Legenda adalah kisah tentang orang,
kejadian, atau peristiwa yang dibuat berdasarkan fantasi dengan maksud untuk
menimbulkan kekaguman, pemujaan dan penghormatan terhadap subyek yang
dikisahkan. Legenda bukan sejarah, walaupun bisa jadi subyeknya adalah tokoh
sejarah. Legenda biasanya bersifat mitologis, karena dalam kisahnya biasanya
mengandung unsur-unsur gaib yang bersifat supernatural. Sebagai suatu karya sastra,
legenda menarik, karena petualangan tokoh-tokohnya yang unik,
kadang-kadang menegangkan, dan dapat memacu imajinasi, daya khayal, dan
kreativitas pembacanya.
Adapun mengenai legenda para dewa
orang Jawa dapat dijumpai dalam kitab Tantu Panggelaran yang konon berasal dari
jaman Kediri, kitab Paramayoga dan
Pustaka Rajapurwa. Dua yang terakhir
adalah karya Pujangga Agung Keraton Surakarta, R.Ng. Ranggawarsita (1802 – 1873
M).
Seperti para sastrawan Romawi yang
memindahkan dewa-dewa Yunani menjadi dewa-dewa Romawi, sastrawan Jawa juga
memindahkan dewa-dewa dari tanah Hindustan ke Pulau Jawa. Bagi Orang Yunani,
Mahadewa Zeus, adalah dewa tertinggi penguasa jagad raya. Tetapi oleh para
sastrawan Romawi, Dewa Zeus diboyong ke Romawi dan diberi nama baru, Mahadewa Yupiter. Istri Zeus, Hera, diberi nama baru Yuno. Gadis cantik jelita tapi
perkasa, Athena dan Selena, diganti jadi Minerva dan Diana. Dewa lainnya juga diperlakukan dengan cara yang sama, yaitu diromawikan. Demikian pula ritual untuk menyembah para dewa Romawi, sebagian besar merupakan adopsi yang dilakukan
orang Rowawi dari ritual pemujaan orang Yunani terhadap dewa-dewa
mereka. Para Pujangga Jawa juga melakukan hal yang sama seperti para Pujangga Romawi.
Dalam kitab Tantu Panggelaran dan
Paramayoga, dewa tertinggi Orang Jawa adalah Batara Guru yang juga bergelar
Sang Hyang Jagad Girinata. Padahal dalam agama Hindu, dewa tertinggi adalah Syiwa bagi pengkut Syiwaisme, Wisnu bagi pengikut Waisnawa, dan Brahma bagi
pengikut Brahmaisme. Tetapi apakah Batara Guru dapat disamakan dengan Sang
Hyang Syiwa? Ternyata tidak. Sebab dalam teologi Hindusime, Syiwa adalah Sang
Hyang Widdhi, Tuhan Yang Maha Kuasa, setara dengan Sang Adi Budha dalam teologi
Buddha, setara dengan Yahweh dalam Kitab Perjanjian Lama, dan setara dengan Tuhan
Bapa dalam Kitab Perjajian Baru. Batara Guru dalam Kitab Paramayoga, hanya
setara dengan Nabi Isa as atau Nabi Sulaeman. Jadi, Batara Guru bukan Tuhan, hanya
setara dengan utusan Tuhan. Tetapi juga bukan manusia, sebab Batara Guru
termasuk golongan dewa yang berbadan halus, hidup abadi, tidak terkena sakit,
dan tida bisa mati.
Dari sudut ajaran Islam, Batara Guru itu
termasuk golongan Jin. Memang leluhur Batara Guru, dari jalur ibunya, akan
sampai pada raja jin sakti, Yakni Jin Ngajajil. Sedang dari jalur ayahnya, akan
sampai kepada Nabi SIS, yang menurut Kitab Paramayoga, adalah turunan Nabi Adam
dan Siti Kawa. Rantai nasab Batara Guru sampai kepada Nabi Adam dan Siti Kawa
adalah sbb, “Batara Guru putra Sang Hyang Tunggal, putra Sang Hyang Wenang, putra Sang Hyang Nurrasa,
putra Sang Hyang Nurcahya, putra Nabi SIS, putra Nabi Adam.
Pujangga yang pertama kali
menciptakan nama Batara Guru sebagai dewa tertinggi orang Jawa, sesungguhnya bukan
pengarang kitab Paramayoga, juga bukan pengarang kitab Tantu Panggelaran.
Tetapi pengarang lakon Kunjarakarna, sebuah lakon yang ditulis dalam metrum
kakawin pada abad ke-14 M. (Ir.Sri Mulyono, Simbolisme dan Mistikime dalam Wayang).
Dalam lakon itu, tokoh Wairocana
mengajari Kunjarakarna tentang mistik ketuhanan dengan mengatakan, ”Aku Wairocana,
adalah Buddha dan Syiwa dalam bentuk yang nyata dan tampak. Karena itu, aku
terkenal dimana-mana dengan nama Batara Guru. Akulah dewa yang tertinggi dan
meliputi seluruh jagad.” Suatu pandangan mistik ketuhanan yang bersifat
panteistik dan imanent. Dalam mistik Islam pandangan diatas termassuk aliran wujudiyah
yang merupakan akar-akar dari pandangan Islam Kejawen.
Dari kutipan di atas jelaslah, bahwa
Batara Guru dalam Kunjarakarna, adalah Syiwa yang menjelma menjadi wujud yang
lain, sebagaimana dikatakan Mpu Tantular dalam Sutasoma, ”Bhineka tunggal ika,
tan hana janma mangrawa”. Artinya berbeda-beda dalam wujudnya, tapi satu dalam
hakekat.
Dalam Paramoyoga, yang ditulis pada
jaman ketika para raja, punggawa, dan pujangga
Keraton Surakarta sudah memeluk agama Islam, tokoh Batara Guru secara
lahiriyah mengalami penurunan status. Batara Guru bukan lagi Tuhan Alam
Semsesta. Tetapi sejalan dengan mistik Islam wujudiyah, Batara Guru adalah
Gusti yang sedang manunggal dan berwujud Kawula. Itulah sebabnya Sang Pujangga,
melukiskan rantai nasab Batara Guru dari jalur ayah sebagai masih keturuan Nabi
Adam. Dan Nabi Adam adalah kawula atau hamba Allah yang mendapat karuniaNya
sehingga diangkat jadi Utusan Allah. Demikian pula Batara Guru, dalam pandangan
Sang Pujangga, adalah hamba Allah yang mendapat karuniaNya, sebagai mana
dikatakan Wairocana, ”Dewa tertinggi yang meliputi seluruh jagad.” Gagasan Sang
Pujangga yang telah memadukan persespi ketuhanan atas dasar pandangan Islam dengan
pandangan Hindu dan Buddha, telah melahirkan suatau pandangan teologi Islam baru
yang bersifat sinkretik.
Lepas dari pandangan teologi Sang Pujangga, Kisah Mitologi
para dewa dalam kesustraan Jawa, tetap menarik untuk dinikmati, ada pesan etik
yang dapat diambil sebagai bahan pembelanjaran, dan petualangan para dewa dalam
mitologi sastra Jawa, sangat menggetarkan, tidak kalah dengan petualangan
dewa-dewa Yunani dalam karya Hommer. Lagi pula kisah petualangan para dewa itu juga
menggugah fantasi dan imajinasi yang dapat memicu kreativitas pembacanya.
Sebagai karya sastra, tentu saja mitologi para dewa dalam sastra Jawa bisa
menjadi pintu masuk untuk lebih memahami warna dan corak kebudayaan Jawa di
masa lampau yang diwarisan dari para pujangga kesusastraan Jawa.
Bagi para penggemar wayang kulit, mengetahui kosmogoni para
dewa dalam kesusastraan Jawa, akan membantu dan memudahkan memahami jalan
ceriteranya. Sebab, dalam pertunjukan wayang kulit, pasti akan muncul salah
satu atau beberapa tokoh dewa yang mengendalikan dunia wayang.
2.Kahyangan Suralaya, Tempat Istana Para Dewa.
Dimanakah letak kediaman para dewa sebagai tempat untuk
mengendalikan pemerintahan alam semesta? Para dewa tinggal di suatu tempat di
dunia atas atau dilangit, yang bernama Kahyangan Suralaya, atau Kahyangan Surapada,
dan kadang-kadang disebut juga sebagai Kahyangan Suraloka.
Kahyangan Suralaya, tempat tinggal
para dewa, dilukiskan sebagai suatu tempat di puncak Gunung Mahendra, yang disebut
juga sebagai Gunung Mahameru. Kelak disebut juga sebagai Gunung Lawu.Tetapi
Suralaya tidak benar-benar ada di puncak Mahameru. Sebab para dewa membagia
dunia ini menjadi tiga, yakni dunia atas, dunia tengah, dan dunia bawah. Dunia
atas adalah tempat tinggal para dewa. Jadi Kahyangan Suralaya itu merupakan
dunia atas atau dunia langit. Puncak Mahameru hanya merupakan jalan masuk pintu
gerbang Suralaya. Dan Gunung Mahameru juga hanya merupakan tangga naik ke
Suralaya.
Jika Kahyangan Suralaya adalah tempat
tinggal para dewa, maka dunia tengah, atau permukaan bumi yang berupa daratan dan lautan merupakan
tempat tinggal manusia. Sadangkan dunia bawah, adalah dunia di bawah daratan
dan lautan, merupakan dunia tempat tinggal bangsa raksasa, jin, setan, demit, dan mahluk halus lainnya yang
bukan dewa, dan pada umumnya mereka berperilaku
jahat.
Suralaya sebagai dunia atas
dilukiskan sebagai tempat tinggal yang luas sekali. Di sana terdapat istana
tempat tinggal para dewa. Misalnya Istana Jonggringsalaka atau Istana Perak,
merupakan tempat tinggal Batara Guru dengan istrinya yang kedua, Dewi Laksmi.
Dari Istrinya yang pertama, Dewi Uma, Batara Guru punya lima putra, yakni Sambo,
Brahma, , Indra, Bayu, Wisnu ,dan Kala. Dari Dewi Laksmi, Batara Guru punya
tiga putra, yaitu Mahadewa, Asmara, dan Sakra.
Istana Suwelagringging merupakan tempat tingga Dewa
Sambu dengan istrinya, Dewi Astuti. Jabatan Dewa Sambu adalah sekretaris Batara
Guru. Sedangkan Istana Duksinageni, merupakan Istana Dewa Brahma. Dia tinggal
dengan Istrinya Dewi Saraswati. Dewa Brama adalah dewa penguasa api. Di
Suralaya Dewa Brahma menjabat sebagai Menteri Pertahanan yang bertanggung jawab
atas keamanan Suralaya. Sebagai Menteri Pertahanan, Dewa Brama mengendalikan tentara dewa yang namanya Dorandana. Istana Tinjomaya, merupakan istana
tempat tinggal Dewa Indra dengan istrinya Dewi Wiranci. Jabatan Dewa Indra
adalah Panglima Perang Tentara Dewa,
atau Senapati pada dewa. Dewa Indra adalah dewa penguasa awan, sungai, telaga,
hujan dan air.
Sedangkan Istana Panglawung,
merupakan istana tempat tinggal Dewa
Bayu dan istrinya, Dewi Sumi. Dewa Bayu adalah dewa yang menguasai angin, badai,
angin topan, angin putting beliung dan angin lainnya. Lalu, Istana
Uttarasagara, merupakan tempat tinggal Dewa Wisnu dengan istrinya, Dewi Sri Sekar.
Dewa Wisnu adalah dewa yang mengatur alam semesta, menegakkan hukum, dan
membasmi semua kejahatan. Selain istana di atas, masih banyak istana para dewa
lainnya, seperti Istana Cakrakembang-Dewa Kamajaya, Argadumilah-Dewa Yama,
Jongmeru-Dewa Sakra, Selamangumpeng-Dewa Kala, Tejamaya-Dewa Ismaya, Sabaluri-Dewa
Antaga, Argapura-Dewa Mahadewa, Mayaretna-Dewa Asmara, dan Glugutinular-Dewa
Ganesha.
Sebagai kompleks istana para dewa,
Suralaya memiliki pintu gerbang Selamatangkep, balai pertemuan Marcukundha,
gelanggang latihan perang prajurit dewa Repatkepanasan, alun-alun Papajarwarna,
sepasang beringin kembar di alun-alun
Dewandaru dan Wijayandaru, gedung kesenian Mandhalasana, lengkap dengan
gamelannya Lokananta, dan tamansari Nandana. Binatang di Suralaya, antara lain,
kuda sembrani Ucchaihasrawa, sapi perempuan tunggangan Batara Guru, Nandini,
dan gajah tunggangan Senapati Suralaya Dewa Indra, Airawata. Di Suralaya juga
ada Gunung Jamurdipa, dengan kawahnya Candradimuka, dan lumpur panasnya
Blegedaba.
Kahyangan Suralaya juga punya pabrik
senjata untuk para dewa, yang dipimpin oleh dua dewa, yakni Dewa Ramadi dan
Dewa Anggajali. Pada mulanya Dewa Ramadi dan Dewa Anggajali, adalah empu
pembuat senjata pada dewa di Kahyangan Ondar-Andir Bawana, Kahyangan Ayah
Batara Guru di Puncak Gunung Tengguru atau Gunung Himalaya, tanah Hindustan.
Karena jasa-jasanya, Dewa Anggajali mendapat hadiah Kerajaan Surati, maka Dewa
Anggajali turun ke dunia menjadi Raja Kerajaan Surati, dengan mengambil gelar
Prabu Iwaksa Anggajali. Dia berputra Raden Aji Saka. Ketika tahu Batara Guru akan
pindah ke tanah Jawa, dan akan membangun Kahyangan Suralaya di Pulau Jawa,
Prabu Iwaksa Anggajali lengser keprabon dan menobatkan putranya Raden Aji Saka dengan
nama nobat Prabu Isaka Sangkala.
Prabu Anggajali sendiri pergi
bertapa, agar kesaktiannya membuat senjata para dewa yang telah lama
ditinggalkannya, bisa pulih kembali. Tetapi putranya yang menduduki tahta
Kerajaan Surati, tidak berlangsung lama, karena tiba-tiba saja Kerajaan Surati berhasil diduduki musuh,
sehingga Raden Aji Saka dan dua ponakawannya, Sembada dan Dora, melarikan diri
untuk menemui ayahnya di pertapaanya. Oleh Ayahnya, yang telah kembali bergelar
Empu Anggajali, Aji Saka diberitahu agar melupakan Kerajaan Surati dan tidak
usah bersedih hati. Diberitahu bahwa Batara Guru sudah beberapa kali melakukan
survai ke tanah Jawa, dan berniat pindah ke Pulau Jawa dan membangun
Kahyangannnya sendiri di Puncak Mahameru .
Raden Aji Saka disarankan agar pindah
saja ke Pulau Jawa, dan membangun kembali kerajaannya yang hilang. Ayahnya,
berjanji kelak akan menyusul juga pindah ke Pulau Jawa, mengikuti Batara Guru
dan keluarganya. Raden Aji Saka mengikuti petunjuk ayahnya dan pindah ke Pulau
Jawa. Akhirnya Aji Saka berhasil menuduki tahta Kerajaan Medangkamulan, dengan
mengambil nama nobat Prabu Sangkala Aji Saka. Ketika Batara Guru mulai membangun
Kahyangan Suralaya dibantu putra-putranya, Empu Anggajali menemui Batara Guru.
Batara Guru sangat gembira, ketika Empu Aggajali akan ikut pindah ke Pulau Jawa. Empu Anggajali pun kembali diangkat menjadi
dewa, dan dipasangkan kembali dengan sahabat lamanya Dewa Ramadi yang juga ikut pindah ke Jawa. Dewa Anggajali dan Dewa Ramadi, dibuatkan
istana Candramuka di Kahyangan Suralaya, tidak jauh dari puncak Gunung Merapi. Tugas Dewa Anggajali dan
Dewa Rahmadi, ialah membuat senjata para
dewa di pabrik senjata para dewa di
puncak Gunung Merapi.,
Dalam menjalankan roda
pemerintahannya, Batara Guru dibantu Patih Narada, dan dua punokawan setianya,
Dewa Patuk dan Dewa Temboro. Semua dewa yang keluar masuk Suralaya harus
melewati pintu gerbang Selamatangkep, pintu gerbang dari batu yang bisa membuka
dan menutup sendiri, dijaga oleh dua raksasa kembar Cingkarabala dan Balaupata
yang bersenjatakan gada. Mahluk biasa seperti manusia dan raksasa, tidak bisa
masuk lewat pintu gerbang Selamatangkep tanpa ijin dewa. Dan dua rakasa kembar
itu punya wewenang menolak manusia, raksasa, dan jin yang mencoba masuk Suralaya tanpa ijin.
Disamping dihuni para dewa, Suralaya
juga dihuni para bidadari yang cantik jelita dan juga sakti. Dinatara bidadari
itu ada yang menjadi istri para dewa, tetapi ada juga yang tidak punya suami
atau pernah punya suami dewa atau manusia, tetapi tetap gadis, walaupun pernah
melahirkan anak. Tujuh bidadari Suralaya yang paling cantik adalah, (1) Dewi
Supraba, (2) Dewi Tilottama atau Wilutama, (3) Dewi Warsiki, (4) Dewi
Gagarmayang, (5) Dewi Lengleng Mulat, (6) Dewi Surendra, (7) Dewi Tunjungbiru.
Tujuh bidadari cantik itu semuanya pandai menari dan menyanyi, dan memegang
peran penting untuk menghibur para dewa dalam acara pentas seni dan pesta para
dewa di Balai Kesenian Mandhalasana diiring gending Lokananta yang ditabuh para
dewa.
Kahyangan Suralaya di puncak Mahameru
dibangun sendiri oleh Batara Guru dibantu oleh putra-putrinya. Sebelumnya
Batara Guru tinggal di Kahyangan Ondar-Andir Bawana di Puncak Gunung Tangguru atau Gunung Himlaya di tanah
Hindustan milik ayahnya, Sang Hyang Tunggal.
Konon Sang Hayang Tunggal masih
keturunan Nabi Adam. Adapun nasabnya sebagai berikut: Sang Hyang tunggal bin Sang
Hyang Wenang, bin Sang Hyang Nurasa, bin
Sang Hyang Nurcahya, bin Sang Hyang Sita. Sang Hyang Sita adalah putra keenam
Kanjeng Nabi Adam dengan Dewi Siti Kawa. Bagaimana bisa Nabi Adam, jadi leluhur Batara Guru? [01-01-2019]