dora dan Sembada untuk menghadapnya.

Aji Saka menjelaskan maksudnya untuk berkunjung menghadap Raja Dewatacengkar di Medangkamulan. Dijelaskan pula bahwa Aji Saka akan pergi dengan tidak membawa senjata keris pusakanya. Maka kepada Sembada diperintahkannya untuk tetap tinggal di Majeti menunggu keris pusakanya. Aji Saka memilih Sembada untuk menjaga pusakanya, karena dia yakin akan kejujuran dan kesetiaan Sembada pada janji, seyakin dia akan ketidakjujuran Dora yang selalu tidak dipercaya dan gemar ingkar janji. Oleh karena itu Dora dibawanya serta dalam perjalanan ke Medangkamulan. Kepada Sembada dipesannya bahwa tidak seorang pun boleh mengambil keris pusaka itu, kecuali oleh Empu Sangkala sendiri. Sembada pun berjanji akan mejaga pusaka itu dengan sebaik-baiknya sampai Empu Sangkala kembali.

Maka beragkatlah Aji Saka dan Dora menuju tanah Jawa. Ketika tiba di Medangkamulan, apa yang didengarnya ternyata benar. Sang Raja Dewatacengkar, berperilaku kasar, gemar makan sop dan gulai daging manusia.Namun juga sakti mandraguna.  Mendengar cerita penduk Medangkamulan, Aji Saka menjadi tak sabar untuk menunggu lebih lama lagi. Dia segera pergi untuk menjumpai Sang Raja. Sampai di gerbang istana, Aji Saka mengaku datang menyerahkan diri untuk dijadikan santapan makan malam Sang Raja. Karena Aji Saka berwajah tampan, masih muda remaja, kulitnya halus, pakaiannya bersih, tak bawa senjata apa pun, kecuali apa yang melekat pada badannya, yaitu celana panjang, ikat pinggang, baju atasan, dan ikat kepala atau iket dalam bahasa Jawa, penjaga langsung percaya dan segera membawa Aji Saka menghadap Sang Raja Dewatacengkar.
 Sang Raja Dewatacegkar langsung keluar air liurnya melihat pemuda yang sehat, wajahnya ceria, dan kulitnya halus mulus, bagaikan melihat cempe muda atau ayam dere kemanggang. “Hem, baru hari ini ada bahan santapan lezat datang menghadap sendiri,” katanya Sang Raja, berdecak kagum dalam benaknya.

“Hamba tidak minta harta benda, Baginda Raja. Jika Baginda hendak memberi hadiah kepada hamba, cukup hamba diberi tanah dari alun-alun seluas ikat kepala hamba. Tetapi harus Baginda Raja sendir yang mengambilkannya dan mengisikannya ke dalam ikat kepala hamba,” Aji Saka mengajukan permohonan, ketika Raja Dewatacengkar akan memberikan hadiah apa saja yang akan dimintanya sebelum dikurbankan jadi santapan Sang Raja.

Permohonan Aji Saka langsung dikabulkan. Raja Dewatacengkar segera berdiri dari singgasananya, berjalan keluar diiringi para punggawa kerajaan. Aji Saka ikut mengiringinya sampai tiba dan berhenti di tengah alun-alun. Raja Dewatacengkar pun berdiri berhadap-hadapan dengan Aji Saka yang sudah melepas ikat kepalanga. Aji Saka memegang dua ujung ikat kepala, sedangkan Dewatacengkar, memegang ujung ikat kepala Aji Saka yang lainnya lagi. Dengan disaksikan para punggawa dan rakyatnya yang datang berbondong-bondong ke alun-alun Medangkamulan, Sang Raja Dewatacengkar mulai mengisi ikat kepala Aji Saka dengan tanah. Tetapi aneh bin ajaib, setiap kali ikat kepala sudah penuh, ikat kepala itu selalu saja bertambah lebar dengan sendirinya.

Akibatnya Sang Raja Dewatacengkar  harus terus menerus bergerak mundur,  supaya ikat kepala Aji Saka dapat dipenuhi dengan tanah. Sampai suatu saat ikat kepala Aji Saka yang terus menerus bertambah lebar itu menutupi seluruh tanah Medangkamulan. Pada saat itulah Sang Raja Dewatacengkar menjadi murka, karena setiap dia mundur satu langkah, rakyat yang menyaksikannya ramai-ramai menyorakinya. Sang Raja Dewatacengkar pun mengeluarkan kesaktiannya sehingga munculah  tenaga raksasanya yang kekuatannya bagaikan kekuatan gunung Kelud yang hendak meletus. Ditariknya dengan sekuat tenaga  ikat kepala yang ujungnya dipegang Aji Saka, agar Aji Saka terlempar ke arahnya. Tetapi Aji Saka lebih waspada. Sebelum kekuatan tarikan Sang Raja Dewatacengkar menyeretnya, Aji Saka sudah lebih dulu melepaskan ujung ikat kepala yang dipegangnya. Sang Raja Dewatacengkar pun terlempar sendiri ke belakang, bagaikan tersedot angin putting beliung yang mampu membawa batu sebesar kerbau. Sang Raja Dewatacengkar melayang-layang di angkasa, terlempar ke arah selatan oleh tenaga yang dikeluarkannya  sendiri, dan jatuh di Lautan Selatan. Sang Raja Dewatacengkar pun berubah menjelma menjadi wujudnya semula, yaitu seekor buaya putih raksasa.

Aji Saka pun dinobatkan menjadi Raja Medangkamulan dengan gelar Prabu Sangkala Aji Saka.  Rakyat Medangkamulan pun hidup makmur dan sejahtera. Sang Prabu Sangkala Aji Saka mulai mengajar rakyatnya menulis dan berhitung. Tahun ketika Prabu Sangkala Aji Saka dinobatkan sebagaia raja, ditetapkannya  sebagai tahun ke-1 Saka Jawa yang bertepatan dengan tahun 78 Masehi.

Rabu, 26 Desember 2018

Profil Alumni SMA Tamanssiswa Bandung : H.Dadang Zaenal BR,SH

Pengusaha Sukses dari Cimaragas, Karangsari, Wanareja, Garut



Penampilannya sederhana, memakai kopiyah hitam,  atasan baju koko abu-abu dengan motif bunga, celana panjang hitam, sandal hitam, jari manisnya dihiasi cincin emas dengan batu permata jade warna coklat tua. Hari itu, adalah hari Ahad siang, 23 Desember 2018 yang membahagiakan dirinya, dan membuatnya terharu. Di vilanya yang indah dan antik yang dibangun di atas kolam ikan seluas 7000 meter persegi itu, berkumpul Ikatan Lintas Alumni Tamansiswa Bandung, wabil khusus alumni SMA Tamansiswa tahun 1983. Mereka hadir di kampung H. Dadang Zaenal BR, SH untuk bersilaturahmi, rekreasi, kangen-kangenan, dan melepas rindu, sambil memanfaat libur panjang empat hari pada minggu ke-3 bulan Desember 2018.  Jumlah yang hadir lumayang banyak, lebih dari 50 orang.

Tuan rumah mengerahkan segala daya dan kemampuannya agar acara itu berjalan sukses. Di halaman villanya, didirikan tenda, spanduk penyambutan, sound sistem. Di teras villanya disediakan aneka macam hidangan santap siang, peralatan memancing lengkap dengan umpannya. Bahkan seekor kambing telah dipotong. Juga dikerahkan kerabat dan keluarga tuan rumah demi lancarnya acara.  Sepuluh alumni Tamansiswa sahabatnya, ada yang datang hari sebelumnya sehingga bisa bermalam, dan esoknya bisa mancing ikan bawal lebih dulu. H.Dadang Zaenal, di dampingi istri tercintanya menyambut tamunya dengan senyum ramah mengembang. 


Acara rekreasi dan silaturahmi ikatan Alumni Tamansiswa yang dimotori H. Dadang Zaenal, SH, dan Alumni Angkatan 1983, berjalan meriah, menyenangkan, mampu membangkitkan kembali emosi penuh kenangan indah masa-masa sekolah di SMA Tamansiswa Bandung. Unang Rosadi, Budi Mulyadi, Ki Anwar Hadja, dan Ki Turiman, ikut menyemarakkan acara rekrasi bersama dan silaturahmi dengan memberikan sambutan. Tampak hadir dalam tenda alumni Tamansiswa, antara lain Robby dan adiknya Sherly, Dadang Suhendar, Eggy, Agus, Irwan, Wawan, Yaman, Ati,  Nia, dan lainnya lagi. Selesai acara sambutan, dilanjutkan dengan foto, door prize, dan makan siang bersama dengan aneka macam hidangan luar biasa. Ada ikan mas goreng, sate, pepes ayam, rendang jengkol, rendang daging, lalaban, sambel,  bakso, buah-buahan dan lainnya lagi.

Sambil duduk lesehan menikmati hidangan makan siang, di villa yang dibangun di atas kolam yang luas itu, para alumni berbincang ke sana kemari, sambil memandang panorama indah di hadapannya. Kenangan masa 35 tahun lalu, keakraraban, solidaritas, dan rasa kekeluargaan  pun dibangun kembali dan dilestarikan. Banyak dari para alumni itu yang sudah punya cucu. Alangkah cepatnya waktu berlalu. Berbahagialah yang telah memanfaatkannya dengan baik untuk meningkatkan iman, takwa, amal soleh, dan saling ingat mngingatkan dalam kebenaran, dan kesabaran, sebagaimana firman Allah swt dalam Q.S  Wal ‘Ashri, Surat ke-103.

Di balik penampilan Haji Dadang Zaenal yang sederhana, sesungguhnya tersembunyi deretan prestasi luar biasa. Dia adalah alumni SMA Tamansiswa angkatan 1983. Kini pada 2018, usianya sudah menginjak 55 tahun, dikarunia seorang istri yang solehah, dua orang putra dan seorang putri.  Dia merasa bangga  karena sebagai jebolan SMA Tamansiswa, mampu meraih prestasi yang membanggakan. Tentu saja, prestasi yang diraihnya itu tidak datang dengan tiba-tiba. Semua keberhasilannya diraihnya  berkat kerja keras, ulet, pantang menyerah, dan tidak pernah meninggalkan iman, islam,  takwa, dan amal soleh. 


H.Dadang Zaenal, mengendalikan sebuah perusahaan yang diberi nama Bintang Rejeki, dibantu   sejumlah karyawan yang digajinya dengan baik. Bisnis intinya adalah pemasok  aneka macam sayuran di Pasar Induk Cibitung, Bekasi. Tiap hari dia mampu mendatangkan berton-ton sayuran, antara lain kentang dari Dieng, Wonosobo, cabe dari Pangalengan, bawang dari Brebes, dan barang dagangan  dari  daerah sentra penghasilan sayuran lainnya. Untuk lebih mengenalkan dan  membranding nama perusahannya, dia tidak segan-segan menambahkan initial BR, di belakang namanya. Maka dikampungnya, Cimaragas, Karangsari, Wanareja,Garut, dia dikenal dengan panggilan kesayangan  Haji Dadang BR. Dijelaskannya  bahwa BR singkatan dari Bintang Rejeki, nama perusahaan yang didirikannya di Bekasi itu.

Ketika ditanya, bagaimana memulai karir bisnisnya dia mengaku terus terang, mulai menggeluti bisnisnya dengan jualan sayuran di Pasar Ancol yang sudah dilakoninya sejak masih duduk jadi siswa SMA Tamansiswa. “Sambil sekolah, berjualan sayuran di Pasar Ancol, Bandung,” katanya membuka rahasia  masa lalunya. 

Pasar Ancol memang tidak jauh dari Sekolah Tamansiswa Bandung, dan Universitas Langlangbuana. Dia mengaku jika jualan pas hari minggu atau hari libur, sering ketemu salah satu gurunya yang sering belanja sayuran di Pasar Ancol. Ada juga teman-teman sekelasnya, sambil menyebut beberapa teman-teman wanita satu kelas yang masih diingatnya dengan baik. Karena malu, kadang-kadang dia harus sembunyi supaya tidak diketahui gurunya dan teman-temannya. Tetapi rasa malunya, berhasil dilawannya, karena cita-citanya yang tinggi yang ingin diraihnya untuk dipersembahkan kepada kedua orang tuanya di kampung halamannya. Cita-citanya ialah ingin meraih gelar sarjana ekonomi. 

Konon, dulu ayahnya pernah berpesan,”Silahkan, Dang, jika kamu ingin bersekolah di Bandung. Tapi jangan harap Bapak akan datang ke sekolah kamu. Bapak baru akan mau datang ke sekolah kamu, jika kamu sudah berhasil  menyandang gelar sarjana ekonomi!” pesan ayahnya. Dadang enam bersaudara,  nomor empat dalam keluarganya. Tiga kakaknya perempuan, satu adiknya laki-laki, dan adiknya yang paling bungsu perempuan. Kakeknya KH.Mansyur, adalah ulama terkenal di Kampung Cimaragas, Karangsari, Wanareja. Semuanya  kakak-kakaknya,  tidak ada yang masuk sekolah umum. Sebagian besar masuk sekolah agama. Demikian pula kebanyakan teman-teman di kampungnya.

Akhirnya, salah seorang saudara ayahnya, membawa Dadang kecil yang baru duduk klas IV SD ke Bandung, dan memasukkan ke SD Islam Yapinu. Dua tahun kemudian tamat SD, dan gurunya menyalurkan Dadang masuk SMP Tamansiswa. SD Islam Yapinu, tidak jauh dari Kampus Tamansiswa.  Tamat SMP Tamansiswa, Dadang langsung melanjutkan ke SMA Tamansiswa, karena merasa betah dengan sistem pendidikan yang ditawarkan Tamansiswa. Apa lagi SMA Tamansiswa Bandung saat itu merupakan salah satu sekolah favorit di Bandung. Tiap tahun ajaran baru, menolak calon siswa baru yang terlambat mendaftar, karena daya tampung yang ada cepat penuh. Rata-rata tiap tahun ajaran baru mampu menerima sekitar 500 siswa baru atau sekitar 11 kelas. 

Berhubung cita-cita Dadang  ingin jadi sarjana ekonomi, Dadang memilih jurusan IPS. Walaupun sekolah sambil belajar jualan sayur di  Pasar Ancol, Dadang, termasuk anak yang rajin, dan cakap membagi waktu antara sekolah, ibadah, dan jualan. Guru-gurunya mengenalnya bukan sebagai anak yang nakal. Kalau toh ada kenakalan, adalah kenakalan kreatif khas remaja SMA jaman itu.  Dadang mengakui salah satu kenakalannya yang sifatnya kreatip, dilakukan setiap ada acara pembagian raport dan kenaikan kelas.

“Yah, terpaksa harus sering  bohong kepada Wali Klas setiap ada acara pembagian rapot dan kenaikan klas,” katanya sambil tersenyum mencoba mengingat masa-masa indah jadi siswa SMA Tamansiswa. “ Peraturannya saat itu rapot harus diambil oleh orang tua atau wali. Tetapi karena tidak mungkin orang tua yang jauh  di kampung bisa datang ke Bandung, maka dicarilah akal. Bukan ayah atau ibu yang menambil rapot, tetapi tetangga yang bisa  dimintai tolong untuk mengambil raport dengan mengaku sebagai wali atau orang tua.” 

“Oh, masih ada lagi,” katanya pula. ”Uang SPP bulanan tidak dibayar setiap bulan sebagaimana ketentuan yang berlaku. Tetapi dibayarkan setiap empat bulan sekali.”

Kenapa tidak dibayarkan? Bukan karena Dadang tidak punya uang untuk bayar SPP. Tapi uang untuk bayar SPP dipinjamnya dulu untuk tambahan modal jual beli sayuran di Pasar Ancol. Bahkan setelah tamat SMA Tamansiswa, dan dinyatakan lulus untuk masuk Fakultas Ekonomi, masih pinjam fotokopi  STTB SMA IPS.  Dia pun mengaku bersyukur karena saat itu kepala sekolahnya memberikan rekomendasi, sehingga dengan bekal fotokopi STTB SMA IPS yang telah dilegalisir, Dadang berhasil diterima di Fakultas Ekonomi Universitas Langlangbuana. STTB SMA Tamansiswa Dadang baru diambil berapa waktu kemudian. Adapun letak Kampus Universitas Langlangbuana,  persis berhadap-hadapan dengan Pasar Ancol, hanya terpisah dengan jalan Karapitan, jembatan, dan trotoar tempat Dadang remaja, berjualan sayur sambil sekolah. 

Salah satu sahabatnya di Tamansiswa sejak SMP-SMA Tamansiswa, Hermansyah,  juga masuk Unversitas Langlangbuana dengan mengambil jurusan Ilmu Sosial Politik. Tapi Dadang, gagal menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Ekonomi, karena ternyata dia lebih tertarik belajar Ilmu Hukum. Dia pun pindah ke Fakultas Hukum Universitas Islam Nusantara. Akhirnya Dadang  berhasil meraih gelar Sarjana Hukum.

“Pada saat acara wisuda itulah kedua orang tua di kampung, baru mau hadir ke Bandung,” tuturnya.
Walaupun cita-cita ayahnya agar Dadang jadi sarjana ekonomi tidak tercapai, tetapi Dadang mengobati kekecewaan ayahnya, dengan membawa adiknya, Dedeng, masuk SMA Tamansiswa. Setelah lulus dari SMA Tamansiswa, adiknya melanjutkan ke Fakiltas Ekonomi jurusan Akuntasi Universitas Islam Nusantara. Adiknya berhasil meraih gelas Sarjana Ekonomi yang dicita-citakan ayahnya. Kini adiknya sukses  dalam bisnis perbangkan dengan memulai karirnya  sebagai karyawan BRI. 

Sementara itu, Dadang yang telah menyandang gelar Sarjana Hukum, melamar kerja di Pemda Bekasi, dan diterima sebagai PNS. Tentu saja, Ayahnya bangga sekali. Saat itu pandangan orang dikampungnya, jabatan PNS merupakan kebanggaan semua orang. Dengan menyandang status PNS,  punya pekerjaan, dan jadi pegawai dengan pakaian seragam, lengkap sudahlah status terhormat yang dimiliknya. Sekarang  apa lagi yang masih kurang  dengan status terhormatnya? Tentu saja cari istri. Istrinya pun tidak jauh-jauh dicarinya, yaitu gadis satu kampung, masih saudara dekat, dan lulusan pondok pesantren. 

Selesai resepsi pernikahan,  istrinya langsung diboyong ke Bekasi. Padahal sebagai PNS, Dadang belum punya fasilitas rumah dan kendaraan dinas. Rumah pun masih mengontrak. Walaupun demikian jadi PNS dengan  gajih  kecil, tetap dilakoni Dadang dan istrinya dengan sabar.  Sampai suatu ketika istrinya mengeluh, “Kapan kita akan punya rumah sendiri? Bagaimana kalau anggota keluarga terus bertambah, tetapi rumah masih juga mengontrak?”

Dadang seperti tersentak. Penghasilannya sebagai PNS tidak akan pernah cukup untuk membeayai kebutuhan rumah tangganya yang dari hari ke hari, dan dari bulan ke bulan terus tambah membengkak. Sebagai PNS Dadang  merasa sudah berhemat. Msalnya, Dadang memillih tidak merokok supaya ada jatah uang  transpor ke kantor pulang pergi pakai kendaraan umum. Tapi jika ingin merokok, dia terpaksa jalan kaki dari kantor sampai ke rumah agar supaya jatah uang belanja untuk istrinya tidak terganggu. 

Sering kali, sampai di rumah baju PNS Dadang sudah  basah oleh keringat. Tetapi Dadang puas, karena bisa merokok. Istrinya sering tidak tega melihat Dadang pulang dari kantor jalan kaki, hanya agar bisa merokok. Terpaksa kadang-kadang istrinya menyisihkan sebagian uang belanjanya yang sudah terbatas, untuk membelikan rokok buat suaminya.

Akhirnya akal Dadang mulai berputar. Jika dirinya tetap jadi PNS, pikirnya, peluang untuk jadi kaya sangat terbatas. Banyak PNS tergoda korupsi sebagai jalan untuk menambah penghasilan. Ujung-ujungnya akan menyeret si pelaku ke balik jeruji besi. Lingkungan pesantren yang diakrabinya di kampung halamannya, dan pesan-pesan istrinya agar jangan memberi makan rumah tangganya dengan rejeki yang tidak halal, membuat Dadang akhirnya mengambil keputusan. Yaitu nekad keluar dari PNS Pemda Bekasi yang telah diraihnya dengan susah payah. 

Pengalamannya sebagai penjual sayur di Pasar Ancol Bandung, kembali diingatnya. Bisa jadi, Dadang saat itu ingat kisah Abdurahman bin Auf, sahabat Nabi yang datang ke Madinah ikut hijrah Nabi saw, tanpa sepeser uang pun. Begitu tiba, Abdurahman bin Auf langsung bertanya kepada sahabat Ansor, “Dimana letak pasar? Tunjukkan tempatnya!” Setelah tahu letak pasar Madinah, paginya Abdurahman bin Auf langsung mengayunkan langkahnya ke pasar, membantu menjualkan barang dagangan para  pedangan pasar Madinah yang memerlukan jasanya. Dalam waktu singkat Abdurahman bin Auf menjadi sahabat Nabi saw paling kaya dengan cara berdagang di Pasar Madinah.

Seperti Abdurahman bin Auf, setelah minta ijin keluar dari PNS kepada istrinya, Dadang pun langsung mendatangi pasar induk Cibitung, Bekasi. Dia kembali menekuni jualan sayur. Bedanya, waktu masih siswa SMA jualan sayur di trotoar pasar Ancol dengan konsumen yang terbatas dan omset penjualan   kecil. Di Pasar Induk Cibitung, Dadang berhasil menjual  sayuran kepada para pedagang menengah dan  pengecer, dengan omset puluhan ton. Dia mengaku penghasilan bersihnya dari jualan sayur di Pasar Induk Cibitung Bekasi, paling sedikit Rp 2 juta semalam alias Rp 60 juta per bulan. Mana ada PNS dengan gaji Rp60 juta/ bulan? 

Pernah suatu ketika  Dadang ingin beli mobil yang harganya Rp400 juta. Dia pun berdoa kepada Allah swt. Anehnya, Allah swt mengabulkan doanya dengan memberinya rejeki yang tak disangka-sangka. Rejeki itu datang dengan tiba-tiba saja. Dadang tiba-tiba memborong cabe puluhan ton dengan harga  beli di pasar petani Rp4.000 per/kg. Begitu harga cabai dibayar lunas, paginya harga cabai sudah naik jadi Rp19.000,-/ kg. Ketika harga semakin menggila, dia pun malah semakin untung, karena cabe di pasar cepat terserap, padahal harga terus naik. Saat harga cabe stabil, dan mulai turun, kurang dari satu bulan mobil seharga Rp400 juta, sudah parkir di garasi rumahnya. Dia berhasil membeli mobil yang diinginkannya dengan pertolongan dari Allah swt. 

Orang-orang sesama pedagang di Pasar Induk Cibitung, banyak yang heran dengan naluri  bisnis Dadang. Akhirnya Dadang sering mewakili para pedagang bila ada urusan dengan Bupati. Bahkan dia pun didaulat sebagai Ketua Asoaiasi Pedagang Asal Garut. Dengan bekal ijasah SH yang disandangnya, memang memudahkan Dadang melakukan advokasi dan membela kepentingan para pedagang terhadap penguasa. Ladang bisnisnya pun terus berkembang, antara lain membuka rumah kontrakan, bisnis distribusor sarung, busana muslim, dan alat-alat keperluan ibadah lainnya.  Dia mengaku tidak banyak mendapat warisan dari orang tuanya di kampungnya. Maklum enam bersaudara. Tapi sekarang, sawahnya tersebar di kampung halamannya, dan tidak pernah pergi ke pasar untuk beli beras, karena beras dari kampungnya selalu mengalir ke Bekasi. Dia juga memelihara kambing yang  dititipkan pada saudaranya. Tapi cita-citanya untuk beternak sapi belum tercapai. Karena di samping sulit lahan, juga sulit cari orang yang bisa diandalkan memelihara sapi.
Ketika ditanya apa cita-citanya yang belum tercapai, setelah kebutuhan pokoknya terpenuhi, dan hartanya melimpah? “Ingin masuk surga beserta istri dan anak-anaknya kelak di yaumil akhir,” jawabnya tangkas. 

“Untuk bisa masuk surga, orang juga harus tahu ilmunya,” katanya. “llmunya ialah beriman, beramal shaleh, mendirikan shalat, melaksanakan zakat, infak, shodaqoh, menyantuni anak yatim dan kaum dhuafa, serta berbuat  amalan lainnya yang dapat memperbanyak bekal amal ibadah di akhirat kelak.”
Di kampungnya, dibangumnnya pula pesantren yang diberi nama Al Mansyuriah, dan dibiayainya semua kegiatan pesantren. Tiap hari raya Qurban, paling tidak Dadang  berkurban satu ekor sapi khusus untuk   kampung halamannya. Pada Iedul Qurban Tahun tahun 1439 H lalu, Dadang meningkatkannya nilai qurban jadi dua ekor sapi dengan harga total Rp.66 juta,-  Dagingnya  langsung dibagikan merata kepada penduduk di kampung halamannya. 

Dadang juga berhasil membeli kolam ikan pemancingan  yang luas dan  diisinya antara lain dengan  ikan bawal. Kolam pemancingan itu tidak dibisniskan untuk dijual hasilnya atau dijadkan kolam pemancingan komersial. Tiap tahun kolam ikannya dibedah, dan diundangnya penduduk kampung untuk mengambilnya sendiri ikan dalam kolamnya sampai semuanya kebagian secara merata.  Padahal kolam seluas 7000 meter persegi itu dibeli pada tahun 2004 dengan harga Rp400 Juta.

“Kolam ini aneh,” katanya sambil menunjuk kolam pemancingan dengan dinding pembatas dari batu dan  beton yang di tata rapi, “Sumber air kolam berasal dari sebuah mata air di tengah kolam yang tidak pernah kering. Dasar kolam di bawah permukaan air  di sekitar  vila sekitar 3 meter, sedangkan lainnya 2 meter.” 

Sejumlah pohon nyiur tampak berdiri agak jauh dari pinggirnya, dan mampu memberikan kesejukan  dan melindungi sebagian kolam dari sengatan matahari langsung pada siang hari. Karena airnya jernih, banyak anak-anak kampung yang  memanfaatknya untuk belajar renang, tanpa harus menggangu ikan yang ada di dalamnya. Di sebelah kolam Dadang, saudaranya yang mantan lurah, ikut membangun kolam ikan, dengan memanfaatkan sumber air di kolamnya yang mengalir keluar menuju tempat  lebih rendah, sampai air itu masuk saluran air dan membawanya ke sungai dan sawah terdekat. 

Ketika diajukan prtanyaan, “ Apakah  Dadang pernah tergoda untuk cari istri lagi?” Dia hanya tersenyum sehingga bibir dengan kumis tipisnya mengembang, dan keluar jawabannya.

“Malah istri yang menawari untuk menikah lagi. Hanya dengan syarat, cara shalat dirinya  harus sudah mengikuti cara shalat Kanjeng Nabi saw. Demikian pula dzikirnya, amal ibadahnya, dan amal shaleh lainnya,” tutur Dadang.

“Silahkan jika Aa mau menikah lagi, asal syarat-syarat tadi dipenuhi dulu,” kata Dadang menirukan tantangan istrinya kepadanya. 

Dadang mengaku, pikiran untuk menikah lagi langsung dibuangnya jauh-jauh, ketika  ingat setiap tengah malam pulang dari pasar induk, selalu dijumpainya istrinya yang telah memberinya tiga orang anak itu, bersimpuh di atas sajadah,  khusuk berdoa dalam salat tahajut yang tak pernah dilewatinya tiap malam, jika sedang tidak berhalangan. Dadang merasa istrinya adalah wanita solehah yang telah dipilihkan Allah swt kepadanya, sehingga tidak boleh disakitinya. 

“Lebih baik, punya istri satu, membesarkan dan mendidik tiga anak-anak agar menjadi anak yang soleh dan salehah, dari pada punya istri baru dan rumah tangga baru, tapi tiap saat bisa berantem, yang  bisa-bisa malah menganggu konsntrasi, karir bisnis, dan ibadahnya,” kata Dadang  pula. Sebuah jawaban yang bijak dan cerdas, tentu saja. 

Tiga anak Dadang  masuk sekolah Al Mukminun Boarding School di Bekasi. Yang bungsu masih SMP, punya bakat sepak bola, cita-citanya mau jadi pemain bola profesional. Rencana tamat SMP, ingin masuk SMA Ragunan, Sekolah Khusus Atlit Berbakat. Melaui HP, ditunjukkannya, foto Si Bungsu sedang bermain bola melawan kesebalasan anak-anak Perancis yang tinggal di Jakarta, karena ikut orang tua yang bekerja di Kedutaan Perancis. Tampak anaknya  sedang berdiri di tengah lapangan dengan kostum warna hitam, dengan nomor punggung nomor enam. Di atas nomor, tertulis dengan huruf merah tua, SAKTI, yaitu nama Si Bungus Kesayangan yang bercita-cita jadi pemain bola profesional.

Kemudian diajukan lagi pertanyaan kepadanya, “Benda miliknya apakah yang paling  disayangi?”
Dadang pelan-pelan mengangkat tangan kirinya, dan menunjukkan cincin emas bermata batu jade warna coklat yang menghiasi jari manisnya. “Cincin ini warisan dari Kakek. Nilainya tidak terhingga, karena tidak ada yang jual. Kalau mobil, dengan mudah bisa dibeli, karena ada yang jual,” katanya. Tentu bagi Dadang, cincin warisan kakeknya itu, adalah simbol kasih sayang kakek dan ayahnya, yang dicintainya, dan yang sedikit banyak telah menjadi sumber motivasi dalam miniti karir meraih keberhasilan dan kebaikan hidup, baik di dunia maupun di akhirat kelak. 

“Saat-saat apa yang sekarang ini dirasakan sebagai sesuatu yang paling membahagiakan dirinya?”
“Betemu teman waktu sekoah di SMA Tamansiswa seperti sekarang ini,” jawabnya sambil tertawa. Dia pun beceritera Hermansyah adalah salah satu  sahabat karibnya, karena  sejak jadi siswa SMP dan SMA Tamansiswa, kemana-mana bareng, masuk Universitas Langlangbuana juga bareng, walaupun akhirnya berpisah karena Hermansyah terus menyelesaikan studinya di Langlangbuana sampai selesai, sedang Dadang pindah ke Uninus dan pindah jurusan. Tapi naik haji pun bisa bareng dengan Hermansyah, dengan membawa istrinya masing-masing. 

Yang juga akrab, adalah pertemanannya dengan Yaman, Wawan, Ati, dan lainnya lagi. Anehnya, karib Dadang, suksses juga meniti karir. Yaman Karyuda, menjadi Direktur PT.DEKATAMA CENTRA, aktif jadi anggota club menembak PERBAKIN, dan berkeliling kemana-mana mengurus bisnisnya. Ati, sukses pula jadi pengusaha muda dibidang produksi roti Sari Rasa, yang counternnya tersebar luas di Bandung, bahkan cabangnya sampai ke luar kota. 

Dulu, minggu 25 November 2018, waktu peresmian pengurus Ikatan Lintas Alumni Tamansiswa Bandung dan penyerahan sarana lapangan olah raga kepada para pamong dan pengurus Yayasan Tamansiswa, Dadang memang tampak menikmati pertemuan dengan teman-teman dan mantan pamongnya. Di samping merogoh koceknya untuk  panitya pembangunan lapang olah raga, Dadang tidak canggung ikut  turun berjoged ria dengan teman-temannya. 

“Tapi sekarang tidak berani joged, ada istri,” bisiknya sambil tertawa. Konon istrinya suka mengingatkan jika dia yang sudah bergelar haji masih suka joget. Memang di bawah tenda para alumni asyik berjoged ria sambil menyanyikan lagu-lagu nostalgia untuk menyemarakkan suasan dan menghibur teman-temannya yang asyik bertukar pikiran, maupun asyik mancing ikan bawal. Tetapi Haji Dadang Zaenal BR,SH milih berbincang-bincang di tepi kolam, sambil berkisah masa lalunya. Kisah yang bisa memotivasi dan menginspirasi siapa saja untuk masa depan yang lebih baik. Baik di dunia, maupun di akhirat.

Selesai Shalat Maghrib, rombongan tamu Ikatan Alumni Tamansiswa, ramai-ramai  meninggalkan Kp.Cimaragas, Desa Karangsari, Kecamatan Wanareja, Kabupaten Garut, dengan membawa kenangan manis dan indah. [25-12-2018, anwar hadja]